Share

Bab 3

last update Last Updated: 2025-06-28 13:09:21

Sudah dua bulan sejak malam pengakuan itu.

Hari-hari yang Wawan dan Nayla jalani bukan sepenuhnya damai. Ada hari-hari di mana Nayla masih terdiam lama, menatap kosong ke arah dapur sambil menggoyangkan sendok tanpa sadar. Ada pula hari di mana Wawan merasa ingin menyerah karena luka masa lalu selalu menyelinap dalam setiap percakapan.

Namun, ada satu perbedaan besar: mereka kini mencoba. Bukan untuk kembali ke masa lalu, tapi untuk menciptakan masa depan baru, meski dengan fondasi yang sempat retak.

Pagi ini, Wawan sedang mengganti popok Ayana. Tangannya canggung, tapi ia tetap berusaha. Ayana tertawa kecil, mempermainkan mulutnya dengan jari. Nayla yang sedang membuat bubur di dapur mencuri pandang dan tersenyum kecil. Wawan melihat senyum itu. Singkat, tapi cukup membuat hatinya berdesir.

“Aku masak bubur ayam hari ini. Mau?” tanya Nayla.

Wawan mengangguk. “Kalau buatan kamu, pasti mau.”

Senyum Nayla melebar, tapi masih menyimpan hati-hati. Ia belum sepenuhnya percaya, belum sepenuhnya pulih. Tapi ia mau mencoba. Dan bagi Wawan, itu lebih dari cukup.

**

Di malam hari, Wawan duduk di beranda rumah. Ia menyesap teh hangat, menatap bulan yang tergantung di langit dengan warna keperakan. Ayana sudah tidur, dan Nayla sedang membereskan cucian. Ketika pintu terbuka dan Nayla ikut duduk di sampingnya, Wawan menoleh pelan.

“Aku tadi lihat kamu ngobrol sama Bu Dewi di warung,” ujar Nayla membuka percakapan.

Wawan tertawa kecil. “Iya, dia nanyain Ayana. Katanya udah lama nggak lihat kalian keluar sore.”

Nayla mengangguk. “Aku jadi agak malu keluar rumah. Takut ada yang tahu soal kita.”

Wawan memandang istrinya. “Kalau ada yang tanya, kita jawab aja: kita sedang memperbaiki rumah kita. Nggak semua rumah utuh dari awal, Nay.”

Nayla diam sejenak, lalu berkata, “Kadang aku masih kepikiran dia.”

Wawan tahu siapa yang dimaksud.

“Aku ngerti,” ucapnya jujur. “Aku juga masih dihantui rasa bersalah. Tapi aku janji, Nad… eh—aku janji, aku udah tutup semua itu. Aku nggak mau kehilangan kamu lagi.”

Nayla menatap langit. “Aku percaya. Tapi butuh waktu buat hatiku benar-benar sembuh.”

Wawan mengangguk. Ia tak minta Nayla memaafkan sepenuhnya. Tapi ia akan terus ada di sampingnya sampai hari itu tiba.

**

Keesokan harinya, Nayla duduk di ruang tamu bersama seorang sahabat lamanya, Fitri. Mereka sudah lama tak bertemu, dan pertemuan itu menjadi momen melepaskan unek-unek yang lama dipendam.

“Gila, Nay. Kamu masih bisa senyum sekuat itu setelah semua yang kamu lewati,” ujar Fitri sambil menyeruput es teh manis.

Nayla tertawa kecut. “Senyum bukan berarti nggak sakit, Fit. Aku masih sakit. Kadang masih kebayang wajah dia di pelukan perempuan lain.”

Fitri menggenggam tangan Nayla. “Lalu kenapa kamu tetap bertahan?”

“Karena aku masih sayang. Karena Ayana butuh ayahnya. Karena… karena aku tahu semua ini bukan cuma salah dia,” jawab Nayla lirih.

“Bukan salah dia?”

Nayla mengangguk pelan. “Aku juga berubah sejak hamil. Aku nggak pernah kasih waktu buat dia. Aku pikir dia kuat. Tapi ternyata dia rapuh juga.”

Fitri diam. Lalu berkata pelan, “Tapi itu bukan alasan untuk selingkuh, Nay.”

Nayla tersenyum pahit. “Aku tahu. Tapi aku juga tahu, manusia bukan makhluk sempurna. Kalau aku ingin rumah tanggaku sembuh, aku harus belajar memaafkan—meskipun nggak melupakan.”

Fitri menatapnya kagum. “Kamu luar biasa.”

Nayla menggeleng. “Aku cuma perempuan yang nggak mau anaknya tumbuh tanpa ayah.”

**

Malam itu, saat Wawan pulang, Nayla menunggu di ruang tamu. Wajahnya serius. Wawan sedikit gugup.

“Ada apa?” tanya Wawan.

“Aku mau ajak kamu mulai dari awal.”

“Dari awal?”

Nayla mengangguk. “Anggap aja kita baru kenal. Kita pacaran lagi. Aku mau kita belajar jatuh cinta lagi. Tapi dengan luka-luka yang udah kita tahu. Kita mulai dari nol. Tapi kali ini, jujur dan terbuka.”

Wawan menatap Nayla dengan mata berkaca. “Kamu yakin?”

Nayla tersenyum. “Nggak sepenuhnya. Tapi aku mau coba.”

Wawan berdiri, lalu berlutut di hadapan Nayla seperti saat melamarnya dulu.

“Perkenalkan, nama saya Wawan. Pekerjaannya serabutan, kadang egois, kadang bodoh. Tapi kalau kamu mau, saya akan belajar mencintai kamu setiap hari. Dari awal. Lagi dan lagi.”

Nayla tertawa kecil, air mata menggenang di sudut matanya. “Saya Nayla. Seorang ibu, kadang keras kepala, kadang dingin. Tapi kalau kamu bersedia, saya akan belajar mempercayai kamu lagi. Pelan-pelan.”

Wawan menggenggam tangannya. Dan untuk pertama kalinya sejak pengkhianatan itu, mereka saling menatap tanpa beban.

Bukan karena semuanya baik-baik saja.

Tapi karena mereka memilih untuk tetap tinggal. Untuk memperbaiki, bukan kabur.

**

Tiga minggu setelah itu, Wawan dan Nayla pergi ke luar kota. Bukan untuk liburan mewah, hanya sekadar menginap semalam di vila kecil di pegunungan. Mereka meninggalkan Ayana bersama ibu Nayla.

Di dalam kamar sederhana itu, mereka duduk berdampingan. Wawan menyentuh pipi Nayla, menatap dalam ke matanya.

“Kamu masih cantik. Bahkan lebih dari waktu kita pertama kali kenal,” bisiknya.

Nayla tersenyum, sedikit malu. “Kamu cuma kangen.”

Wawan menggeleng. “Nggak. Aku cuma pengen bilang sesuatu yang harusnya aku bilang sejak dulu: aku beruntung punya kamu.”

Malam itu, untuk pertama kalinya setelah berbulan-bulan, mereka kembali menyatu sebagai suami istri. Bukan karena desakan, bukan karena kewajiban. Tapi karena cinta yang dipilih untuk diperjuangkan.

**

Cinta bukan selalu soal kesetiaan mutlak. Kadang, cinta diuji dengan pengkhianatan, dengan luka, dengan kehilangan arah. Tapi ketika dua orang memilih untuk kembali, untuk saling menambal hati yang sobek, maka cinta itu tumbuh lebih kuat.

Dan Wawan belajar satu hal penting: istri yang setia bukan istri yang tak pernah marah, tapi istri yang tetap tinggal meski bisa pergi.

Nayla pun belajar: suami yang baik bukan yang sempurna, tapi yang mengakui kesalahan dan memperbaikinya dengan sungguh-sungguh.

Dan Ayana? Ia akan tumbuh dalam rumah yang pernah hancur, tapi dipenuhi cinta yang terus diperbaiki—setiap hari.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Madu untuk istriku   Bab 10

    Seiring waktu berjalan, Wawan dan Nayla mulai merajut kembali hubungan mereka yang sempat retak. Tapi meski sudah ada kejujuran, jejak-jejak masa lalu sulit untuk dihapus begitu saja. Setiap kali Wawan menerima telepon atau pesan, Nayla selalu merasa ada yang disembunyikan. Hatinya bergolak, mencoba mengusir bayang-bayang yang masih membayangi.Suatu pagi, saat Nayla mengantar Ayana ke tempat penitipan, teleponnya bergetar. Sebuah pesan masuk dari nomor yang tak dikenal:“Kamu nggak akan pernah tahu apa yang sebenarnya terjadi antara Wawan dan Nadia.”Nayla menatap pesan itu dengan perasaan campur aduk. Apakah ini cuma gosip atau ada sesuatu yang benar-benar disembunyikan?Ia memutuskan untuk tidak langsung percaya, tapi perasaan tidak tenang mulai menguasai pikirannya.**Di sisi lain, Wawan sedang menghadiri pertemuan bisnis dengan klien baru. Ia berusaha keras fokus pada pekerjaan agar bisa memberi kehidupan yang lebih baik untuk keluarganya. Namun, pikirannya sering melayang ke r

  • Madu untuk istriku   Bab 9

    Beberapa minggu berlalu sejak malam itu. Suasana rumah mulai terasa hangat kembali. Wawan dan Nayla belajar menata kembali hubungan mereka, menyulam benang-benang kepercayaan yang sempat putus. Ayana tumbuh sehat dan ceria, menjadi sumber kebahagiaan di tengah segala perjuangan.Namun, ujian baru muncul dari arah yang tak terduga.Suatu pagi, saat Wawan sedang mempersiapkan berkas untuk proyek rumah kontainer yang tengah dikerjakannya, sebuah pesan masuk dari nomor tak dikenal. Kali ini pesan itu berbeda, bukan dari Nadia.“Halo, Pak Wawan. Saya adalah klien baru yang ingin bekerjasama dengan proyek Anda. Bisakah kita bertemu minggu ini?”Wawan sedikit lega. Ia membalas dengan antusias. Kesempatan ini bisa menjadi jalan keluar dari tekanan ekonomi yang selama ini menghimpit keluarga kecilnya.Namun, beberapa hari kemudian, saat Wawan bertemu dengan klien tersebut di sebuah kafe, ia terkejut. Wanita yang duduk di depannya bukan hanya cantik, tapi juga mengenakkan—dan bukan orang asing

  • Madu untuk istriku   Bab 8

    Minggu-minggu berlalu sejak Wawan memutuskan untuk memutuskan komunikasi dengan Nadia. Namun, bukan berarti hatinya menjadi ringan. Keraguan terus membayangi setiap langkahnya, seperti gelombang besar yang terus datang dan pergi tanpa bisa ia kendalikan.Pagi itu, Wawan terbangun dengan perasaan campur aduk. Ia memandang Nayla yang sedang sibuk menyiapkan sarapan untuk Ayana. Senyum istri yang dulu pernah ia abaikan kini menjadi alasan kuat untuk bertahan.Namun, suara telepon yang tiba-tiba berbunyi memecah keheningan pagi. Wawan menghela napas panjang sebelum mengangkat. “Halo?”Suara Nadia terdengar lembut di ujung sana, “Wan, aku tahu kamu berusaha. Tapi aku rindu. Bisa kita bicara?”Wawan menahan diri, “Ni, aku sudah bilang aku harus fokus pada keluarga. Tolong hargai itu.”Nadia terdiam sejenak, lalu berkata dengan suara penuh kepedihan, “Aku cuma ingin kamu tahu, aku masih di sini kalau kamu butuh.”Setelah menutup telepon, Wawan duduk termenung. Keraguan mulai merayap masuk,

  • Madu untuk istriku   Bab 7

    Setelah beberapa bulan bekerja keras di kota yang jauh dari rumah, Wawan kembali dengan wajah yang berbeda—lebih matang, namun tetap membawa beban berat yang tak terlihat.Rumah yang dulu terasa dingin kini hangat kembali menyambutnya. Nayla dan Ayana menunggu dengan senyum lelah namun penuh harapan. Meski waktu berjauhan menyisakan luka, mereka tahu ini saatnya menata hidup yang baru.Namun, perjalanan pulih tidak semudah membalikkan telapak tangan.**Malam itu, saat mereka duduk bersama di ruang tamu, Wawan membuka pembicaraan yang sudah lama ia pendam.“Nay, aku tahu aku banyak salah. Aku pernah buat kamu terluka, dan aku nggak bisa minta maaf cukup banyak,” ucapnya lirih.Nayla menatap mata Wawan, berusaha menyembunyikan rasa sakit yang masih tersisa.“Tapi aku benar-benar ingin kita mulai lagi. Bukan hanya untuk Ayana, tapi untuk kita juga.”Nayla menghela napas panjang, lalu berkata, “Aku juga ingin, Wan. Tapi aku takut. Aku takut kalau kita salah langkah lagi.”Wawan menggeng

  • Madu untuk istriku   Bab 6

    Pagi itu, hujan turun dengan deras. Suara rintik-rintik air di atap rumah seolah ikut menggambarkan suasana hati Wawan yang sedang gelisah. Hujan mengurungnya dalam ruang kecil pikiran yang penuh pergolakan.Sudah hampir dua minggu sejak Nadia mulai intens mengirim pesan dan mencoba menghubunginya. Wawan berusaha mengabaikan, tapi ada kalanya rasa rindu dan penyesalan menyelinap di sela-sela kesibukan.Ia tahu, jalan yang ia pilih sekarang penuh risiko. Ia bisa kehilangan segalanya—istri, anak, dan rasa hormat diri.Di sisi lain, Nayla juga tak lepas dari pergulatan batin. Ia mulai merasa ada yang berubah dalam diri suaminya. Waktu yang dulunya penuh perhatian kini mulai berkurang. Suara telepon yang tiba-tiba berbunyi di tengah malam membuatnya tidak nyaman.Pagi itu, Nayla duduk di depan meja makan dengan wajah serius. Wawan datang membawa segelas kopi, mencoba tersenyum, tapi mata mereka saling bertemu tanpa kata.“Nay…” Wawan memulai, suaranya berat.“Wan, kita harus bicara,” Nayl

  • Madu untuk istriku   Bab 5

    Beberapa bulan setelah upaya perbaikan rumah tangga itu, Wawan mulai merasa beban hidupnya semakin berat. Tekanan ekonomi yang tak kunjung reda, tanggung jawab sebagai suami dan ayah, serta rasa bersalah yang masih menjerat hatinya.Suatu sore, Wawan menerima telepon dari nomor yang tak dikenalnya. Saat mengangkat, suara Nadia terdengar jelas di ujung telepon.“Wan, lama nggak dengar kabar. Aku cuma mau tahu kamu baik-baik saja.”Jantung Wawan berdegup kencang. Rasa takut sekaligus penasaran berkecamuk di hatinya. Ia berusaha menenangkan diri.“Aku baik, Ni. Terima kasih sudah tanya.”Nadia tertawa kecil. “Kamu tahu, aku selalu percaya kamu bisa bangkit. Tapi aku juga nggak mau kamu terlalu keras pada dirimu sendiri.”Wawan terdiam. Kata-kata Nadia seperti racun manis yang kembali menusuk.“Aku harus bilang, aku sedang berjuang keras demi Nayla dan Ayana,” jawab Wawan pelan.Nadia bergumam, “Kalau begitu, aku nggak mau ganggu. Tapi kalau kamu butuh teman bicara, aku selalu ada.”Telep

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status