Share

Bab 6

last update Last Updated: 2025-06-28 13:15:51

Pagi itu, hujan turun dengan deras. Suara rintik-rintik air di atap rumah seolah ikut menggambarkan suasana hati Wawan yang sedang gelisah. Hujan mengurungnya dalam ruang kecil pikiran yang penuh pergolakan.

Sudah hampir dua minggu sejak Nadia mulai intens mengirim pesan dan mencoba menghubunginya. Wawan berusaha mengabaikan, tapi ada kalanya rasa rindu dan penyesalan menyelinap di sela-sela kesibukan.

Ia tahu, jalan yang ia pilih sekarang penuh risiko. Ia bisa kehilangan segalanya—istri, anak, dan rasa hormat diri.

Di sisi lain, Nayla juga tak lepas dari pergulatan batin. Ia mulai merasa ada yang berubah dalam diri suaminya. Waktu yang dulunya penuh perhatian kini mulai berkurang. Suara telepon yang tiba-tiba berbunyi di tengah malam membuatnya tidak nyaman.

Pagi itu, Nayla duduk di depan meja makan dengan wajah serius. Wawan datang membawa segelas kopi, mencoba tersenyum, tapi mata mereka saling bertemu tanpa kata.

“Nay…” Wawan memulai, suaranya berat.

“Wan, kita harus bicara,” Nayla menyela dengan nada tegas namun lembut.

Wawan mengangguk. Ia tahu pembicaraan ini pasti berat.

“Sejujurnya, aku tahu ada sesuatu yang kamu sembunyikan. Aku lihat dari tatapanmu, dari cara kamu menutup ponsel saat aku masuk,” Nayla berkata, matanya menatap tajam tapi penuh harap.

Wawan menarik napas dalam. “Aku nggak mau bohong lagi, Nay.”

Ia meletakkan ponsel di atas meja.

“Ini dari Nadia,” katanya, sambil menyerahkan ponsel itu.

Nayla membuka layar dan membaca beberapa pesan yang tak terbalas. Ada ajakan bertemu, kata-kata rindu yang tak pernah sepantasnya datang setelah mereka memutuskan berpisah.

Nayla menunduk, air mata menetes perlahan. “Kenapa kamu nggak bilang dari awal?”

Wawan menyesal. “Aku takut kehilangan kamu kalau aku jujur. Tapi aku tahu aku salah. Aku nggak mau kehilangan keluarga kita.”

Nayla menghela napas. “Ini bukan hanya soal kamu dan Nadia. Ini soal kepercayaan. Aku ingin kita punya kejujuran tanpa harus takut.”

Wawan mengangguk, mencoba menahan tangis. “Aku berjanji akan lebih terbuka. Aku ingin kita bangun rumah ini lagi. Bukan hanya untuk Ayana, tapi untuk kita.”

**

Hari-hari berikutnya, Wawan berusaha keras menepati janji. Ia membatasi komunikasi dengan Nadia, dan lebih banyak menghabiskan waktu di rumah. Nayla pun perlahan membuka hatinya kembali, meski rasa sakit sesekali muncul.

Namun, masalah lain muncul.

Bisnis kecil-kecilan yang mereka jalankan mulai menunjukkan tanda-tanda kesulitan. Permintaan menurun, dan modal menipis. Mereka harus mencari cara baru untuk bertahan.

Suatu malam, Wawan mendapat tawaran kerja dari seorang kenalan lama. Tawaran itu cukup menggiurkan, tapi mengharuskannya untuk pindah kerja ke kota lain selama enam bulan.

Wawan bingung. Ia tahu ini kesempatan untuk memperbaiki ekonomi keluarga, tapi ia juga takut meninggalkan Nayla dan Ayana di tengah masa sulit.

Ia memutuskan untuk berdiskusi dengan Nayla.

“Nay, aku dapat tawaran kerja di Jakarta. Enam bulan,” kata Wawan.

Nayla terkejut. “Enam bulan? Bagaimana dengan Ayana? Bagaimana dengan kita?”

Wawan menjelaskan bahwa ini mungkin jalan terbaik untuk sementara, agar mereka bisa memperbaiki ekonomi dan memberi masa depan lebih baik.

Nayla diam. Ia tahu ini ujian lagi bagi mereka.

“Aku percaya sama kamu, Wan. Tapi aku takut kita akan semakin jauh,” Nayla berkata lirih.

Wawan menggenggam tangan Nayla. “Aku janji, aku akan selalu hubungi kamu setiap hari. Kita jalani ini bersama-sama, walau berjauhan.”

**

Malam sebelum keberangkatan, mereka duduk berdua di kamar, memeluk Ayana yang tidur pulas.

“Aku takut, Wan,” Nayla mengaku lirih.

“Aku juga, Nay. Tapi kita harus percaya, Tuhan selalu punya rencana yang indah,” jawab Wawan.

Mereka berpelukan erat, mencoba menguatkan satu sama lain. Keesokan harinya, Wawan pergi dengan hati yang berat.

**

Di kota baru, Wawan mulai bekerja dengan giat. Namun, rasa rindu dan kesepian terus menggerogoti. Ia berusaha fokus, tapi godaan dari masa lalu—khususnya Nadia—kadang datang kembali lewat pesan singkat yang sulit diabaikan.

Di sisi lain, Nayla di rumah menghadapi tantangan baru: mengurus Ayana sendirian, mengelola bisnis yang mulai menipis, serta menghadapi tatapan dan gosip tetangga yang makin tak ramah.

Namun, setiap malam, mereka tetap saling menghubungi. Suara mereka di telepon menjadi penguat dalam menghadapi kesendirian dan kekhawatiran.

**

Suatu malam, Wawan menerima telepon dari Nadia. Kali ini, suaranya lebih mendesak.

“Wan, aku tahu kamu jauh, tapi aku nggak bisa berhenti mikirin kamu. Aku butuh kamu.”

Wawan menahan napas. Ia merasakan godaan yang amat kuat.

“Tapi aku sudah berjanji pada Nayla,” jawab Wawan dengan tegas.

Nadia terdiam. “Kalau kamu benar-benar ingin aku pergi, aku akan pergi. Tapi aku berharap kamu tahu, aku selalu ada kalau kamu butuh.”

Wawan mematikan telepon dengan berat hati. Ia sadar bahwa jalan yang ia pilih memang penuh rintangan. Tapi ia tak mau lagi mengulangi kesalahan lama.

**

Di penghujung bulan, Wawan pulang ke rumah.

Ayana langsung berlari kecil ke pelukannya. Nayla menyambut dengan senyum yang sedikit letih tapi penuh cinta.

Wawan tahu, perjalanan mereka masih panjang. Luka lama masih menganga, tapi mereka belajar untuk berjalan bersama, saling menguatkan.

Dan di dalam hati, Wawan yakin satu hal: madu untuk istriku bukan sekadar kata, tapi janji yang harus dijaga seumur hidup.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Madu untuk istriku   Bab 10

    Seiring waktu berjalan, Wawan dan Nayla mulai merajut kembali hubungan mereka yang sempat retak. Tapi meski sudah ada kejujuran, jejak-jejak masa lalu sulit untuk dihapus begitu saja. Setiap kali Wawan menerima telepon atau pesan, Nayla selalu merasa ada yang disembunyikan. Hatinya bergolak, mencoba mengusir bayang-bayang yang masih membayangi.Suatu pagi, saat Nayla mengantar Ayana ke tempat penitipan, teleponnya bergetar. Sebuah pesan masuk dari nomor yang tak dikenal:“Kamu nggak akan pernah tahu apa yang sebenarnya terjadi antara Wawan dan Nadia.”Nayla menatap pesan itu dengan perasaan campur aduk. Apakah ini cuma gosip atau ada sesuatu yang benar-benar disembunyikan?Ia memutuskan untuk tidak langsung percaya, tapi perasaan tidak tenang mulai menguasai pikirannya.**Di sisi lain, Wawan sedang menghadiri pertemuan bisnis dengan klien baru. Ia berusaha keras fokus pada pekerjaan agar bisa memberi kehidupan yang lebih baik untuk keluarganya. Namun, pikirannya sering melayang ke r

  • Madu untuk istriku   Bab 9

    Beberapa minggu berlalu sejak malam itu. Suasana rumah mulai terasa hangat kembali. Wawan dan Nayla belajar menata kembali hubungan mereka, menyulam benang-benang kepercayaan yang sempat putus. Ayana tumbuh sehat dan ceria, menjadi sumber kebahagiaan di tengah segala perjuangan.Namun, ujian baru muncul dari arah yang tak terduga.Suatu pagi, saat Wawan sedang mempersiapkan berkas untuk proyek rumah kontainer yang tengah dikerjakannya, sebuah pesan masuk dari nomor tak dikenal. Kali ini pesan itu berbeda, bukan dari Nadia.“Halo, Pak Wawan. Saya adalah klien baru yang ingin bekerjasama dengan proyek Anda. Bisakah kita bertemu minggu ini?”Wawan sedikit lega. Ia membalas dengan antusias. Kesempatan ini bisa menjadi jalan keluar dari tekanan ekonomi yang selama ini menghimpit keluarga kecilnya.Namun, beberapa hari kemudian, saat Wawan bertemu dengan klien tersebut di sebuah kafe, ia terkejut. Wanita yang duduk di depannya bukan hanya cantik, tapi juga mengenakkan—dan bukan orang asing

  • Madu untuk istriku   Bab 8

    Minggu-minggu berlalu sejak Wawan memutuskan untuk memutuskan komunikasi dengan Nadia. Namun, bukan berarti hatinya menjadi ringan. Keraguan terus membayangi setiap langkahnya, seperti gelombang besar yang terus datang dan pergi tanpa bisa ia kendalikan.Pagi itu, Wawan terbangun dengan perasaan campur aduk. Ia memandang Nayla yang sedang sibuk menyiapkan sarapan untuk Ayana. Senyum istri yang dulu pernah ia abaikan kini menjadi alasan kuat untuk bertahan.Namun, suara telepon yang tiba-tiba berbunyi memecah keheningan pagi. Wawan menghela napas panjang sebelum mengangkat. “Halo?”Suara Nadia terdengar lembut di ujung sana, “Wan, aku tahu kamu berusaha. Tapi aku rindu. Bisa kita bicara?”Wawan menahan diri, “Ni, aku sudah bilang aku harus fokus pada keluarga. Tolong hargai itu.”Nadia terdiam sejenak, lalu berkata dengan suara penuh kepedihan, “Aku cuma ingin kamu tahu, aku masih di sini kalau kamu butuh.”Setelah menutup telepon, Wawan duduk termenung. Keraguan mulai merayap masuk,

  • Madu untuk istriku   Bab 7

    Setelah beberapa bulan bekerja keras di kota yang jauh dari rumah, Wawan kembali dengan wajah yang berbeda—lebih matang, namun tetap membawa beban berat yang tak terlihat.Rumah yang dulu terasa dingin kini hangat kembali menyambutnya. Nayla dan Ayana menunggu dengan senyum lelah namun penuh harapan. Meski waktu berjauhan menyisakan luka, mereka tahu ini saatnya menata hidup yang baru.Namun, perjalanan pulih tidak semudah membalikkan telapak tangan.**Malam itu, saat mereka duduk bersama di ruang tamu, Wawan membuka pembicaraan yang sudah lama ia pendam.“Nay, aku tahu aku banyak salah. Aku pernah buat kamu terluka, dan aku nggak bisa minta maaf cukup banyak,” ucapnya lirih.Nayla menatap mata Wawan, berusaha menyembunyikan rasa sakit yang masih tersisa.“Tapi aku benar-benar ingin kita mulai lagi. Bukan hanya untuk Ayana, tapi untuk kita juga.”Nayla menghela napas panjang, lalu berkata, “Aku juga ingin, Wan. Tapi aku takut. Aku takut kalau kita salah langkah lagi.”Wawan menggeng

  • Madu untuk istriku   Bab 6

    Pagi itu, hujan turun dengan deras. Suara rintik-rintik air di atap rumah seolah ikut menggambarkan suasana hati Wawan yang sedang gelisah. Hujan mengurungnya dalam ruang kecil pikiran yang penuh pergolakan.Sudah hampir dua minggu sejak Nadia mulai intens mengirim pesan dan mencoba menghubunginya. Wawan berusaha mengabaikan, tapi ada kalanya rasa rindu dan penyesalan menyelinap di sela-sela kesibukan.Ia tahu, jalan yang ia pilih sekarang penuh risiko. Ia bisa kehilangan segalanya—istri, anak, dan rasa hormat diri.Di sisi lain, Nayla juga tak lepas dari pergulatan batin. Ia mulai merasa ada yang berubah dalam diri suaminya. Waktu yang dulunya penuh perhatian kini mulai berkurang. Suara telepon yang tiba-tiba berbunyi di tengah malam membuatnya tidak nyaman.Pagi itu, Nayla duduk di depan meja makan dengan wajah serius. Wawan datang membawa segelas kopi, mencoba tersenyum, tapi mata mereka saling bertemu tanpa kata.“Nay…” Wawan memulai, suaranya berat.“Wan, kita harus bicara,” Nayl

  • Madu untuk istriku   Bab 5

    Beberapa bulan setelah upaya perbaikan rumah tangga itu, Wawan mulai merasa beban hidupnya semakin berat. Tekanan ekonomi yang tak kunjung reda, tanggung jawab sebagai suami dan ayah, serta rasa bersalah yang masih menjerat hatinya.Suatu sore, Wawan menerima telepon dari nomor yang tak dikenalnya. Saat mengangkat, suara Nadia terdengar jelas di ujung telepon.“Wan, lama nggak dengar kabar. Aku cuma mau tahu kamu baik-baik saja.”Jantung Wawan berdegup kencang. Rasa takut sekaligus penasaran berkecamuk di hatinya. Ia berusaha menenangkan diri.“Aku baik, Ni. Terima kasih sudah tanya.”Nadia tertawa kecil. “Kamu tahu, aku selalu percaya kamu bisa bangkit. Tapi aku juga nggak mau kamu terlalu keras pada dirimu sendiri.”Wawan terdiam. Kata-kata Nadia seperti racun manis yang kembali menusuk.“Aku harus bilang, aku sedang berjuang keras demi Nayla dan Ayana,” jawab Wawan pelan.Nadia bergumam, “Kalau begitu, aku nggak mau ganggu. Tapi kalau kamu butuh teman bicara, aku selalu ada.”Telep

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status