MasukSetelah beberapa bulan bekerja keras di kota yang jauh dari rumah, Wawan kembali dengan wajah yang berbeda—lebih matang, namun tetap membawa beban berat yang tak terlihat.
Rumah yang dulu terasa dingin kini hangat kembali menyambutnya. Nayla dan Ayana menunggu dengan senyum lelah namun penuh harapan. Meski waktu berjauhan menyisakan luka, mereka tahu ini saatnya menata hidup yang baru.
Namun, perjalanan pulih tidak semudah membalikkan telapak tangan.
**
Malam itu, saat mereka duduk bersama di ruang tamu, Wawan membuka pembicaraan yang sudah lama ia pendam.
“Nay, aku tahu aku banyak salah. Aku pernah buat kamu terluka, dan aku nggak bisa minta maaf cukup banyak,” ucapnya lirih.
Nayla menatap mata Wawan, berusaha menyembunyikan rasa sakit yang masih tersisa.
“Tapi aku benar-benar ingin kita mulai lagi. Bukan hanya untuk Ayana, tapi untuk kita juga.”
Nayla menghela napas panjang, lalu berkata, “Aku juga ingin, Wan. Tapi aku takut. Aku takut kalau kita salah langkah lagi.”
Wawan menggenggam tangan istrinya. “Aku nggak akan biarkan itu terjadi. Aku mau kita cari jalan bersama.”
**
Hari-hari berikutnya mereka habiskan dengan membangun kembali kepercayaan. Mereka mengikuti konseling pernikahan, berbicara terbuka tentang perasaan, ketakutan, dan harapan masing-masing.
Di tengah perjalanan itu, Wawan mendapatkan kesempatan baru: proyek pembangunan rumah kontainer yang bisa memberikan penghasilan stabil. Ia bertekad untuk menerima tawaran itu, dengan harapan dapat memberikan kehidupan lebih baik bagi keluarga kecilnya.
Namun, proyek itu juga menuntut kerja keras dan pengorbanan waktu. Wawan harus sering lembur, bahkan terkadang harus pergi jauh selama beberapa hari.
Nayla, meski sedih, tetap mendukung suaminya. Ia juga memperluas bisnis camilannya, mencoba berdikari agar bisa meringankan beban rumah tangga.
**
Suatu malam, saat Wawan sedang lembur di kantor proyek, Nayla menerima telepon dari ibu mertua. Suara ibu mertua terdengar khawatir.
“Nay, kamu dan Wawan harus jaga hati kalian. Jangan biarkan orang ketiga masuk lagi. Aku dengar kabar dari tetangga…”
Nayla menutup telepon dengan tangan gemetar. Ia tahu gossip dan bisikan itu seperti badai kecil yang bisa menghancurkan kedamaian mereka.
Namun, ia memilih untuk tetap tegar. “Kami sudah berusaha, Bu. Semoga semua ini jadi pelajaran dan kekuatan untuk kami.”
**
Wawan pulang dengan wajah lelah. Ia disambut oleh Nayla dan Ayana yang ceria. Senyum kecil dari Ayana menjadi obat bagi lelahnya.
Namun, ketika malam semakin larut, Wawan duduk sendiri di ruang tamu, menatap foto lama pernikahan mereka. Ia teringat betapa besar perjuangan yang harus ia lalui.
Seketika, ponselnya berbunyi. Sebuah pesan masuk dari nomor tak dikenal.
“Halo, Wawan. Aku tahu kamu masih ada di hati.”
Pesan itu datang dari Nadia.
Wawan membalas dengan satu kata saja: “Tidak.”
**
Hari-hari berikutnya Wawan dan Nayla makin menguatkan hubungan mereka. Masing-masing belajar memaafkan dan menerima. Madu untuk istriku bukan lagi sekadar kata, tapi sebuah komitmen yang diwujudkan dalam tindakan sehari-hari.
Pada akhirnya, mereka tahu bahwa rumah tangga yang utuh adalah rumah yang dibangun bukan tanpa retak, tapi rumah yang terus diperbaiki, bahkan saat badai datang menghantam.
**
Hujan turun lagi sore itu, membasahi jalanan kota kecil yang tenang. Wawan duduk di balik jendela ruang tamu, menatap derasnya hujan yang seperti membawa segala kepenatan dan rasa bersalahnya larut bersama air. Ia menyesal tak pernah benar-benar menuntaskan masa lalunya dengan Nadia, yang kini menjadi bayang-bayang yang terus mengintai hidupnya.
Nayla masuk membawa secangkir teh hangat. Ia duduk di samping Wawan, mencoba menyentuh hatinya yang mulai rapuh. “Wan, aku tahu kamu sedang bertarung dengan dirimu sendiri. Aku di sini, kita jalani ini bersama.”
Wawan mengangguk pelan, tapi bayang-bayang Nadia tetap menghantuinya. Ia takut suatu saat luka lama itu kembali terbuka, dan merusak apa yang sudah ia bangun kembali dengan Nayla.
Malam itu, teleponnya bergetar. Sebuah pesan masuk lagi dari nomor tak dikenal.
“Hari ini aku melewati jalan tempat kita dulu sering bertemu. Aku ingin bertemu, Wawan.”
Wawan membeku. Ia tahu, godaan itu belum benar-benar pergi.
Namun, kali ini ia memilih untuk menghapus pesan itu dan menonaktifkan notifikasi, sebagai bentuk perjuangan untuk masa depan yang lebih baik.
Nayla yang melihat semuanya hanya bisa tersenyum pelan. Ia tahu perjuangan Wawan bukan hanya melawan dunia luar, tapi juga bayang-bayang masa lalunya sendiri.
---
Setelah badai gosip dan kontroversi reda, datang tawaran yang tak pernah mereka duga: sebuah rumah produksi ternama ingin mengangkat kisah mereka ke layar lebar. Film yang akan menampilkan perjalanan penuh luka, pengkhianatan, dan akhirnya pengampunan serta harapan.Wawan menerima telepon itu saat tengah sibuk di kantor kecilnya. Suara sang produser, penuh antusiasme, mengalir melalui speaker.“Kami ingin membawa cerita Anda ke publik yang lebih luas. Ini bukan sekadar film, tapi sebuah pesan yang harus disebarkan.”Di sisi lain, Nayla menatap pesan tersebut dengan campur aduk. Ada kegembiraan, tapi juga kegelisahan yang sulit ia jelaskan.**Malamnya, mereka duduk berdua di ruang tamu. Ayana sudah tertidur pulas di kamar. Lampu temaram menciptakan suasana hening.“Aku senang cerita kita bisa menginspirasi banyak orang,” kata Wawan.Nayla mengangguk pelan. “Tapi… aku takut, Wan. Kalau kisah kita jadi tontonan, apakah orang akan benar-benar mengerti maknanya? Atau cuma jadi bahan sensa
Buku Bernapas Setelah Luka resmi diluncurkan di sebuah acara sederhana namun penuh haru di Jakarta Selatan. Penerbit Lentera mengemasnya dengan elegan—dekorasi putih bersih, lampu temaram, dan latar belakang panggung bergambar siluet seorang wanita menggandeng anak kecil di tengah kabut.Wawan dan Nayla duduk berdampingan di atas panggung, sesekali tersenyum, sesekali menunduk ketika pembawa acara membacakan kutipan-kutipan paling menyayat hati dari buku mereka.Tamu yang hadir bukan hanya teman dan keluarga, tapi juga influencer pernikahan, aktivis perempuan, dan beberapa media nasional. Di antara kerumunan, tampak kamera-kamera media merekam setiap detik momen peluncuran buku itu.“Buku ini bukan tentang menggurui,” kata Nayla dalam sesi tanya jawab. “Tapi tentang proses. Kami tidak menyebut diri sebagai pasangan ideal. Tapi kami mencoba jujur, sejujur-jujurnya.”Salah satu jurnalis perempuan muda mengangkat tangan. Namanya Ayla, dari salah satu portal berita online. Dengan wajah ne
Musim hujan datang lagi. Jalanan di depan rumah Nayla dan Wawan basah, daun-daun jatuh terbawa angin, dan langit mendung seperti enggan memberi cahaya. Pagi itu, mereka duduk bersama Ayana di meja makan, menikmati sarapan sederhana: roti panggang dan telur dadar.Ayana sedang menceritakan tentang teman barunya di PAUD, ketika suara ketukan pintu menggema di ruang tamu. Tak terlalu keras, tapi cukup untuk membuat suasana mendadak berubah tegang.Wawan bangkit lebih dulu. Saat membuka pintu, ia sejenak terdiam, tubuhnya kaku seperti tertahan waktu.Nayla yang menyusul ke depan langsung ikut terpaku.Di depan pintu berdiri seseorang yang mereka pikir sudah sepenuhnya menjadi masa lalu.Nadia.Perempuan itu tampak sangat berbeda dari terakhir kali Nayla melihatnya. Rambut panjangnya kini tergerai tak terurus. Wajahnya pucat, matanya sembab, dan tubuhnya tampak lebih kurus dari sebelumnya.“Wawan…” ucap Nadia pelan. “Aku… aku cuma mau bicara sebentar. Tolong.”Wawan menoleh ke Nayla. Ada k
Ayana kini berusia hampir tiga tahun. Tumbuh lincah, cerewet, dan makin pintar berkata-kata. Di usia itu, anak-anak biasanya belum paham apa itu luka hati atau konflik orang dewasa. Tapi Ayana punya kepekaan yang mengejutkan.Suatu malam, ketika Wawan membacakan buku dongeng sebelum tidur, Ayana menatap wajah ayahnya dan bertanya polos, “Papa, dulu papa pernah bikin mama sedih ya?”Wawan tertegun. Buku dongeng di tangannya seakan beku. Ia melirik Nayla yang berdiri di ambang pintu kamar, wajahnya tenang, tapi matanya menanti.“Kenapa Ayana tanya gitu?” Wawan balik bertanya sambil tersenyum.“Soalnya... waktu aku kecil banget, mama suka nangis. Aku nggak ingat, tapi kayak pernah denger suara mama di kamar. Pelan… kayak orang sedih.”Wawan menarik napas, memeluk tubuh mungil putrinya.“Iya, Ayana. Dulu papa pernah bikin mama sedih. Tapi papa juga belajar untuk nggak ngulangin itu lagi.”Ayana mengangguk pelan. “Sekarang Ayana sayang mama, sayang papa. Tapi Ayana juga nggak suka kalau ma
Hujan reda menjelang pagi. Udara lembap masih menggantung, aroma tanah basah menyatu dengan wangi teh manis yang baru diseduh. Di ruang tengah rumah sederhana itu, Nayla duduk di depan laptopnya, membuka dasbor blognya yang kini bernama "Ibu Bernapas."Apa yang dulu hanya pelampiasan emosi dan keresahan seorang istri yang terluka, kini berubah menjadi gerakan kecil yang tumbuh cepat. Komunitas digital itu telah menjangkau ribuan perempuan—istri-istri yang merasa lelah, marah, kecewa, namun tak punya ruang untuk bersuara.Postingan Nayla yang terakhir tentang “kemenangan kecil suaminya atas godaan” dibaca lebih dari 200.000 kali. Komentar datang dari berbagai penjuru Indonesia. Ada yang mengagumi keteguhan hatinya, ada yang memuji kesabaran Wawan, dan—tak sedikit pula—yang mencibir, menyebutnya sebagai “istri bodoh yang terlalu memaafkan suami selingkuh.”Di antara komentar itu, satu DM masuk dari akun anonim bernama @realistrimandiri.> “Apa kamu pikir semua perempuan seberuntung kamu
Langit mendung menutupi langit Sumatera sore itu. Wawan duduk di ruang kerjanya yang sederhana. Di hadapannya, layar laptop menampilkan blueprint resort dengan skema rumit, menguras konsentrasi. Tapi pikirannya tak bisa fokus.Sejak pertemuan pertama itu, Tiara makin sering menghubungi Wawan. Awalnya profesional, sebatas diskusi soal rancangan dan revisi. Tapi belakangan, mulai muncul kalimat-kalimat personal dalam percakapan mereka."Kamu dulu lebih kurus, ya. Sekarang kelihatan makin matang.""Kalau istrimu sibuk, boleh dong aku temani kamu survei lokasi.""Jangan terlalu keras sama diri sendiri, Wan. Kadang, kamu butuh teman buat sekadar melupakan beban."Wawan membacanya dengan napas berat. Ia tak pernah membalas godaan itu. Tapi ia juga belum memblokir atau menyetop. Diam-diam, ia merasa diuji. Bukan karena ia masih menyimpan rasa, tapi karena ia tahu… inilah titik paling lemah dari seorang lelaki: pujian dari perempuan yang tahu bagaimana menggoda tanpa terlihat jahat.Sementara







