Share

Bab 7

Penulis: Hikma Abdillah
last update Terakhir Diperbarui: 2025-08-22 22:50:52

 Setelah beberapa bulan bekerja keras di kota yang jauh dari rumah, Wawan kembali dengan wajah yang berbeda—lebih matang, namun tetap membawa beban berat yang tak terlihat.

Rumah yang dulu terasa dingin kini hangat kembali menyambutnya. Nayla dan Ayana menunggu dengan senyum lelah namun penuh harapan. Meski waktu berjauhan menyisakan luka, mereka tahu ini saatnya menata hidup yang baru.

Namun, perjalanan pulih tidak semudah membalikkan telapak tangan.

**

Malam itu, saat mereka duduk bersama di ruang tamu, Wawan membuka pembicaraan yang sudah lama ia pendam.

“Nay, aku tahu aku banyak salah. Aku pernah buat kamu terluka, dan aku nggak bisa minta maaf cukup banyak,” ucapnya lirih.

Nayla menatap mata Wawan, berusaha menyembunyikan rasa sakit yang masih tersisa.

“Tapi aku benar-benar ingin kita mulai lagi. Bukan hanya untuk Ayana, tapi untuk kita juga.”

Nayla menghela napas panjang, lalu berkata, “Aku juga ingin, Wan. Tapi aku takut. Aku takut kalau kita salah langkah lagi.”

Wawan menggenggam tangan istrinya. “Aku nggak akan biarkan itu terjadi. Aku mau kita cari jalan bersama.”

**

Hari-hari berikutnya mereka habiskan dengan membangun kembali kepercayaan. Mereka mengikuti konseling pernikahan, berbicara terbuka tentang perasaan, ketakutan, dan harapan masing-masing.

Di tengah perjalanan itu, Wawan mendapatkan kesempatan baru: proyek pembangunan rumah kontainer yang bisa memberikan penghasilan stabil. Ia bertekad untuk menerima tawaran itu, dengan harapan dapat memberikan kehidupan lebih baik bagi keluarga kecilnya.

Namun, proyek itu juga menuntut kerja keras dan pengorbanan waktu. Wawan harus sering lembur, bahkan terkadang harus pergi jauh selama beberapa hari.

Nayla, meski sedih, tetap mendukung suaminya. Ia juga memperluas bisnis camilannya, mencoba berdikari agar bisa meringankan beban rumah tangga.

**

Suatu malam, saat Wawan sedang lembur di kantor proyek, Nayla menerima telepon dari ibu mertua. Suara ibu mertua terdengar khawatir.

“Nay, kamu dan Wawan harus jaga hati kalian. Jangan biarkan orang ketiga masuk lagi. Aku dengar kabar dari tetangga…”

Nayla menutup telepon dengan tangan gemetar. Ia tahu gossip dan bisikan itu seperti badai kecil yang bisa menghancurkan kedamaian mereka.

Namun, ia memilih untuk tetap tegar. “Kami sudah berusaha, Bu. Semoga semua ini jadi pelajaran dan kekuatan untuk kami.”

**

Wawan pulang dengan wajah lelah. Ia disambut oleh Nayla dan Ayana yang ceria. Senyum kecil dari Ayana menjadi obat bagi lelahnya.

Namun, ketika malam semakin larut, Wawan duduk sendiri di ruang tamu, menatap foto lama pernikahan mereka. Ia teringat betapa besar perjuangan yang harus ia lalui.

Seketika, ponselnya berbunyi. Sebuah pesan masuk dari nomor tak dikenal.

“Halo, Wawan. Aku tahu kamu masih ada di hati.”

Pesan itu datang dari Nadia.

Wawan membalas dengan satu kata saja: “Tidak.”

**

Hari-hari berikutnya Wawan dan Nayla makin menguatkan hubungan mereka. Masing-masing belajar memaafkan dan menerima. Madu untuk istriku bukan lagi sekadar kata, tapi sebuah komitmen yang diwujudkan dalam tindakan sehari-hari.

Pada akhirnya, mereka tahu bahwa rumah tangga yang utuh adalah rumah yang dibangun bukan tanpa retak, tapi rumah yang terus diperbaiki, bahkan saat badai datang menghantam.

**

  Hujan turun lagi sore itu, membasahi jalanan kota kecil yang tenang. Wawan duduk di balik jendela ruang tamu, menatap derasnya hujan yang seperti membawa segala kepenatan dan rasa bersalahnya larut bersama air. Ia menyesal tak pernah benar-benar menuntaskan masa lalunya dengan Nadia, yang kini menjadi bayang-bayang yang terus mengintai hidupnya.

Nayla masuk membawa secangkir teh hangat. Ia duduk di samping Wawan, mencoba menyentuh hatinya yang mulai rapuh. “Wan, aku tahu kamu sedang bertarung dengan dirimu sendiri. Aku di sini, kita jalani ini bersama.”

Wawan mengangguk pelan, tapi bayang-bayang Nadia tetap menghantuinya. Ia takut suatu saat luka lama itu kembali terbuka, dan merusak apa yang sudah ia bangun kembali dengan Nayla.

Malam itu, teleponnya bergetar. Sebuah pesan masuk lagi dari nomor tak dikenal.

“Hari ini aku melewati jalan tempat kita dulu sering bertemu. Aku ingin bertemu, Wawan.”

Wawan membeku. Ia tahu, godaan itu belum benar-benar pergi.

Namun, kali ini ia memilih untuk menghapus pesan itu dan menonaktifkan notifikasi, sebagai bentuk perjuangan untuk masa depan yang lebih baik.

Nayla yang melihat semuanya hanya bisa tersenyum pelan. Ia tahu perjuangan Wawan bukan hanya melawan dunia luar, tapi juga bayang-bayang masa lalunya sendiri.

---

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Madu untuk istriku   Bab 10

    Seiring waktu berjalan, Wawan dan Nayla mulai merajut kembali hubungan mereka yang sempat retak. Tapi meski sudah ada kejujuran, jejak-jejak masa lalu sulit untuk dihapus begitu saja. Setiap kali Wawan menerima telepon atau pesan, Nayla selalu merasa ada yang disembunyikan. Hatinya bergolak, mencoba mengusir bayang-bayang yang masih membayangi.Suatu pagi, saat Nayla mengantar Ayana ke tempat penitipan, teleponnya bergetar. Sebuah pesan masuk dari nomor yang tak dikenal:“Kamu nggak akan pernah tahu apa yang sebenarnya terjadi antara Wawan dan Nadia.”Nayla menatap pesan itu dengan perasaan campur aduk. Apakah ini cuma gosip atau ada sesuatu yang benar-benar disembunyikan?Ia memutuskan untuk tidak langsung percaya, tapi perasaan tidak tenang mulai menguasai pikirannya.**Di sisi lain, Wawan sedang menghadiri pertemuan bisnis dengan klien baru. Ia berusaha keras fokus pada pekerjaan agar bisa memberi kehidupan yang lebih baik untuk keluarganya. Namun, pikirannya sering melayang ke r

  • Madu untuk istriku   Bab 9

    Beberapa minggu berlalu sejak malam itu. Suasana rumah mulai terasa hangat kembali. Wawan dan Nayla belajar menata kembali hubungan mereka, menyulam benang-benang kepercayaan yang sempat putus. Ayana tumbuh sehat dan ceria, menjadi sumber kebahagiaan di tengah segala perjuangan.Namun, ujian baru muncul dari arah yang tak terduga.Suatu pagi, saat Wawan sedang mempersiapkan berkas untuk proyek rumah kontainer yang tengah dikerjakannya, sebuah pesan masuk dari nomor tak dikenal. Kali ini pesan itu berbeda, bukan dari Nadia.“Halo, Pak Wawan. Saya adalah klien baru yang ingin bekerjasama dengan proyek Anda. Bisakah kita bertemu minggu ini?”Wawan sedikit lega. Ia membalas dengan antusias. Kesempatan ini bisa menjadi jalan keluar dari tekanan ekonomi yang selama ini menghimpit keluarga kecilnya.Namun, beberapa hari kemudian, saat Wawan bertemu dengan klien tersebut di sebuah kafe, ia terkejut. Wanita yang duduk di depannya bukan hanya cantik, tapi juga mengenakkan—dan bukan orang asing

  • Madu untuk istriku   Bab 8

    Minggu-minggu berlalu sejak Wawan memutuskan untuk memutuskan komunikasi dengan Nadia. Namun, bukan berarti hatinya menjadi ringan. Keraguan terus membayangi setiap langkahnya, seperti gelombang besar yang terus datang dan pergi tanpa bisa ia kendalikan.Pagi itu, Wawan terbangun dengan perasaan campur aduk. Ia memandang Nayla yang sedang sibuk menyiapkan sarapan untuk Ayana. Senyum istri yang dulu pernah ia abaikan kini menjadi alasan kuat untuk bertahan.Namun, suara telepon yang tiba-tiba berbunyi memecah keheningan pagi. Wawan menghela napas panjang sebelum mengangkat. “Halo?”Suara Nadia terdengar lembut di ujung sana, “Wan, aku tahu kamu berusaha. Tapi aku rindu. Bisa kita bicara?”Wawan menahan diri, “Ni, aku sudah bilang aku harus fokus pada keluarga. Tolong hargai itu.”Nadia terdiam sejenak, lalu berkata dengan suara penuh kepedihan, “Aku cuma ingin kamu tahu, aku masih di sini kalau kamu butuh.”Setelah menutup telepon, Wawan duduk termenung. Keraguan mulai merayap masuk,

  • Madu untuk istriku   Bab 7

    Setelah beberapa bulan bekerja keras di kota yang jauh dari rumah, Wawan kembali dengan wajah yang berbeda—lebih matang, namun tetap membawa beban berat yang tak terlihat.Rumah yang dulu terasa dingin kini hangat kembali menyambutnya. Nayla dan Ayana menunggu dengan senyum lelah namun penuh harapan. Meski waktu berjauhan menyisakan luka, mereka tahu ini saatnya menata hidup yang baru.Namun, perjalanan pulih tidak semudah membalikkan telapak tangan.**Malam itu, saat mereka duduk bersama di ruang tamu, Wawan membuka pembicaraan yang sudah lama ia pendam.“Nay, aku tahu aku banyak salah. Aku pernah buat kamu terluka, dan aku nggak bisa minta maaf cukup banyak,” ucapnya lirih.Nayla menatap mata Wawan, berusaha menyembunyikan rasa sakit yang masih tersisa.“Tapi aku benar-benar ingin kita mulai lagi. Bukan hanya untuk Ayana, tapi untuk kita juga.”Nayla menghela napas panjang, lalu berkata, “Aku juga ingin, Wan. Tapi aku takut. Aku takut kalau kita salah langkah lagi.”Wawan menggeng

  • Madu untuk istriku   Bab 6

    Pagi itu, hujan turun dengan deras. Suara rintik-rintik air di atap rumah seolah ikut menggambarkan suasana hati Wawan yang sedang gelisah. Hujan mengurungnya dalam ruang kecil pikiran yang penuh pergolakan.Sudah hampir dua minggu sejak Nadia mulai intens mengirim pesan dan mencoba menghubunginya. Wawan berusaha mengabaikan, tapi ada kalanya rasa rindu dan penyesalan menyelinap di sela-sela kesibukan.Ia tahu, jalan yang ia pilih sekarang penuh risiko. Ia bisa kehilangan segalanya—istri, anak, dan rasa hormat diri.Di sisi lain, Nayla juga tak lepas dari pergulatan batin. Ia mulai merasa ada yang berubah dalam diri suaminya. Waktu yang dulunya penuh perhatian kini mulai berkurang. Suara telepon yang tiba-tiba berbunyi di tengah malam membuatnya tidak nyaman.Pagi itu, Nayla duduk di depan meja makan dengan wajah serius. Wawan datang membawa segelas kopi, mencoba tersenyum, tapi mata mereka saling bertemu tanpa kata.“Nay…” Wawan memulai, suaranya berat.“Wan, kita harus bicara,” Nayl

  • Madu untuk istriku   Bab 5

    Beberapa bulan setelah upaya perbaikan rumah tangga itu, Wawan mulai merasa beban hidupnya semakin berat. Tekanan ekonomi yang tak kunjung reda, tanggung jawab sebagai suami dan ayah, serta rasa bersalah yang masih menjerat hatinya.Suatu sore, Wawan menerima telepon dari nomor yang tak dikenalnya. Saat mengangkat, suara Nadia terdengar jelas di ujung telepon.“Wan, lama nggak dengar kabar. Aku cuma mau tahu kamu baik-baik saja.”Jantung Wawan berdegup kencang. Rasa takut sekaligus penasaran berkecamuk di hatinya. Ia berusaha menenangkan diri.“Aku baik, Ni. Terima kasih sudah tanya.”Nadia tertawa kecil. “Kamu tahu, aku selalu percaya kamu bisa bangkit. Tapi aku juga nggak mau kamu terlalu keras pada dirimu sendiri.”Wawan terdiam. Kata-kata Nadia seperti racun manis yang kembali menusuk.“Aku harus bilang, aku sedang berjuang keras demi Nayla dan Ayana,” jawab Wawan pelan.Nadia bergumam, “Kalau begitu, aku nggak mau ganggu. Tapi kalau kamu butuh teman bicara, aku selalu ada.”Telep

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status