Malam itu, Law menegak wine pemberian John yang padahal hampir tidak pernah tersentuh selama beberapa bulan. Ia tidak suka alkohol, tapi bukan berarti tak mau mengkonsumsinya. Law akan minum pada malam-malam tertentu kalau memang dirinya sedang ingin. Kepalanya mulai pening setelah beberapa saat kemudian, sampai suara Ann yang mengetuk ruang kerjanya tak terdengar sama sekali. Wanita itu menutup pintu rapat-rapat saat melihat siluet Law berdiri di dekat jendela, "Law?" "Lawrence?" ulangnya. Pria itu abai, tak menghiraukan and kedatangan Ann. Atau mungkin alam bawah sadar telah mempengaruhi pikirannya secara penuh. "Gelap sekali, sedang apa kau?" komentar Ann sembari berjalan ke sudut ruangan, menghampiri sakelar lampu. Namun langkahnya terhenti saat Law mulai bicara. "Kepalaku pusing, jangan nyalakan lampunya, biarkan redup seperti ini." Ann menghela napas, kemudian kembali duduk ke meja kerja Law. Di sana pandangan matanya fokus terhadap sebuah potret manis antara sepasang peng
Elia mendekam di dalam kamar usai mengantarkan makanan dari rumah Law, berlagak seolah tak terjadi apapun, padahal perasaannya amat kalut sekaligus penasaran.Ia memandang cermin kecil yang ada dalam genggaman, "Apa maksunya masa lalu dari keluarga kita dahulu? apakah pernah terjadi sesuatu antara ayah atau ibu dengan keluarga kandung Law?""Lalu, apa dia juga sudah tahu rencana-rencana jahat ayah untuk mengambil alih semua kepemilikannya?—mengapa pembicaraan mereka seolah menargetkan hal itu.""Dan apa maksudnya Law sedang mempersiapkan puncak permainannya? memangnya permainan apa yang akan dilakukan?!"Elia frustasi karena memikirkan banyak sekali tanda tanya di dalam kepalanya. Namun, ia tak berniat mengungkapkan hal itu terhadap sang ayah ataupun kakak lelakinya. Mereka justru akan mempersulit suasana dan menyusahkan dirinya.Law tampaknya lebih takut kalau ia salah faham soal keberadaan dia dan Ann dalam satu ruangan tanpa orang lain, walaupun Elia tahu sikap dan perasaan yang di
"Asal kau tahu, Ann pernah hampir membunuhku.""Membunuh," Law terbelalak, tidak cukup percaya dengan hal itu. Ia tahu Ann tak menyukai Elia, tapi tak mungkin pula kalau Ann sampai tega melakukan tindakam berbahaga, itu sama saja seperti dia cari mati.Elia memutar bola mata, "Malam itu di hutan dekat perkebunan," ia memperjelas pernyataan yang semakin membuat Law percaya, "Menurutmu apa yang bisa membawaku sampai ke sana? kau pun tak pernah ingin tahu lagi setelah masalahnya selesai."Law terdiam, waktu itu ia memang tidak bertanya lebih banyak karena khawatir. Elia terlihat sangat traumatis, sehingga ia tak berusaha membahasnya."Ann bilang topinya terjatuh ke jurang, topi peninggalan orang tuanya, padahal aku sebenarnya tahu jelas kalau kalian berasal dari panti asuhan. Waktu itu aku tak tahu apa maksudnya, tapi aku tetap membantu turun untuk mengambilkannya—dan kau tahu apa yang dia lakukan?" "Dia... mendorongmu?" tebak Law.Wanita itu sontak tertawa masam—ia yakin Law faham soal
"Jadi kau istrinya Lawrence? maaf karena tidak bisa datang di hari pernikahan kalian waktu itu, Ibu terlalu sibuk pada anak-anak di sini hingga mengabaikan hari kebahagiaan Law."Elia agak bingung saat mulai diajak berbicara, ia baru sadar kalau orang-orang di sana merupakan masa lalu Law yang dipandang cukup berharga oleh pria itu, saat dia bermain, berlarian, bercanda pada semua anak-anak. Law yang ada di hadapannya saat ini menjadi persis seperti Law yang membawanya ke tepi pantai tempo hari, sebelum terjadinya insiden yang membuat keduanya renggang.Elia menjabat tangan wanita baya itu—Sarah, begitu yang tertulis pada bordiran di sisi kanan pakaiannya, "Tidak seharusnya anda meminta maaf padaku."Sarah tampak ramah, wajar jika dia menjadi pengurus panti asuhan sekaligus ibu dari seluruh anak malang yang tak mendapat kasih dari orang tua kandungnya. "Jadi, bagaimana Law sejauh ini? dia memperlakukanmu dengan baik 'kan?""Tentu, dia baik." Elia menjawabnya agak ragu."Syukurlah," he
"Eh, kau tidak apa-apa?!" Elia terbelalak saat seorang anak tiba-tiba berlari menubruk kursi rodanya hingga tersungkur ke lantai.Anak perempuan itu mengeluh, sembari mengusap lututnya yang memar akibat benturan dengan lantai, "Aduh, sakit..." ia tidak menangis, malah menatap tajam Elia dengan pandangan kesal. Padahal luka itu juga karena kesalahannya sendiri yang tidak berhati-hati saat berjalan."Sini duduk dulu," Elia meraih tangan anak itu, mendudukannya ke pangkuan, hingga pandangan kesalnya seketika sirna.Diusapnya bekas memar itu secara lembut. Membuat anak itu mengalihkan pandangan ke Elia, menatap dari dekat secara teliti."Bibi istrinya Paman Law ya?"Elia mengangguk membalas pertanyaan gadis kecil itu.Sontak wajahnya berubah masam, membuat Elia keheranan. Anak itu menyentuh beberapa bagian kursi roda, sembari bertanya, "Kenapa dia bisa menikah dengan orang cacat? padahal Paman sangat sempurna, semua anak perempuan mau menikah dengannya nanti saat dewasa."Elia terkejut de
"Aku tidak mau dijodohkan!" Salah satu indra pendengarannya memang terganggu, cukup merepotkan karena terkadang sesuatu tak bisa didengar dengan jelas. Namun kali ini, di situasi mencekam, suara gesekan ujung mata pisau beradu begitu nyaring, Elia merasa telingannya berfungsi sangat baik, padahal ia berharap tuli keseluruhan untuk sesaat ini saja. Dalam kegelapan, kilauan pisau logam terlihat begitu jelas. Ujungnya runcing nan tajam, siap mengoyak apapun, termasuk pangkal lehernya yang kini menjadi sasaran utama. Tepat ketika permukaan salah satu pisau menyentuh kulit, sensasi dingin segera menjalar. Tak berselang lama, darah segar mengucur akibat goresan kecil. Bukannya kesakitan, Elia justru merasa gatal dan ingin menggaruknya. Membuat goresan itu makin parah. "Elia, sejauh ini kau tidak berguna. Apa salahnya sesekali menuruti ucapan ayah dan kakak tersayangmu ini." Elia membantah sembari menatap tajam Davine, sosok kakak yang satu tahun lebih tua—si pengancam, ahli pisau, dan p
"Perjodohan dengan seorang borjuis mungkin jadi impian banyak orang, tapi itu tak berlaku untukku." Carter adalah marga dari keluarga yang dikenal sebagai pemegang saham terbesar di Dailec Corp. yaitu Liam Carter, sejak delapan tahun yang lalu. Liam hidup bersama putra sulungnya Davine Carter, serta putri bungsu Elleia Carter. Keluarga mereka dahulu bukan apa-apa, bahkan untuk membeli sepotong roti harus bekerja siang malam tanpa henti. Tapi setelah berhasil menduduki posisi tertinggi di Dailec Corp, semuanya berubah, mereka terpandang, terkenal, dan poster inspirasi lika-liku kehidupan Liam terpampang dimana-mana sebagai motivasi masyarakat. Hanya saja kehidupan mereka tak sebersih yang orang lain lihat. Mereka mungkin berpikir, Liam yang cerdas dan pekerja keras bisa bangkit dari kehidupan kelam melalui berbagai tantangan adil. Liam naik ke puncak kejayaan bersama anak-anaknya melalui cara kotor—yang tak lain adalah membunuh seluruh keluarga besar pemegang saham Dailec sebelumnya
"Jika aku tidak bisa membatalkan pernikahan ini, maka Lawrence yang harus pergi." Elia sadar kalau dirinya bukan orang baik, namun juga tak bisa disebut orang jahat. Ketika memiliki ayah dan kakak pengidap gangguan psikopati, secara tak langsung ia terdidik oleh perilaku kejam mereka. Lingkungan lah yang menjerumuskannya kedalam hal keji, di mana aksi teror, pembunuhan, penganiayaan dilakukan secara terang-terangan. Meski begitu, nurani-nya belum mati. Ia seorang perempuan yang mengutamakan perasaan, bukan logika dan tindakan. Karena Maxime harus hidup, sementara dirinya tak mau dinikahkan, Elia dengan berat hati menuangkan serbuk arsenik ke dalam cangkir kopi yang dihidangkan untuk Lawrence pada pertemuan mereka malam ini. Serbuk itu didapatkannya secara khusus dari komunitas gelap yang disebut Narcist, Elia sudah tidak asing lagi dengan organisasi itu karena keluarganya bekecimpung erat dengan dunia bisnis bawah mereka, bahkan komunitas itu juga yang jadi incaran sang ayah hingga