Beberapa hari setelah makan siangnya dengan Nindya, Alya merasa dirinya berubah. Peringatan sahabatnya itu tidak membuatnya takut, sebaliknya, itu justru membuatnya jauh lebih waspada dan siap. Aliansinya dengan Arka pun terasa semakin nyata dan solid.
Fokus utama Alya kini hanya satu: menciptakan lingkungan yang stabil dan bahagia untuk Bara. Karena ia tidak lagi disibukkan dengan pekerjaan, seluruh waktunya ia curahkan untuk putranya. Siang itu, ia sedang duduk di depan laptopnya di meja makan, namun bukan untuk bekerja. Ia sedang serius mencari informasi tentang "Tempat bermain anak yang aman dan edukatif di Jakarta". Ia bertekad untuk memberikan Bara pengalaman terbaik, untuk menebus semua keceriaan yang telah dirampas darinya di Garut.
“Neng Alya sedang cari apa? Kelihatannya serius sekali,” sapa Mbak Rini sambil meletakkan segelas jus di sampingnya.
“Cari tempat liburan akhir pekan untuk Bara, Mbak,” jawab Alya sambil tersenyum.
Pelukan Arka terasa seperti satu-satunya hal yang nyata di dunia yang tiba-tiba terasa begitu rapuh. Alya menyandarkan kepalanya di dada suaminya, mencoba menenangkan detak jantungnya yang berpacu kencang. Gema teriakan Sandra dari telepon tadi seolah masih tertinggal di udara, meracuni kedamaian akhir pekan mereka.“Dia tidak akan berhenti, kan?” bisik Alya.Arka mengelus punggung istrinya dengan lembut. “Tidak,” jawabnya jujur, suaranya terdengar berat. “Tapi kita juga tidak akan berhenti melawannya. Aku tidak akan membiarkannya menang, Al. Tidak lagi.”Malam itu, mereka menghabiskan waktu dengan lebih banyak diam. Bukan keheningan yang canggung, melainkan keheningan dua prajurit yang sedang mengumpulkan kekuatan setelah pertempuran pertama. Mereka tahu perang sesungguhnya baru saja dimulai.Keesokan harinya, hari Minggu, Arka bersikeras untuk membuat hari itu senormal mungkin demi Bara. Ia mengajak mereka ke seb
Alya terbangun perlahan. Hal pertama yang ia sadari bukanlah cahaya matahari yang menyelinap masuk dari celah gorden, melainkan sebuah kehangatan yang kokoh di punggungnya dan sebuah lengan yang melingkar protektif di pinggangnya. Ia bisa merasakan napas Arka yang teratur di tengkuknya. Untuk sesaat, sebuah refleks dari masa lalu yang kelam membuatnya menegang. Namun, perasaan itu langsung hilang, digantikan oleh gelombang rasa aman yang begitu dalam dan menenangkan. Ini bukan sentuhan posesif sang Kaisar Es. Ini adalah dekapan hangat dari suaminya, dari partnernya. Ia tidak lagi merasa terancam. Ia merasa... utuh. Dengan sangat hati-hati, ia membalikkan tubuhnya dalam pelukan Arka. Ia menatap wajah suaminya yang tertidur. Wajah yang dulu selalu terlihat tegang dan dingin, kini tampak begitu damai dan tanpa pertahanan. Kerutan di antara alisnya telah hilang. Ia mengulurkan jarinya, dengan lembut menelusuri garis rahang Arka yang tegas. Perjalanannya untuk sampai ke titik ini te
Keesokan harinya adalah hari Sabtu. Alya terbangun di Jakarta dengan perasaan ringan dan tanpa beban. Ancaman dari Sandra dan teka-teki Seraphina terasa jauh, tergantikan oleh ketenangan pagi akhir pekan. Ia menemukan Arka dan Bara sudah lebih dulu berada di dapur. Pemandangan di hadapannya membuatnya berhenti dan tersenyum. Arka, dengan celemek dinosaurus milik Bara yang terikat canggung di pinggangnya, sedang mencoba membuat panekuk, sementara Bara duduk di meja dapur, bertugas sebagai ‘pengawas kualitas’ yang sangat cerewet. “Ayah, itu gosong!” seru Bara sambil menunjuk ke wajan. “Sssst, ini bukan gosong, Sayang. Ini namanya caramelized. Lebih enak,” balas Arka tanpa menoleh, berusaha menyelamatkan panekuknya yang malang. Alya tertawa pelan, membuat kedua pria di hidupnya itu menoleh. “Selamat pagi, Koki-koki hebat,” sapanya. Melihat Alya, Arka seolah langsung lupa pada panekuknya. Ia tersenyum lebar, berjalan menghampiri Alya, dan memberinya kecupan selamat pagi yang lem
Pagi itu, rumah Alya terasa tegang dengan antisipasi. Ia menyiapkan dirinya, bukan sebagai prajurit, tapi sebagai seorang tuan rumah yang akan menyambut tamu yang sangat sulit ditebak. Ia menata beberapa kue kering di piring, memastikan teko teh sudah siap, dan mencoba mengatur napasnya agar terlihat tenang. Ia tahu Arka berada di ruang kerjanya, pintu sengaja dibiarkan sedikit terbuka—sebuah janji dukungan tanpa kata. Ia juga tahu Mbak Rini berada di dapur. Jaring pengaman yang ditenun oleh kepedulian Arka membuatnya merasa sedikit lebih tenang. Tepat pukul sepuluh pagi, bel berbunyi. Alya membuka pintu dan disambut oleh senyum Seraphina yang sempurna. Wanita itu tampak begitu santai dan memukau, membawa sebuah kotak kado yang terbungkus indah. “Pagi, Alya. Maaf aku merepotkan,” katanya ramah. “Tentu tidak. Silakan masuk, Seraphina,” balas Alya, suaranya ia usahakan terdengar hangat. “Ini, untuk Bara,” kata Seraphina sambil menyerahkan kotak itu. “Hanya sebuah set mainan
Arka menatap layar ponsel di tangan Alya, keningnya berkerut dalam. Keheningan yang tadinya terasa nyaman kini berubah menjadi tegang, dipenuhi oleh pertanyaan-pertanyaan tak terucap. Alya memperhatikan suaminya, menunggu reaksinya, analisisnya.“Ini bukan sekadar kunjungan minum kopi,” kata Arka akhirnya, suaranya rendah dan serius. Ia menatap Alya, dan di matanya, Alya melihat sang ahli strategi kembali bekerja. “Ini sebuah langkah catur. Dia sedang mengujimu. Atau mencoba merekrutmu. Orang seperti Seraphina dan ibuku tidak pernah melakukan sesuatu tanpa alasan”“Langkah catur? Maksudmu apa?” tanya Alya. “Dia kan hanya mengajak minum kopi.”“Sayang, mengundangmu bertemu di rumah kita, sendirian, adalah langkah pembukaan yang sangat agresif,” jelas Arka. “Dia ingin langsung masuk ke teritorimu, melihat pertahananmu, dan mencari tahu di mana celahnya. Dia ingin mengukurmu secara langsung, tanpa ada aku di sana.”Alya menelan ludah. “Tapi Nindya bilang dia itu ular. Bagaimana kala
Alya terbangun perlahan. Hal pertama yang ia sadari bukanlah cahaya matahari yang menyelinap masuk dari celah gorden, melainkan sebuah kehangatan yang kokoh di punggungnya dan sebuah lengan yang melingkar protektif di pinggangnya. Ia bisa merasakan napas Arka yang teratur di tengkuknya. Untuk sesaat, sebuah refleks dari masa lalu yang kelam membuatnya menegang. Namun, perasaan itu langsung hilang, digantikan oleh gelombang rasa aman yang begitu dalam dan menenangkan. Ini bukan sentuhan posesif sang Kaisar Es. Ini adalah dekapan hangat dari suaminya, dari partnernya. Ia tidak lagi merasa terancam. Ia merasa... utuh. Dengan sangat hati-hati, ia membalikkan tubuhnya dalam pelukan Arka. Ia menatap wajah suaminya yang tertidur. Wajah yang dulu selalu terlihat tegang dan dingin, kini tampak begitu damai dan tanpa pertahanan. Kerutan di antara alisnya telah hilang. Ia mengulurkan jarinya, dengan lembut menelusuri garis rahang Arka yang tegas. Perjalanannya untuk sampai ke titik ini te