Home / Romansa / Magang di hati CEO tampan / Bab 5 - Misi Analisis Dadakan

Share

Bab 5 - Misi Analisis Dadakan

Author: Dacep
last update Last Updated: 2025-06-25 14:02:32

Alya melangkah masuk ke lobi PT. Arroihan Group dengan perasaan seperti seorang prajurit yang dikirim ke medan perang tanpa peta, hanya berbekal perintah nekat dari sang jenderal. Perintah Arka saat sarapan tadi terus berputar di kepalanya seperti kaset rusak: “Minta data lengkapnya dari Vira. Buat rangkuman analisisnya. Kirim ke email saya sebelum jam lima sore.”

Rangkuman analisis. Dua kata itu terdengar seperti vonis. Seluruh perjalanan di atas ojek online ia habiskan untuk bergumam sendiri, mencoba menenangkan badai di dalam kepalanya.

“Analisis apaan, coba? Gue aja bedain mana laporan laba rugi sama daftar belanjaan Mbak Rini aja masih suka ketuker,” gerutunya pelan, membuat abang ojeknya melirik aneh dari spion.

Sesampainya di lantai 15, ia meletakkan tasnya dengan lesu. Meja kerjanya yang kecil di dekat printer terasa seperti pos komando yang akan menjadi saksi bisu perjuangannya hari ini. Misinya jelas yaitu menghadapi Mbak Vira. Supervisornya itu memang baik, tapi tatapannya yang selalu tajam dan efisien membuatnya terasa seperti guru matematika paling killer di sekolah. Menghampiri Vira untuk meminta data rahasia atas perintah langsung dari Big Boss terasa seperti mau menyerahkan nyawa.

Setelah mengumpulkan segenap keberaniannya, ia berjalan ke meja Vira yang tampak sibuk mengetik dengan kecepatan dewa.

“Permisi, Mbak Vira…” panggil Alya sepelan mungkin.

Vira berhenti mengetik, tapi matanya masih terpaku pada layar. “Ya?”

“Anu… saya… saya diminta sama Pak Arka untuk meminta data laporan penjualan lengkap bulan kemarin,” ujar Alya, mencoba membuat suaranya tidak bergetar.

Kalimat itu sukses membuat jari-jari Vira berhenti total. Ia menoleh perlahan, tatapannya menusuk, campuran antara kaget dan… sesuatu yang tidak bisa Alya artikan. Mungkin rasa penasaran, atau sedikit rasa curiga.

“Pak Arka langsung yang minta ke kamu?” tanya Vira, nadanya lebih dingin dari AC kantor. “Tumben. Biasanya data seperti itu hanya untuk level manajer ke atas.”

Alya menelan ludah. “I-iya, Mbak. Tadi pagi pas sarapan beliau yang bilang langsung.”

Vira terdiam sejenak, alisnya terangkat sedikit saat mendengar kata 'sarapan'. Seolah sedang memproses informasi itu. “Oke. Nanti saya kirim filenya ke email kamu. Pelajari baik-baik. Data itu sifatnya rahasia. Jangan sampai bocor ke siapa pun, termasuk ke staf lain.”

“Baik, Mbak. Terima kasih banyak.”

Alya kembali ke mejanya dengan perasaan sedikit lega, tapi juga makin cemas. Reaksi Vira barusan menegaskan satu hal: tugas ini bukan tugas biasa. Ini ujian yang serius.

Benar saja. Lima menit kemudian, sebuah email masuk dari Vira dengan lampiran file Excel berukuran raksasa. Saat Alya membukanya, ia ingin menangis. Layar komputernya dipenuhi lautan angka dan hutan rimba istilah bisnis yang belum pernah ia dengar. Gross margin, net profit, QoQ growth, SKU velocity, EBITDA…

“Mampus,” bisiknya pada layar monitor. "Ini apaan lagi EBITDA? E... Emang... B... Bapak... I... Ini... T… Tai D… Dan A... Arogan? Bener juga sih."

Selama dua jam berikutnya, Alya benar-benar tenggelam dalam penderitaan. Ia mencoba membaca, memahami, dan menghubungkan satu angka dengan angka lainnya, tapi otaknya terasa seperti benang kusut. Ia membuka belasan tab di browser, mencari arti dari setiap istilah, tapi penjelasan di internet malah membuatnya semakin pusing. Waktu terus berjalan, dan ia belum menghasilkan satu kalimat pun untuk rangkuman analisisnya. Keringat dingin mulai membasahi pelipisnya.

Di tengah keputusasaannya, sebuah suara ceria tiba-tiba menyapanya.

“Woi, serius amat? Muka lo udah kayak laporan keuangan yang rugi bandar.”

Alya mendongak dan melihat Dani berdiri di samping mejanya sambil membawa segelas es kopi, senyumnya seperti biasa, sangat santai.

“Kak Dani…” keluh Alya, wajahnya sudah kusut. “Ini lebih parah dari rugi bandar. Ini tugas dari neraka, kayaknya.”

Dani tertawa, lalu melirik layar monitor Alya. “Wah, laporan penjualan. Dikasih tugas sama Mbak Vira?”

“Bukan… ini… dari Pak Arka langsung,” jawab Alya pelan.

Mata Dani sedikit membelalak. “Wow. Direct order from the king. Gila, anak magang dikasih ginian. Dia mau ngetes lo, pasti.” Ia menarik sebuah kursi dan duduk di samping Alya. “Mana yang bikin lo pusing?”

Alya menunjuk layar dengan pasrah. “Semuanya, Kak. Aku nggak ngerti ini maksudnya apa.”

Dani tidak bisa membantunya membuat analisis—itu di luar wewenangnya. Tapi, ia melakukan sesuatu yang jauh lebih berharga. Selama lima belas menit, dengan sabar ia menjelaskan istilah-istilah sulit itu dengan bahasa manusia. Ia menunjukkan cara memfilter data di Excel dengan cepat dan menunjukkan kolom mana yang biasanya menjadi ‘kunci’ untuk melihat performa penjualan.

“Intinya, lo cari aja produk mana yang angkanya paling gede, itu ‘anak emas’. Terus cari yang paling kecil, itu ‘anak tiri’. Cari juga yang pertumbuhannya paling anjlok, itu ‘anak durhaka’ yang perlu diinterogasi,” jelas Dani dengan analogi yang aneh tapi sangat membantu.

Sebelum pergi, Dani meletakkan es kopinya di meja Alya. “Nih, doping. Biar otaknya nggak ngebul. Semangat, ya! Kalau CEO udah ngasih tugas langsung, itu artinya dia lihat sesuatu di diri lo. Jangan disia-siain.”

Kata-kata Dani dan es kopi itu seperti suntikan energi. Alya merasa semangatnya kembali terisi. Ia tidak sendirian. Dengan panduan sederhana dari Dani, ia mulai melihat pola di antara angka-angka itu. Ia mulai bisa membedakan mana ‘anak emas’ dan mana ‘anak tiri’.

Sisa sore itu, ia fokus sepenuhnya. Suara bising kantor seolah lenyap. Jari-jarinya menari di atas keyboard, merangkai kalimat, dan menyusun poin-poin sederhana. Tepat pukul 16.55, lima menit sebelum tenggat waktu, sebuah dokumen Word satu halaman selesai ia buat. Isinya singkat, padat, dan semoga bisa dimengerti oleh sang kaisar.

Dengan tangan sedikit gemetar, ia membuka email baru, mengetik alamat email Arka di kolom penerima, melampirkan filenya, lalu menulis subjek: Rangkuman Analisis Laporan Penjualan - Alya.

Ia menatap tombol 'Kirim' selama beberapa detik. Ini dia. Momen penentuan nasibnya. Ia menarik napas dalam-dalam, lalu menekannya dengan sekali sentuhan.

Send.

Selesai. Email itu telah meluncur ke dunia antah berantah, ke dalam kotak masuk sang CEO. Alya bersandar di kursinya, merasakan seluruh energinya terkuras habis. Kantor sudah mulai sepi. Kini yang tersisa hanyalah menunggu. Menunggu putusan dari Arka. Dan entah kenapa, perasaan menunggu itu terasa jauh lebih menyiksa daripada mengerjakan tugasnya sendiri.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Magang di hati CEO tampan    Bab 68 - Obat Merah dan Nasi Hangat

    Arka melangkah masuk ke dalam rumah sederhana itu, membawa serta aroma keringat dan tanah setelah seharian bekerja di halaman belakang. Alya, yang memperhatikannya dari ambang pintu kamarnya, melihat pria itu berjalan dengan sedikit kaku, punggungnya yang biasanya tegap kini tampak lelah.Saat Arka mencuci tangan dan wajahnya di pancuran belakang rumah, Alya bisa melihat dengan jelas telapak tangannya yang memerah dan lecet. Beberapa bahkan melepuh. Pemandangan itu, entah kenapa, menimbulkan rasa perih di hati Alya. Rasa iba yang tak terduga menyelinap masuk, mengalahkan sedikit rasa takutnya.Didorong oleh sebuah impuls yang tidak ia mengerti, ia masuk ke dalam rumah, mengambil kotak P3K tua milik ayahnya dari dalam lemari, lalu kembali ke halaman belakang.Arka, yang baru saja selesai membasuh muka, menoleh kaget saat melihat Alya berdiri di sana sambil membawa kotak obat.“Pak… tangan Bapak luka,” kata Alya pelan, tidak berani menatap mata pria itu.Arka menatap telapak tangannya y

  • Magang di hati CEO tampan    Bab 67 - Ujian Dari Calon Mertua

    Pintu kayu itu tertutup di hadapan Arka, meninggalkan keheningan yang lebih menusuk daripada bentakan mana pun. Ia berdiri sendirian di beranda rumah yang sederhana itu, merasa seperti orang asing yang terdampar di planet lain. Ia bisa merasakan tatapan penasaran dari para tetangga yang masih mengintip dari balik gorden jendela mereka. Seorang CEO yang biasa dihormati dan ditakuti, kini menjadi tontonan publik di sebuah desa kecil.Ia tidak pergi. Ia tidak kembali ke mobilnya yang mewah. Ia tahu, jika ia melangkah pergi sekarang, pintu itu akan tertutup untuknya selamanya. Dengan sebuah helaan napas panjang, ia duduk di tepi bale-bale bambu, tempat yang tadi diduduki Alya. Ia akan menunggu. Tidak peduli berapa lama. Ini adalah bagian dari penebusan dosanya.Di dalam rumah, Bu Aminah memapah Alya yang masih terguncang ke dalam kamarnya. Ia mendudukkan putrinya di tepi ranjang kapuk yang tua.“Sekarang,” kata Bu Aminah sambil menggenggam kedua tangan Alya, tatapannya lembut namun menunt

  • Magang di hati CEO tampan    Bab 66 - Pengakuan Yang Menyakitkan

    Perjalanan dari Bandung ke Garut terasa sangat berbeda dari semua perjalanan yang pernah Alya lalui bersama Arka. Keheningan di dalam mobil tidak lagi terasa dingin atau canggung. Keheningan itu kini terisi oleh sebuah tujuan bersama yang genting, sebuah misi yang membuat mereka berdua sama-sama tegang.Alya lebih banyak menatap ke luar jendela, melihat pemandangan kota yang perlahan berganti menjadi hamparan sawah hijau. Pikirannya berkecamuk. Apa yang akan Ibu katakan? Apa Ibu akan membenciku? Apa Ibu akan mengusirku dan pria di sampingku ini?Arka sepertinya bisa merasakan kegelisahannya. Di tengah perjalanan, tangannya yang besar terulur dan dengan ragu-ragu menyentuh punggung tangan Alya yang terkepal di pangkuannya. Alya sedikit tersentak, tapi kali ini ia tidak menarik tangannya. Ia justru membiarkan tangan Arka menggenggamnya, sebuah gestur kecil yang memberikan kekuatan luar biasa.Saat mobil mewah itu kembali memasuki jalanan desanya yang sempit, semua mata kembali tertuju p

  • Magang di hati CEO tampan    Bab 65 - Kata "Kita"

    Mereka kembali ke suite hotel dalam keheningan yang sarat makna. Gema dari detak jantung kecil itu seolah masih tertinggal di udara, mengubah segalanya. Alya memegang sebuah amplop kecil berisi beberapa lembar foto USG hitam putih. Benda itu terasa begitu nyata, begitu berat di tangannya.Di dalam kamar hotel yang luas, Alya duduk di tepi ranjang, menatap lekat-lekat gambar buram di dalam foto itu. Sebuah titik kecil. Sebuah kehidupan. Anaknya. Air matanya kembali mengalir, tapi kali ini bukan karena putus asa. Ini adalah air mata yang rumit—campuran antara takut, haru, dan secercah rasa sayang yang baru mulai tumbuh. Naluri keibuannya yang selama ini terkubur di bawah trauma, kini bangkit dengan kekuatan penuh.Arka masuk ke kamar, membawakan segelas teh hangat untuknya. Ia meletakkannya di meja, lalu berdiri canggung di dekat jendela, seolah tidak tahu harus berbuat apa.“Alya,” panggilnya pelan. “Aku tahu… semua ini rumit.”Alya tidak menjawab, hanya terus menatap foto di tangannya

  • Magang di hati CEO tampan    Bab 64 - Detak Jantung Pertama

    Pagi itu, Alya bangun di kamar hotel yang asing dengan perasaan gugup yang luar biasa. Janji Arka semalam memang sedikit menenangkannya, tapi hari ini adalah hari di mana ia akan menghadapi kenyataan dari kondisinya secara medis.Arka sudah menunggunya di ruang duduk suite hotel itu. Pria itu tampak sudah siap, wajahnya terlihat tenang, namun Alya bisa melihat ketegangan di bahunya yang kaku. Ia sudah memesan sarapan ringan untuk Alya.“Makan sedikit,” katanya. “Agar kamu tidak pusing.”Perjalanan menuju rumah sakit elit di Bandung itu terasa singkat. Alya terlalu sibuk dengan perangnya sendiri di dalam hati untuk memperhatikan jalanan. Di ruang tunggu klinik kandungan, perasaan tidak nyaman Alya semakin menjadi-jadi. Ruangan itu dipenuhi oleh pasangan-pasangan suami-istri yang tampak bahagia, saling berpegangan tangan, dan menatap perut buncit sang istri dengan penuh cinta.Alya secara refleks menyentuh perutnya yang masih rata. Ia dan Arka duduk berjauhan, tidak saling bicara, tampa

  • Magang di hati CEO tampan    Bab 63 - Insting Seorang Ibu

    Perpisahan di depan teras rumah terasa begitu berat. Bu Aminah memeluk Alya erat-erat untuk terakhir kalinya, matanya yang basah menatap lurus pada Arka yang menunggu di samping mobil. Itu bukan tatapan benci, melainkan sebuah peringatan tanpa kata yang jauh lebih tajam. Jaga putriku, atau kau akan berhadapan denganku.Alya masuk ke dalam mobil mewah itu, tidak berani menoleh ke belakang. Ia tahu, jika ia melihat wajah ibunya lagi, ia akan lari keluar dari mobil dan membatalkan semuanya. Arka menyalakan mesin, dan mobil itu perlahan menjauh, meninggalkan gang kecil yang sunyi dan tatapan para tetangga yang penuh spekulasi.Perjalanan itu diliputi keheningan. Bukan keheningan yang dingin atau marah seperti sebelumnya. Ini adalah keheningan yang canggung, berat, dan dipenuhi oleh ribuan pertanyaan yang tak terucap. Alya menatap ke luar jendela, melihat sawah-sawah hijau Garut yang perlahan digantikan oleh jalanan yang lebih ramai.Ia melirik Arka. Pria itu fokus menyetir, wajahnya tampa

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status