Home / Romansa / Magang di hati CEO tampan / Bab 6 - Partner Dadakan Sang CEO

Share

Bab 6 - Partner Dadakan Sang CEO

Author: Dacep
last update Last Updated: 2025-06-30 12:53:47

Waktu menunjukkan pukul enam sore. Lantai 15 sudah nyaris kosong. Hanya tersisa Alya di mejanya yang kecil, seorang staf dari divisi lain yang sedang lembur, dan petugas kebersihan yang mulai berkeliling. Hati Alya terasa sama kosongnya dengan ruangan kantor itu. Sejak ia menekan tombol kirim satu jam yang lalu, tidak ada balasan apa pun dari Arka.

Setiap notifikasi yang masuk ke ponselnya sontak membuat jantungnya melompat, namun isinya selalu mengecewakan: notif promo dari aplikasi ojek online, sisa kuota internet, atau chat dari grup alumni SMA yang sedang membahas rencana reuni. Tidak ada email, tidak ada pesan, tidak ada tanda-tanda kehidupan dari sang CEO.

Mungkin hasil analisis gue jelek banget sampai dia nggak tahu mau balas apa, pikir Alya getir. Atau mungkin dia ketawa terbahak-bahak baca analisis ngawur dari anak magang ini, terus langsung nyiapin surat pemecatan.

Dengan perasaan kalah, ia membereskan tasnya. Mungkin ini hari terakhirnya bekerja di sini. Setidaknya ia sudah mencoba. Saat ia hendak mematikan komputer, layar ponselnya menyala. Bukan email. Sebuah pesan teks dari nomor yang sama dengan yang semalam memberinya teguran.

Pak Arka:

Malam ini jangan tidur duluan. Saya mau bicara sebentar.

Darah Alya seolah surut dari wajahnya. Ini dia. Momen penghakiman. Permintaan “bicara sebentar” dari seorang Arka terdengar lebih menakutkan daripada panggilan menghadap kepala sekolah. Pasti soal analisisnya. Ia pasti akan dimaki-habis-habisan.

Alya:

Baik, Pak.

Hanya itu yang sanggup ia ketik. Perjalanan pulangnya terasa seperti perjalanan menuju tiang gantungan.

Setibanya di rumah megah itu, suasana sepi terasa lebih mencekam. Alya tidak berani menyentuh dapur atau menyalakan TV. Ia hanya duduk di dalam kamarnya, mencoba membaca buku tapi apa yang di bacanya sama sekali tidak masuk ke otak. Pukul delapan. Pukul sembilan. Setiap denting jam terasa seperti hitung mundur.

Tepat pukul setengah sepuluh malam, suara pintu depan terbuka memecah keheningan. Langkah kaki yang tegas dan familiar terdengar di lantai bawah. Alya menelan ludah. Ini saatnya.

Lima menit kemudian, ponselnya bergetar lagi.

Pak Arka:

Turun ke ruang tengah.

Dengan kaki gemetar, Alya menuruni tangga. Ia menemukan Arka sedang berdiri di dekat pantry, menuang air putih ke dalam gelas. Ia sudah berganti pakaian. Kaus hitam polos yang pas di badan dan celana panjang abu-abu. Tanpa jas dan dasi, ia terlihat lebih muda dan… lebih berbahaya entah kenapa.

“Pak…” sapa Alya lirih. “Soal analisis tadi… maaf kalau banyak kekurangan. Saya bisa revisi kalau—”

“Analisisnya cukup bagus untuk seorang pemula.” Arka memotong ucapannya, nadanya datar. Ia berjalan menuju sofa dan duduk. “Bukan itu yang mau saya bicarakan.”

Alya mengerjap. Cukup bagus? Pujian singkat itu terasa seperti angin sejuk, tapi juga membuatnya makin bingung. Kalau bukan soal itu, terus apa?

“Duduk,” perintah Arka, menunjuk sofa di seberangnya. Alya menurut seperti robot.

Arka menatapnya lurus. Tatapan itu, seperti biasa, tajam dan sulit dibaca. “Saya butuh bantuanmu.”

“B-bantuan apa ya, Pak?”

“Besok lusa, ada acara makan malam penting. Pertemuan semi-formal dengan beberapa mitra dari Jepang. Mereka sangat menghargai tradisi dan relasi personal. Akan terlihat lebih baik jika saya datang tidak sendirian.”

Alya masih mencerna arah pembicaraan itu.

“Saya butuh kamu menemani saya ke acara itu. Sebagai partner saya.”

Alya membelalak. Mulutnya sedikit terbuka. Ia yakin ia salah dengar. “Saya, Pak? Kenapa… kenapa saya? Saya kan cuma anak magang…”

Untuk pertama kalinya, Alya melihat seulas senyum tipis—sangat tipis—terukir di bibir Arka. Senyum yang lebih mirip seringai geli.

“Aku bisa saja menyewa model profesional atau mengajak staf perempuan senior,” ujar Arka, tiba-tiba menggunakan kata ‘aku’ yang terasa lebih personal. “Tapi saya tidak butuh orang yang hanya bisa tersenyum. Saya butuh partner yang bisa saya percaya.”

“Percaya?” ulang Alya, masih bingung.

“Ya. Kamu sopan, punya etika, dan yang terpenting…” Arka mencondongkan tubuhnya sedikit, suaranya merendah. “…kamu tidak akan tiba-tiba mengeluarkan ponsel, mengambil foto kita berdua, lalu mengunggahnya ke I*******m dengan caption ‘My Future Husband’. Itu poin yang sangat krusial.”

Wajah Alya langsung memerah padam, antara malu dan ingin tertawa. “Pak! Saya bukan tipe yang seperti itu!”

“Nah, itu alasannya aku memilihmu,” balas Arka, kembali bersandar dengan santai. “Tenang saja. Soal gaun dan penampilan, semua bisa diurus. Kamu hanya perlu datang, duduk di samping saya, tersenyum jika perlu, dan makan dengan tenang. Anggap saja ini bagian dari pekerjaan.”

Bagian dari pekerjaan? Yang benar saja. Ini terasa seperti hal paling personal yang pernah ia dengar. Dunianya seakan dijungkirbalikkan.

“B-boleh saya pikirkan dulu semalam, Pak?” tanya Alya, otaknya masih belum bisa memproses permintaan gila ini.

Arka mengangguk. “Boleh. Tapi jangan terlalu lama. Karena jika kamu setuju, besok sepulang kerja kamu harus mencari gaun. Dan kita mungkin perlu latihan kecil agar tidak terlihat terlalu canggung di depan klien.”

Alya hanya bisa mengangguk kosong. Pikirannya melayang. Latihan? Berdua dengan Arka?

Setelah Arka kembali ke ruang kerjanya, Alya tetap duduk membeku di sofa. Permintaan ini jauh lebih rumit dari sekadar menganalisis laporan penjualan. Ini bukan lagi sekadar hubungan antara bos dan anak magang. Arka baru saja menariknya lebih dalam ke dunianya. Dunia yang penuh kemewahan, intrik, dan kepura-puraan.

Dan Alya tidak tahu apakah ia siap untuk itu.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Magang di hati CEO tampan    Bab 194 - Langkah Balasan

    ​Keheningan di ruang kerja itu terasa berat, dipenuhi oleh kengerian dari kebenaran yang baru saja terungkap. Alya menatap layar ponsel di tangan Arka, nama ‘Yayasan Larasati’ dan ‘Seraphina Wijoyo’ seolah menari-nari mengejeknya.​“Dia tahu,” bisik Alya, suaranya bergetar. “Dia tidak hanya tahu kita sudah bertemu dengan Ibu Melati. Dia tahu setiap langkah kita, Mas. Dia mengawasi kita.”​Perasaan diawasi, perasaan bahwa benteng aman di rumah mereka hanyalah sebuah ilusi, membuat Alya bergidik. ‘Habislah sudah,’ batinnya putus asa. ‘Dia mengendalikan semuanya. Kita tidak akan pernah bisa menang.’​Arka tidak panik. Alya memperhatikan bagaimana suaminya itu memproses keterkejutan. Wajahnya yang tadinya pucat pasi, kini perlahan mengeras menjadi sebuah topeng baja yang dingin. Ia mulai berjalan mondar-mandir, bukan karena cemas, tapi karena otaknya yang tajam sedang bekerja dengan kecepatan kilat.​“Ini bukan sekadar untuk mengisolasi Melati,” kata Arka, lebih pada dir

  • Magang di hati CEO tampan    Bab 193 - Wali Rahasia

    ​Pertanyaan terakhir Alya menggantung di udara ruang kerja yang sunyi. “Apa hubungan sebenarnya antara ayahku… dan kakakmu?”​Arka menatap dokumen digital di hadapannya, lalu menatap Alya. Wajahnya dipenuhi oleh kebingungan dan rasa sakit yang sama besarnya dengan yang Alya rasakan. Semua yang ia pikir ia tahu tentang ayahnya, tentang keluarganya, kini terasa seperti tumpukan kebohongan.​“Aku tidak tahu, Sayang,” jawab Arka jujur, suaranya terdengar berat. “Aku sama sekali tidak tahu. Ayahmu… dia tidak hanya melindungi Melati. Dia secara aktif terlibat dalam kehidupan Saphira. Memberikan nama keluarganya… itu bukan hal kecil. Itu adalah sebuah deklarasi. Sebuah bentuk tanggung jawab.”​Alya mencoba mencerna implikasi dari semua ini. Ayahnya, yang selama ini ia kenal sebagai pria sederhana dari Garut, ternyata memainkan peran kunci dalam salah satu drama keluarga paling rahasia di Jakarta. Ia bukan sekadar korban, ia adalah salah satu pemain utamanya.​“Tapi kenapa?”

  • Magang di hati CEO tampan    Bab 192 - Dua Darah, Satu Dendam

    Panggilan telepon itu berakhir, namun gema dari tekad Alya masih tertinggal di udara. Arka menatap layar televisi yang masih menampilkan wajah Seraphina, namun kini tatapannya tidak lagi dipenuhi amarah, melainkan kekaguman pada istrinya. Alya benar. Panik adalah jebakan Seraphina. Dan mereka tidak akan masuk ke dalamnya.​Dengan ketenangan yang baru ditemukan, Arka kembali meraih ponselnya. Alya, yang masih berdiri di dekat televisi, memperhatikannya. Ia mendengar suaminya berbicara di telepon, bukan lagi dengan nada frustrasi, melainkan dengan suara dingin dan penuh wibawa sang komandan.​“Vir, kau lihat beritanya,” kata Arka pada Vira. “Aku mau kau yang pegang kendali penuh atas respons media dan investor. Strategi kita bertahan, beli waktu. Jangan panik, jangan defensif. Rilis siaran pers yang menyatakan kita ‘menyambut baik semua proposal yang bertujuan untuk kemajuan’ dan sedang ‘mengkajinya secara internal’. Buat mereka

  • Magang di hati CEO tampan    Bab 191 - Serangan Fajar

    Senin pagi, 8 September 2025, dimulai dengan ketenangan yang terasa palsu. Kehangatan intim dari akhir pekan masih tersisa, namun kini dibalut dengan lapisan energi yang tegang. Di meja makan, Arka sudah rapi, namun matanya tak lepas dari tablet yang menampilkan data pasar saham.​“Aku tidak bisa berhenti memikirkan kata-kata terakhirnya, Mas,” kata Alya sambil meletakkan secangkir kopi di samping suaminya. “‘Adikku’. Dia mengatakannya dengan begitu santai, seolah itu bukan apa-apa.”​Arka mendongak, meraih tangan Alya dan menggenggamnya erat. “Itu adalah gayanya, Sayang. Menjatuhkan bom seolah itu hanya kerikil. Dia ingin kita kehilangan keseimbangan dan terus memikirkannya. Jangan berikan kepuasan itu padanya. Hari ini kita fokus, tetap pada rencana kita.”​Setelah sarapan, Alya bersiap mengantar Bara. Arka menahannya di depan pintu, menangkup wajahnya dengan kedua tangan.​“Apapun yang terjadi hari

  • Magang di hati CEO tampan    Bab 190 - Deklarasi Perang

    ​“Sampai jumpa, adikku.”​Kata-kata itu, yang diucapkan dengan bisikan dingin, bergema di telinga Alya lama setelah koneksi earpiece itu terputus. Keheningan di ruang kerja terasa memekakkan. Permainan pura-pura, permainan catur yang penuh dengan langkah-langkah tersembunyi, kini telah berakhir. Seraphina telah membuka kartunya. Ia tahu bahwa Arka tahu siapa dirinya.​Seluruh tubuh Alya terasa dingin. Bahaya yang tadinya terasa seperti bayangan yang jauh, kini memiliki wujud yang nyata dan suara yang jelas. Dan bahaya itu terikat oleh darah pada pria yang ia cintai.​Ia duduk terpaku di kursinya, menunggu. Menit-menit terasa seperti jam. Ia menatap pintu, menantikan kepulangan Arka, hatinya dipenuhi oleh campuran antara ketakutan akan apa yang akan terjadi selanjutnya, dan kekhawatiran yang mendalam akan kondisi suaminya.​Akhirnya, ia mendengar suara pintu depan terbuka. Ia bergegas keluar dari ruang kerja, dan menemukan Arka sedang berdiri d

  • Magang di hati CEO tampan    Bab 189 - Permainan Catur Antara Saudara

    ​Alya duduk tegang di ruang kerja mereka. Rumah itu sunyi, hanya suara detak jam di dinding dan napasnya sendiri yang terdengar. Di telinganya, terpasang earpiece kecil yang membawanya langsung ke sebuah ruang pertemuan privat di jantung Jakarta. Ia merasa seperti seorang sutradara yang sedang menonton drama paling penting dalam hidupnya dari balik layar.​Ia mendengar suara denting gelas, pergeseran kursi, dan kemudian, suara halus dan dingin yang sudah sangat ia kenali.​“Arka. Sungguh sebuah kejutan. Aku tidak menyangka kau akan meminta bertemu secepat ini.”​Itu suara Seraphina. Tenang, penuh kendali, seolah ia sama sekali tidak terkejut.​“Terima kasih sudah datang, Seraphina,” suara Arka terdengar sama dinginnya, seperti dua bilah es yang beradu. Alya bisa membayangkan ekspresi suaminya saat ini: wajah tanpa emosi, mata yang tajam, persona Kaisar Es yang telah ia pasang kembali sebagai baju zirah. “Saya tidak akan basa-

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status