Share

Mahar 50 Juta dari Si Petani
Mahar 50 Juta dari Si Petani
Penulis: Lian Nai

Ditolak

Penulis: Lian Nai
last update Terakhir Diperbarui: 2023-01-10 15:24:55

"Cuma sepuluh juta?" Kedua mata Bu Tarjo membulat lebar. "Kenapa cuma sepulu juta, Bar? Naya ini perawan, Akbar, apa pantas kamu beri mahar segitu?"

Akbar menunduk dalam. Pagi ini dia datang ke rumah Kanaya-- Sang Kekasih untuk merundingkan besaran mahar yang akan dia berikan nanti.

"Kalau di kampung kita bukannya mahar segitu sudah besar ya, Bu Tar?" Emak Lamba menimpali. "Akbar sudah punya rumah yang bisa ditempati setelah menikah, jadi Bu Tar gak perlu khawatir ...."

"Ya jelas aku ini khawatir, Mak Lam, bagaimana bisa aku melepaskan Naya hanya dengan uang sepuluh juta?" kata Bu Tarjo dengan suara lantang. "Urusan rumah ya memang urusan Akbar selaku calon suami, tapi kalau mahar, itu urusannya sama kami, Naya dan keluarganya. Jaman sekarang, uang sepuluh juta dapat apa?!"

Kanaya menatap kesal ke arah Akbar. "Aku kan sudah bilang, Kang, setidaknya minimal beri aku lima puluh juta sebagai mahar. Kenapa Akang malah bilang sepuluh juta ke Mamak?" ucap Naya sambil melengos geram. "Pasti Emak Lamba yang nyuruh, iya? Kang, yang mau menikah itu kita berdua, harusnya Akang yang tegas jangan apa-apaan nurut kata Emak!"

"Emak gak nyuruh apa-apa, Nay, ini Akbar sendiri yang bilang kalau mahar buat kamu sepuluh ...."

"Halah, dari awal aku itu sudah tau kalau Emak Lamba gak suka sama aku," sela Naya sengit. "Pasti ini semua rencana Mak Lamba kan? Mak gak mau kan kalau Kang Akbar ngasih mahar gede?" 

"Nay, dengarkan Akang," kata Akbar berusaha tenang. Hatinya bergemuruh melihat Emak satu-satunya yang dia miliki dihardik sedemikian kasar oleh Kanaya. "Semua biaya pernikahan Akang yang menanggung, semua kebutuhan pernikahan kita nanti sudah menjadi urusan Akang, bukankah sepuluh juta itu sudah terbilang besar, Nay?"

"Besar? Jadi Akang menghargaiku dengan uang sepuluh juta doang? Yang benar saja!" seloroh Naya sambil tersenyum sinis. "Akang sudah janji kalau maharku nanti tinggi, minimal lima puluh juta ...."

"Akang tidak pernah menjanjikan setinggi itu, Kanaya!" sela Akbar lagi. "Akang hanya menjanjikan mahar yang pantas, apalagi semua biaya pernikahan ini menjadi tanggung jawab Akang!"

"Oh, jadi kamu gak terima kalau biaya pernikahan ini kami bebankan ke kamu, begitu?" sahut Buk Tarjo ketus. "Heh, Akbar! Jangan sok-sokan mau meminang anak gadis orang kalau kamu itu kere! Sudah lumrah di kampung kita kalau hajatan dan segala tetek bengeknya itu menjadi tanggung jawab mempelai pria. Harusnya kamu tau itu!" Suara Bu Tarjo meninggi. Akbar dan Mak Lamba seolah tidak ada harganya di mata keluarga Kanaya. 

Rencana pernikahan baru diambang pembicaraan. Bahkan keduanya belum resmi bertunangan. Akbar sengaja datang ke rumah Kanaya untuk meluruskan banyak hal, termasuk besaran mahar yang nantinya akan dia berikan. Qadarullah, Allah seperti membuka kedua mata Akbar tentang bagaimana sebenarnya perangai Kanaya dan keluarganya. 

"Oalah, Nay ... mending nikah sama teman Mbak, sudah mapan, kerjaan tetap pula. Buat apa jadi istri petani seperti Akbar, mahar saja pakai nego. Bikin malu!" cibir Mbak Laela, kakak pertama Kanaya yang bahkan belum menikah di usianya yang sudah menginjak kepala tiga. "Sudah lah, kalau gak mau kasih mahar lima puluh juta, mending jangan dilanjutkan hubungan kalian ini. Cari pria yang lebih mapan, Nay!" 

"Maaf sebelumnya, Bu Tar, Nak Laela, tapi menurut Emak, sepuluh juta dengan semua biaya pernikahan ditanggung oleh Akbar adalah sudah sangat pantas bagi orang kampung seperti kita. Bukan ingin menonjolkan putra Emak sendiri, tapi apa ada mempelai pria yang mau menanggung biaya pernikahan di rumah mempelai wanita, ada?" tanya Mak Lamba serius. "Tadi Bu Tar bilang kalau di kampung kita ini sudah lumrah jika mempelai pria menanggung semua biaya pernikahan di rumah mempelai wanita, kampung mana yang Bu Tarjo maksud?"

Bu Tarjo gelagapan. Wanita paruh baya itu melengos malas mendengar Mak Lamba yang mempertanyakan kebenaran dari ucapannya.

"Setahuku, hanya keluarga kamu saja yang pakai adat seperti itu, Bu Tar. Kamu mau memeras calon mempelai pria agar bisa mengadakan pesta mewah, paling mewah bahkan ... tanpa mengeluarkan uang sepeserpun, begitu kan?"

"Jaga mulutmu, Mak!" bentak Bu Tarjo marah. "Memang kenapa kalau aku menerapkan adat seperti itu? Aku hanya ingin memastikan kalau pria yang akan menikahi anakku ini adalah pria kaya, minimal mapan agar anak-anakku tidak ada yang hidup susah. Apalagi ketika sudah menikah, wajib bagi suami putriku menafkahi kami sekeluarga. Catat itu!"

Mak Lamba mengulas senyum sinis. "Kalau begitu maaf, Akbar bukan pria yang cocok untuk Kanaya."

"Loh, gak bisa begitu, Mak! Punya hak apa Mak Lamba sama masa depan kami berdua? Kang, kamu mau menyerah begitu saja, hah?"

Akbar membantu Mak Lamba berdiri. Sejak Kanaya menghardik Mak Lamba di depannya, sejak saat itu pula Akbar sudah memantapkan hatinya untuk melepaskan Kanaya, sang pujaan hati.

"Kang!" rengek Kanaya. "Kasih kejelasan sama aku!"

"Emak sudah mengatakannya, Nay. Aku ... bukan pria yang cocok buat kamu."

"Kenapa harus apa kata Mak Lamba, kamu harus punya pendirian!" bentak Kanaya sengit. "Akang sudah janji mau menikahiku, kita menjalin hubungan ini sudah lama, Akang!"

"Ya, dan aku ternyata baru tau perangaimu yang sesungguhnya hari ini. Mahar sepuluh juta dari kami kamu tolak mentah-mentah aku masih bisa terima, cibiran, hinaan karena aku hanyalah seorang petani juga aku terima, tapi ketika kamu meninggikan suara di depan Emak, maka pupus sudah harapanku untuk mempertahankan kamu, Kanaya. Maaf!"

Kanaya menggeleng sambil menangis. Tidak habis pikir dengan jalan pikiran Akbar yang begitu menyanjung Mak Lamba di depan Kanaya, kekasihnya sendiri.

"Jadi cuma gara-gara itu kamu marah?" tanya Kanaya semakin meradang. "Aku bisa minta maaf sama Mak Lamba, tapi gak harus menyerah juga, Kang!"

"Nay, kamu apa-apaan sih, sana masuk!" bentak Bu Tarjo lantang. "Kalau dia saja gak bisa kasih apa yang sudah Mamak katakan tadi, jangan harap kalian bisa menikah!"

Akbar menulikan pendengarannya. Dia membantu Mak Lamba berjalan perlahan keluar dari ruang tamu rumah Kanaya.

"Jangan pernah datang ke rumah ini lagi! Gak punya modal sok-sokan mau melamar anak orang, kamu pikir biaya hidup Kanaya selama ini itu gratis?" hardik Bu Tarjo sarkas. "Seharusnya lima puluh juta bukan harga yang mahal kalau dia memang mencintai kamu, Kanaya! Jangan menangisi pria kere seperti dia, Mbakmu yang akan carikan calon suami yang jauh lebih mapan!" 

Akbar menahan gemuruh di dalam dada. "Seharusnya sepuluh juta dengan semua syarat yang Bu Tarjo berikan itu sudah sangat pantas bagi saya. Apalagi Emak merelakan dirinya tinggal seorang diri demi agar aku dan Kanaya bisa hidup berdua dengan bebas di rumah kami nanti tanpa rasa sungkan. Tapi sayang ... mungkin ini cara Allah menunjukkan bahwa kami memang tidak berjodoh, semoga Kanaya bisa mendapatkan pria yang jauh lebih mapan dari saya. Permisi!"

Bu Tarjo melengos. Hatinya memanas melihat Akbar yang berlalu begitu saja sembari menggandeng Emak Lamba yang sudah menua.

"Jangan pilih suami yang terlalu mendewakan Ibunya, Nay! Sampai kapanpun kamu gak akan bahagia kalau suamimu menomor satukan Ibunya!" cibir Bu Tarjo sedikit berteriak. "Pria tidak tegas! Bersembunyi di balik ketiak Emaknya! Bersiap-siaplah melajang sampai tua, mana ada wanita yang mau menerima pinangan kalian!"

Akbar hendak menghentikan langkah, namun Mak Lamba mencekal pergelangan tangan putranya sambil menggeleng samar.

"Maafkan saja, Nak! Mungkin memang cara pandang kita dengan mereka berbeda. Cari wanita yang se-kufu denganmu. Ayo! Buang-buang waktu kalau meladeni mereka. Kamu hanya akan menerima luka, Akbar."

Bersambung 

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Mahar 50 Juta dari Si Petani   EXTRA PART

    Empat tahun kemudian ...."Bu, Ahmad mau mengaji bareng teman-teman boleh?"Dilsah yang sedang menyiapkan makan siang untuk suaminya sejenak menoleh pada sosok balita yang berbicara di belakangnya."Kan Ahmad sudah mengaji, Nak," sahut Dilsah lembut. "Memang teman-teman mengaji dimana?""Mas Faris, Kamila, Cica, Mbak Vena, semua mengaji disana, Bu," rengek bocah berusia empat tahun itu dengan bibir cemberut lucu. "Ahmad mau juga, Bu, boleh ya?"Dilsah menghela napas panjang. Rantang berisi makanan sudah siap di atas meja. Kini, dia berbalik dan menyetarakan tingginya dengan menekuk lutut di depan Ahmad. "Memang mereka mengaji dimana, Sayang? Bukannya mengaji di surau seperti biasa?"Ahmad bersedekap dada. Bibirnya mengerucut sambil melengos enggan menatap Sang Ibu. "Pak Ustad sudah jarang ke surau, Bu, Ahmad bosan kalau mengaji sama Ibu terus. Gak dapat hadiah!" gerutunya gemas.

  • Mahar 50 Juta dari Si Petani   TAMAT

    "Mak ...." Akbar menyentuh bahu Emak dengan lembut. Otaknya memaksa berpikir bahwa Emak tengah tertidur karena teramat lelah. "Emak ...."Napas Akbar tersengal. Dadanya berdebar hebat ketika dengan perlahan dia membalik tubuh Emak yang ... memucat.Dunia Akbar seakan berputar. Mimpinya tadi malam seolah menjadi pertanda. Kedatangan Bapak yang meminta ijin untuk membawa Emak ternyata nyata adanya. "Hiduplah dengan bahagia, Le. Biarkan Bapak yang menjaga Emak mulai esok, kamu harus melanjutkan hidup bersama menantu dan cucu Bapak. Bapak merindukanmu, Le ...."Bahu Akbar merosot. Tangannya bergetar, bibirnya bergetar, bahkan seluruh tubuhnya ikut berguncang. Pria itu menangis sampai dadanya terasa teramat sesak. "Emak ....!" Tanpa sadar Akbar berteriak lantang. Teriakan yang sama ketika dia kehilangan Bapak di masa lalu. Teriakan yang mungkin akan dilakukan oleh para anak di luaran sana ketika kehilangan jantu

  • Mahar 50 Juta dari Si Petani   Kebaikan Bersamamu, Emak!

    "Setelah hujan reda, jemput Mertua kamu, Bar," kata Emak seraya melepas pelukan Akbar. "Sekalian minta maaf karena tidak sempat memberi kabar lebih dulu. Semoga Besan Emak memahami."Akbar mengangguk patuh. Rasa dingin yang sempat membuatnya menggigil seolah menghilang begitu saja ketika kedua matanya menyaksikan dengan jelas bagaimana putranya dilahirkan oleh wanita hebat di hidup Akbar."Sudah kamu azani dia?" "Masih dibersihkan sama Suster, Mak," sahut Akbar tidak sabar. Kepalanya berulang kali melongok ke dalam ruangan untuk melihat apakah putranya sudah lengkap dengan pakaian bayi. "Dia ... tampan, tapi seperti Dilsah," kata Akbar lagi. Kali ini bibirnya tersenyum lebih lebar. Teringat bagaimana dia melihat sekilas bayi merah yang ada dalam gendongan suster tadi. Emak menggosok-gosok kedua tangan berharap dingin yang dirasai tubuhnya sedikit berkurang. Bibirnya menggigil namun sebisa mungkin Emak tidak memperlihatka

  • Mahar 50 Juta dari Si Petani   Menjelang Tamat III

    "Berhenti dulu, Akbar!" Suara teriakan Kang Dadang bagai angin lalu di telinga Akbar. Cengkeraman tangan Dilsah yang semakin kuat membuatnya panik dan menulikan pendengaran. "Hujan makin deras. Bahaya!" teriak Kang Dadang dari belakang. Motornya tetap mengikuti laju motor Akbar yang semakin kencang. "Pelan-pelan saja, Le! Jalanan licik," ucap Emak Lamba setengah berteriak. Suaranya yang serak semakin teredam air hujan yang memekak telinga. Akbar menekan klakson motor dua kali sebagai jawaban atas ucapan Emak barusan. Terpaksa, di tengah dinginnya malam dan guyuran hujan dia tetap menarik gas dengan kuat agar Dilsah bisa segera mendapatkan pertolongan. "Masih kuat, Dek?" "Insya Allah, Mas," sahut Dilsah lirih. "Tolong tahan sakitnya sebentar ya," kata Akbar dengan suara bergetar. Teringat bagaimana raut kesakitan Laela ketika dua bulan yang lalu dia sengaja mengantarkan kakak dari mantan kekasihnya itu ke

  • Mahar 50 Juta dari Si Petani   Menjelang Tamat II

    Langkah kaki Akbar melambat. Sayup-sayup ia mendengar suara tangis Bu Tarjo yang begitu pilu. Panik. Cemas. Mungkin respon wajar yang akan diberikan pada ibu lainnya ketika putri dan cucu mereka sedang bertarung dengan maut. Tiba-tiba sebuah brankar melewati Akbar begitu saja. Di sana, dengan wajah pucatnya Laela terbaring dengan posisi miring. Wajahnya masih basah. Bibirnya masih meringis. Dan sakit yang ia rasakan belum berkurang sedikitpun."Pastikan Ibunya tetap sadar!" pinta salah satu bidan yang bertugas. Dua suster mengangguk patuh. Di belakang mereka, Pak Bagiyo dan Bu Tarjo berjalan gesit mengikuti laju brankar yang didorong cukup cepat. "Terima kasih, Mas Akbar," kata Pras seraya menepuk pundak Akbar dari belakang. "Maafkan semua kesalahan istriku, tolong ...."Akbar mengangguk ragu. Tenggorokannya tercekat, matanya perih melihat Pras yang menangis di depannya. Seorang pria menangisi wanitanya ya

  • Mahar 50 Juta dari Si Petani   Menjelang Tamat I

    Kehidupan Laela mulai terasa sepi tanpa Kanaya. Sudah tujuh bulan berlalu dan adik semata wayangnya itu masih saja menolak pulang ke rumah. "Aku pulang kalau keponakanku lahir ke dunia, Mbak," kata Kanaya pada sambungan telepon. "Ayolah, Nay! Kamu sudah lama berada di Pesantren, Mbak kesepian," rengek Laela.Kanaya terkekeh di seberang sana. Namun tetap saja, matanya kerap memanas ketika membayangkan semua kejadian di masa lalu. "Sudah ada Mas Pras, Mamak, Bapak, kalau cuma kehilangan aku sepertinya Mbak gak masalah kan?""Jaga bicara kamu, Kanaya!" ucap Laela tegas. "Maksudku kalau cuma gak ada aku pasti gak ngaruh juga di rumah, Mbak," ralat Kanaya ragu. "Pokoknya aku pulang dua bulan lagi kalau keponakanku lahir."Laela mendengkus kesal. Sudah sejak sebulan yang lalu dia berusaha merayu Kanaya agar kembali pulang namun adiknya itu selalu menolak."Huh!" Laela m

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status