Share

Mahar 50 Juta dari Si Petani
Mahar 50 Juta dari Si Petani
Author: Lian Nai

Ditolak

"Cuma sepuluh juta?" Kedua mata Bu Tarjo membulat lebar. "Kenapa cuma sepulu juta, Bar? Naya ini perawan, Akbar, apa pantas kamu beri mahar segitu?"

Akbar menunduk dalam. Pagi ini dia datang ke rumah Kanaya-- Sang Kekasih untuk merundingkan besaran mahar yang akan dia berikan nanti.

"Kalau di kampung kita bukannya mahar segitu sudah besar ya, Bu Tar?" Emak Lamba menimpali. "Akbar sudah punya rumah yang bisa ditempati setelah menikah, jadi Bu Tar gak perlu khawatir ...."

"Ya jelas aku ini khawatir, Mak Lam, bagaimana bisa aku melepaskan Naya hanya dengan uang sepuluh juta?" kata Bu Tarjo dengan suara lantang. "Urusan rumah ya memang urusan Akbar selaku calon suami, tapi kalau mahar, itu urusannya sama kami, Naya dan keluarganya. Jaman sekarang, uang sepuluh juta dapat apa?!"

Kanaya menatap kesal ke arah Akbar. "Aku kan sudah bilang, Kang, setidaknya minimal beri aku lima puluh juta sebagai mahar. Kenapa Akang malah bilang sepuluh juta ke Mamak?" ucap Naya sambil melengos geram. "Pasti Emak Lamba yang nyuruh, iya? Kang, yang mau menikah itu kita berdua, harusnya Akang yang tegas jangan apa-apaan nurut kata Emak!"

"Emak gak nyuruh apa-apa, Nay, ini Akbar sendiri yang bilang kalau mahar buat kamu sepuluh ...."

"Halah, dari awal aku itu sudah tau kalau Emak Lamba gak suka sama aku," sela Naya sengit. "Pasti ini semua rencana Mak Lamba kan? Mak gak mau kan kalau Kang Akbar ngasih mahar gede?" 

"Nay, dengarkan Akang," kata Akbar berusaha tenang. Hatinya bergemuruh melihat Emak satu-satunya yang dia miliki dihardik sedemikian kasar oleh Kanaya. "Semua biaya pernikahan Akang yang menanggung, semua kebutuhan pernikahan kita nanti sudah menjadi urusan Akang, bukankah sepuluh juta itu sudah terbilang besar, Nay?"

"Besar? Jadi Akang menghargaiku dengan uang sepuluh juta doang? Yang benar saja!" seloroh Naya sambil tersenyum sinis. "Akang sudah janji kalau maharku nanti tinggi, minimal lima puluh juta ...."

"Akang tidak pernah menjanjikan setinggi itu, Kanaya!" sela Akbar lagi. "Akang hanya menjanjikan mahar yang pantas, apalagi semua biaya pernikahan ini menjadi tanggung jawab Akang!"

"Oh, jadi kamu gak terima kalau biaya pernikahan ini kami bebankan ke kamu, begitu?" sahut Buk Tarjo ketus. "Heh, Akbar! Jangan sok-sokan mau meminang anak gadis orang kalau kamu itu kere! Sudah lumrah di kampung kita kalau hajatan dan segala tetek bengeknya itu menjadi tanggung jawab mempelai pria. Harusnya kamu tau itu!" Suara Bu Tarjo meninggi. Akbar dan Mak Lamba seolah tidak ada harganya di mata keluarga Kanaya. 

Rencana pernikahan baru diambang pembicaraan. Bahkan keduanya belum resmi bertunangan. Akbar sengaja datang ke rumah Kanaya untuk meluruskan banyak hal, termasuk besaran mahar yang nantinya akan dia berikan. Qadarullah, Allah seperti membuka kedua mata Akbar tentang bagaimana sebenarnya perangai Kanaya dan keluarganya. 

"Oalah, Nay ... mending nikah sama teman Mbak, sudah mapan, kerjaan tetap pula. Buat apa jadi istri petani seperti Akbar, mahar saja pakai nego. Bikin malu!" cibir Mbak Laela, kakak pertama Kanaya yang bahkan belum menikah di usianya yang sudah menginjak kepala tiga. "Sudah lah, kalau gak mau kasih mahar lima puluh juta, mending jangan dilanjutkan hubungan kalian ini. Cari pria yang lebih mapan, Nay!" 

"Maaf sebelumnya, Bu Tar, Nak Laela, tapi menurut Emak, sepuluh juta dengan semua biaya pernikahan ditanggung oleh Akbar adalah sudah sangat pantas bagi orang kampung seperti kita. Bukan ingin menonjolkan putra Emak sendiri, tapi apa ada mempelai pria yang mau menanggung biaya pernikahan di rumah mempelai wanita, ada?" tanya Mak Lamba serius. "Tadi Bu Tar bilang kalau di kampung kita ini sudah lumrah jika mempelai pria menanggung semua biaya pernikahan di rumah mempelai wanita, kampung mana yang Bu Tarjo maksud?"

Bu Tarjo gelagapan. Wanita paruh baya itu melengos malas mendengar Mak Lamba yang mempertanyakan kebenaran dari ucapannya.

"Setahuku, hanya keluarga kamu saja yang pakai adat seperti itu, Bu Tar. Kamu mau memeras calon mempelai pria agar bisa mengadakan pesta mewah, paling mewah bahkan ... tanpa mengeluarkan uang sepeserpun, begitu kan?"

"Jaga mulutmu, Mak!" bentak Bu Tarjo marah. "Memang kenapa kalau aku menerapkan adat seperti itu? Aku hanya ingin memastikan kalau pria yang akan menikahi anakku ini adalah pria kaya, minimal mapan agar anak-anakku tidak ada yang hidup susah. Apalagi ketika sudah menikah, wajib bagi suami putriku menafkahi kami sekeluarga. Catat itu!"

Mak Lamba mengulas senyum sinis. "Kalau begitu maaf, Akbar bukan pria yang cocok untuk Kanaya."

"Loh, gak bisa begitu, Mak! Punya hak apa Mak Lamba sama masa depan kami berdua? Kang, kamu mau menyerah begitu saja, hah?"

Akbar membantu Mak Lamba berdiri. Sejak Kanaya menghardik Mak Lamba di depannya, sejak saat itu pula Akbar sudah memantapkan hatinya untuk melepaskan Kanaya, sang pujaan hati.

"Kang!" rengek Kanaya. "Kasih kejelasan sama aku!"

"Emak sudah mengatakannya, Nay. Aku ... bukan pria yang cocok buat kamu."

"Kenapa harus apa kata Mak Lamba, kamu harus punya pendirian!" bentak Kanaya sengit. "Akang sudah janji mau menikahiku, kita menjalin hubungan ini sudah lama, Akang!"

"Ya, dan aku ternyata baru tau perangaimu yang sesungguhnya hari ini. Mahar sepuluh juta dari kami kamu tolak mentah-mentah aku masih bisa terima, cibiran, hinaan karena aku hanyalah seorang petani juga aku terima, tapi ketika kamu meninggikan suara di depan Emak, maka pupus sudah harapanku untuk mempertahankan kamu, Kanaya. Maaf!"

Kanaya menggeleng sambil menangis. Tidak habis pikir dengan jalan pikiran Akbar yang begitu menyanjung Mak Lamba di depan Kanaya, kekasihnya sendiri.

"Jadi cuma gara-gara itu kamu marah?" tanya Kanaya semakin meradang. "Aku bisa minta maaf sama Mak Lamba, tapi gak harus menyerah juga, Kang!"

"Nay, kamu apa-apaan sih, sana masuk!" bentak Bu Tarjo lantang. "Kalau dia saja gak bisa kasih apa yang sudah Mamak katakan tadi, jangan harap kalian bisa menikah!"

Akbar menulikan pendengarannya. Dia membantu Mak Lamba berjalan perlahan keluar dari ruang tamu rumah Kanaya.

"Jangan pernah datang ke rumah ini lagi! Gak punya modal sok-sokan mau melamar anak orang, kamu pikir biaya hidup Kanaya selama ini itu gratis?" hardik Bu Tarjo sarkas. "Seharusnya lima puluh juta bukan harga yang mahal kalau dia memang mencintai kamu, Kanaya! Jangan menangisi pria kere seperti dia, Mbakmu yang akan carikan calon suami yang jauh lebih mapan!" 

Akbar menahan gemuruh di dalam dada. "Seharusnya sepuluh juta dengan semua syarat yang Bu Tarjo berikan itu sudah sangat pantas bagi saya. Apalagi Emak merelakan dirinya tinggal seorang diri demi agar aku dan Kanaya bisa hidup berdua dengan bebas di rumah kami nanti tanpa rasa sungkan. Tapi sayang ... mungkin ini cara Allah menunjukkan bahwa kami memang tidak berjodoh, semoga Kanaya bisa mendapatkan pria yang jauh lebih mapan dari saya. Permisi!"

Bu Tarjo melengos. Hatinya memanas melihat Akbar yang berlalu begitu saja sembari menggandeng Emak Lamba yang sudah menua.

"Jangan pilih suami yang terlalu mendewakan Ibunya, Nay! Sampai kapanpun kamu gak akan bahagia kalau suamimu menomor satukan Ibunya!" cibir Bu Tarjo sedikit berteriak. "Pria tidak tegas! Bersembunyi di balik ketiak Emaknya! Bersiap-siaplah melajang sampai tua, mana ada wanita yang mau menerima pinangan kalian!"

Akbar hendak menghentikan langkah, namun Mak Lamba mencekal pergelangan tangan putranya sambil menggeleng samar.

"Maafkan saja, Nak! Mungkin memang cara pandang kita dengan mereka berbeda. Cari wanita yang se-kufu denganmu. Ayo! Buang-buang waktu kalau meladeni mereka. Kamu hanya akan menerima luka, Akbar."

Bersambung 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status