Share

Mahar Kedua
Mahar Kedua
Penulis: Sherry

Part 1 Keputusan Besar

Wanita itu menggenggam erat keranjang bunga di tangannya. Sesekali ia mengusap pipinya yang telah basah. Berjalan melewati jembatan yang luasnya hanya satu meter, pemisah antara area pemakaman dengan desa penduduk. Jika sebelumnya harus melewati batu-batu licin atau menunggu air sedikit surut saat hujan deras mengguyur, sekarang kerepotan itu tak terjadi lagi. Jembatan yang berdiri sejak dua tahun yang lalu sangat mempermudah akses.

Satu per satu kakinya menapaki tangga yang dibentuk dari tanah liat. Pemakaman yang berada di lereng perbukitan itu di bentuk terasering. Semua penduduk harus hafal sanak keluarganya dimakamkan di tingkat yang keberapa. Langkahnya terhenti tepat di sebuah makam orang yang dicintai. Sunyinya area pemakaman membuat isakan kecil itu terdengar. Ia menengadahkan wajahnya ke langit. Melihat awan kelabu menggelayut manja di sana.

Langit mendung sejauh mata memandang. Kembang tujuh rupa ditaburnya, memenuhi tanah perkuburan yang telah rata termakan usia. Lirih ia merapalkan doa-doa, tanpa menghiraukan butir bening yang mengalir bebas di kedua pipinya.

“Maaf, Mak, jika kedatangan Ina hari ini membawa kesedihan,” ucapnya lirih, terkalahkan desau angin di area pemakaman.

Ia beringsut mendekati nisan, lalu memasangkan tudung yang biasanya dipakai oleh mamaknya di atas nisan itu. Hal yang tak pernah ia lakukan sebelumnya. Menangis tersedu-sedu memeluk batu nisan dan membayangkan sosok mamaknya. Kembali terngiang ucapan sang ibu mertua yang memintanya untuk dimadu.

‘Maafkan Ibu, Na. Ibu masih ingin memiliki cucu dari Asyraf. Bersediakah kau memilihkan istri untuknya?’ ucap perempuan berusia enam puluh dua tahun itu dengan berderai air mata. Pertanyaan yang sangsi menurutnya. Tidak ada jawaban ‘tidak’, harus menjawab ‘iya’ dan memilih calon istri untuk suaminya sendiri.

Ada yang terkoyak di dalam dadanya. Meski berkali-kali ucapan maaf menyertai permohonan untuk dimadu, tetap saja hati terasa tersayat sembilu.

“Mak, bisakah Ina menjalani rumah tangga dengan poligami? Bisakah hati ini ikhlas untuk berbagi? Kenapa Ina tak bisa memiliki anak seperti Mamak?” Pertanyaannya menguap begitu saja.

Hening. Kilau petir menyambar samar, disusul angin kencang menerpa wajah, memainkan ujung jilbab yang melambai-lambai. Tetes pertama air hujan yang menjawab pertanyaan itu.

Sedikit pun ia tak beranjak. Membiarkan air hujan membelai tubuhnya. Mengabaikan percikan air mengotori bajunya. Mengabaikan udara dingin yang menembus tulang.

***

Naina melajukan motornya dengan kecepatan sedang, menuju rumah bercat putih kebiruan. Ia memarkirkan motor di samping mobil Nissan x-trail milik suaminya. Meletakkan keranjang bunga di rak kayu samping rumah.

“Dek Na, kamu dari makam Mamak?”

“Iya, Mas, sekalian ambil rebung sama janur buat bikin ketupat,” jawabnya sambil menyalami Asyraf lalu membuka tas kain untuk menunjukkan isinya.

“Bukankah seminggu yang lalu kita sudah berkunjung?” Asyraf mengambil tas yang dibawa istrinya.

“Kamu menangis?” tanyanya menyelidik. Mengamati mata yang sedikit bengkak di wajah sang istri.

“Iya, aku hanya sangat rindu Mamak, rindu sayur rebung buatan Mamak juga, makanya tadi mampir ke makam, terus ke rumah Mbak Putri.” Wanita itu mengulum senyum, menyembunyikan perih yang mengganggu hatinya. Ia memang mampir ke rumah Mbak Putri untuk mengganti bajunya, juga bercerita tentang poligami yang diajukan ibu mertua.

Langit gelap menyembunyikan mentari yang beranjak tumbang di ujung cakrawala. Menandakan malam akan segera menyapa. Kumandang azan mulai terdengar dari masjid dan surau-surau. Malam itu tepat malam kelima lebaran.

Naina membuka ikatan janur yang tadi dibawanya. Dua hari lagi lebaran ketupat, bertepatan dengan ulang tahun pernikahannya yang kesepuluh. Namun, tahun ini ada yang berbeda. Ia meloloskan nafas berat, berusaha melegakan sakit yang menghimpit dadanya.

Seperti biasa, saat makan malam Naina menyiapkan segala sesuatunya. Menata bakul nasi, sayur, piring dan sebagainya. Tak lupa ia menyertakan buah pisang yang tadi dibawakan oleh Mbak Putri.

“Makan malamnya sudah siap, Dek?” Suara Asyraf menghampiri istrinya.

“Sudah, Mas, Ina panggil ibu sama bapak dulu, ya,” sahutnya segera beranjak.

“Biar Mas saja, Dek,” cegahnya menarik pergelangan tangan sang istri.

Naina menatap punggung suaminya yang menjauh. Siapkah ia berbagi suatu saat nanti? Siapkah untuk tidak merasa cemburu saat suaminya memberikan perhatian untuk orang lain? Cepat ia menggelengkan kepala, mengusir pikiran-pikiran yang mengganggunya.

Tak lama kemudian mereka sudah berkumpul di ruang makan. Bu Liyah mulai melayani suaminya, begitu pula dengan Naina. Tak henti-hentinya ia menyimpulkan senyum saat melayani sang suami. Namun, lagi-lagi ia melamun, membayangkan suaminya dilayani oleh wanita lain. Tanpa terasa bola matanya mengembun, lantas buru-buru dikerjapkannya sebelum ada yang menyadari.

Denting piring dan sendok mulai beradu mewarnai makan malam di rumah itu. Sesekali Pak Rahman sang ayah mertua mengajak bercanda istrinya atau malah menggoda. Hanya Naina yang memilih diam, tenggelam dengan pikirannya sendiri.

“Naura Naina.” Suara Asyraf membuatnya tersentak kaget.

“Eh, iya, Mas. Mas Asy mau minum? Ina ambilkan dulu,” jawabnya tergagap sambil meraih teko berwarna emas.

“Mas nggak minta minum, Dek. Tadi ibu nanya kapan mulai ada job hennanya?”

“Oh maaf, Mas. Ina mulai ada jobnya tanggal 24 Mei nanti,” jawabnya memandang Asyraf, lantas beralih pada ibu mertuanya.

“Kamu ngelamunin apa? Sampai makan berantakan begitu.” Naina mengalihkan pandangan di piringnya.

“Astaghfirullah,” ucapnya terkejut. Segera ia meraih tisu dan membersihkan nasi yang tercecer.

“Maaf, Ina kepikiran sama kerjaan, sepertinya Ina mau menambah orang lagi untuk bantu jaga toko, soalnya dalam sehari itu kadang ada dua atau tiga job ngehenna, kalau Ina sendiri kewalahan, jadi Ina rencana mau ajak Dewi buat ambil job, nanti cari orang lagi untuk jaga toko.” Ia mengulum senyum, perkataannya tak sepenuhnya bohong.

“Ya sudah, itu bisa dipikirkan nanti, Na, sekarang habiskan dulu makannya,” sahut Bu Liyah.

Ia mengangguk. Hanya Bu Liyah yang tahu apa arti sikap menantunya. Hanya dia yang tahu apa yang dipikirkan Naina. Makan malam kembali hening. Tak ada percakapan lagi setelah itu. Naina berusaha untuk tidak melamun lagi. Mengabaikan hal-hal dalam pikirannya.

Usai membereskan makan malam dan mencuci piring, Naina beranjak menuju kamar ibu mertuanya. Ada hal yang akan dibicarakan, keputusan besar yang harus disampaikan. Berkali-kali ia mengelus dadanya, berusaha menetralkan perasaan gundah. Pelan ia mengetuk pintu di depannya. Memasang wajah setenang mungkin.

"Masuk, Na. Kamu buka saja pintunya," sahut ibu mertua dari dalam kamar.

"Assalamu'alaikum," ucap Naina usai membuka pintu. Wanita itu menutup pintu kembali, lantas beringsut mendekati kedua mertua yang sudah duduk di kursi kayu.

"Kamu sudah mengambil keputusan, Na?" Bu Liyah, ibu mertua membuka suara.

Naina terlihat membuka mulutnya berusaha menjawab, tapi tiba-tiba lidahnya kelu, seakan ada yang mengganjal di tenggorokannya. Sebuah anggukan yang akhirnya menjawab pertanyaan Bu Liyah.

“Insyaallah, Ina siap, Bu, Pak,” jawabnya tetap menunduk. Menyembunyikan matanya yang sudah buram tertutup cairan.

“Ini keputusan besarmu, Ndhuk. Harus dipikirkan matang-matang sebelum memutuskan. Jangankan kamu, mungkin jika ibumu yang ditawari juga berat untuk memutuskan. Sekali lagi Bapak mau bertanya, apa kamu sudah siap?”

“Insyaallah siap, Pak.” Kini suaranya bergetar. Rasanya teramat berat memberikan jawaban meski sekedar iya atau tidak. Air matanya lolos begitu saja. Segera ia menghapus kasar bekasnya. Kembali meloloskan nafas berat, untuk melegakan dadanya.

“Bapak sama Ibu sudah memberitahu Mas Asy?” Ia mencoba mendongakkan kepalanya dan bertanya dengan suara setenang mungkin.

“Belum, Na. Kami meminta persetujuanmu lebih dulu.” Pak Rahman menggelengkan kepalanya.

Lima menit berlalu sunyi.

“Kamu siap Asyraf menikah lagi, Na? Kamu siap jika dipoligami?” kali ini suara Bu Liyah bertanya meyakinkan.

“Ina siap, Pak, Bu,” jawabnya mantap, lantas tersenyum.

“Asyraf tidak setuju,” seru Asyraf yang sudah membuka pintu. Semua tersentak lantas berdiri.

"Mas Asy ...." Jantung Naina berdegup tak karuan. Bagaimana bisa pembicaraan ini terdengar suaminya?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status