“Assalamualaikum, Na, ini Mbak Putri, tolong bukakan pintunya!” Putri mengetuk pintu kamar Naina, tetapi tidak ada sahutan dari dalam.“Nainaa!” seru perempuan berjilbab tosca itu. Lagi. Tetap hening.“Ada apa, Put?” tanya Bu Liyah menghampiri Putri.“Naina kayaknya nggak ada di kamar, Bu, soalnya nggak ada sahutan,” jawab Putri.“Masak nggak ada, Put? Tadi habis ketemu sama mempelai wanita Ina bilang mau ke kamar. Ibu juga nggak lihat Ina di dapur.”Perempuan paruh baya itu menyingsingkan selendang di tangannya, lantas mengetuk pintu kamar Naina, tetap saja tak ada jawaban.“Putri kok khawatir ya terjadi sesuatu sama Naina,” ucap Putri mulai resah.Seketika raut wajah Bu Liyah menunjukkan kecemasan. Perlahan beliau mencoba memutar kenop pintu kamar. Menyisir seluruh ruangan kamar, mencari keberadaan Naina. Putri segera masuk ke kamar.“Astagfirullah, Naina,” seru Putri saat mengetahui Naina tergolek lemas bersandar di dinding. Sigap Bu Liyah memanggil ibu-ibu yang sedang mengisi nasi
(Pov Hanna)Kuusap peluh yang membasahi dahi juga leher. Rambut pun mulai berantakan dan nampak putih terkena terigu. Segera kubersihkan diri di kamar mandi. Tanpa terasa sudah dua jam aku berkutat dengan terigu dan tempe untuk membuat mendoan kesukaan Mas Asyraf. Usai membersihkan diri, aku mulai menata mendoan dan sambal kecapnya di meja makan karena sebentar lagi Mas Asyraf akan pulang. Ini adalah kali pertama aku memasak. Entah bagaimana rasanya. Sudah enam hari aku menikah dengan Mas Asy, selama itu pula aku tak pernah memasak untuknya. Setiap hari kami makan di tempat mertua, aku selalu membantu Naina--istri pertama Mas Asyraf-- untuk memasak makanan. Di rumah orang tua, aku pun tak pernah memasak. Saat aku kecil, keluarga kami memiliki asisten rumah tangga. Dan ketika aku serta kakakku sudah dewasa, Mama pensiun, lantas beliau fokus menjadi ibu rumah tangga. Jadilah aku wanita karir yang tak bisa melakukan pekerjaan rumah kecuali menyapu.Menurutku Naina adalah wanita yang sa
(Pov Hanna)"Mendoannya enak, Han. Terimakasih ya sudah memasak untukku." Suara Mas Asy membuyarkan lamunanku. Bahagia, itulah yang kurasakan saat Mas Asy memuji masakan pertamaku. Namun, di sudut hati yang lain ada rasa sakit karena ia masih menganggap diri ini seperti orang lain.Jujur saja ini adalah pertama kalinya aku mengobrol banyak dengannya. Biasanya ia hanya bertanya masalah rumus atau jadwal mengajar di tempatku. Mas Asy seorang dosen matematika, sedangkan aku dosen fisika. Ada kesamaan di beberapa rumus, sehingga kami bisa berinteraksi.Mendoan yang kusajikan habis tak bersisa. Aku hanya mengambil sepotong saja. Meski menurutku rasanya sedikit lebih asin dari biasanya, tapi Mas Asy tak mengomentarinya sama sekali. Dia benar-benar suami idaman wanita.Setelah mengucapkan terimakasih, Mas Asy bangkit dari duduknya menuju kamar kami. Lebih tepatnya di meja belajarnya. Ia lebih banyak menghabiskan waktu bersama buku-bukunya daripada denganku. Mungkin memang belum terbiasa.Usa
(POV Naina)Enam hari setelah pernikahan itu, aku mulai belajar memahami jadwal adil yang diatur sedemikian rupa untukku juga Mbak Hanna. Jika bulan ini aku mendapat jadwal pada tanggal ganjil, maka bulan berikutnya akan dapat jadwal pada tanggal genap, begitu seterusnya.Mbak Hanna adalah seorang dosen yang dulu pernah sekali mengisi kelasku, karena menggantikan dosen yang tidak hadir. Makanya aku tidak canggung ketika memanggil Mbak, karena dia bukan dosen tetapku dulu. Sering terdengar Mbak Hanna mengagumi Mas Asyraf yang saat itu status pernikahannya denganku masih disembunyikan. Namun, aku menyadari siapapun dia di masa lalu kini tidaklah penting, karena bagaimanapun dia memiliki hak yang sama seperti diriku, yaitu sebagai seorang istri.Malam setelah pulang dari melamar Mbak Hanna, Ibu bercerita bahwa semuanya berawal karena mereka tak sengaja bertemu di sebuah butik langganan beliau. Mbak Hanna mengatakan bahwa ia mengajar di salah satu Sekolah Tinggi yang dulu aku tempati untu
Pukul enam pagi matahari sama sekali belum menampakkan diri. Jika biasanya sarapan sudah siap, kali ini Naina, Hanna dan Bu Liyah masih berkutat di dapur. Drama mati lampu membuat azan subuh di surau tak terdengar karena tak memakai pengeras suara. Pagi yang dingin dan mendung menambah suasana semakin terbuai di balik selimut. Hanya Bu Liyah dan Hanna yang menyadari saat langit semakin terang. Mereka yang tinggal di rumah yang berbeda segera membangunkan anggota keluarga. Setengah enam pagi mereka baru melaksanakan kewajiban tersebut. Bu Liyah mulai meracik kopi jahe di gelas, sedangkan Naina meracik teh lemon di dalam teko. Setelah selesai Naina segera mengantarnya di ruang makan, di sana sudah ada Pak Rahman dan Asyraf. Usai menyajikan minuman tersebut, Naina kembali lagi ke dapur untuk memulai ritual masaknya. Bu Liyah nampak mengiris-iris rebung yang akan dimasak, Hanna mengupas bumbu yang diperlukan, sedangkan Hanna meracik bumbu untuk sayur rebung, sambal terasi dan ikan goreng
(POV Asyraf)Poligami. Sebuah kata yang terdengar horor bagi setiap pasangan. Namun, kata tersebut melekat erat dalam kehidupan rumah tanggaku. Aku tak pernah membayangkan sebelumnya jika akan menikah lagi. Memiliki dua istri sangat membuatku pusing. Aku merasa tak bisa adil dengan mereka. Selama menikah dengan Hanna aku belum pernah menyentuhnya secara intens. Jujur saja aku merasa mengkhianati Naina saat berada di tempat Hanna, meski kami sudaah suami istri. Naina tak lagi ceria seperti sebelumnya. Aku tahu dia menyembunyikan rasa sakitnya selama ini. Pengorbanannya begitu besar, dia rela diduakan demi kedua orangtuaku.Aku mencintai Naina dan tak pernah ingin melukainya. Namun, aku juga menyayangi dan menghormati orang tuaku. Aku ingin fokus dengan satu istri, membina rumah tangga berdua dan mengeja karakter masing-masing. Berbagi rahasia dengan satu wanita, tidak repot mengurusi drama cemburu antara dua wanita.Naina tak lagi memliki anggota keluarga. Mamaknya sangat berharap ak
POV AsyrafKepalaku dipenuhi banyak pikiran. Bagaimana aku harus menjelaskan semua ini. Jika lelaki banyak yang mendambakan memiliki dua istri, aku bahkan tak ingin berada di posisi tersebut. Ini bukan seperti yang orang lain bayangkan. Memiliki dua istri cantik pastilah senang, tinggal menjenguk salah satunya, jika sedang bertengkar dengan yang lain. Dua istri justru membuyarkan konsentrasiku. Gejolak asmara yang biasanya hanya terfokus untuk satu orang dengan tulus, kini harus terbagi. Di depan istri yang lain aku harus bersandiwara demi memenuhi kewajiban. Tak peduli selelah apapun diriku, aku harus selalu tersenyum di depan mereka. Aku segera memarkirkan mobil di halaman. Dua orang yang mengantar barang pesananku mengangguukkan kepala, berpamitan untuk pergi. Meja rias dan mesin cuci sudah bertengger di teras rumah."Naina ...." Kedua wajah orang tuaku terlihat khawatir. Bapak menunjuk rumah sebelah dengan lirikan matanya. Benar saja.Sepasang sandal Naina terlihat di teras r
'Bener nggak ini rumahnya Pak Asyraf? Kata Pak Asyraf kan rumahnya belakang toko, kok ini di arahin ke rumah itu ya,'Naina terdiam, kembali terngiang ucapan lsalah satu elaki yang tadi mengantar mea rias itu."Wi, Mbak pulang dulu ya!" ucap Naina tergesa."Ciee, yang mau nyobain meja rias baru," celetuk Dewi membuat Naina tersenyum tipis.Ia mengbaikan candaan Dewi, bergegas menuju halaman rumah, di sana sudah ada Pak Rahman dan Bu Liyah. "Wahh mesin cuci baru, Pak," ucap Bu Liyah terlihat bahagia. Senyum mengembang di wajahnya. Naina berdiri di samping Bu Liyah, ikut melihat kedua barang tersebut diturunkan. Naina terbelalak saat netranya mendapati sebuah ukiran nama di belakang meja tepat di pojok kanan atas. 'Hanna Mufidah' begitulah tulisannya. Tanpa memperdulikan kedua mertuanya, Naina mengayunkan kakinya dengan langkah lebar menuju rumah sebelah. Bu Liyah berkali-kali memanggil Naina, tapi diacuhkannya. Nafasnya memburu menahan amarah yang menumpuk di dada. "Baru nikah se