Share

7. Bos Baru

Author: Rafli123
last update Last Updated: 2024-03-27 10:08:40

Ajeng yang tersentak dengan ucapan pria di depan memaksakan dirinya mengangkat wajahnya. Pria tampan dengan setelah jas berdiri melihatnya penuh intimidasi.

"Maaf, tapi saya benar. Tidak mungkin saya panggil ibu, anda kan seorang laki-laki." Ujar Ajeng, tak ingin mengalah.

"Aku tahu, aku laki-laki. Tapi tidak seharusnya kamu panggil aku pak, bisa kan kamu panggil aku, mas atau apa gitu. Pak itu untuk orang tua," ujar pria itu.

Ajeng menggeleng acuh, tak habis pikir dengan pria di depannya. Menolak tua? Atau tidak ingin terlihat memiliki istri? Sedetik kemudian senyum indah Ajeng dan sikap ramah tak hilang meski kesal pada pria yang kini menatapnya.

"Baik silahkan, mas mau pilih yang mana? Ada berapa varian baru dan rasanya lebih enak tentu dengan harga yang lebih tinggi." Jelas Ajeng.

"Oke, aku pilih varian baru tolong bawa ke kantor. Satu lagi, tetap tersenyum seperti itu." Ujar pria di depannya, pergi begitu saja.

Meski penasaran dan kesal Ajeng tetap melakukan perintah pria yang saja masuk ke ruangan khusus untuk pemilik toko. Ajeng menyadari siapa laki-laki yang baru saja memesan kue dengan varian baru.

"Astaghfirullahaladzim, jangan-jangan dia–" Ajeng menutup mulutnya dengan kedua tangannya tidak menyangka jika hari ini adalah hari di mana dia akan mendapatkan masalah oleh pemilik baru tempatnya bekerja.

"Jeng, kamu kenapa? Aku lihat dari tadi kamu tegang?" Aini menghampiri Ajeng yang mengusap keringat di dahinya.

"Ai, kamu tahu siapa yang menjadi bos di sini?" tanya Ajeng, tanpa menjawab pertanyaan dari Aini.

"Tahu, dia anaknya Bu Widya yang baru pulang dari luar negeri. Memangnya kenapa?" tanya Aini, penasaran.

"Mati aku!" Ajeng menepuk jidatnya.

"Aku pergi dulu, nanti aku cerita." Ajeng berlalu dari hadapan Aini dengan membawa kue dengan varian baru ke ruangan yang di jadikan kantor oleh Bu Widya.

"Lama sekali, kamu!" tegus pria yang fokus ke laptop.

"Maaf, saya –" gugup Ajeng.

"Pulanglah, wajah kamu pucat. Aku tidak mau memiliki karyawan yang sakit." Ucap pria itu tanpa melihat wajah Ajeng.

"T– tidak, pak, eh. Mas, saya tidak sakit tolong jangan pecat saya, mas," sanggah Ajeng.

Keringat dingin membasahi seluruh tubuhnya yang ditakutkan Ajeng kini menjadi nyata hari ini dia mendapatkan masalah dan pemecatan itu sudah di depan mata. Entah apa yang akan terjadi setelah ini seandainya aja Ajeng benar-benar tidak diperbolehkan lagi bekerja di toko kue. Bukan hanya kebutuhan yang tentu tidak tercukupi tetapi juga tabungan untuk ibunya pun akan terhenti.

"Ambil uang ini dan pergilah, aku tidak mau memiliki karyawan yang sakit-sakitan seperti kamu. Pergi ke dokter jika kamu sudah sehat kamu bisa bekerja lagi di sini."

"Maaf mas, aku tidak sakit. Untuk apa saya berobat?" bantah Ajeng.

Ajeng memasang wajah tidak puas. Selama ini Ajeng tidak mengidap suatu penyakit, tetapi hatinya yang sakit. Sakit tak berdarah itu yang sebenarnya.

Melihat sikap dan kegelisahan Ajeng, pria itu tersenyum. Kini menatap wajah pucat dan ketakutan Ajeng begitu jelas di matanya.

Ya, tatapan mereka saling beradu sorot mata hitam bertemu dengan sorot mata sendu, sarat akan kesedihan.

"Kamu pikir aku memecat kamu? Aku tahu kualitas kamu bekerja di toko. Uang ini untuk kamu berobat, istirahat di rumah sakit agar kamu mendapatkan obat atau vitamin. Sekarang berkemas kamu boleh pulang dan lusa kamu boleh masuk."

Ajeng tidak menyangka jika bos barunya begitu baik, tapi bukan itu yang menjadi beban Ajeng. Namun saat di rumah, melihat bagaimana sikap suami dan madunya memperlihatkan kemesraan mereka.

"Aku yang menggantikan Mama, mulai hari ini. Melihat kegigihan kamu dalam bekerja dan kondisi kamu yang sepertinya tidak sehat itu yang membuat aku ingin kamu pergi ke rumah sakit dan periksakan kondisi tubuh kamu yang tidak sehat itu. Bukan berarti aku tidak menganggap kamu lain hanya saja aku peduli pada karyawan. Bukan hanya di toko tapi juga di perusahaan."

Amplop coklat ada di tangan Ajeng, dengan langkah berat Ajeng meninggalkan ruangan bos baru. Ajeng mengikuti saran bosnya, pergi ke salah satu rumah sakit.

"Ai, aku pulang dulu. Bos baru menyuruhku ke rumah sakit." Aini mengerutkan keningnya

"Rumah sakit? Untuk apa?" tanya Aini.

Ajeng menceritakan apa yang dikatakan oleh bos barunya saat berada di ruang kerjanya hal itu membuat Aini tertawa mendengar penuturannya.

"Turuti saja bos kamu. Itung-itung kamu istirahat di rumah sakit sesuai perkataan bos."

Aini mengantar Ajeng keluar dari toko menolak untuk memesan taksi online membuat Ajeng berjalan menuju halte bus.

Sebuah mobil mewah berhenti di samping Ajeng. Kaca di turunkan memperlihatkan pemiliknya, Ajeng tahu hanya diam tanpa berniat untuk menyapa.

"Ayo, naik! Aku antar kamu ke rumah sakit. Kita satu arah." Ujarnya.

Pria itu keluar dari mobil dan membukakan pintu samping kemudi untuk Ajeng.

"Maafkan saya, mas, biarkan saya jalan kaki ke halte bus. Kebetulan sudah dekat." Tolak Ajeng. Tak ingin satu mobil dengan orang lain terlebih bukan mahram.

"Saya tidak suka bantahan. Jadi cepetan naik sebelum saya berubah pikiran untuk memecat kamu." Ucapnya tegas.

Tanpa pikir lagi Ajeng masuk ke dalam mobil dan duduk dengan tenang meski ia khawatir akan menjadi fitnah jika ada orang yang mengenalinya melihat. Dalam mobil begitu sepi tanpa ada yang memulai bersuara. Tanpa terasa mobil telah sampai di rumah sakit, Ajeng keluar dari mobil namun kesulitan untuk membukanya.

Pti itu keluarga lebih dulu dan membukakan pintu untuk Ajeng diperlakukan sedemikian membuat Ajeng merasa bersalah pada Dimas. Bagaimana jika yang dilakukannya diketahui salah satu keluarganya tentu akan menjadi bumerang.

"Terima kasih sudah mengantar saya ke rumah sakit Mas. Kalau begitu saya permisi." Ucap Ajeng, cepat.

Langkah panjang untuk menghindari bos baru tidak berhasil. Bos barunya mencekal pergelangan tangannya.

"Maaf, aku tidak bermaksud menahan kamu. Tapi, aku ingin tahu kenapa kamu begitu takut dengan 'ku? Apa aku terlihat menyeramkan untuk kamu?" tanya bos baru.

"T– tidak, bukan Itu. Saya bersuami tidak ingin menjadi fitnah nanti." Jujur Ajeng.

Bos baru mengangguk mengerti namun, saat akan menjawab suara dari belakang mengejutkan mereka.

"Oh, jadi begini yang ngaku kerja di toko, taunya ada di rumah sakit dengan pria lain atau jangan-jangan kamu mau periksa kandungan iya? Atau kamu mau mengugurkan kandungan kamu karena itu bukan anak dari suami kamu? Ternyata tambang alim tidak menjamin kalau di luar setia. Lihat bagaimana wajah polosnya yang penuh tipu daya. Ternyata itu hanyalah kedok untuk menutupi kebusukan kamu. Ajeng, siap-siap kamu di cerai oleh suami kita. Dan aku akan menjadi istri satu-satunya mas Dimas."

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Mahar Sepuluh Ribu    116. SAH

    "Itu tidak sebanding dengan kamu yang menerima cintaku, Aisha. Aku berjanji akan membuatmu bahagia selamanya. Tidak ada lagi mahar Sepuluh Ribu atau pun nafkah sepuluh ribu padamu. Ingatkan aku jika lalai dalam memberimu nafkah," ucap Khandra lembut."Kamu adalah segalanya untukku. Dan padamu aku berlabuh, menyerahkan segalanya, cintai aku jika aku layak untuk kamu cintai. Sebaliknya jika aku tak layak maka –" Khandra terdiam. Tatapan Aisha tak biasa."Kamu bicara apa, sih, Dra? Ngelantur aja. Aku suka cincin ini, akan aku pakai.""Alhamdulillah, ayok. Kita pulang, jadi mau ke rumah Wina? Apa bunda tadi, ya?""Mas anterin aku ke pabrik aja ya. Tadi ada telpon katanya ada masalah di sana.""Oke. Jangan lupa sebentar lagi kita akan tunangan. Aku tidak mau kamu lelah.""Ya. Kamu jangan khawatir."Wina yang menikmati hari-harinya sebagai istri dari Arga putra bungsu dari keluarga Rayyan. Tidak ada hari terlewat untuk saling berbagi cerita. Seperti siang ini setelah menyelesaikan pekerjaa

  • Mahar Sepuluh Ribu    115. Cincin Berlian

    Jawaban Aisha membuat semua yang ada di ruang keluarga pun bersorak bahagia sebab penantian panjang Khandra berakhir dengan manis. Aisha wanita yang ia cintai sejak lama menerima cintanya tanpa syarat. Tidak ingin menunggu lagi Khandra pun meminta pada kedua orang tua Aisha untuk mempercepat pernikahan mereka tentu saja hal itu disambut bahagia oleh kedua orang tua Aisha dan keluarga besarnya. Mengingat mereka sangat mengenal siapa Khandra yang sebenarnya namun sayang dibalik kabar bahagia itu ada rasa rindu dan sedih Khandra tidak bisa memberitahukan kabar bahagia itu pada sang Ibu sebab wanita yang sangat mendukung hubungannya dengan Aisha telah pergi untuk selamanya tepat Aisha pergi ke luar negeri. Mereka sudah sepakat jika seminggu lagi mereka akan bertunangan keluarga ingin mereka segera menikah namun Aisha menginginkan mereka tunangan untuk sementara waktu sampai tiga bulan. Bukan tidak mungkin Aisha hanya menyiapkan semua bukan hanya hatinya tapi juga kesiapan lahirnya.

  • Mahar Sepuluh Ribu    114. Lamaran

    Suara Aisha kembali terdengar setelah menyelesaikan lantunan ayat suci. Kini wanita bergamis jingga berdiri menghampiri keluarganya yang terdiam di sana menatap tak percaya jika di hadapan mereka adalah Aisha. Keterkejutan dan kesedihan di wajah mereka berubah menjadi air mata bahagia mendapati sosok yang kini tengah berjalan ke arah mereka.Satu tahun mereka menahan rindu, meski mereka mampu untuk datang menemui Aisha namun mereka mengurungkannya mengingat sang putri menolak untuk di temui. Tidak bermaksud untuk membuat kedua orang tuanya tersinggung akan penolakannya tetapi Aisha memiliki alasan sendiri mengapa ia tidak ingin ditemui sebab jika sudah bertemu dengan keluarganya tentu membuat Aisha ingin segera kembali ke rumah. "Sayang kenapa kamu tidak memberi kabar jika pulang?""Kalau aku memberitahu Bunda namanya bukan kejutan. Apa kabar bunda, ayah dan kamu Arga, ah, lupa adik Iparku yang cantik. Bagaimana dengan kalian semua aku merindukan kalian semua.""Kabar kami baik, kak.

  • Mahar Sepuluh Ribu    113. Kejutan

    Perjalanan hidup seseorang tidak ada yang tahu bagaimana kedepannya. Seperti yang dialami oleh Aisha setelah pernikahan adiknya dengan sang sahabat dia pun memutuskan untuk pergi ke luar negeri untuk menyembuhkan luka hatinya akibat pengkhianatan dilakukan oleh suaminya. Walau hal itu terjadi sudah cukup lama namun luka itu sangat membekas di hatinya sehingga ia memilih untuk menenangkan diri. Lamaran dari sahabat kecilnya pun dia abaikan bukan berarti tidak ada perasaan apapun ia hanya ingin menyelami perasaannya apakah ia benar-benar sudah melupakan Ferdi mantan suaminya, apakah hanya rasa iba yang kelak akan menjadi permasalahan baru jika dia menerima cinta Khandra. Satu tahun berlalu setelah dia pergi ke negeri orang bukan untuk menghindari akan tetapi ia ingin mengobati lukanya sendiri. Senyumnya mengembang melihat seseorang yang sudah menunggunya. "Apa aku terlambat datang?" "Tidak. Justru sebaliknya sepertinya kamu terlalu cepat sehingga kamu harus menunggu aku datan

  • Mahar Sepuluh Ribu    112. Pesta

    Kesibukan terlihat di salah satu hotel ternama di ibukota bukan hanya pengantinnya saja tetapi pihak keluarga dari pembelai pria pun sangat sibuk bukan karena tidak percaya dengan orang lain, tetapi mereka ingin memberikan kesan tersendiri untuk salah satu keluarga mereka yang tidak lain adalah Arga yang akan menikah dengan Wina. Pernikahan berlangsung dengan hikmah pagi tadi dan malam nanti dimulainya pesta yang tentu dengan meriah dan mewah. Mengingat Wina hidup sebatang kara sebab sang Bibi yang dulu mengurusnya telah meninggal beberapa tahun yang lalu sehingga semua disiapkan oleh keluarga Ajeng. Aisha orang yang menyatukan hubungan mereka justru kini ia disibukkan dengan segala kerempongan yang dilakukan adik iparnya yang begitu cemas mengingat mereka akan menghabiskan malam untuk pertama kalinya dengan seorang pria. Berulang kali Aisha menjelaskan bahwa hal itu lumrah terjadi karena ia pun pernah merasakan hal yang sama yang kini dirasakan oleh Wina sebab saat itu Aisha begit

  • Mahar Sepuluh Ribu    111. Menikahlah Denganku

    Hari berlalu begitu cepat minggu berganti bulan dan kini setahun sudah setelah kejadian di mana keluarga mantan suaminya datang ke rumah bersama ibu dan istrinya. Aisha sudah memutuskan untuk menjalani kehidupan tanpa ada rasa dendam dalam hati.Kabar hukuman tiga puluh tahun sampai di telinganya, namun Aisha yang diam-diam meminta pihak berwajib untuk mengurangi hukuman jika terbukti Wulan telah sadar dan bertaubat. Semua ia lakukan mengingat wanita yang berusaha untuk menyingkirkan dirinya seusia Ibunya, mana mungkin Aisha tega melakukan hal itu. Menghabiskan waktu lama di dalam penjara hal yang sangat ia takutkan."Kamu yakin nak?""Ya, bund, kasihan. Bund tahu kan Tante Wulan itu sudah cukup umur. Melihat Tante Wulan, aku ingat Bunda,"Ajeng tersenyum begitu beruntung memiliki anak seperti Aisha dan Arga yang selalu memikirkan perasaan orang lain meski hatinya terluka. "Apa Bunda tidak setuju, dengan keputusan yang aku ambil ini?""Tentu tidak sayang. Justru sebaliknya Bunda sang

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status