Share

7. Bos Baru

Ajeng yang tersentak dengan ucapan pria di depan memaksakan dirinya mengangkat wajahnya. Pria tampan dengan setelah jas berdiri melihatnya penuh intimidasi.

"Maaf, tapi saya benar. Tidak mungkin saya panggil ibu, anda kan seorang laki-laki." Ujar Ajeng, tak ingin mengalah.

"Aku tahu, aku laki-laki. Tapi tidak seharusnya kamu panggil aku pak, bisa kan kamu panggil aku, mas atau apa gitu. Pak itu untuk orang tua," ujar pria itu.

Ajeng menggeleng acuh, tak habis pikir dengan pria di depannya. Menolak tua? Atau tidak ingin terlihat memiliki istri? Sedetik kemudian senyum indah Ajeng dan sikap ramah tak hilang meski kesal pada pria yang kini menatapnya.

"Baik silahkan, mas mau pilih yang mana? Ada berapa varian baru dan rasanya lebih enak tentu dengan harga yang lebih tinggi." Jelas Ajeng.

"Oke, aku pilih varian baru tolong bawa ke kantor. Satu lagi, tetap tersenyum seperti itu." Ujar pria di depannya, pergi begitu saja.

Meski penasaran dan kesal Ajeng tetap melakukan perintah pria yang saja masuk ke ruangan khusus untuk pemilik toko. Ajeng menyadari siapa laki-laki yang baru saja memesan kue dengan varian baru.

"Astaghfirullahaladzim, jangan-jangan dia–" Ajeng menutup mulutnya dengan kedua tangannya tidak menyangka jika hari ini adalah hari di mana dia akan mendapatkan masalah oleh pemilik baru tempatnya bekerja.

"Jeng, kamu kenapa? Aku lihat dari tadi kamu tegang?" Aini menghampiri Ajeng yang mengusap keringat di dahinya.

"Ai, kamu tahu siapa yang menjadi bos di sini?" tanya Ajeng, tanpa menjawab pertanyaan dari Aini.

"Tahu, dia anaknya Bu Widya yang baru pulang dari luar negeri. Memangnya kenapa?" tanya Aini, penasaran.

"Mati aku!" Ajeng menepuk jidatnya.

"Aku pergi dulu, nanti aku cerita." Ajeng berlalu dari hadapan Aini dengan membawa kue dengan varian baru ke ruangan yang di jadikan kantor oleh Bu Widya.

"Lama sekali, kamu!" tegus pria yang fokus ke laptop.

"Maaf, saya –" gugup Ajeng.

"Pulanglah, wajah kamu pucat. Aku tidak mau memiliki karyawan yang sakit." Ucap pria itu tanpa melihat wajah Ajeng.

"T– tidak, pak, eh. Mas, saya tidak sakit tolong jangan pecat saya, mas," sanggah Ajeng.

Keringat dingin membasahi seluruh tubuhnya yang ditakutkan Ajeng kini menjadi nyata hari ini dia mendapatkan masalah dan pemecatan itu sudah di depan mata. Entah apa yang akan terjadi setelah ini seandainya aja Ajeng benar-benar tidak diperbolehkan lagi bekerja di toko kue. Bukan hanya kebutuhan yang tentu tidak tercukupi tetapi juga tabungan untuk ibunya pun akan terhenti.

"Ambil uang ini dan pergilah, aku tidak mau memiliki karyawan yang sakit-sakitan seperti kamu. Pergi ke dokter jika kamu sudah sehat kamu bisa bekerja lagi di sini."

"Maaf mas, aku tidak sakit. Untuk apa saya berobat?" bantah Ajeng.

Ajeng memasang wajah tidak puas. Selama ini Ajeng tidak mengidap suatu penyakit, tetapi hatinya yang sakit. Sakit tak berdarah itu yang sebenarnya.

Melihat sikap dan kegelisahan Ajeng, pria itu tersenyum. Kini menatap wajah pucat dan ketakutan Ajeng begitu jelas di matanya.

Ya, tatapan mereka saling beradu sorot mata hitam bertemu dengan sorot mata sendu, sarat akan kesedihan.

"Kamu pikir aku memecat kamu? Aku tahu kualitas kamu bekerja di toko. Uang ini untuk kamu berobat, istirahat di rumah sakit agar kamu mendapatkan obat atau vitamin. Sekarang berkemas kamu boleh pulang dan lusa kamu boleh masuk."

Ajeng tidak menyangka jika bos barunya begitu baik, tapi bukan itu yang menjadi beban Ajeng. Namun saat di rumah, melihat bagaimana sikap suami dan madunya memperlihatkan kemesraan mereka.

"Aku yang menggantikan Mama, mulai hari ini. Melihat kegigihan kamu dalam bekerja dan kondisi kamu yang sepertinya tidak sehat itu yang membuat aku ingin kamu pergi ke rumah sakit dan periksakan kondisi tubuh kamu yang tidak sehat itu. Bukan berarti aku tidak menganggap kamu lain hanya saja aku peduli pada karyawan. Bukan hanya di toko tapi juga di perusahaan."

Amplop coklat ada di tangan Ajeng, dengan langkah berat Ajeng meninggalkan ruangan bos baru. Ajeng mengikuti saran bosnya, pergi ke salah satu rumah sakit.

"Ai, aku pulang dulu. Bos baru menyuruhku ke rumah sakit." Aini mengerutkan keningnya

"Rumah sakit? Untuk apa?" tanya Aini.

Ajeng menceritakan apa yang dikatakan oleh bos barunya saat berada di ruang kerjanya hal itu membuat Aini tertawa mendengar penuturannya.

"Turuti saja bos kamu. Itung-itung kamu istirahat di rumah sakit sesuai perkataan bos."

Aini mengantar Ajeng keluar dari toko menolak untuk memesan taksi online membuat Ajeng berjalan menuju halte bus.

Sebuah mobil mewah berhenti di samping Ajeng. Kaca di turunkan memperlihatkan pemiliknya, Ajeng tahu hanya diam tanpa berniat untuk menyapa.

"Ayo, naik! Aku antar kamu ke rumah sakit. Kita satu arah." Ujarnya.

Pria itu keluar dari mobil dan membukakan pintu samping kemudi untuk Ajeng.

"Maafkan saya, mas, biarkan saya jalan kaki ke halte bus. Kebetulan sudah dekat." Tolak Ajeng. Tak ingin satu mobil dengan orang lain terlebih bukan mahram.

"Saya tidak suka bantahan. Jadi cepetan naik sebelum saya berubah pikiran untuk memecat kamu." Ucapnya tegas.

Tanpa pikir lagi Ajeng masuk ke dalam mobil dan duduk dengan tenang meski ia khawatir akan menjadi fitnah jika ada orang yang mengenalinya melihat. Dalam mobil begitu sepi tanpa ada yang memulai bersuara. Tanpa terasa mobil telah sampai di rumah sakit, Ajeng keluar dari mobil namun kesulitan untuk membukanya.

Pti itu keluarga lebih dulu dan membukakan pintu untuk Ajeng diperlakukan sedemikian membuat Ajeng merasa bersalah pada Dimas. Bagaimana jika yang dilakukannya diketahui salah satu keluarganya tentu akan menjadi bumerang.

"Terima kasih sudah mengantar saya ke rumah sakit Mas. Kalau begitu saya permisi." Ucap Ajeng, cepat.

Langkah panjang untuk menghindari bos baru tidak berhasil. Bos barunya mencekal pergelangan tangannya.

"Maaf, aku tidak bermaksud menahan kamu. Tapi, aku ingin tahu kenapa kamu begitu takut dengan 'ku? Apa aku terlihat menyeramkan untuk kamu?" tanya bos baru.

"T– tidak, bukan Itu. Saya bersuami tidak ingin menjadi fitnah nanti." Jujur Ajeng.

Bos baru mengangguk mengerti namun, saat akan menjawab suara dari belakang mengejutkan mereka.

"Oh, jadi begini yang ngaku kerja di toko, taunya ada di rumah sakit dengan pria lain atau jangan-jangan kamu mau periksa kandungan iya? Atau kamu mau mengugurkan kandungan kamu karena itu bukan anak dari suami kamu? Ternyata tambang alim tidak menjamin kalau di luar setia. Lihat bagaimana wajah polosnya yang penuh tipu daya. Ternyata itu hanyalah kedok untuk menutupi kebusukan kamu. Ajeng, siap-siap kamu di cerai oleh suami kita. Dan aku akan menjadi istri satu-satunya mas Dimas."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status