Ajeng yang tersentak dengan ucapan pria di depan memaksakan dirinya mengangkat wajahnya. Pria tampan dengan setelah jas berdiri melihatnya penuh intimidasi.
"Maaf, tapi saya benar. Tidak mungkin saya panggil ibu, anda kan seorang laki-laki." Ujar Ajeng, tak ingin mengalah."Aku tahu, aku laki-laki. Tapi tidak seharusnya kamu panggil aku pak, bisa kan kamu panggil aku, mas atau apa gitu. Pak itu untuk orang tua," ujar pria itu.Ajeng menggeleng acuh, tak habis pikir dengan pria di depannya. Menolak tua? Atau tidak ingin terlihat memiliki istri? Sedetik kemudian senyum indah Ajeng dan sikap ramah tak hilang meski kesal pada pria yang kini menatapnya."Baik silahkan, mas mau pilih yang mana? Ada berapa varian baru dan rasanya lebih enak tentu dengan harga yang lebih tinggi." Jelas Ajeng."Oke, aku pilih varian baru tolong bawa ke kantor. Satu lagi, tetap tersenyum seperti itu." Ujar pria di depannya, pergi begitu saja.Meski penasaran dan kesal Ajeng tetap melakukan perintah pria yang saja masuk ke ruangan khusus untuk pemilik toko. Ajeng menyadari siapa laki-laki yang baru saja memesan kue dengan varian baru."Astaghfirullahaladzim, jangan-jangan dia–" Ajeng menutup mulutnya dengan kedua tangannya tidak menyangka jika hari ini adalah hari di mana dia akan mendapatkan masalah oleh pemilik baru tempatnya bekerja."Jeng, kamu kenapa? Aku lihat dari tadi kamu tegang?" Aini menghampiri Ajeng yang mengusap keringat di dahinya."Ai, kamu tahu siapa yang menjadi bos di sini?" tanya Ajeng, tanpa menjawab pertanyaan dari Aini."Tahu, dia anaknya Bu Widya yang baru pulang dari luar negeri. Memangnya kenapa?" tanya Aini, penasaran."Mati aku!" Ajeng menepuk jidatnya."Aku pergi dulu, nanti aku cerita." Ajeng berlalu dari hadapan Aini dengan membawa kue dengan varian baru ke ruangan yang di jadikan kantor oleh Bu Widya."Lama sekali, kamu!" tegus pria yang fokus ke laptop."Maaf, saya –" gugup Ajeng."Pulanglah, wajah kamu pucat. Aku tidak mau memiliki karyawan yang sakit." Ucap pria itu tanpa melihat wajah Ajeng."T– tidak, pak, eh. Mas, saya tidak sakit tolong jangan pecat saya, mas," sanggah Ajeng.Keringat dingin membasahi seluruh tubuhnya yang ditakutkan Ajeng kini menjadi nyata hari ini dia mendapatkan masalah dan pemecatan itu sudah di depan mata. Entah apa yang akan terjadi setelah ini seandainya aja Ajeng benar-benar tidak diperbolehkan lagi bekerja di toko kue. Bukan hanya kebutuhan yang tentu tidak tercukupi tetapi juga tabungan untuk ibunya pun akan terhenti."Ambil uang ini dan pergilah, aku tidak mau memiliki karyawan yang sakit-sakitan seperti kamu. Pergi ke dokter jika kamu sudah sehat kamu bisa bekerja lagi di sini.""Maaf mas, aku tidak sakit. Untuk apa saya berobat?" bantah Ajeng.Ajeng memasang wajah tidak puas. Selama ini Ajeng tidak mengidap suatu penyakit, tetapi hatinya yang sakit. Sakit tak berdarah itu yang sebenarnya.Melihat sikap dan kegelisahan Ajeng, pria itu tersenyum. Kini menatap wajah pucat dan ketakutan Ajeng begitu jelas di matanya.Ya, tatapan mereka saling beradu sorot mata hitam bertemu dengan sorot mata sendu, sarat akan kesedihan."Kamu pikir aku memecat kamu? Aku tahu kualitas kamu bekerja di toko. Uang ini untuk kamu berobat, istirahat di rumah sakit agar kamu mendapatkan obat atau vitamin. Sekarang berkemas kamu boleh pulang dan lusa kamu boleh masuk."Ajeng tidak menyangka jika bos barunya begitu baik, tapi bukan itu yang menjadi beban Ajeng. Namun saat di rumah, melihat bagaimana sikap suami dan madunya memperlihatkan kemesraan mereka."Aku yang menggantikan Mama, mulai hari ini. Melihat kegigihan kamu dalam bekerja dan kondisi kamu yang sepertinya tidak sehat itu yang membuat aku ingin kamu pergi ke rumah sakit dan periksakan kondisi tubuh kamu yang tidak sehat itu. Bukan berarti aku tidak menganggap kamu lain hanya saja aku peduli pada karyawan. Bukan hanya di toko tapi juga di perusahaan."Amplop coklat ada di tangan Ajeng, dengan langkah berat Ajeng meninggalkan ruangan bos baru. Ajeng mengikuti saran bosnya, pergi ke salah satu rumah sakit."Ai, aku pulang dulu. Bos baru menyuruhku ke rumah sakit." Aini mengerutkan keningnya"Rumah sakit? Untuk apa?" tanya Aini.Ajeng menceritakan apa yang dikatakan oleh bos barunya saat berada di ruang kerjanya hal itu membuat Aini tertawa mendengar penuturannya."Turuti saja bos kamu. Itung-itung kamu istirahat di rumah sakit sesuai perkataan bos."Aini mengantar Ajeng keluar dari toko menolak untuk memesan taksi online membuat Ajeng berjalan menuju halte bus.Sebuah mobil mewah berhenti di samping Ajeng. Kaca di turunkan memperlihatkan pemiliknya, Ajeng tahu hanya diam tanpa berniat untuk menyapa."Ayo, naik! Aku antar kamu ke rumah sakit. Kita satu arah." Ujarnya.Pria itu keluar dari mobil dan membukakan pintu samping kemudi untuk Ajeng."Maafkan saya, mas, biarkan saya jalan kaki ke halte bus. Kebetulan sudah dekat." Tolak Ajeng. Tak ingin satu mobil dengan orang lain terlebih bukan mahram."Saya tidak suka bantahan. Jadi cepetan naik sebelum saya berubah pikiran untuk memecat kamu." Ucapnya tegas.Tanpa pikir lagi Ajeng masuk ke dalam mobil dan duduk dengan tenang meski ia khawatir akan menjadi fitnah jika ada orang yang mengenalinya melihat. Dalam mobil begitu sepi tanpa ada yang memulai bersuara. Tanpa terasa mobil telah sampai di rumah sakit, Ajeng keluar dari mobil namun kesulitan untuk membukanya.Pti itu keluarga lebih dulu dan membukakan pintu untuk Ajeng diperlakukan sedemikian membuat Ajeng merasa bersalah pada Dimas. Bagaimana jika yang dilakukannya diketahui salah satu keluarganya tentu akan menjadi bumerang."Terima kasih sudah mengantar saya ke rumah sakit Mas. Kalau begitu saya permisi." Ucap Ajeng, cepat.Langkah panjang untuk menghindari bos baru tidak berhasil. Bos barunya mencekal pergelangan tangannya."Maaf, aku tidak bermaksud menahan kamu. Tapi, aku ingin tahu kenapa kamu begitu takut dengan 'ku? Apa aku terlihat menyeramkan untuk kamu?" tanya bos baru."T– tidak, bukan Itu. Saya bersuami tidak ingin menjadi fitnah nanti." Jujur Ajeng.Bos baru mengangguk mengerti namun, saat akan menjawab suara dari belakang mengejutkan mereka."Oh, jadi begini yang ngaku kerja di toko, taunya ada di rumah sakit dengan pria lain atau jangan-jangan kamu mau periksa kandungan iya? Atau kamu mau mengugurkan kandungan kamu karena itu bukan anak dari suami kamu? Ternyata tambang alim tidak menjamin kalau di luar setia. Lihat bagaimana wajah polosnya yang penuh tipu daya. Ternyata itu hanyalah kedok untuk menutupi kebusukan kamu. Ajeng, siap-siap kamu di cerai oleh suami kita. Dan aku akan menjadi istri satu-satunya mas Dimas."Ajeng memilih untuk pulang ke rumah, mengabaikan bos baru yang diam dengan keadaan yang membuatnya sulit untuk membela diri. Walau semua tumbuhan itu tidak benar.Sampai di rumah mobil Dimas sudah terparkir di halaman, Ajeng menguatkan hati dan mentalnya untuk menghadapi keluarga Dimas yang menunggunya di dalam termasuk Wulan.Dan benar saja saat kakinya melangkah di teras mereka menatap tajam Ajeng terlebih lagi Dimas kini berdiri dan menyeretnya dengan kasar.Tanpa bertanya tangannya terkepal kuat, melayang di wajahnya."Katakan anak siapa yang kamu kandung hah? Apa pria yang menghantarkan kamu ke rumah sakit? Jadi selama ini kamu sudah berselingkuh di belakang aku, Ajeng? Katakan!" suara Dimas meninggi, begitu tinggi hingga tubuh Ajeng bergetar. Belum hilang rasa sakit di wajahnya kini suara Dimas yang berhasil menggetarkan tubuhnya nyari. Ini adalah kali pertama Dimas marah dengan suara yang cukup keras, meskipun mereka kerap kali bertengkar, suara di Dimas tak setinggi sekarang
Sampai di kost Aini, Ajeng mencecar pertanyaan yang sejak tadi ia simpan berharap sang sahabat bersedia menjelaskan saat bertemu."Mana yang harus aku jawab dulu, Jeng? Banyak banget pertanyaannya," Aini tertawa, melihat tingkah sahabatnya."Duduk dulu, minum abis itu istirahat baru cerita. Kalau sekarang, aku juga laper. Makan dulu yu," Aini membuatkan teh hangat, ia tahu apa yang terjadi pada sahabatnya.Aini menunggu berapa saat Ajeng yang membersihkan diri dan shalat. Kini berdua duduk saling berhadapan tak ada yang mengeluarkan suara. Sebelum air matanya tumpah terlebih melihat wajah Ajeng yang merah akibat tamparan."Sekarang sudah tenang, Jeng?" "Ya, Ai, sekarang kamu jawab pertanyaan aku. Siapa yang memberitahukan kamu tentang aku? Bagaimana kamu tahu kalau aku di usir?" tanya Ajeng.Aini menepuk tangan sahabatnya tidak mungkin mengatakan yang sebenarnya kalau bos mereka yang melihat dan memintanya untuk memberikan tawaran tinggal di kost."Kebetulan tadi ada tetangga kamu,
Hati ibu mana yang tidak sakit saat putrinya pulang dalam keadaan kurus dan wajahnya yang pucat bahkan beberapa lebam di wajahnya. Berbeda jauh saat Bu Sekar melepaskan putrinya pergi bersama laki-laki yang sudah menjadi suaminya dan keluarganya. Satu setengah tahun bahkan itu terhitung Ajeng menikah. Pengantin baru bagi sebagian orang namun, kenyataan pahit yang didapatkan wanita yang masih terlihat cantik meski usianya yang tidak mudah lagi."Jangan sembarangan bicara seperti itu besan, aku tahu bagaimana Ajeng. Anakku mana mungkin dia melakukan hal yang serendah itu aku tahu kalian pasti berbohong," Bu Sekar menentang keras tuduhan yang dilontarkan oleh Bu Ida pada Ajeng. "Lah, memang benar. Anda mau nuduh saya bohong, begitu? Hei, punya anak itu di didik dengan baik dan benar. Jangan kayak anak anda ini punya suami baik, kaya, malah selingkuh sampai hamil, pula!" suara Bu Ida, yang keras sehingga tetangga Ajeng berdatangan untuk melihat apa yang terjadi pada Ajeng dan ibunya.Mere
Bertiga menolah ke arah pintu di mana seorang laki-laki tinggi berdiri menatap mereka. Bu Sekar dan Ajeng saling melepaskan pelukan mereka dan saling menatap satu sama lainnya."A – Aini," lirih Ajeng, terbata. Menuntut kejelasan pada Aini, tidak mungkin pemilik toko dan perusahaan bersedia datang ke rumahnya yang sederhana bahkan di bilang kumuh oleh keluarga Dimas.Aini menggeleng bukti jika dirinya pun tak tahu soal bos mereka yang tiba-tiba sudah di rumah Ajeng."Nak siapa, dia? Kenapa mengaku sebagai bos kalian? Apa kalian mengenalnya?" tanya Bu Sekar. Di lihatnya dua wanita muda yang mengangguk bersamaan.Bu Sekar tersenyum itu artinya pria yang berdiri di ambang pintu adalah orang yang baik dan tidak menyebar fitnah di kemudian hari. Namun, sesaat bibirnya kembali murung jika benar pria itu bos mereka itu artinya yang di katakan besannya itu benar. Apa mungkin putrinya berhubungan dengan bosnya?"Astaghfirullahaladzim," gumam Bu Sekar."Assalamualaikum, Bu, maaf sudah lancang
"Wulan ada apa, nak? Apanya yang kotor?" Bu Ida, menghampiri Wulan yang berdiri di atas kursi."I – itu, kenapa kotor? Ada kecoa lagi, jorok banget sih! Apa nggak ada yang niat bersihin?" Wulan menunjuk kecoa di bawah meja, berapa plastik bekas makanan berserakan di lantai dan meja. Kompor yang berminyak, piring kotor dimana-mana. "Oh, itu gampang. Biar Dimas buang ya," Bu Ida menepuk lengan Dimas, menyuruhnya mengambil sapu untuk membuang kecoa."Jangan! Kenapa harus nyuruh mas Dimas? Kan ada ibu sama mbak Tisna, Tyas juga ada. Untuk apa nyuruh mas Dimas? Bisa 'kan kalian yang buang?" sergah Wulan. Sapu yang ada tangan Dimas, diambil dan di berikan pada Bu Ida yang hanya diam terpaku. Sudah lama ia tidak memegang sapu sejak Ajeng tinggal di rumahnya. Jangankan untuk mengerjakan hal berat. Sekedar mengambil minum, itu pun Bu Ida selalu meminta Ajeng menyiapkan di kamar."A– apa harus, ibu?" gumam Bu Ida, bingung harus bagaimana cara membuang kecoa yang ada di bawah kaki Wulan. Dima
"Oke, aku setuju. Tapi ingat kamar dia nggak boleh di atas. Tapi, di bawah lebih tepatnya di samping dapur. Kita bongkar gudang itu untuk jadi kamarnya Ajeng. Jangan ada yang dekat sama dia selama di sini!" ujar Wulan, mengiyakan ucapan Tyas dengan nada mengancam."Itu hal yang gampang. Tapi, bagaimana caranya membawa Ajeng kembali ke rumah?" kali ini Tyas mengangkat bahunya menyerah untuk memikirkan cara agar bisa membawa Ajeng ke rumah mereka lagi.Berbeda dengan ibu, istri dan saudaranya Dimas terdiam tanpa menimpali ucapan mereka enggan untuk berkomentar baginya diam yang terbaik. Memikirkan bagaimana perasaan Ajeng jika harus di jemput kembali ke tempat yang tidak seharusnya, karena ia telah menjatuhkan talak dan membiarkan Ajeng kembali atau tetap tinggal. Justru keluarganya yang mengusir Ajeng termasuk dirinya. Semua yang di lakukan Ajeng sudah ditolak olehnya, terlebih sosok pria yang berada di samping Ajeng meski tidak melihat wajahnya namun hal itu membuat Dimas cemburu."D
"Siapa Bu?" Ajeng menghampirinya Bu Sekar. Yang makan berdiri di depan pintu.Reaksi yang sama saat melihat seseorang yang berdiri di sana. Wajahnya mencelos pria yang menancapkan ribuan belati di hatinya kini berdiri tanpa bersalah."Apa kabar, Jeng? Boleh mas, masuk?" Masuk? Bukankah ibunya sudah mengizinkannya untuk masuk? Ajeng hanya mengangguk. Gegas pergi ke dapur membuatkan teh hangat untuk pria yang masih berstatus suaminya secara hukum."Untuk apa kamu datang ke sini? Belum puas kamu sakiti hati Ajeng? Kamu lupa janji kamu sama ibu?" ucap Bu Sekar, lirih. Sangat lirih sehingga terdengar hanya di telinga Dimas.Bu Sekar tidak lupa apa yang pernah di ucapkan Dimas padanya, sebagai bentuk rasa terima kasihnya yang sudah memberikan restu. Namun, semua hilang begitu saja seiring Ajeng yang di bawanya pulang ke rumah.Janji yang di ucapkan di depan Bu Sekar tanpa sepengetahuan oleh siapapun. Termasuk Ajeng."Bu, aku ingat dan tujuan aku ke sini ingin meminta maaf pada ibu dan juga
"Kamu gimana sih mas, cuma bawa wanita itu aja kamu nggak bisa!" seru Wulan. Dua jam Dimas diam tanpa memberikan alasan yang kuat mengenai Ajeng tak bisa di bawa pulang. Terbayang kotor dan baunya rumah mertuanya setelah berapa hari sampah, piring kotor dan kain lap yang basah tanpa ada yang berniat untuk di cuci atau di jemur."Mas, kamu diam sih? Jawab dong!" sentak Wulan. Kesal Dimas bungkam sejak kepulangannya dari kantor."Kamu bisa diam sebentar, sayang? Aku lelah, pulang kerja aku pikir ada makanan tapi ini, segelas air saja aku tidak menemukan di atas meja. Pekerjaan ringan itu kamu juga tidak bisa?" ucap Dimas, tak kalah kesal melihat sikap Wulan yang semakin menjadi."Aku bukan pembantu kamu, mas. Kalau haus kamu bisa ambil sendiri, bisa 'kan? Ada Tyas, mbak Tisna sama ibu. Mereka pengangguran beda sama aku yang pagi ke butik pulang malam! Aku pikir nikah sama kamu hidupku lebih berwarna lebih enak tanpa pusing sama urusan rumah tapi, apa? Bahkan di rumahku, aku lebih menik