Beranda / Zaman Kuno / Mahkota di Balik Tirai Cinta / Bab 2. Bayangan Dibalik Tirai Merah

Share

Bab 2. Bayangan Dibalik Tirai Merah

Penulis: Naya_13
last update Terakhir Diperbarui: 2025-10-18 03:34:04

Langit malam di atas Istana Zhenhua terasa lembut dengan diterangi ribuan lentera merah yang menggantung di setiap atap dan paviliun, dari kejauhan terdengar gemerincing musik dan aroma dupa mengalir seperti kabut yang menelusup ke dalam setiap celah tembok batu.

Hari itu seharusnya menjadi malam yang suci, malam pesta penyatuan antara darah keluarga Li dan darah keluarga kekaisaran, namun bagi Li Xian semua itu hanyalah ilusi keindahan. Di balik kain sutra merah yang menghiasi langit-langit aula, ia tahu bahwa malam ini bukan perayaan cinta melainkan awal dari permainan berbahaya bernama kekuasaan

Di aula utama pesta berlangsung megah, Kaisar Zhen duduk di singgasananya ditemani Permaisuri Han di sisi kanan, di bawahnya ada barisan pejabat tinggi dan bangsawan berjejer rapi dengan cawan arak di tangan dan senyum yang penuh kepalsuan. Suara tawa terdengar di mana-mana tapi di antara tawa itu Li Xian bisa merasakan hawa yang asing, dingin dan penuh waspada. Ia duduk di sisi kiri Pangeran Zhao Wei, suaminya yang baru dinikahi pagi tadi.

Wajah sang pangeran tampak tenang namun dingin bagai batu giok, tatapan matanya tajam seolah menembus setiap orang yang berani memandangnya terlalu lama. Li Xian berusaha menjaga sikap, ia memegang kipas sutranya dan menunduk sopan. Tapi di balik cadar tipis yang menutupi sebagian wajahnya, matanya awas mengamati tiap gerakan pelayan dan pejabat yang mendekat.

“Malam ini adalah malam penyatuan dua keluarga besar, biarlah dunia menyaksikan bahwa Kekaisaran Zhenhua berdiri kokoh dalam keharmonisan.” ujar Kaisar dengan senyum tipis, meski matanya menyimpan kelelahan yang tak bisa disembunyikan.

Para tamu mengangkat cawan dan bersorak, “Hidup panjang untuk Kaisar! Hidup panjang untuk Pangeran Kedua dan Putri Li!”

Zhao Wei hanya menunduk singkat lalu kembali menatap meja di depannya, Li Xian menoleh pelan sambil memperhatikan cawan arak di tangan suaminya. Cairan di dalamnya tampak berbeda, berwana bening pucat tak sepekat warna arak bunga peony yang seharusnya merah muda keunguan.

Sekejap nalurinya bergetar, mata Li Xian menyipit memperhatikan cara pelayan menuangkan arak ke cawan itu. Gerak tangannya sedikit gugup dan ketika pelayan itu menyadari tatapan Li Xian, ia menunduk cepat.

“Yang Mulia,” bisik Li Xian pelan, tanpa menatap langsung. “Jangan minum arak itu.”

Zhao Wei menoleh sekilas, suaranya rendah. “Kau melihat sesuatu?”

Li Xian menggerakkan kipasnya perlahan, menyamarkan ucapannya di balik gerakan itu. “Warnanya berbeda dari yang lain , wadahnya mungkin telah diganti.”

Tatapan dingin Zhao Wei melirik cawan itu, ia menaruhnya kembali di meja tanpa bicara dan ketika pelayan itu hendak mundur, Zhao Wei mengulurkan tangan dan meraih pergelangan tangannya. Semua yang ada di ruangan sontak menahan napas.

“Dari mana kau mendapatkan arak ini?” Nada suaranya datar tapi menekan, mengandung ancaman.

Pelayan itu gemetar hebat. “A–aku hanya mengambilnya dari dapur istana, Yang Mulia… aku tidak tahu—”

Cawan itu terjatuh ke lantai hingga isinya tumpah, cairan bening itu mengalir di atas batu marmer. Dalam hitungan detik, warna merah kehitaman muncul dari sela-sela batu, menyebar perlahan seperti darah.

Suasana mendadak Hening, lalu desahan kaget terdengar di antara para tamu. “Racun bunga nightshade,” gumam Zhao Wei datar, memandang cairan itu tanpa ekspresi. “Satu tetes cukup untuk membunuh harimau.”

Kaisar Zhen berdiri dari singgasananya. “Siapa yang berani melakukan hal ini di pesta kerajaan?”

Pelayan itu sudah berlutut gemetar, wajahnya pucat pasi. “Maafkan hamba, Yang Mulia! Aku hanya menjalankan tugas!”

Permaisuri Han menatap dari kejauhan, kipas gioknya menutup separuh wajah. Senyumnya lembut tapi matanya menatap Li Xian lama sekali seolah mengukur sesuatu yang hanya ia sendiri tahu.

Zhao Wei memberi isyarat, dua penjaga segera menyeret pelayan itu keluar. Kaisar memerintahkan penyelidikan tapi Zhao Wei berlutut dan menunduk dalam-dalam.

“Ayahanda tidak perlu repot, aku akan mencari pelakunya sendiri.”

“Zhao Wei, malam ini kau seharusnya menikmati pesta pernikahanmu,” kata Kaisar.

“Istana tidak pernah punya malam damai Ayahanda,” jawabnya tenang.

Li Xian mendengarnya, kata-kata itu menusuk sangat dalam, bukan karena dinginnya tapi karena ketenangan yang menutupi rasa lelah yang begitu dalam.

Setelah pesta dibubarkan angin malam berembus lembut di taman istana, lentera-lentera merah bergoyang perlahan menciptakan bayangan panjang di jalan berbatu. Li Xian berjalan pulang ke paviliunnya ditemani dua pelayan kepercayaannya, Kedua gadis itu tampak cemas tapi Li Xian malah menatap langit membiarkan angin malam menyapu wajahnya.

“Jangan takut,” katanya tenang. “Racun bukan hal baru di istana, yang perlu ditakuti bukan racunnya… melainkan siapa yang menaruhnya.”

Langkah mereka hampir mencapai gerbang taman ketika suara gesekan halus terdengar dari arah pepohonan, Li Xian menoleh cepat dan sekejap kemudian anak panah melesat menembus udara dan menancap ke batu yang hanya sejengkal dari bahunya.

Pelayan menjerit, Li Xian segera menarik keduanya berlindung di balik tiang batu tapi sebelum sempat bergerak lagi, dua panah berikutnya datang beruntun.

“Putri, awas!”

“Jangan keluar!”

Li Xian menahan napas, ia bisa mendengar langkah kaki di atas atap. Pembunuh bayaran, mereka datang dengan cepat, senyap dan terlatih. Tepat ketika anak panah ketiga melesat ada sebuah bayangan hitam muncul dari arah berlawanan yang menarik Li Xian dengan kuat ke tanah.

Satu bilah pedang berkilat di udara, memantulkan sinar lentera.

Clang!

Anak panah terpental, jatuh ke tanah.

Li Xian terkejut dan saat matanya menyesuaikan cahaya, ia melihat wajah orang yang kini berada di hadapannya. Zhao Wei, Pangeran itu berdiri tegak dengan napasnya yang teratur meski darah menetes dari luka kecil di lengan kanannya.

“Aku sudah bilang, jangan berjalan sendirian malam begini,” katanya datar sambil menatap ke arah pepohonan.

Tiga sosok berpakaian hitam melompat turun, masing-masing memegang belati melengkung. Zhao Wei menghunus pedangnya, bilah logamnya berkilat di bawah cahaya lentera.

“Menyerah dan sebutkan siapa tuanmu,” ucapnya dingin. “Atau aku akan membuat kalian bicara dengan cara lain.”

Tak ada jawaban, Tiga penyerang itu langsung menyerbu. Zhao Wei melangkah maju dengan gerakannya yang cepat dan tajam, Li Xian terpaku menyaksikan bagaimana pedang sang pangeran menebas udara dengan presisi mematikan.

Satu tebasan dengan dua langkah dan darah memercik di udara, satu jatuh dan dua lainnya mundur. Namun satu penyerang berhasil menyerang dari belakang, Li Xian tanpa berpikir meraih vas batu di dekatnya dan melemparkannya ke arah si penyerang.

Suara pecahan keras menggema, cukup membuat pria itu kehilangan keseimbangan dan saat itulah Zhao Wei menuntaskan serangannya. Suasana pun menjadi hening, yang terdengar hanya desiran angin malam dan napas mereka berdua yang tersengal.

Zhao Wei memandang Li Xian lama, sebelum berkata. “Tindakanmu bodoh, tapi cukup berani.”

Li Xian menegakkan bahunya, menatap balik. “Jika aku tetap diam, aku sudah mati. Aku hanya memilih cara lain untuk tetap hidup.”

Senyum tipis nyaris tak terlihat pun muncul di sudut bibir Zhao Wei, namun ia segera menyembunyikannya dengan menunduk memeriksa luka di lengannya.

“Kau terluka,” kata Li Xian cepat.

“Bukan luka besar,” jawabnya acuh.

“Luka kecil pun bisa berbahaya bila dibiarkan,” balasnya sambil merobek sedikit ujung lengan bajunya, membalut luka itu dengan hati-hati.

Zhao Wei diam, ia menatap jari-jari Li Xian yang ragu namun dengan gerakan lembut menyentuh kulitnya dengan hati-hati, dan untuk sesaat ia lupa untuk menolak.

“Mengapa kau peduli?” tanyanya pelan.

Li Xian berhenti. “Karena jika kau mati, siapa yang akan membuktikan bahwa aku tidak bersalah?”

Jawaban itu tajam tapi di baliknya terselip keberanian yang aneh dan kejujuran yang membuat Zhao Wei terdiam cukup lama.

Akhirnya ia berkata, “Kau memang berbeda dari perempuan istana lain. Mereka akan menangis, sedangkan kau malah menatap maut seolah itu teman lamamu.”

Li Xian tersenyum samar. “Mungkin karena aku sudah lama berhenti berharap pada hal-hal yang lembut.”

Malam itu mereka berdiri di bawah langit yang redup, dikelilingi lentera yang bergetar ditiup angin. Tidak ada kata manis, tidak ada sentuhan cinta hanya ada keheningan yang perlahan menumbuhkan sesuatu yang tak bisa dijelaskan.

Pagi menjelang dan Istana kembali tenang, namun di balik ketenangan itu ada kabar tentang “insiden malam” beredar diam-diam. Kaisar murka namun Permaisuri Han tersenyum puas, dan Zhao Wei tidak berkata apa pun tapi diam-diam menugaskan orang kepercayaannya menyelidiki siapa dalang di balik serangan itu.

Li Xian duduk di beranda paviliunnya, menatap kolam teratai yang berkilau diterpa matahari pagi. Di tangannya masih ada sapu tangan yang berlumuran darah dari luka Zhao Wei malam tadi, ia menggenggamnya pelan lalu menyelipkannya ke dalam kotak giok di meja rias.

“Tak ada kata suka sebelum dinikahkan,” bisiknya, menatap pantulan wajahnya di air kolam. “Tapi siapa bilang cinta tak bisa datang belakangan?”

Dari kejauhan, di menara utama Zhao Wei menatap ke arah paviliunnya, mereka tak saling menyapa, tak saling menatap langsung namun sesuatu di udara sudah berubah. Dengan perlahan dan nyaris tak terasa ada dua hati yang tadinya membeku mulai bergerak. Di atas langit istana ada seekor burung hitam melintas yang meninggalkan bayangan panjang di antara tirai merah yang masih bergoyang tertiup angin, bayangan pertama dari cinta, sekaligus dari bahaya yang lebih besar.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Mahkota di Balik Tirai Cinta   Bab 13. Langit Tanpa Nama

    Fajar pertama setelah dua bulan menyatu datang dengan keheningan yang aneh, tidak ada suara ayam jantan yang terdengar, tidak ada dentang lonceng pagi, hanya desir angin yang melintas di antara menara istana yang separuh hancur. Di seluruh Kekaisaran Zhenhua langit tampak berbeda, terlalu terang untuk disebut pagi tapi terlalu lembut untuk disebut siang. Rakyat menyebutnya Langit Tanpa Nama, karena warna cahaya itu tak pernah mereka lihat sebelumnya ada campuran perak, emas dan merah muda yang bergerak perlahan seperti napas.Li Xian berdiri di teras tertinggi Paviliun Utama, jubah putih keemasannya berkibar ditiup angin. Dari tempat itu ia bisa melihat seluruh istana yang kini sunyi, istana yang dulu megah tampak seperti cangkang kosong dengan ratusan lentera padam dan bendera-bendera kekaisaran yang sudah robek setengah. Namun di tengah reruntuhan, pohon sakura di halaman tengah mekar padahal musimnya belum tiba. Kelopak-kelopaknya jatuh perlahan ke udara, memancarkan cahaya lembut

  • Mahkota di Balik Tirai Cinta   Bab 12. Dua Bulan di Langit Zhenhua

    Langit Kekaisaran Zhenhua malam itu tampak seperti kain sutra yang disobek dua, di satu sisi bulan putih menggantung tenang seperti biasa, namun di sisi lain muncul bulan merah yang tak seharusnya ada bulan dengan bulat sempurna, yang memancarkan cahaya seperti bara hidup.Seluruh rakyat berlutut memandang langit dengan ngeri, para pendeta di kuil utama berteriak menyebutnya “tanda penghakiman dewa”, sementara para jenderal memerintahkan lonceng perang dibunyikan. Tidak ada yang tahu apa yang sebenarnya terjadi di lembah Guanshi, bahwa sejak cahaya merah itu meledak, angin menjadi berubah arah, salju berhenti turun dan bayangan di tanah mulai bergerak tanpa mengikuti tubuh.Di tengah kehancuran lembah itu kabut merah perlahan menyingkir, batu-batu altar retak dan api sudah padam, hanya bara kecil yang tersisa seperti jantung dunia yang masih berdetak. Li Xian terbaring di atas salju dengan wajahnya yang pucat tapi terlihat damai, darah menetes dari pelipisnya namun luka itu perlahan m

  • Mahkota di Balik Tirai Cinta   Bab 11. Cermin yang Tidak Memantulkan Diri

    Malam itu langit Kekaisaran Zhenhua seperti terbakar, bukan oleh api melainkan oleh warna merah darah yang merayap dari timur ke barat. Bulan diselimuti kabut hitam, seolah langit sedang menutup matanya dari dosa yang akan bangkit.Li Xian berdiri di tengah paviliun pribadinya, lentera menggantung rendah dipaviliunnya, telihat bayangannya terpantul di dinding dengan gerakan lembut tapi terlihat sesuatu yang tampak salah. Setiap kali ia bergerak, bayangan di dinding itu tidak mengikuti secara sempurna kadang terlambat, kadang lebih cepat, kadang menatap balik.Udara di sekitarnya dingin seperti di dasar sumur, aroma dupa bunga melati yang biasanya menenangkan kini justru membuatnya mual. Di depannya ada meja dengan cermin perunggu tua yang diwariskan turun-temurun dari keluarga Li yang tampak bergetar halus, permukaannya tidak lagi memantulkan wajahnya, melainkan kabut kehitaman yang bergerak seperti air hidup.“Jangan percayai cermin…” suara Zhao Wei bergema di kepalanya, kalimat tera

  • Mahkota di Balik Tirai Cinta   Bab 10. Prajurit Bertopeng Perak

    Angin utara menggigit seperti pisau yang menusuk kulit hingga ke tulang, salju turun tanpa henti hingga menutupi jejak langkah pasukan Zhao Wei yang telah tiba di dataran beku dekat Benteng Qinghe. Di hadapan mereka, terlihat benteng itu kini hanya tersisa puing dan bara yang membara pelan di bawah langit.Zhao Wei turun dari kudanya, menatap reruntuhan yang sunyi. “Tidak ada tanda perlawanan,” katanya lirih. “Semua mati tanpa sempat mengangkat senjata.”Jenderal Muda Shen yang berdiri di sampingnya, menunduk. “Yang Mulia, semua mayat pasukan kita mengering. Sepertinya darah mereka seperti telah diserap sesuatu.”Zhao Wei berjongkok menyentuh tanah yang membeku di antara abu dan salju, warna merah gelap menempel di jari-jarinya. Tapi ia menemukan bahwa itu bukan darah biasa, sangat aneh dan terasa panas meski udara sedang dingin sedingin kematian.“Ini darah yang telah terikat,” gumamnya.Malam turun cepat di utara, pasukan Zhao Wei mendirikan kemah di kaki benteng. Api unggun menyala

  • Mahkota di Balik Tirai Cinta   Bab 9. Bayangan dari Utara

    Salju pertama turun lebih awal tahun itu, menutupi atap-atap istana Zhenhua dengan selimut putih yang dingin dan sunyi. Namun di balik keindahan itu, udara membawa kabar buruk dari utara. Tiga minggu telah berlalu sejak kematian Permaisuri Han, istana masih berkabung, tapi kedamaian yang diharapkan tak kunjung datang, justru semakin banyak tanda-tanda ganjil bermunculan.Li Xian berdiri di balkon Paviliun Timur sedang memandangi bendera kekaisaran yang berkibar setengah tiang, ia memejamkan mata, mencoba melupakan jeritan dan darah di aula tiga minggu lalu, tapi bayangan cincin retak dan kata-kata terakhir Permaisuri Han terus menghantuinya.“Sumpah darah tidak bisa dihapus, hanya dipindahkan.” Kalimat itu bergaung di pikirannya seperti kutukan.Zhao Wei memasuki ruangan tanpa suara, dengan mengenakan jubah perang berwarna abu dengan lambang naga keemasan di pundaknya dan masih ada salju yang menempel di bahunya. “Utusan dari perbatasan baru tiba,” katanya datar. “Benteng utara diser

  • Mahkota di Balik Tirai Cinta   Bab 8. Fajar Dibalik Darah

    Langit di atas istana terlihat membara dengan warna merah keemasan, fajar yang seharusnya membawa ketenangan justru terasa seperti tanda bahaya. Udara di aula utama terasa berat, setiap napas seperti mengandung ancaman. Kaisar duduk diam di singgasananya, mata tuanya menatap bergantian antara Zhao Wei dan Permaisuri Han.“Permaisuri,” suaranya berat dan dalam, “apakah benar segel ini milikmu?”Permaisuri Han tersenyum, gerakannya tenang seperti permukaan danau sebelum badai. “Yang Mulia,” katanya lembut, “segellah yang menjadi milikku, tapi tempatnya selalu di ruang kerja. Jika benda itu ditemukan di gudang racun, berarti seseorang telah mencurinya untuk menjebakku.”Ia menatap Zhao Wei tajam. “Dan siapa yang memiliki akses paling mudah untuk melakukannya selain putra mahkota sendiri?”Bisik-bisik langsung menyebar di seluruh aula, para pejabat dan kasim saling menatap, ketegangan menebal di udara seperti kabut yang menahan cahaya.Zhao Wei menahan napas, lalu berkata lantang, “Jika a

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status