Beranda / Zaman Kuno / Mahkota di Balik Tirai Cinta / Bab 3. Rahasia Dibalik Bayangan

Share

Bab 3. Rahasia Dibalik Bayangan

Penulis: Naya_13
last update Terakhir Diperbarui: 2025-10-18 04:18:20

Pagi itu matahari memancar lembut di atas halaman istana namun udara terasa aneh, udara terasa tenang tapi bukan damai. Istana Zhenhua tampak seperti lautan sutra yang mengalir indah dari kejauhan namun siapa pun yang hidup di dalamnya tahu, di balik keindahan itu ada setiap napas yang bisa berubah menjadi perang.

Di paviliun timur, Li Xian duduk di meja panjang yang dipenuhi dokumen dan catatan kecil bertuliskan nama-nama pelayan. Sejak insiden malam pesta ia tak bisa tidur, terlalu banyak hal yang tak masuk akal mulai dari arak yang diracun hingga serangan mendadak di taman. Ia menatap jendela yang terbuka membiarkan cahaya matahari menyentuh wajahnya, namun di balik ketenangan itu pikirannya terus bekerja.

“Tiga peristiwa dalam satu malam,” gumamnya pelan. “Racun di meja pangeran, panah di taman, dan pelayan yang ‘menghilang’ setelah diinterogasi. Ini bukan kebetulan.”

Pelayan kepercayaannya Mei Lin, menunduk di sampingnya. “Tuan Putri, para penjaga mengatakan pelayan itu dibawa ke Menara Selatan untuk diinterogasi. Tapi pagi ini, tubuhnya ditemukan di kolam teratai belakang dapur istana.”

Li Xian mengangkat wajahnya perlahan. “Ditemukan?”

“Ya Tuan Putri, dalam keadaan tak bernyawa.”

Keheningan turun, hanya suara gemericik air di luar yang terdengar seolah seluruh istana menahan napas.

Li Xian menutup buku catatannya. “Siapa yang menyuruh membawanya ke Menara Selatan?”

“Perintah datang dari penjaga istana tingkat tinggi, tapi tidak ada catatan nama pemberi perintah di daftar resmi.”

“Artinya,” kata Li Xian lirih, “ada tangan tak terlihat di dalam istana yang jauh lebih berkuasa dari penjaga biasa.”

Siang menjelang, Li Xian berjalan menuju taman istana bagian barat, tempat Permaisuri Han sering beristirahat. Ia tahu langkahnya berisiko tapi diam berarti kalah dan Li Xian bukan perempuan yang mau menyerah hanya karena ketakutan.

Di taman itu, bunga plum bermekaran di antara bebatuan putih. Permaisuri Han duduk di bawah paviliun kecil ditemani dua dayang senior. Ketika Li Xian tiba, permaisuri menoleh dengan senyum lembut yang menipu.

“Ah Putri Li, bagaimana kehidupan barumu sebagai istri Pangeran Zhao Wei? Kudengar semalam kau nyaris terkena panah? Kasihan sekali, malam pernikahanmu berubah jadi mimpi buruk.”

Li Xian menunduk sopan. “Yang Mulia terlalu baik sehingga mengkhawatirkan hamba, untung saja Pangeran segera datang. Kalau tidak, mungkin hamba sudah tak di sini.”

Permaisuri tersenyum tipis. “Kau beruntung, Pangeran itu terkenal dingin dan jarang peduli pada siapa pun. Tapi sepertinya dia cukup cepat datang menolongmu. Hmmm… menarik.” Nada suaranya lembut, tapi Li Xian bisa merasakan ujung pisau yang tersembunyi di balik kalimat itu.

Ia menjawab dengan tenang, tanpa ragu. “Mungkin karena racun di meja beliau membuatnya waspada, siapa tahu pelakunya masih berkeliaran di dalam istana.”

Senyum Permaisuri memudar sejenak, namun cepat kembali. “Kau pandai berbicara Putri Li, tak heran ayahmu dulu begitu disegani, tapi di istana ini terkadang lidah tajam lebih berbahaya daripada pedang.”

“Hamba akan mengingat nasihat itu,” kata Li Xian datar. “Tapi terkadang… pedang dibutuhkan untuk melindungi lidah yang berkata benar.”

Keheningan menggantung di antara mereka, bunga plum berguguran tertiup angin lembut, tapi suasana di paviliun terasa seperti dua harimau yang sedang mengintai dalam senyap.

Permaisuri Han akhirnya berdiri mendekati Li Xian, lalu menatapnya dari dekat. “Kau bukan perempuan biasa, aku tahu itu sejak pertama melihatmu di aula. Tapi ingatlah Li Xian, di istana ini kekuatan perempuan bukan pada keberaniannya melainkan pada kesabarannya.”

Li Xian menunduk dalam, namun matanya berkilat dingin di balik kerendahan hati yang ia tunjukkan. “Terima kasih atas pengingatnya Yang Mulia, tapi kadang kesabaran juga punya batas, apalagi bila menyangkut hidup dan mati.”

Mereka saling menatap lama, sebelum akhirnya Li Xian berpamitan dan melangkah pergi. Namun bahkan setelah ia keluar dari taman, ia masih bisa merasakan tatapan dingin Permaisuri yang menembus punggungnya.

Sore menjelang dan langit mulai berubah menjadi jingga, Li Xian menuju halaman latihan di barat laut, tempat Jenderal Lu Tian panglima muda kepercayaan Pangeran Zhao Wei sedang berlatih dengan para prajuritnya. Ia mengenalnya lebih dulu sebelum pernikahan, seorang prajurit yang pernah menyelamatkannya dalam perjalanan diplomatik ke perbatasan. Sekarang ia datang bukan untuk nostalgia, tapi untuk mencari kebenaran.

Ketika Li Xian tiba, Lu Tian segera berhenti berlatih dan memberi hormat. “Putri Li, ada apa gerangan yang membawa Anda ke tempat kasar seperti ini?”

Li Xian menatap sekitar, memastikan tak ada telinga yang mengintai. “Jenderal aku ingin bicara, hanya kita berdua.”

Lu Tian memberi isyarat dan para prajurit segera mundur, setelah semuanya sepi ia menatap Li Xian dengan sorot serius. “Kau tampak berbeda dari biasanya, ada sesuatu yang terjadi?”

Li Xian mengeluarkan sepotong kain hitam dari dalam lengan bajunya, potongan topeng yang ditemukan di taman malam penyerangan. “Ini milik salah satu penyerang. Lihatlah benangnya, ini bukan buatan luar istana.”

Lu Tian mengambilnya, menatap dengan mata tajam. “Kau benar, benang emas di pinggirannya hanya digunakan oleh penjahit istana bagian dalam, tepatnya paviliun pakaian Permaisuri Han.”

Mereka berdua saling diam dan keheningan turun, hanya terdengar suara angin berembus kencang menggoyang dedaunan.

“Jadi mereka memang berasal dari dalam istana,” gumam Li Xian.

“Dan jika pelayan yang membawa arak racun juga tewas sebelum bisa bicara, maka dalangnya pasti seseorang yang cukup berkuasa untuk menutupi jejak.”

Lu Tian menatapnya dalam-dalam. “Putri, kau menyadari risikonya? Jika kau menyelidiki lebih jauh tanpa izin dan Permaisuri mengetahui hal ini, nyawamu tidak akan aman.”

“Aku sudah tahu itu sejak malam pesta,” jawab Li Xian datar. “Tapi aku tidak bisa diam, aku bukan hanya istri pangeran. Aku juga putri dari Jenderal Li Zhong yang mati karena difitnah oleh orang dalam istana ini, aku akan mencari tahu siapa yang memulai semua ini.”

Lu Tian menghela napas panjang. “Baiklah, tapi jika kau ingin bermain di medan perang kau butuh sekutu dan kebetulan…” Ia menatap ke arah paviliun utama di kejauhan. “Pangeran Zhao Wei tampaknya juga sedang mencari hal yang sama.”

Li Xian menatapnya. “Maksudmu?”

“Ia menugaskanku untuk menyelidiki sumber racun semalam dan benang yang ditemukan di topeng itu,” Lu Tian mengangkat kain hitam, “ini adalah bukti pertama yang mungkin bisa menghubungkan dua serangan itu.”

Suasana menjadi tegang tapi anehnya, selaras. Dua orang yang berbeda status dan tujuan kini berada di jalan yang sama yaitu jalan menuju kebenaran yang bisa mengguncang seluruh istana.

“Kalau begitu, mulai malam ini,” kata Li Xian pelan, “kita bekerja bersama, tapi rahasiakan ini, bahkan dari Zhao Wei.”

“Kau tidak mempercayai suamimu sendiri?”

“Aku mempercayainya… tapi tidak pada orang-orang di sekelilingnya.”

Lu Tian menatap Li Xian beberapa detik, lalu menunduk hormat. “Baik Putri, demi kebenaran dan nama keluarga Li aku akan membantumu.”

Malam tiba dan Li Xian sudah kembali ke paviliunnya, suasananya sunyi hanya ada suara jangkrik dan langkah lembut pelayan di kejauhan. Ia duduk di meja rias, membuka kotak giok kecil dan menatap sapu tangan berdarah yang disimpannya sejak malam itu.

“Aku tidak tahu apakah harus membencimu atau mempercayaimu, Pangeran Zhao Wei…” Bisiknya lirih.

“Tapi aku tahu, di antara kebisuanmu ada sesuatu yang berusaha kau lindungi.”

Di luar jendela, bayangan Zhao Wei berdiri di halaman yang tak jauh dari sana. Ia menatap paviliun istrinya lama, sebelum akhirnya berbalik dan menghilang dalam gelap. Angin malam berhembus, membawa aroma bunga plum yang samar menyatu dengan ketegangan yang menggantung di udara.

Mereka berdua kini memegang rahasia yang sama, tanpa saling tahu bahwa musuh mereka bukan hanya satu dan permainan kekuasaan baru saja dimulai. Dan di kejauhan, di paviliun permaisuri, seseorang sedang menulis surat rahasia berisi satu kalimat pendek:

“Li Xian mulai bergerak, awasi setiap langkahnya.”

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Mahkota di Balik Tirai Cinta   Bab 13. Langit Tanpa Nama

    Fajar pertama setelah dua bulan menyatu datang dengan keheningan yang aneh, tidak ada suara ayam jantan yang terdengar, tidak ada dentang lonceng pagi, hanya desir angin yang melintas di antara menara istana yang separuh hancur. Di seluruh Kekaisaran Zhenhua langit tampak berbeda, terlalu terang untuk disebut pagi tapi terlalu lembut untuk disebut siang. Rakyat menyebutnya Langit Tanpa Nama, karena warna cahaya itu tak pernah mereka lihat sebelumnya ada campuran perak, emas dan merah muda yang bergerak perlahan seperti napas.Li Xian berdiri di teras tertinggi Paviliun Utama, jubah putih keemasannya berkibar ditiup angin. Dari tempat itu ia bisa melihat seluruh istana yang kini sunyi, istana yang dulu megah tampak seperti cangkang kosong dengan ratusan lentera padam dan bendera-bendera kekaisaran yang sudah robek setengah. Namun di tengah reruntuhan, pohon sakura di halaman tengah mekar padahal musimnya belum tiba. Kelopak-kelopaknya jatuh perlahan ke udara, memancarkan cahaya lembut

  • Mahkota di Balik Tirai Cinta   Bab 12. Dua Bulan di Langit Zhenhua

    Langit Kekaisaran Zhenhua malam itu tampak seperti kain sutra yang disobek dua, di satu sisi bulan putih menggantung tenang seperti biasa, namun di sisi lain muncul bulan merah yang tak seharusnya ada bulan dengan bulat sempurna, yang memancarkan cahaya seperti bara hidup.Seluruh rakyat berlutut memandang langit dengan ngeri, para pendeta di kuil utama berteriak menyebutnya “tanda penghakiman dewa”, sementara para jenderal memerintahkan lonceng perang dibunyikan. Tidak ada yang tahu apa yang sebenarnya terjadi di lembah Guanshi, bahwa sejak cahaya merah itu meledak, angin menjadi berubah arah, salju berhenti turun dan bayangan di tanah mulai bergerak tanpa mengikuti tubuh.Di tengah kehancuran lembah itu kabut merah perlahan menyingkir, batu-batu altar retak dan api sudah padam, hanya bara kecil yang tersisa seperti jantung dunia yang masih berdetak. Li Xian terbaring di atas salju dengan wajahnya yang pucat tapi terlihat damai, darah menetes dari pelipisnya namun luka itu perlahan m

  • Mahkota di Balik Tirai Cinta   Bab 11. Cermin yang Tidak Memantulkan Diri

    Malam itu langit Kekaisaran Zhenhua seperti terbakar, bukan oleh api melainkan oleh warna merah darah yang merayap dari timur ke barat. Bulan diselimuti kabut hitam, seolah langit sedang menutup matanya dari dosa yang akan bangkit.Li Xian berdiri di tengah paviliun pribadinya, lentera menggantung rendah dipaviliunnya, telihat bayangannya terpantul di dinding dengan gerakan lembut tapi terlihat sesuatu yang tampak salah. Setiap kali ia bergerak, bayangan di dinding itu tidak mengikuti secara sempurna kadang terlambat, kadang lebih cepat, kadang menatap balik.Udara di sekitarnya dingin seperti di dasar sumur, aroma dupa bunga melati yang biasanya menenangkan kini justru membuatnya mual. Di depannya ada meja dengan cermin perunggu tua yang diwariskan turun-temurun dari keluarga Li yang tampak bergetar halus, permukaannya tidak lagi memantulkan wajahnya, melainkan kabut kehitaman yang bergerak seperti air hidup.“Jangan percayai cermin…” suara Zhao Wei bergema di kepalanya, kalimat tera

  • Mahkota di Balik Tirai Cinta   Bab 10. Prajurit Bertopeng Perak

    Angin utara menggigit seperti pisau yang menusuk kulit hingga ke tulang, salju turun tanpa henti hingga menutupi jejak langkah pasukan Zhao Wei yang telah tiba di dataran beku dekat Benteng Qinghe. Di hadapan mereka, terlihat benteng itu kini hanya tersisa puing dan bara yang membara pelan di bawah langit.Zhao Wei turun dari kudanya, menatap reruntuhan yang sunyi. “Tidak ada tanda perlawanan,” katanya lirih. “Semua mati tanpa sempat mengangkat senjata.”Jenderal Muda Shen yang berdiri di sampingnya, menunduk. “Yang Mulia, semua mayat pasukan kita mengering. Sepertinya darah mereka seperti telah diserap sesuatu.”Zhao Wei berjongkok menyentuh tanah yang membeku di antara abu dan salju, warna merah gelap menempel di jari-jarinya. Tapi ia menemukan bahwa itu bukan darah biasa, sangat aneh dan terasa panas meski udara sedang dingin sedingin kematian.“Ini darah yang telah terikat,” gumamnya.Malam turun cepat di utara, pasukan Zhao Wei mendirikan kemah di kaki benteng. Api unggun menyala

  • Mahkota di Balik Tirai Cinta   Bab 9. Bayangan dari Utara

    Salju pertama turun lebih awal tahun itu, menutupi atap-atap istana Zhenhua dengan selimut putih yang dingin dan sunyi. Namun di balik keindahan itu, udara membawa kabar buruk dari utara. Tiga minggu telah berlalu sejak kematian Permaisuri Han, istana masih berkabung, tapi kedamaian yang diharapkan tak kunjung datang, justru semakin banyak tanda-tanda ganjil bermunculan.Li Xian berdiri di balkon Paviliun Timur sedang memandangi bendera kekaisaran yang berkibar setengah tiang, ia memejamkan mata, mencoba melupakan jeritan dan darah di aula tiga minggu lalu, tapi bayangan cincin retak dan kata-kata terakhir Permaisuri Han terus menghantuinya.“Sumpah darah tidak bisa dihapus, hanya dipindahkan.” Kalimat itu bergaung di pikirannya seperti kutukan.Zhao Wei memasuki ruangan tanpa suara, dengan mengenakan jubah perang berwarna abu dengan lambang naga keemasan di pundaknya dan masih ada salju yang menempel di bahunya. “Utusan dari perbatasan baru tiba,” katanya datar. “Benteng utara diser

  • Mahkota di Balik Tirai Cinta   Bab 8. Fajar Dibalik Darah

    Langit di atas istana terlihat membara dengan warna merah keemasan, fajar yang seharusnya membawa ketenangan justru terasa seperti tanda bahaya. Udara di aula utama terasa berat, setiap napas seperti mengandung ancaman. Kaisar duduk diam di singgasananya, mata tuanya menatap bergantian antara Zhao Wei dan Permaisuri Han.“Permaisuri,” suaranya berat dan dalam, “apakah benar segel ini milikmu?”Permaisuri Han tersenyum, gerakannya tenang seperti permukaan danau sebelum badai. “Yang Mulia,” katanya lembut, “segellah yang menjadi milikku, tapi tempatnya selalu di ruang kerja. Jika benda itu ditemukan di gudang racun, berarti seseorang telah mencurinya untuk menjebakku.”Ia menatap Zhao Wei tajam. “Dan siapa yang memiliki akses paling mudah untuk melakukannya selain putra mahkota sendiri?”Bisik-bisik langsung menyebar di seluruh aula, para pejabat dan kasim saling menatap, ketegangan menebal di udara seperti kabut yang menahan cahaya.Zhao Wei menahan napas, lalu berkata lantang, “Jika a

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status