MasukLorong itu kembali sunyi setelah langkah Permaisuri Han menghilang, hanya ada suara napas Zhao Wei dan Li Xian yang terdengar samar di antara dinding batu. Lentera kecil di tangan Zhao Wei bergetar halus, cahayanya menari di wajah Li Xian yang pucat tapi matanya masih menyala penuh tekad.
“Aku tidak pernah menyangka” bisik Zhao Wei lirih, “ayahmu dan permaisuri... mereka pernah berdiri di sisi yang sama.” Li Xian menatap lukisan besar di hadapan mereka, jari-jarinya menyentuh permukaan kanvas yang telah mulai pudar. “Tidak di sisi yang sama,” katanya pelan, “ayahku percaya pada sumpah kehormatan, sedangkan dia percaya pada kekuasaan.” Zhao Wei menarik napas dalam-dalam, matanya menatap tulisan di kain sutra merah di dalam peti. Sumpah darah hanya bisa dihapus oleh darah yang sama. Kata-kata itu terasa seperti mantra kutukan yang terus bergaung di kepalanya. “Kita harus keluar sekarang sebelum ada penjaga yang datang,” katanya sambil menarik tangan Li Xian. Namun ketika mereka berbalik lorong yang tadi mereka lewati kini tampak berubah, udara di dalamnya lebih dingin dan dari kejauhan terdengar suara langkah logam berirama, seperti sepatu besi para penjaga istana yang sedang berpatroli. “Mereka tidak mungkin tahu kita di sini…” gumam Zhao Wei, tapi nada suaranya goyah. Li Xian menatap sekeliling. “Tidak, ini bukan patroli biasa. Dengarkan langkah mereka terlalu teratur.” Tiba-tiba dari arah belakang muncul cahaya lentera lain, lebih terang dan berwarna kebiruan. Seseorang melangkah keluar dari kegelapan, terlihat seorang pria berpakaian penjaga istana namun lambang di dadanya bukan milik pengawal biasa, melainkan cap naga putih yaitu tanda pasukan rahasia milik Permaisuri Han. Zhao Wei langsung menarik Li Xian ke belakang pilar batu, mereka bersembunyi disana sambil menahan napas. “Permaisuri memerintahkan penyegelan lorong bawah,” kata penjaga itu pada rekannya. “Tidak boleh ada seorang pun yang mendekat, terutama Putri Li.” “Putri Li?” tanya rekannya. “Apa dia terlibat dalam kebakaran itu?” “Diam, Permaisuri bilang mulai malam ini siapa pun yang menyebut nama Li di istana akan ditahan untuk diinterogasi.” Suara langkah mereka perlahan menjauh, tapi dingin ketakutan sudah menancap di dada Li Xian. Ia menatap Zhao Wei. “Dia tahu kita turun ke sini.” Zhao Wei mengangguk. “Dia selalu tahu segalanya, bahkan sebelum langkah pertama kita dimulai.” Setelah memastikan tak ada suara lagi, mereka keluar perlahan dari lorong itu dan kembali ke permukaan lewat pintu rahasia di belakang taman plum, udara malam diluar ruangan terasa seperti kebebasan sementara. Namun begitu mereka tiba di halaman dalam, seseorang sudah menunggu, Wan Er pelayan pribadi Li Xian yang wajahnya pucat dan matanya merah. “Putriku! Kau harus kembali ke paviliun sekarang juga!” serunya panik. Li Xian menatap curiga. “Ada apa?” “Utusan permaisuri datang, mereka membawa perintah untuk menggeledah kamarmu.” Zhao Wei langsung menegakkan tubuh. “Atas dasar apa?” Wan Er menunduk. “Mereka bilang, ada laporan bahwa Putri Li menyimpan dokumen terlarang peninggalan Jenderal Li Jian.” Wajah Li Xian menegang. “Mereka ingin menghapus semua jejak, ini bukan sekadar penggeledahan.” Zhao Wei menatapnya, kemudian menatap langit istana yang diselimuti awan kelabu. “Kalau begitu kita harus lebih dulu membuat langkah, sebelum mereka menutup semua jalan.” Li Xian memandangnya bingung. “Langkah apa?” Zhao Wei mendekat, suaranya pelan tapi mantap. “Aku akan memanggil ayahku, Kaisar. Aku akan meminta audiensi pribadi sebelum fajar.” Li Xian menatap tak percaya. “Kau ingin menghadapi Permaisuri Han di depan Kaisar? Itu bunuh diri Zhao Wei!” “Tapi hanya dia satu-satunya yang bisa menahan permaisuri, jika aku bisa menunjukkan bukti itu.” Li Xian memegang lengan Zhao Wei erat. “Bukti apa? Semua dokumen sudah terbakar!” Zhao Wei tersenyum samar. “Tidak semua, ada sesuatu yang dia lupakan.” Ia mengeluarkan benda kecil dari balik jubahnya, sepotong segel logam dengan ukiran naga dan bunga wisteria yang rusak separuh. Li Xian menatap benda itu, napasnya tercekat. “Segel itu, berasal dari gudang racun.” “Ya,” kata Zhao Wei. “Dan hanya satu orang di istana yang diizinkan memiliki simbol naga dan wisteria sekaligus, yaitu Permaisuri Han.” Fajar menyingsing di atas menara timur, kabut belum sepenuhnya sirna ketika Zhao Wei melangkah ke aula utama istana. Di sana, di atas singgasana emas, Kaisar duduk dengan mata lelah dan suara yang parau. Di sisi kanan, berdiri Permaisuri Han memakai jubah emas pucat dengan senyum tenang menghiasi wajahnya. “Putra mahkota Zhao Wei datang dengan permintaan mendesak,” kata penjaga istana. Kaisar mengangguk. “Katakan, apa yang membuatmu datang sebelum upacara pagi?” Zhao Wei berlutut. “Ayahanda aku datang untuk memperingatka, bahwa ada pengkhianat di dalam istana.” Permaisuri Han menatapnya dengan tatapan lembut namun menusuk. “Pengkhianat? Kata besar untuk diucapkan di pagi yang tenang Putra Mahkota.” Zhao Wei menatap lurus ke arahnya. “Dan mungkin nama besar yang akan disebutkan tidak kalah besar dari kata itu.” Kaisar menatap anaknya tajam. “Siapa yang kau maksud?” Zhao Wei membuka kain kecil dari dalam lengan bajunya, memperlihatkan segel logam berukir naga dan bunga wisteria. “Segel ini ditemukan di lokasi kebakaran paviliun barat, di gudang racun istana.” Kaisar mencondongkan tubuh. “Segel permaisuri?” Permaisuri Han tersenyum tipis. “Lucu sekali, segelku tidak pernah meninggalkan ruang kerjaku. Apa kau ingin menuduh ibumu sendiri Putra Mahkota?” Zhao Wei berdiri, suaranya bergetar tapi tegas. “Aku menuduh siapa pun yang mengkhianati darah istana, termasuk diriku sendiri jika itu terbukti.” Ruangan menjadi sunyi, para kasim dan pelayan menunduk tak berani mengangkat kepala. Permaisuri Han melangkah maju satu langkah, suaranya pelan namun menusuk. “Kau bicara seperti pahlawan tapi jangan lupa Zhao Wei, tahta yang akan kau duduki dibangun di atas sumpah darah yang sama dan sumpah itu belum selesai ditebus.” Zhao Wei terdiam, tapi dari kejauhan Li Xian yang diam-diam menunggu di luar aula ia mendengar setiap kata yang mereka ucapkan, ia menggenggam belati yang ia temukan dari ruang bawah tanah erat-erat. Matanya menatap tajam ke arah pintu besar aula dan dalam hati ia berjanji. Jika darah harus menebus sumpah itu, maka biarlah darah Permaisuri Han yang jadi awalannya. Langit di atas istana berubah merah keemasan, seolah fajar sendiri ikut menyaksikan awal dari pertempuran yang akan menulis ulang sejarah dua klan yang dikutuk sumpah darah.Fajar pertama setelah dua bulan menyatu datang dengan keheningan yang aneh, tidak ada suara ayam jantan yang terdengar, tidak ada dentang lonceng pagi, hanya desir angin yang melintas di antara menara istana yang separuh hancur. Di seluruh Kekaisaran Zhenhua langit tampak berbeda, terlalu terang untuk disebut pagi tapi terlalu lembut untuk disebut siang. Rakyat menyebutnya Langit Tanpa Nama, karena warna cahaya itu tak pernah mereka lihat sebelumnya ada campuran perak, emas dan merah muda yang bergerak perlahan seperti napas.Li Xian berdiri di teras tertinggi Paviliun Utama, jubah putih keemasannya berkibar ditiup angin. Dari tempat itu ia bisa melihat seluruh istana yang kini sunyi, istana yang dulu megah tampak seperti cangkang kosong dengan ratusan lentera padam dan bendera-bendera kekaisaran yang sudah robek setengah. Namun di tengah reruntuhan, pohon sakura di halaman tengah mekar padahal musimnya belum tiba. Kelopak-kelopaknya jatuh perlahan ke udara, memancarkan cahaya lembut
Langit Kekaisaran Zhenhua malam itu tampak seperti kain sutra yang disobek dua, di satu sisi bulan putih menggantung tenang seperti biasa, namun di sisi lain muncul bulan merah yang tak seharusnya ada bulan dengan bulat sempurna, yang memancarkan cahaya seperti bara hidup.Seluruh rakyat berlutut memandang langit dengan ngeri, para pendeta di kuil utama berteriak menyebutnya “tanda penghakiman dewa”, sementara para jenderal memerintahkan lonceng perang dibunyikan. Tidak ada yang tahu apa yang sebenarnya terjadi di lembah Guanshi, bahwa sejak cahaya merah itu meledak, angin menjadi berubah arah, salju berhenti turun dan bayangan di tanah mulai bergerak tanpa mengikuti tubuh.Di tengah kehancuran lembah itu kabut merah perlahan menyingkir, batu-batu altar retak dan api sudah padam, hanya bara kecil yang tersisa seperti jantung dunia yang masih berdetak. Li Xian terbaring di atas salju dengan wajahnya yang pucat tapi terlihat damai, darah menetes dari pelipisnya namun luka itu perlahan m
Malam itu langit Kekaisaran Zhenhua seperti terbakar, bukan oleh api melainkan oleh warna merah darah yang merayap dari timur ke barat. Bulan diselimuti kabut hitam, seolah langit sedang menutup matanya dari dosa yang akan bangkit.Li Xian berdiri di tengah paviliun pribadinya, lentera menggantung rendah dipaviliunnya, telihat bayangannya terpantul di dinding dengan gerakan lembut tapi terlihat sesuatu yang tampak salah. Setiap kali ia bergerak, bayangan di dinding itu tidak mengikuti secara sempurna kadang terlambat, kadang lebih cepat, kadang menatap balik.Udara di sekitarnya dingin seperti di dasar sumur, aroma dupa bunga melati yang biasanya menenangkan kini justru membuatnya mual. Di depannya ada meja dengan cermin perunggu tua yang diwariskan turun-temurun dari keluarga Li yang tampak bergetar halus, permukaannya tidak lagi memantulkan wajahnya, melainkan kabut kehitaman yang bergerak seperti air hidup.“Jangan percayai cermin…” suara Zhao Wei bergema di kepalanya, kalimat tera
Angin utara menggigit seperti pisau yang menusuk kulit hingga ke tulang, salju turun tanpa henti hingga menutupi jejak langkah pasukan Zhao Wei yang telah tiba di dataran beku dekat Benteng Qinghe. Di hadapan mereka, terlihat benteng itu kini hanya tersisa puing dan bara yang membara pelan di bawah langit.Zhao Wei turun dari kudanya, menatap reruntuhan yang sunyi. “Tidak ada tanda perlawanan,” katanya lirih. “Semua mati tanpa sempat mengangkat senjata.”Jenderal Muda Shen yang berdiri di sampingnya, menunduk. “Yang Mulia, semua mayat pasukan kita mengering. Sepertinya darah mereka seperti telah diserap sesuatu.”Zhao Wei berjongkok menyentuh tanah yang membeku di antara abu dan salju, warna merah gelap menempel di jari-jarinya. Tapi ia menemukan bahwa itu bukan darah biasa, sangat aneh dan terasa panas meski udara sedang dingin sedingin kematian.“Ini darah yang telah terikat,” gumamnya.Malam turun cepat di utara, pasukan Zhao Wei mendirikan kemah di kaki benteng. Api unggun menyala
Salju pertama turun lebih awal tahun itu, menutupi atap-atap istana Zhenhua dengan selimut putih yang dingin dan sunyi. Namun di balik keindahan itu, udara membawa kabar buruk dari utara. Tiga minggu telah berlalu sejak kematian Permaisuri Han, istana masih berkabung, tapi kedamaian yang diharapkan tak kunjung datang, justru semakin banyak tanda-tanda ganjil bermunculan.Li Xian berdiri di balkon Paviliun Timur sedang memandangi bendera kekaisaran yang berkibar setengah tiang, ia memejamkan mata, mencoba melupakan jeritan dan darah di aula tiga minggu lalu, tapi bayangan cincin retak dan kata-kata terakhir Permaisuri Han terus menghantuinya.“Sumpah darah tidak bisa dihapus, hanya dipindahkan.” Kalimat itu bergaung di pikirannya seperti kutukan.Zhao Wei memasuki ruangan tanpa suara, dengan mengenakan jubah perang berwarna abu dengan lambang naga keemasan di pundaknya dan masih ada salju yang menempel di bahunya. “Utusan dari perbatasan baru tiba,” katanya datar. “Benteng utara diser
Langit di atas istana terlihat membara dengan warna merah keemasan, fajar yang seharusnya membawa ketenangan justru terasa seperti tanda bahaya. Udara di aula utama terasa berat, setiap napas seperti mengandung ancaman. Kaisar duduk diam di singgasananya, mata tuanya menatap bergantian antara Zhao Wei dan Permaisuri Han.“Permaisuri,” suaranya berat dan dalam, “apakah benar segel ini milikmu?”Permaisuri Han tersenyum, gerakannya tenang seperti permukaan danau sebelum badai. “Yang Mulia,” katanya lembut, “segellah yang menjadi milikku, tapi tempatnya selalu di ruang kerja. Jika benda itu ditemukan di gudang racun, berarti seseorang telah mencurinya untuk menjebakku.”Ia menatap Zhao Wei tajam. “Dan siapa yang memiliki akses paling mudah untuk melakukannya selain putra mahkota sendiri?”Bisik-bisik langsung menyebar di seluruh aula, para pejabat dan kasim saling menatap, ketegangan menebal di udara seperti kabut yang menahan cahaya.Zhao Wei menahan napas, lalu berkata lantang, “Jika a







