MasukAsap hitam masih menggantung di langit istana bahkan hingga fajar, aroma kayu terbakar bercampur dengan dupa upacara pagi membuat udara terasa berat dan mencekik. Paviliun barat, gudang racun dan catatan rahasia semua terbakar, kini yang tersisa hanya tinggal puing-puing hangus. Abu beterbangan di halaman seperti salju hitam yang jatuh dari langit kelabu. Li Xian berdiri di antara sisa-sisa arang dengan wajahnya pucat tapi matanya tajam dan waspada, gaun sutra ungunya berdebu bahkan sebagian sudah robek karena tadi malam ia menerobos api bersama beberapa pengawal untuk menyelamatkan sisa dokumen. Zhao Wei berdiri di belakangnya dengan jubah hitam yang terbakar di ujungnya dan rambutnya terlihat sedikit kusut, untuk pertama kalinya pangeran yang selalu terlihat sempurna itu tampak seperti manusia biasa, bukan sosok dewa istana.
“Tidak ada yang tersisa,” kata Li Xian lirih. “Ada,” jawab Zhao Wei sambil mengambil sesuatu dari balik abu, ada potongan logam kecil dengan ukiran naga dan bunga wisteria. “Ini segel pembuka gudang, tapi lihat ukirannya sudah dihapus sebagian.” Li Xian menatap benda itu. “Bunga wisteria…” gumamnya. “Simbol Permaisuri Han.” Zhao Wei mengangguk perlahan. “Ia meninggalkan tanda bukan tanpa alasan, ini peringatan.” “Atau undangan,” balas Li Xian. “Untuk apa?” “Untuk permainan yang lebih besar dari yang kita duga.” Mereka saling bertatapan, tidak ada lagi jarak formal antara pangeran dan putri. Kini mereka seperti dua orang yang berdiri di antara abu masa lalu dan bara masa depan. Sore itu istana diliputi kesibukan, para pelayan berlarian membawa air untuk memadamkan sisa bara. Namun di balik hiruk pikuk itu ada rumor yang mulai beredar, bahwa kebakaran bukan kecelakaan melainkan tanda kutukan sumpah darah yang dibangkitkan kembali. Li Xian mendengar bisikan-bisikan itu di setiap koridor. “Katanya, paviliun barat menyimpan rahasia terlarang.” “Benarkah racun itu muncul lagi karena pelanggaran sumpah kuno?” “Putri Li membawa sial bagi istana.” Setiap kalimat adalah duri yang terasa menusuknya pelan tapi dalam, namun Li Xian hanya menunduk dan melangkah diam seperti permukaan danau yang tenang, padahal di bawahnya ada badai yang tengah berputar. Malam hari di ruang pribadinya, Li Xian duduk di depan meja kecil dengan tumpukan kertas baru. Ia menulis ulang dari ingatannya disetiap detail tentang racun, dokumen, dan sumpah darah yang sempat dibaca. Tangannya tak berhenti bergerak, seolah waktu bisa menghapus semua bukti yang telah hilang. Ketika pintu terbuka perlahan, ia tak perlu menoleh. “Aku tahu itu kau, Zhao Wei.” Pangeran itu melangkah masuk, ia membawa secangkir teh melati dan dua gulungan kertas baru. “Kau tidak seharusnya bekerja sendirian,” katanya, sambil menaruh teh di meja. “Kalau aku menunggu bantuan istana, semuanya akan terlambat.” “Dan kalau kau terus begini, kau akan kelelahan sebelum perang dimulai,” balas Zhao Wei lembut. Li Xian terdiam, ia memandang teh itu sebentar lalu menatap wajah Zhao Wei. Untuk pertama kalinya ada kehangatan nyata di balik mata dinginnya, bukan rasa curiga tapi rasa kepedulian yang tulus. “Kau berubah,” katanya pelan. “Karena kau,” jawab Zhao Wei tanpa berpikir. “Kau membuatku melihat istana dengan cara yang berbeda, aku terbiasa melihat dinding dan aturan tapi kau bisa melihat luka di baliknya.” Li Xian menatapnya lama. “Dan kau membuatku percaya, bahwa tidak semua pewaris tahta buta oleh ambisi.” Keduanya saling menatap lama, tanpa bicara. Di luar, angin malam berhembus pelan meniup tirai sutra hingga menari dengan lembut. Zhao Wei duduk di sampingnya, ia membuka gulungan kertas yang dibawanya yaitu peta rahasia lorong dibawah tanah istana. “Ada sesuatu yang perlu kau lihat,” katanya. “Lorong ini menghubungkan paviliun barat yang terbakar dengan ruang rahasia di bawah paviliun permaisuri.” Li Xian menatap peta itu dengan mata terbelalak. “Kau yakin?” “Ya, lorong ini dibangun pada masa Kaisar Hongde tapi dihapus dari catatan resmi, hanya tiga orang yang tahu tentang ini yaitu Kaisar, Permaisuri, dan kepala arsitek istana. Dua di antaranya sudah mati.” Li Xian menatapnya tajam. “Berarti satu yang tersisa...” “Permaisuri Han.” Suasana menjadi tegang, Li Xian berdiri menatap keluar jendela. “Kau tahu apa artinya ini? Ia bisa datang dan pergi dari gudang racun kapan saja. Ia bisa menanam bukti, memanipulasi laporan, bahkan membakar paviliun dari bawah.” Zhao Wei mengangguk. “Oleh karena itu, malam ini kita akan membuktikannya.” Li Xian menatapnya kaget. “Malam ini? Kau gila?” “Mungkin,” jawab Zhao Wei datar, “tapi kalau kita menunggu besok pasti jejaknya akan dihapus, api barusan hanyalah awalan.” “Kau ingin menyusup ke bawah paviliun permaisuri?” “Kau ingin tahu kebenaran, bukan?” Keheningan menegangkan melingkupi ruangan, lalu Li Xian tersenyum samar. “Baiklah, tapi kalau kita tertangkap aku akan mengatakan kau yang memaksaku.” Zhao Wei tersenyum balik. “Dan aku akan mengatakan itu, aku rela.” Ditengah malam, langit terlihat gelap tanpa adanya bintang dan lentera di istana mulai dipadamkan. Li Xian mengenakan jubah hitam tanpa lambang, rambutnya disanggul sederhana. Zhao Wei memegang lentera kecil yang ditutup kain agar cahayanya samar. Mereka berjalan diam di antara bayangan tembok dan menyusuri lorong sempit di belakang taman plum. Di balik bebatuan besar, disana tersembunyi pintu besi tua yang sudah berkarat. Zhao Wei menekan sisi ukirannya hingga bunyi klik terdengar dan pintu itu terbuka perlahan lalu mengeluarkan aroma debu dan logam, lorong gelap menyambut mereka degan dindingnya yang dipenuhi dengan jaring laba-laba dan lumut. “Kau yakin tentang ini?” tanya Li Xian pelan. “Tidak,” jawab Zhao Wei. “Tapi kadang, kebenaran memang harus dicari di tempat yang bahkan cahaya pun takut untuk menyentuhnya.” Mereka melangkah masuk dan langkah mereka bergema lembut di antara batu-batu tua, lorong itu berbelok tajam dan menurun ke bawah tanah, udara disana makin lembap dan dingin. Beberapa menit berlalu mereka bejalan dalam diam, hingga akhirnya mereka sampai di sebuah pintu batu dengan ukiran naga dan bunga wisteria. Simbol yang sama seperti segel racun. Li Xian menatapnya lama, jantungnya berdetak cepat. “Bunga wisteria lagi...” gumamnya. Zhao Wei mengusap ukiran itu, lalu menatapnya. “Di balik pintu ini mungkin ada jawaban yang kita cari.” “Atau kutukan yang akan memusnahkan kita,” balas Li Xian pelan. Namun sebelum ia sempat bicara lagi, pintu itu terbuka dengan sendirinya, udara dingin keluar dari sana lalu menyebar aroma dupa dan bunga kering. Di dalam ruangan itu mereka melihat lukisan besar Permaisuri Han saat masih muda yang sedang berdiri di samping Jenderal Li Jian ayah Li Xian, keduanya mengenakan pakaian upacara dan memegang gulungan bersegel darah. Li Xian membeku, Zhao Wei pun terdiam. “Ayahku...” bisik Li Xian. “Dan dia...” Zhao Wei menatap ke bawah dan menemukan peti kayu berukuran kecil di depan lukisan itu, ia membukanya perlahan. Di dalamnya ada belati yang berlumur darah kering dan sehelai kain sutra dengan tulisan merah yang berisi “Sumpah darah hanya bisa dihapus oleh darah yang sama.” Li Xian menatap tulisan itu dengan ngeri. “Ini... ini peringatan atau ancaman?.” “Atau pesan dari masa lalu,” kata Zhao Wei perlahan. “Bahwa perjanjian ini belum selesai.” Li Xian menggenggam belati itu dengan tangannya yang gemetar tapi matanya penuh tekad. “Kalau sumpah ini menuntut darah, maka biarlah darah itu jadi milik mereka yang sudah membuatnya.” Zhao Wei menatapnya. “Kau akan menantang Permaisuri?” “Aku akan menantang kebenaran dan jika ada dia di dalamnya, maka biarlah api ini yang akan membakarnya.” Cahaya lentera memantul di mata mereka, dua lentera yang menyala kini berpadu jadi satu dan dari kejauhan, terdengar suara langkah kaki pelan mendekat yang entah berasal dari mana. Dengan cepat, Zhao Wei mematikan lentera nya. “Cepat bersembunyi,” bisiknya. Dari celah pintu mereka bisa melihat bayangan wanita bergaun emas yang sedang memasuki ruangan, dengan langkahnya yang anggun tapi wajahnya terlihat sangat dingin. Permaisuri Han, ia berdiri di depan lukisan itu dan menatap wajah Jenderal Li, tak lama ia tersenyum tipis. “Kau pikir, kau bisa melindungi putrimu dari sebuah takdir Jenderal?” katanya pelan. “Bahkan setelah kau mati, darahmu masih memburu tahta yang bukan milikmu.” Zhao Wei dan Li Xian saling berpandangan dari kegelapan, mereka menyadari satu hal. Mereka kini bukan hanya menyelidiki rahasia lama tapi mereka sudah menjadi bagian dari permainan berbahaya yang diciptakan oleh tangan Permaisuri Han sendiri.Fajar pertama setelah dua bulan menyatu datang dengan keheningan yang aneh, tidak ada suara ayam jantan yang terdengar, tidak ada dentang lonceng pagi, hanya desir angin yang melintas di antara menara istana yang separuh hancur. Di seluruh Kekaisaran Zhenhua langit tampak berbeda, terlalu terang untuk disebut pagi tapi terlalu lembut untuk disebut siang. Rakyat menyebutnya Langit Tanpa Nama, karena warna cahaya itu tak pernah mereka lihat sebelumnya ada campuran perak, emas dan merah muda yang bergerak perlahan seperti napas.Li Xian berdiri di teras tertinggi Paviliun Utama, jubah putih keemasannya berkibar ditiup angin. Dari tempat itu ia bisa melihat seluruh istana yang kini sunyi, istana yang dulu megah tampak seperti cangkang kosong dengan ratusan lentera padam dan bendera-bendera kekaisaran yang sudah robek setengah. Namun di tengah reruntuhan, pohon sakura di halaman tengah mekar padahal musimnya belum tiba. Kelopak-kelopaknya jatuh perlahan ke udara, memancarkan cahaya lembut
Langit Kekaisaran Zhenhua malam itu tampak seperti kain sutra yang disobek dua, di satu sisi bulan putih menggantung tenang seperti biasa, namun di sisi lain muncul bulan merah yang tak seharusnya ada bulan dengan bulat sempurna, yang memancarkan cahaya seperti bara hidup.Seluruh rakyat berlutut memandang langit dengan ngeri, para pendeta di kuil utama berteriak menyebutnya “tanda penghakiman dewa”, sementara para jenderal memerintahkan lonceng perang dibunyikan. Tidak ada yang tahu apa yang sebenarnya terjadi di lembah Guanshi, bahwa sejak cahaya merah itu meledak, angin menjadi berubah arah, salju berhenti turun dan bayangan di tanah mulai bergerak tanpa mengikuti tubuh.Di tengah kehancuran lembah itu kabut merah perlahan menyingkir, batu-batu altar retak dan api sudah padam, hanya bara kecil yang tersisa seperti jantung dunia yang masih berdetak. Li Xian terbaring di atas salju dengan wajahnya yang pucat tapi terlihat damai, darah menetes dari pelipisnya namun luka itu perlahan m
Malam itu langit Kekaisaran Zhenhua seperti terbakar, bukan oleh api melainkan oleh warna merah darah yang merayap dari timur ke barat. Bulan diselimuti kabut hitam, seolah langit sedang menutup matanya dari dosa yang akan bangkit.Li Xian berdiri di tengah paviliun pribadinya, lentera menggantung rendah dipaviliunnya, telihat bayangannya terpantul di dinding dengan gerakan lembut tapi terlihat sesuatu yang tampak salah. Setiap kali ia bergerak, bayangan di dinding itu tidak mengikuti secara sempurna kadang terlambat, kadang lebih cepat, kadang menatap balik.Udara di sekitarnya dingin seperti di dasar sumur, aroma dupa bunga melati yang biasanya menenangkan kini justru membuatnya mual. Di depannya ada meja dengan cermin perunggu tua yang diwariskan turun-temurun dari keluarga Li yang tampak bergetar halus, permukaannya tidak lagi memantulkan wajahnya, melainkan kabut kehitaman yang bergerak seperti air hidup.“Jangan percayai cermin…” suara Zhao Wei bergema di kepalanya, kalimat tera
Angin utara menggigit seperti pisau yang menusuk kulit hingga ke tulang, salju turun tanpa henti hingga menutupi jejak langkah pasukan Zhao Wei yang telah tiba di dataran beku dekat Benteng Qinghe. Di hadapan mereka, terlihat benteng itu kini hanya tersisa puing dan bara yang membara pelan di bawah langit.Zhao Wei turun dari kudanya, menatap reruntuhan yang sunyi. “Tidak ada tanda perlawanan,” katanya lirih. “Semua mati tanpa sempat mengangkat senjata.”Jenderal Muda Shen yang berdiri di sampingnya, menunduk. “Yang Mulia, semua mayat pasukan kita mengering. Sepertinya darah mereka seperti telah diserap sesuatu.”Zhao Wei berjongkok menyentuh tanah yang membeku di antara abu dan salju, warna merah gelap menempel di jari-jarinya. Tapi ia menemukan bahwa itu bukan darah biasa, sangat aneh dan terasa panas meski udara sedang dingin sedingin kematian.“Ini darah yang telah terikat,” gumamnya.Malam turun cepat di utara, pasukan Zhao Wei mendirikan kemah di kaki benteng. Api unggun menyala
Salju pertama turun lebih awal tahun itu, menutupi atap-atap istana Zhenhua dengan selimut putih yang dingin dan sunyi. Namun di balik keindahan itu, udara membawa kabar buruk dari utara. Tiga minggu telah berlalu sejak kematian Permaisuri Han, istana masih berkabung, tapi kedamaian yang diharapkan tak kunjung datang, justru semakin banyak tanda-tanda ganjil bermunculan.Li Xian berdiri di balkon Paviliun Timur sedang memandangi bendera kekaisaran yang berkibar setengah tiang, ia memejamkan mata, mencoba melupakan jeritan dan darah di aula tiga minggu lalu, tapi bayangan cincin retak dan kata-kata terakhir Permaisuri Han terus menghantuinya.“Sumpah darah tidak bisa dihapus, hanya dipindahkan.” Kalimat itu bergaung di pikirannya seperti kutukan.Zhao Wei memasuki ruangan tanpa suara, dengan mengenakan jubah perang berwarna abu dengan lambang naga keemasan di pundaknya dan masih ada salju yang menempel di bahunya. “Utusan dari perbatasan baru tiba,” katanya datar. “Benteng utara diser
Langit di atas istana terlihat membara dengan warna merah keemasan, fajar yang seharusnya membawa ketenangan justru terasa seperti tanda bahaya. Udara di aula utama terasa berat, setiap napas seperti mengandung ancaman. Kaisar duduk diam di singgasananya, mata tuanya menatap bergantian antara Zhao Wei dan Permaisuri Han.“Permaisuri,” suaranya berat dan dalam, “apakah benar segel ini milikmu?”Permaisuri Han tersenyum, gerakannya tenang seperti permukaan danau sebelum badai. “Yang Mulia,” katanya lembut, “segellah yang menjadi milikku, tapi tempatnya selalu di ruang kerja. Jika benda itu ditemukan di gudang racun, berarti seseorang telah mencurinya untuk menjebakku.”Ia menatap Zhao Wei tajam. “Dan siapa yang memiliki akses paling mudah untuk melakukannya selain putra mahkota sendiri?”Bisik-bisik langsung menyebar di seluruh aula, para pejabat dan kasim saling menatap, ketegangan menebal di udara seperti kabut yang menahan cahaya.Zhao Wei menahan napas, lalu berkata lantang, “Jika a






