Victor.
Aku minta maaf, karena pada saat kamu bangun, aku sudah menjadi wanita penghianat. Bahkan lebih buruk dari itu. Seandainya, bulan semalam bisa menjawab isyarat hatiku, mungkin aku tidak sekerdil sekarang. Meninggalkanmu dan itu hal terberat yang harus kujalani.
Vic.
Cintamu bersamaku, dan buah cinta kita akan tumbuh. Kuharap, kamu tetap semangat demi itu. Bersamaku ada kamu, dan aku pun, ada bersama kedua orang tuaku. Mereka, pelindungku di akhirat nanti. Aku tidak menyesal apa yang sudah kita lakukan, sebaliknya, aku bangga meskipun harus berlumur dosa.Vic. Jangan patah, atau terpuruk. Aku mencintaimu sampai kapan pun.
Aini.
Pria itu meremas sekuat tenaga secarik kertas putih yang baru dibacanya dengan air mata terus menetes. Ia luruh ke sofa di kamarnya, dan menjambak kepalanya merasakan kehancuran atas kepergian Aini beberapa jam yang lalu.
Setelah menerima surat itu dari Farida. Victor me
***Aku meratapi cinta yang telah sirna bersama puing-puingnya. Begitu banyak lara yang hinggap setelah benih tertanam dalam raga ini***Angin bertiup kencang menerpa dedaunan di perkarangan sebuah rumah megah peninggalan raja Syahbandar. Rumah yang di desain bergaya kolonial Belanda dulu nampak sejuk dan damai karena pepohonan yang rindang. Salah satunya, pohon kelapa gading yang buahnya sangat bermanfaat bagi kesehatan. Pohon yang berupa palem-paleman itu tumbuh berjejer di samping pagar rumah Syahbandar sejak dulu hingga kini telah banyak buah yang dinikmati oleh keluarga dan sanat saudara mereka.Dari balkon lantai 2 tampak seorang gadis bertubuh langsing berkulit putih berdiri termenung menatap hampa jalan hitam yang basah karena guyuran air hujan. Sejak ia tiba di kediamannya, di salah satu kota kecil daerah Nanggroe langit terus menurunkan air hijan hingga sore hari belum juga berhenti. Suasana itupula membuat Aini lebih banyak terme
"Anak bodoh! dia pikir dengan melakukan ini bisa mengubah semuanya." Mata tajam bak silet menatap seonggok tubuh yang terkulai lemas di atas branrkar. Selang lentur transparan menancap di hidup bekerja dua kali lebih cepat mengirimnya oksigen pernafasan. Tubuhnya teebaring lemas tak berdaya.Sosok jangkung berdiri bersedekap di samping branrkar dan terus menatapi wajah sang putri yang kini telah pucat memutih bak mayat hidup. Mata terpejam, yang terdengar hanyalah buih oksigen menderu setiap kali nafas berhembus."Apa maksud, papa. Papa ... bukan bilang untuk kak, Aini kan?" tanya Asril memicing papanya dari samping. Rafli bergeming tak mengubah posisi dan tatapan pada putri sulungnya yang terbaring tak berdaya. Pria paruh baya itu diam tidak pernah berniat untuk menjawab pertanyaan Asril. Selain gak perlu, Rafli juga tidak pernah suka diintrogasi oleh siapapun, termasuk anak-anaknya."Jaga, kakak kamu. Pastikan dia baik-baik saja," titahnya ta
"Heehh ... heehhh..." suara desah kesusahan itu terdengar berat dan serak. Berulang kali nafas terongos sampai dadanya terangkat membusung lalu rapat kembali di tempat tidur. Beberapa kali itu terjadi namun, tidak disadari oleh orang sekelilingnya. Asril yang tertidur dengan memangku di samping Anggraini pun, tak menyadari kalau kakaknya sedang kesusahan dalam mengatur pernafasan. Conon lagi, Annuar yang terbaring pasrah di atas sofa jauh dari Aini.Namun, setelah beberapa kali gadis itu menarik nafas secara teratur, akhirnya sirkulasi air oksigen itu berjalan bergerak normal. Perlahan, kelopak mata lentik itu mengerjab memaksa retina menyamai pencahayaan lampu led yang bersinar terang tepat di bagian atasnya. Ketika dirasa nyaman, ia mulai mengedar pandangan, dan orang yang pertama kali dilihatnya adalah, Asril. Sang adik laki-laki tertidur lelap dengan memangku kepala di bagian pinggir ranjang. Asril yang senantiasa setia menjaga, juga menunggu kakak terci
Keputusan telah di tetapkan, dan itu tidak dapat di ubah meskipun dunia ini runtuh. Memang sepatutnya, manusia harus mempunyai prinsip, safat dan watak yang mencerminkan bagaimana sikap dalam kesehariannya. Cerminan itu juga tidak luput dari respon alam sadar juga alam bawah sadar. Dimana setiap bertindak tentunya pasti ada arah dan ujung dari tindakan itu sendiri.Sama halnya yang dilakukan oleh Victor Walidin saat ini. Pria jenius itu telah memutuskan untuk pergi ke Nanggroe guna mencari kekasihnya yang telah pergi meninggalkannya begitu saja setelah malam panas itu adalah malam terakhir bagi mereka. Bahkan Aini tidak mengucapkan kata pamit sebaitpun. Dan, Victor tidak bisa menerima begitu saja perlakuan Aini terhadapnya. Apapun, jalan siap ditempuh sekalipun nyawa taruhannya. Ia siap terbang membelah langit biru demi sang pujaan hati.Sejam yang lalu, Victor tiba di bandara kuala namu tanpa di temani siapapun. Ia nekat, karena menurutnya itu harus! Ia mengutuk
Sebulan Kemudian..."Sampai kapan abang jadi pengangguran! Siang malam kerja abang hanya keluyuran gak jelas!""Apa kau bilang! kau pikir abang tidak mencari pekerjaan. Kau selalu saja menuduh suamimu—""Aku bukan menuduh! Itu memang kenyataannya?"Perdebatan itu sudah hampir setiap hari terdengar di tengah-tengah keluarga Syahbandar. Seiring waktu berjalan, keharmonisan semakin memudar.Dan, pagi ini. Anggraini gak sengaja lewat kamar Meylan. Kalau beberapa hari yang lalu ia juga pernah melintasi area kamar itu, terus yang terdengar sebuah desah dan jeritan Meylan di atas ranjang? kali ini Aini mendengar alotnya perang mulut. Memang, ini bukan yang pertama kali Meylan dan Halim Kusuma bertengkar gara-gara pria itu tidak punya aktivitas selain keluyuran, pulang tengah malam, itupun dalam keadaan mabuk.Aini berniat berhenti sebentar untuk mendengarkan perdebatan itu. Namun, "Krek." Gadis itu terkejut reflek menatap soso
Bang, kasih tau kak Aini Hendra masih bobok. Mey pergi terus takut telat.”“Mey? Sampai kapan kamu kek gini! Apa sih yang kamu cari … kasian Hendra ditinggal terus, Mey?!”“Aku harus kerja, Bang? Udahlah.. stop ngurusin aku. Baiknya, abang cari pekerjaan sana--”“Baik. Abang akan cari pekerjaan tapi tolong! Tolong kamu berhenti dari perusahaan itu.” Meylani menatap suaminya dari pantulan cermin di mana Halim baru saja bangun dan duduk di pinggir tempat tidur memperhatikan sang istri sedang berdandan. Entah kenapa, pria itu mulai keberatan dengan sistem kerja istrinya yang pergi pagi, pulang malam sementara buah hati mereka seharian penuh dalam kasih sayang Auntinya.“Apa abang bilang. Berhenti!” Wanita itu membalikkan badan menghadap sang suami.“Tidak akan pernah. Abang tau kenapa! Karena Mey yakin. Abang tidak akan pernah mendapat pekerjaan, karena kerjaan abang itu selalu mabuk-mabukkan. Oh, abang lupa? Gak di Australi, gak di kampung, kerja
Setiap pertemuan, pasti ada perpisahan. Di mana perjalanan hidup selalu dihadapkan dengan pepatah itu. Rela gak rela, seseorang harus ikhlas menerimanya. Lantas, bagaimana dengan seuntai kisah cinta yang kandas di tengah jalan! apakah, kekecewaan akan membuat yang mengalaminya ikhlas! pada hakikatnya begitu ya? proses penerimaan akan sebuah kenyataan pahit memanglah berat. Namun, lambat laun ketika kita ikhlas semuanya pasti baik-baik saja.Kalaupun, ada orang yang menyesali pertemuan! namun, ia juga harus menyadari sebuah takdir. Tidak ada hidup tanpa pertemuan dan perpisahan.Seiring waktu berjalan, semua itu akan menjadi masa lalu, rela tidak rela. Terus! bagaimana dengan seorang pria yang sekarang terlunta-lunta dalam kisah cintanya yang kandas di tengah jalan! belakangan terdengar, hidupnya tak tentu arah. Ia terpuruk, dan prustasi. Hal itu di diberitahukan Sonya pada Farida. Dan, mereka berdua semakin kasihan dengan kondisi Victor saat ini."Harusnya, Aini
Suara dentingan sendok terdengar dari arah dapur. Aroma masakan menyeruak masuk ke setiap ruangan dan seketika menggugah selera. Rasa lapar pun, ingin segera menyantap. Namun, sepertinya, harus malu-malu dan mungkin juga sedikit segan.Arloji menunjukkan 9 pagi. Bisa dikatakan, itu adalah waktu rawan lapar. Seorang pria tampan terlihat mondar-mondir di kamarnya sambil memegang perut yang tengah keroncongan. Ia segan ke dapur, karena Meylan tidak pernah lagi menemaninya sarapan semenjak perempuan itu sibuk bekerja. Malah, pagi-pagi Meylan sudah pergi tak menghiraukan apapun kebutuhan suaminya lagi."Mey ... kenapa sih, kamu berubah kek gini!" Halim berkata sendiri dengan kekesalan dalam hati. Sementara, perutnya semakin melilit kelaparan. "Kira-kira siapa ya? di dapur. Gak biasanya? harum kek gini?" ucapnya lagi. "Apa ... langsung ke dapur aja ya? tapi, kalau ada papa gimana!" Halim berpikir sejenak, lalu tanpa mau panjang-panjang, ia memutuskan keluar untuk mengecek si