Share

Mahligai yang terkoyak
Mahligai yang terkoyak
Penulis: Rafansya

Bab 01 . Terpaksa menerima

Indah sedang berlari menuju kelas. Dia berlari dengan kuat. Namun, lagi-lagi ia terlambat.

“Kamu lagi, kamu lagi,” sindir Gilang. Dia melipat tangan berdiri memandang gadis yang sudah basah dengan keringat.

“Maaf Pak,” lirih Indah. Dia tersenyum lebar sambil menangkup tangan.

Gilang yang memandangnya merasa kesal. Jiwanya meronta ketika melihat mata hazel itu melemas seakan meminta belai kasihan. Gadis ini benar-benar membuatnya begitu emosi karena aliran darah pada jantungnya memompa kencang.

Siapa gadis ini? Mengapa setiap melihat Indah. Hatinya tak mampu melawan. Pesona Indah mengugurkan sifat setia yang selama ini ia pegang dengan susah payah.

Indah tersenyum ketika pria (37 tahun) ini bernapas panjang, tanda menyerah. Indah menarik kursi dan duduk menghadapnya. Dia membuka tas meraih tugas untuk diserahkan kepada Gilang.

"Ini Pak."

Gilang meraih dan mengeceknya. Ia tak menyangka tugas yang Indah kerjakan begitu sempurna. Wajar saja, Indah mendapat beasiswa untuk bisa menuntut ilmu di universitas tersebut.

Sepulang dari sana. Indah menuju ke rumah sakit untuk membesuk adiknya. Ia begitu terkejut ketika melihat ruangan adiknya kosong. Perasaannya mulai tak tenang. Baru saja ia ingin melangkah keluar. Hendra berlari menemuinya.

“Indah, Dira. Penyakitnya kumat lagi. Kata dokter, Dira harus cepat dilakukan operasi. Jika tidak ditangani dengan cepat, tumor di bagian perut bisa merenggut nyawanya,” lirih Hendra menjelaskan. Pria setengah baya ini, tampak pasrah akan takdir Tuhan. Pekerjaannya sebagai buruh bangunan tak kan mampu membiayai operasi Dira yang begitu besar. Untuk makan saja susah. Indah terdiam sesaat. Dia juga bingung harus meminta bantu pada siapa. Dia mencoba menghubungi Luna. Namun, tak diangkat.

“Yasudah. Paman tunggu di sini. Biar aku cari pinjaman,” pinta Indah. Dia berlari sekuat tenaga. Ketika sedang asyik berlari, Indah tak sengaja menabrak seorang wanita.

“Maaf, aku tak sengaja,” ucap Indah. Dia mengulur tangan.

“Tak perlu. Matamu kamu letak di mana?” Gladis menghardik tak henti. Dia memang sedang kesal pada hasil pemeriksaan tentang rahimnya yang tak bisa memiliki anak. Di tambah lagi permintaan mertua yang tak henti menyalahkan ia dalam hal ini. Bahkan berencana mencari pengganti, jika Gladis tak kunjung hamil.

Indah tampak pasrah. Dia tak menjawab sepatah kata. Pikirannya sedang kacau memikirkan biaya operasi adiknya.

“Kenapa kamu diam?” tanya Gladis penasaran. Dia memandang Indah dari atas hingga ke bawah. Satu kata yang keluar dari mulutnya, ‘cantik’. Ide gila Gladis muncul. Jika suaminya menikah dengan gadis ini, sudah pasti pernikahan yang ia jalani selama tujuh tahun ini, terselamatkan.

Indah tak memperdulikan ucapan wanita ini. Dia memilih pergi. Namun, Gladis menarik tangannya dengan kuat.

“Tunggu!”

“Maaf, aku buru-buru.” Indah menepis tangan itu. Dia tak mau melayani ucapan Gladis yang hanya mengulur waktu. Sementara, ia tak punya waktu untuk melayani itu.

“Kenalkan aku Gladis. Aku tahu, saat ini pasti kamu punya masalah. Wajahmu terlihat kusut. Jika kau berkenan. Aku bisa saja membantu.” Gladis mengulum senyum sambil menatap Indah yang menunduk.

“Dari mana kamu tahu?” tanya Indah penasaran.

“Aku bisa membaca pikiranmu. Sebaiknya kita duduk dulu. Maaf, kalo tadi aku menghardikmu. Tadi itu aku lagi emosi. Kau maukan memaafkan aku,” tanya Gladis. Dia tersenyum tipis. Indah benar-benar gadis yang cantik, muda, dan menarik. Meski pakaian yang Indah kenakan tertutup. Tapi, Gladis yakin. Jika dipoles sedikit dengan pakaian seksi pasti suaminya bergairah untuk melakukan hubungan itu.

“Kenapa kamu tersenyum memandang aku? Apa aku terlihat aneh?” selidiknya.

“Tidak, justru kamu terlihat cantik. Aku menganggumi kecantikanmu. Terlihat begitu alami. Sebenarnya kamu punya masalah apa?” Gladis melipat tangan sambil memainkan jari jemari.

“Adikku sakit parah. Dia membutuhkan uang yang banyak. Sementara aku tak punya uang sebanyak itu,” lirihnya.

Gladis mengulum senyum. Dia meraih sesuatu dari tas.

“Berapa yang kamu butuh? Tulis dan serahkan kepadaku!” titah Gladis. Dia mengusap punggung gadis yang begitu terkejut dengan sikap empatinya itu.

“Maaf. Bukan aku menolak. Kita baru saja kenal. Tapi kamu sudah rela memberikan aku ini. Sebaiknya disimpan saja,” pungkasnya. Indah beranjak pergi. Dia ingin mencari pinjaman di tempat lain. Penampilan Gladis terlihat seperti mucikari.

Baru saja Indah melangkah. Seseorang berteriak memanggilnya.

“Indah!”

Hendra mendekatinya dengan nafas yang tersengal-sengal.

“Paman, ada apa?”

“Dira, Dira sakit perut. Dia tadi muntah-muntah. Dokter meminta kita untuk cepat menandatangani surat persetujuan untuk dijalani operasi,” desak Hendra. Dia melirik Gladis yang tersenyum sendiri ketika mendengar ucapan itu.

“Paman serius? Ya Allah, bagaimana ini? Aku tak mau terjadi sesuatu pada Dira.” Indah gelagapan, ia memandang Pamannya yang terlihat putus asa.

Indah berjalan terombang-ambing tak karuan. Dia sudah berusaha meminta tolong pada semua orang yang ia kenal. Namun, hasilnya masih sama. Tak satupun ada yang mau membantu. Mengingat Indah hanya orang biasa dan jauh dari kata cukup.

Indah memilih kembali ke rumah sakit. Dia terkejut ketika melihat Gladis sedang berbicara serius pada Pamannya. Indah yakin, pasti Hendra sudah termakan pada bujuk rayuan Gladis.

Hendra bersimpuh di bawah kaki keponakannya. Indah melangkah mundur. Dia memandang Gladis yang duduk sambil tersenyum gentir.

“Apa yang Paman lakukan?”

“Paman mohon! Kamu mau ya, menerima bantuan Gladis. Kita tak punya pilihan lagi,” pinta Hendra. Dia tak mau kehilangan putri semata wayangnya.

“Apa yang Paman katakan? Aku tak mengerti. Aku tak mau menerima bantuan wanita itu, karna aku mencurigainya. Dia seperti mucikari,” jawab Indah.

Hendra menggeleng.

“Kamu salah Indah. Dia bukan mucikari. Dia seorang model. Dia mengatakan pada Paman bahwa ia ingin membantu kita dengan syarat kamu harus bersedia menjadi istri kedua dan memberikan ia keturunan,” paparnya.

Indah membulat mata. Dia mendekati Gladis.

“Aku tidak mau. Jangan pikir karena uang, aku rela mengikuti kemauan kamu yang konyol ini,” tegas Indah. Dia memilih pergi meninggalkan keduanya. Indah tak peduli dengan sikap Hendra yang masih duduk bersimpuh di sana.

“Terserah. Aku tak kan memaksa. Tapi, kamu bakal menyesal seumur hidup karena melihat adikmu mati begitu saja. Sementara kamu mampu membantunya. Dan dokter juga sudah mengatakan pada Pamanmu akan melepas alat medis jika pihak kalian belum bisa membayar tagihan yang menunggak selama menjalani perawatan di sini,” teriak Gladis.

Langkah Indah terhenti. Dia baru teringat pada tagihan rumah sakit kemarin. Mereka meminta dilunasi sebelum pukul 02.00 wib ini.

Hendra mengejar Indah. Dia meminta Indah berubah pikiran.

“Paman mohon!”

Indah merasa kasihan. Raut Pamannya begitu memelas. Bahkan matanya terlihat nanar. Indah menepis air mata. Dia terlihat pasrah. Tak ada jalan pilihan. Demi adiknya, ia terpaksa menerima penawaran Gladis.

“Baiklah.”

Hendra mencium punggung tangan Indah. Dia mencium tangan kecil itu berkali-kali. Namun, ia tak tahu. Di balik keputusan ini, Indah harus menghadapi masalah yang pastinya bakal mengubah hidupnya menjadi lebih rumit.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status