Share

Bab 06. Keunikan Indah

Indah menyentuh dada ketika menyadari sosok suaminya tengah menatapnya. Dia merasa takut. Indah jadi cecegukan. Kebiasaan yang baru terlihat.

"Ini kenapa? Mulai deh," gumam Indah. Dia memaling wajah seakan tak ada masalah. Padahal Gilang hanya ingin bertanya masalah tadi malam.

"Tunggu!"

"Ada apa ya Pak?" Indah bertanya sambil sesekali cecegukan, dan Gilang merasa heran. Matanya yang tadinya melebar perlahan mengecil karena keunikan istrinya.

"Tak jadi. Kau kenapa?" Gilang meraih air putih di meja dan menyerahkan pada istrinya. Indah merasa ilfeel karena ia sangat ingat, itu minum bekas bibir suaminya yang sengaja ia siapkan untuk Gilang. Sebuah kebiasaan di pagi hari, Gilang ketika bangun tidur. Bahkan suhu air masih terasa hangat dan tinggal setengah.

"Tak perlu Pak. Nanti juga hilang sendiri," tolaknya.

Gilang mendengus napas kesal. Indah berani menolak permintaannya. Padahal terlihat tidak baik-baik saja. Indah bersegera menuju lemari. Tak lupa meletakkan kembali gelas tadi. Sesekali ia menoleh ke belakang demi memastikan Gilang sudah masuk ke kamar.

"Alhamdulillah," ucapnya. Indah bersegera memakai pakaian mengingat ada ujian, dan ia tak boleh terlambat.

Setelah mereka menikmati sarapan bersama. Indah mengulur tangan. Ia ingin berpamitan. Dia tak mau di bilang tak menghormati suami.

"Saya pamit Pak!"

"Iya." Gilang hanya memasang raut cuek. Namun, ia hargai kebaikan Indah yang mau membantu menyelesaikan pekerjaannya. Sehingga keluar idenya untuk mencari asisten dosen. Selain bisa mengawasi Indah, ia berharap hubungannya dengan Indah bisa berjalan sesuai rencana.

****

Indah sedang membaca buku di kelas. Tiba-tiba ia dikejutkan oleh suara Luna yang berbicara sambil berbisik-bisik menggiang dari arah jendela. Kelakuan Luna memang usil. Dia kerab menganggu Indah yang memang sedikit penakut.

"Luna! Jangan usil deh," pinta Indah. Dia menarik kursi, berjalan menuju pintu. Indah memandang sekitaran. Yang terlihat bukannya Luna, malah suaminya, Gilang. Pria itu membawa buku Indah yang ketinggalan.

"Pak Gilang, ada apa ke sini?"

"Ini barangmu ketinggalan di meja," ujar Gilang. Dia menyerahkan sebuah buku yang tertulis ' Diary Indah'. Indah membulat mata sambil menelan saliva. Dia tak ingin buku kecilnya ini, diketahui orang lain. Yang ada bertambah rumit masalahnya. Apalagi kalo Gilang yang membaca.

"Terimakasih."

Bel masuk berbunyi. Semua para mahasiswa-mahasiswi berbondong masuk kelas. Mereka akan memulai ujian akhir semester.

Gilang meraih kertas dan membagi ke para anak didiknya. Kebetulan ia bertugas untuk menjaga selama ujian berlangsung. Kali ini, ia melihat Indah begitu tenang.

Tak terasa waktu ujian selesai. Mereka berbondong mengumpul ke depan. Sementara Indah memilih mengantar terakhir. Dia merasa sedikit berbeda. Apalagi, Gilang tak jadi memarahi karena ulah beraninya yang membantu dalam menyelesaikan pekerjaannya di sekolah.

Luna menarik tangan Indah menuju kantin. Keduanya saling bercanda satu sama lain. Mereka memesan menu makanan. Luna tak henti menatap Indah yang sedikit berbeda. Dia seperti sedang mencari seseorang.

"Kamu cari siapa? Cari Pak Satria ya?" ledek Luna menggodanya.

"Sembarangan."

"Lalu cari siapa lagi? Pak Gilang!" Luna mulai menebak satu persatu dari Satria hingga pria yang pernah mengatakan cinta untuk sahabatnya. Namun, Indah menolak karena pria itu terlihat bukan pria yang sholeh.

"Bicara itu tak usah kuat, kenapa? Kalo dengar orangnya, bagaimana?" celetuknya menahan kesal ulah sahabatnya yang asal bicara.

Satria tersenyum ketika melihat Indah sedang duduk bersama Luna. Mereka menyantap pesanan yang baru saja terhidang. Luna tampak tak sabar. Dia sudah kelaparan karena melihat ujian tadi sangat susah dan menguras energinya.

"Indah, menurutmu, ujian tadi susah enggak?"

"Susah, sudah banget malam. Aku saja tak tahu, apa jawaban aku benar apa enggak? Secara Pak Satria memberi soal yang sulit. Mana kemarin aku banyak tak masuk."

"Iya 'kan, susah? Dugaanku benar."

"Pasrah saja. Yang terpenting kita sudah melakukan yang terbaik. Setidaknya nilai kita jangan sampai merah," ujarnya sambil meneguk air.

Luna memainkan mata ketika tak sengaja melihat Satria berjalan kearah mereka. Satria tersenyum kecil. Pria yang satu ini memang ramah pada anak didiknya.

"Matamu kenapa?"

"Pak Satria mendekati kita," bisik Luna.

"Serius?"

Sejak mengetahui bahwa Satria menyukainya. Indah merasa berbeda. Dia tak mau berurusan dengan Satria, kecuali terkait masalah pelajaran. Secara Gilang juga mengetahui akan hal itu. Takutnya, jika ketahuan, persepsi Gilang kepadanya bertambah runyam.

"Iya. Tapi, ada apa ya? Tumben Pak Satria menemui kita. Apa jawaban kita banyak salah?" tebak Luna.

"Sebaiknya aku pergi. Aku duluan ya. Oh ya, ini uang! Tolong bayarkan!"

Indah memutar tubuh dengan cepat. Dia memilih lewat belakang agar tak terjadi kesalahpahaman jika Gilang melihatnya. Indah melakukan ini karena tak ingin masalah hidupnya bertambah rumit.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status