Share

Bab 04. Merasa bersalah

Gilang meninggalkan Indah. Dia berusaha membuat Indah untuk tidak tinggal serumah dengannya. Namun, Indah tak putus asa. Dia terpaksa melakukan ini semua, demi menjalani yang diperintahkan Gladis. Semakin cepat, maka semakin baik. Dengan begitu, ia bisa bertemu Dira dan Hendra. Hanya mereka satu-satunya keluarga dan sumber kekuatan Indah untuk bertahan menjalani ini semua. Meski kedepannya ia tak tahu harus bagaimana.

Indah memilih menaiki taksi menuju alamat tadi. Dia tak peduli lagi jika Gilang akan memaki, mengusir, bahkan mengatakan apapun tentangnya. Dia sudah siap dengan konsekuensi yang terjadi.

Setelah membayar ongkos kepada supir. Indah bergegas menuju pintu gerbang. Di sana, ia ditahan oleh Fogi, petugas keamanan di rumah sana.

"Maaf, kamu siapa? Di sini dilarang masuk selain Pak Gilang dan Ibu Gladis," tegasnya. Sebagai petugas keamanan, Pak Fogi harus lebih mendetail tamu yang masuk. Mengingat itu perintah majikannya.

Indah meraih ponsel. Dia menghubungi Gladis untuk menjelaskan alasan ia tinggal di sini. Setelah berbincang dengan majikannya, barulah Pak Fogi mengizinkan.

"Silakan masuk!"

Dia menerobos masuk. Di sana, ia tak melihat mobil Gilang. Indah memilih menuju ke dalam sana. Rumah itu sungguh besar dan sepertinya sudah lama ditinggal oleh pemiliknya. Indah memilih duduk dan menyandar di sofa. Karena kelelahan, ia terlelap. Ketika sadar, Indah melihat pintu masih tertutup rapat.

"Pak Gilang ke mana ya? Apa dia kerumah istrinya? Tapi baguslah. Sebaiknya aku ke kamar saja. Gladis juga sudah menunjukkan kamar yang mana yang akan aku tempati malam ini," batin Indah mencari. Dia terkejut ketika mengetahui kamar tersebut letaknya di posisi atas.

"Ini 'kan kamar utama," batinnya. Ia memberanikan diri membuka. Lagi-lagi Indah dikejutkan dengan sosok dosennya yang sedang terlelap.

"Astagfirullah, kapan Pak Gilang pulang?" Indah menyentuh dada. Dengan cepat, ia menutup pintu. Indah memilih ke dapur untuk memasak. Barangkali dengan memakan masakannya, Gilang akan luluh dan mau melakukan hubungan tersebut. Indah sudah membulat hati untuk menjalani tugasnya dengan baik. Dia sudah tak sabar untuk pergi jauh ketika misinya berhasil. Meski berat, harus dijalani. Tak ada kata menyerah demi keluarga.

Gilang terbangun dari tidur. Dia mengusap hidung berkali- kali karena aroma masakan begitu menusuk. Dia merasa begitu penasaran.

"Siapa pula yang memasak ini? Bukankah pembantu di rumah ini sudah dipecat oleh Gladis? Apa itu Indah? Tak mungkin. Tapi, kalo benar iya, bagaimana ia bisa masuk? Siapa yang mengizinkannya?" batin Gilang. Dia beranjak turun mencari sumber masakan tersebut.

Tiba-tiba Gilang tak sengaja melihat sosok gadis lain di sana. Ia mengulum senyum. Gilang terbayang pada sosok gadis masa lalunya.

"Apa aku sedang bermimpi? Kapan kamu ke sini?" Gilang memeluk Indah dari belakang.

Indah merasa heran. Apa karena aroma masakannya ini yang mempunyai magic hingga pria yang tadinya dingin menjadi luluh dengannya?

"Pak, Pak," sapa Indah berkali-kali. Dia melambai tangan pada sang suami. Gilang hanya tersenyum memandang mata itu. Dia sangat rindu akan mata yang pernah membuatnya jatuh cinta pada pandangan pertama. Sayangnya, gadis itu telah tiada.

Gilang mulai sadar ketika seseorang memanggilnya dari kejauhan.

"Maaf Pak, diluar ada tamu." Security itu menunduk menahan senyum melihat ulah majikannya yang begitu intim.

Gilang melepas pelukan tersebut sambil menunduk. Dia meninggalkan Indah dan pergi. Perasaan malu menghantui. Tenyata itu seorang Kurir yang mengantar paket untuknya.

"Maaf, saya tak ada memesan paket," tolak Gilang.

"Tapi di sini tertera untuk Bapak. Kami hanya menjalankan tugas. Sebaiknya diterima saja," pinta pak Kurir.

Dengan berat, Gilang menerima. Dia membawa ke kamar. Kemudian berlalu membersihkan diri. Dia tak berhenti teringat pada kejadian tadi.

"Kalo seperti ini, bisa luntur kesetiaan aku pada Gladis. Sebenarnya ada apa denganku ini? Kenapa mata itu selalu saja menarik hati untuk mendekati. Meski aku memperlakukan Indah dengan kasar. Jiwa ini meronta tak jelas. Ditambah lagi masalah Satria," batin Gilang merasa tak tenang. Pikiran sempit mulai merasuk. Dia tak ingin melakukan itu. Perbuatan masa lalu membayangi hidup hingga ia begitu terpuruk. Sosok Gladislah yang berhasil membuat Gilang menemukan hidup baru. Gladis juga yang selalu memberi semangat kepadanya untuk bangkit. Setelah membersihkan diri. Gilang membuka paket itu.

"Ini apa?"

Ternyata isi paket tersebut sebuah baju tidur wanita. Di dalam sana juga tertulis dari Gladis. Dia meminta Indah mengenakan pakaian itu.

Gilang merasa prihatin. Dia tak bisa membayangkan, jika Indah mengenakan pakaian ini. Sudah pasti, pria akan tergoda.

"Aku tidak boleh membiarkan ini terjadi."

Baru saja ingin membuka pintu, Indah datang. Dia menerobos masuk untuk mandi. Gladis sudah mengajarkan cara untuk mengambil hati suaminya agar mereka bisa saling menikmati hubungan antara suami istri. Indah hanya mengikuti. Dia tak punya pilihan, selain pasrah jalan takdir yang membuatnya pusing.

Kali ini, Gilang justru dibuat tak berkutik. Indah benar-benar mengikuti trik dari Gladis. Dia tak perlu harus menunggu izin lagi dari pemilik kamar mewah ini.

Indah menarik kimono putih dari lemari. Dia rela membuang rasa malu didepan sang suami. Aroma wangi mencuat dari kamar dengan diiringi bunyi butiran air.

Gilang ingin memilih pergi. Ketika ingin membuka pintu. Dia dibuat takut. Pasalnya pintu terkunci.

"Akhirnya siap juga," ucap Indah. Dia keluar dengan rambut panjangnya yang terurai. Dia duduk di meja rias sambil menyisir rambut.

Gilang memilih berdiri di balkon sambil mengenggam trali pagar tersebut dengan kuat. Dia menahan kesal akibat sikap Indah yang berubah menjadi berani. Gilang memikirkan berbagai cara untuk menghindari hal yang tak ingin ia lakukan meski mereka sudah suami istri.

"Aku harus melakukan sesuatu." batin Gilang. Dia berjalan menuju ranjang. Dia melihat Indah sedang menyisir rambut begitu lambat. Bahkan ditubuhnya masih melekat kimono putih tadi.

Beberapa kali Gilang menelan saliva. Leher jenjang Indah begitu mulus. Tak mampu menahan. Gilang menghempas buku di lantai.

"Indah, di mana kunci kamar?

"Kunci?" tanya Indah dengan santai.

"Iya kunci. Di mana kamu letak?" Gilang merasa kesal melihat sikap Indah yang seakan mengulur waktu.

"Aku tak tahu Pak. Bukannya Bapak yang menyimpannya," jawab Indah. Dia terus saja menyisir rambut. Dan tak mempedulikan Gilang yang mondar-mandir di belakang mencari kunci. Gilang merasa kesal. Dia menarik tangan Indah dan menghempas di kasur.

"Sekarang aku tanya, di mana kuncinya?" bentaknya lagi.

"Aku tak tahu Pak," jawab Indah. Dia kembali ke kursi tadi. Indah melihat Gilang begitu gelisah. Rautnya bercampur tegang. Seperti orang sedang kepanasan. Gilang yang merasa tak tahan, menghubungi pihak keamanan.

"Fogi, jtolong ke kamar saya sekarang!"

Setelah mengucapkan itu. Gilang meletakkan ponselnya di meja. Dia tak sabar ingin meninggalkan ruangan yang menyesakkan dada. Bahkan napasnya tak beraturan menahan gemuruh melihat wajah Indah.

Tak lama, terdengar suara langkah seseorang menuju kamar. Dengan sigap Gilang berdiri. Namun, ia tak menyangka justru yang membukanya ternyata sosok Gladis. Dia menerobos masuk tanpa permisi. Gladis memandang kesal pada tingkah Gilang yang memperlambat rencana.

"Sebenarnya ada apa dengan Mas?" tanya Gladis sambil memandang Indah. Gilang tak menjawab. Dia memilih keluar.

"Jadi gadis kampung ini menuruti perintahku," batinnya senang. Dia menarik tangan Indah menuju ruang tamu. Mereka saling menghadap.

"Apa susahnya Mas menuruti keinginan aku? Mas tinggal melakukan saja. Padahal ia sudah berusaha untuk Mas mau menyentuhnya," kesal Gladis. Dia duduk menyandar di sofa tak memandang suaminya. Jika terus-menerus seperti ini. Maka rencananya gagal. Sudah pasti sang mertua akan menyingkirkan ia dari kehidupan Gilang.

Gilang menghampiri sang istri. Dia berusaha menahan diri karena tak ingin merusak kesetiaan yang ia pegang selama ini. Namun, sang istri terus saja mendesak. Bahkan memberi tahu trik menaklukkan hati sang suami.

Tak mampu menahan rasa. Gilang menghentak meja hingga terbelah dua. Indah yang melihat tak kuasa menahan. Dia mengangkat suara.

"Cukup Pak, cukup. Aku tak mengerti pada pikiran kalian. Jika kalian bisa saling menerima, kenapa kalian justru meminta aku menjadi istri kedua?" tegas Indah.

"Sebaiknya kamu diam!" bentak Gladis.

Dia bersimpuh menghadap sang suami dengan deraian air mata. Dia tak tahu lagi harus merayu seperti apa. Semua yang ia lakukan selalu saja tak menyentuh hati suaminya.

"Aku mohon Mas. Jika dalam tahun ini, aku tak bisa memberimu keturunan. Maka hancurlah pernikahan kita. Mas tak tahu, kalo Ayah menemui aku. Dia mengatakan, jika aku tak kunjung hamil, Ayah akan meminta aku untuk meninggalkan Mas. Jujur, aku tak siap untuk semua itu. Aku sengaja, tak menceritakan ini padamu. Berharap tanpa menjelaskan lagi, Mas bisa mengerti posisi aku. Mas sendiri kan tahu, Ayah seperti apa," lirihnya.

Gilang yang mendengarkan itu, merasa bersalah. Sebenarnya sang Ayah sudah meminta Gilang untuk membuat keputusan. Namun, Gilang tak bisa. Dia sangat mencintai istrinya. Dia menerima kekurangan sang istri dengan lapang dada.

"Sebenarnya aku sudah tahu akan hal itu. Aku sudah menjelaskan pada Ayah, bahwa aku menolak. Tapi aku tak tahu, jika Ayah juga mengancam kamu dengan seperti itu," jelas Gilang. Dia memilih duduk dan memeluk istrinya.

Indah yang melihat memilih pergi. Dia sadar akan posisinya saat ini. Dia tak punya hak untuk ikut campur urusan mereka. Setelah Gilang mengantarkan istrinya kedepan. Dia menemui Indah yang sedang melamun.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status