Share

Bab 03. Pengakuan Satria

Tubuh Indah gemetar hebat. Keringat dingin membasahi pelipis. Dia begitu takut ketika memandang Gilang menatapnya dengan meringas. Hidup Indah benar-benar dibuat terkejut dengan sikap suaminya.

"Saya mohon Pak!" Indah menangkup tangan sambil menangis. Dia tak ingin melakukan kegiatan ini dalam keadaan tak sadarkan diri. Gilang sengaja melakukan ini. Semata ingin memberi jera pada Indah yang sudah lancang masuk ke dalam hidupnya.

"Takut? Baru begitu saja sudah takut. Bagaimana kalo aku melakukan beneran?"

Indah memeluk tubuh dengan selimut. Dia tak siap untuk menjalani kehidupan ini. Gilang terlihat pria dewasa yang sudah berpengalaman. Tak lama kemudian, Gilang memilih pergi. Dia tersenyum puas ketika melirik istri keduanya ini ketakutan.

Ponsel Indah berdering. Dia melihat nama Luna memanggil. "Bagaimana ini? Aku angkat atau tidak?" ucap Indah. Dia mengambil ponsel miliknya dengan gemetar. Baru ingin mengangkat, Gilang menerobos masuk ke dalam. Ternyata ia ingin mengambil jaket kulitnya yang tergantung di ranjang. Sorot matanya begitu tajam. Tak ada senyuman dan sepatah kata. Ketika melihat Gilang sudah menghilang. Indah memberanikan diri untuk mengangkat. Setengah jam mereka berbicara tentang pelajaran. Indah berusaha bersikap biasa.

Pagi ini Indah berencana ingin ke kampus. Sudah dua hari, ia tak menginjak ke sana. Ketika ingin keluar dari penginapan. Indah melihat, Gilang sedang berbicara pada istrinya. Mereka bertengkar hebat.

"Apa? Mas ingin mengakhiri pernikahan bersama Indah?"

"Iya. Aku tak bisa melakukan hubungan tanpa cinta." Gilang memegang erat pundak istrinya. Dia ingin sang istri menarik perjanjian yang ia buat bersama Indah.

"Tidak Mas. Aku sudah mengeluarkan uang banyak demi ini semua. Dan Mas dengan mudah ingin membatalkan," kesal Gladis. Dia menepis tangan sang suami dengan kasar.

Gilang tak pernah melihat Gladis semarah itu. Bahkan ia tak segan menolak suaminya, dan pergi. Hidup mereka tak sebahagia dulu. Semua berubah ketika mertuanya mengatakan itu.

Indah merasa kasihan. Dia memilih pergi menaiki angkutan umum. Di sana Luna sudah menunggu.

"Indah, kemari!"

"Iya, ini juga mau ke sana," ucap Indah.

Mereka berpelukan dengan kuat. Begitulah kegiatan Indah dan Luna setiap paginya.

Mobil Gilang memasuki gerbang. Indah terpandang sosok Gilang yang sedang memegang kemudi dengan raut yang mencekam. Dia jadi terpana melihat Gilang dari kejauhan. Bukan terpana karena rupa. Melainkan peristiwa yang tak sengaja terpampang jelas di depan mata.

"Ayo, melihat siapa tuh? Hati-hati! Nanti jatuh cinta lagi sama Pak Gilang. Secara Pak Gilang masih cool dan guanteng bangett," sindir Luna sambil menyenggol lengan. Seketika tubuh Indah terhoyong. Untung saja, ada Satria yang berlari menahan. Kalo tidak, Indah sudah terjatuh ke lantai.

"Kamu tak apa-apa?" Satria tersenyum kecil. Sejak menjadi dosen di sini, ia sudah jatuh hati pada sosok gadis muslimah yang terpancar akhlak terpuji. Indah memiliki mata hazel serta senyumnya terlihat manis karena di hiasi lesung pipit.

Indah dengan cepat melepas pelukan tersebut. Dia merapikan gamis yang terlihat kusut akibat peristiwa tadi. Indah sama sekali tak tertarik pada pria yang menolongnya saat ini.

"Makasih Pak," lirihnya. Indah beranjak pergi. Dia takut, jika Gilang melihat kejadian tadi. Pasti sudah berpikir kalo Indah gadis rendahan seperti yang dituduhkan olehnya. Dan Indah tak mau itu terjadi.

Luna tersenyum berat. Dia berlari menyusul ke kelas. Dia melihat Indah sedang duduk sambil menatap jauh.

"Indah, kamu kenapa?"

Indah tersenyum berat. Ketika menatap ke arah pintu. Dia terpaku, sosok Gilang sudah berdiri sambil memandang orang-orang yang ada di sana. Gilang menerobos masuk dan duduk.

"Selamat pagi anak-anak," sapa Gilang.

"Pagi Pak!" sahut mereka bersamaan. Gilang membuka buku. Dia ingin menjelaskan materi pelajaran hari ini. Sebagai dosen matematika, Gilang memang memiliki IQ yang tinggi. Ia begitu terampil dalam melakukan pekerjaan. Setiap penjelasan yang ia paparkan selalu singkat, padat, dan jelas.

"Apa kalian sudah mengerti?" tanya Gilang. Dia melirik Indah yang sedari tadi menunduk tak memandang penjelasan. Dia menyapa Indah dari kejauhan. "Indah, lehermu kenapa? Dari tadi saya perhatikan, kamu tak berhenti menunduk. Apa kamu sudah mengerti pada penjelasan saya?" tegas Gilang sambil berjalan mendekati gadis yang sedang mengangkat kepala karena teguran keras dari dosennya itu.

"Sudah Pak." Indah menjawab dengan ragu. Dia memandang semua pelajar di sana. Mereka menatap Indah dengan sedikit aneh. Pasalnya Indah tak pernah seperti itu. Ia terkenal mahasiswi yang cukup populer karena kepintarannya. Dia juga aktif bertanya setiap pelajaran berlangsung. Namun, kali ini ia hanya memilih diam.

"Bagus kalo gitu." Gilang memutar tubuh. Dia melirik jam berlalu pergi menuju papan tulis.

Setelah pelajaran usai. Gilang melanjutkan mengajar ke kelas lain. Dia sama sekali tak memandang Indah. Luna merasa aneh. Indah memang banyak berubah.

"Indah, sebenarnya kamu punya masalah apa? Aku melihat kamu tak seperti biasanya. Apa karena memikirkan adikmu?" tanya Luna. Dia menarik kursi, duduk menghadap sahabatnya yang terlihat murung dan tak bersemangat.

"Tidak ada masalah. Alhamdulillah, adikku udah menjalani operasi. Sekarang masih di rawat di rumah sakit," jawab Indah.

"Aku senang dengarnya. Bagaimana sepulang dari kampus kita ke sana?" ajak Luna.

"Ke sana? Nanti aku pikirkan lagi. Masalahnya tak boleh ramai," elaknya. Indah terpaksa ber

bohong agar Luna tak mencurigainya. Sekarang statusnya sudah menjadi istri. Sudah pasti, jika ingin pergi, harus meminta izin terlebih dahulu pada sang suami

"Oh, gitu ya." Luna merasa ragu pada ucapan itu. Dia menarik tangan Indah keluar. Keduanya menuju parkiran. Di sana Indah melihat Gilang sedang mengendarai mobil menuju gerbang. Dan sama sekali tak tertarik untuk bicara. Akhirnya, Indah memutuskan ke rumah sakit seorang diri. Dia sangat rindu pada adiknya. Ketika di sana, ia justru dibuat terkejut oleh petugas.

"Apa? Pasien atas nama Dira sudah dipulangkan?"

Petugas itu mengangguk. Indah merasa heran. Dia meraih ponsel mencoba menghubungi sang Paman. Namun, tak aktif. Ketika sedang melangkah pulang. Gladis menarik tangannya.

"Bukannya pulang, malah keliuran di sini? Ingat ya Indah, statusmu itu!"

Indah melepas paksa tangan yang menempel di lengan.

"Cukup. Sekarang aku tanya, di mana adik dan Pamanku?" tegas Indah. Dia bisa menebak, jika alasan kepulangan Dira secara mendadak pasti ulah istri pertama suaminya. Secara Gladis memang tak ingin Indah mengulur waktu lagi.

"Kamu ingat ya Indah. Selama kamu belum bisa melakukan yang aku perintah, jangan harap bisa bertemu Paman dan adikmu!" ucap Gladis mengancam. Dia tersenyum puas ketika melihat Indah yang tadinya melawan, kini menjadi mati kutu. Hidup Indah sudah seperti barang mainan. Yang mudah diatur sesuka hati oleh pemiliknya.

"Ta-pi?"

"Tidak ada alasan. Jika kamu ingin bertemu dengan mereka, buat dulu perutmu yang kempes itu menjadi buncit. Apa kamu mengerti gadis cantik," cibir Gladis. Dia mencekram rahang dengan kuat. Kemudian melepas cengkraman itu ketika Indah sudah mengangguk.

"Iya." Indah mengusap pelan rahangnya yang memerah. Dia terduduk lemas sambil menangis. Gladis tak memperdulikan itu. Dia melempar sebuah kertas kecil.

"Pergi dan tinggal di sana!"

Indah mengusap dada. Kertas itu berisi alamat rumah pribadi mereka. Biasanya mereka menginap di sana jika merasa bosan tinggal di rumah pribadi. Indah tak tahu harus berkata apa, hidupnya dalam genggaman wanita yang tak punya perasaan. Ketika dalam perjalanan pulang, Indah tak sengaja melihat Gilang dan Satria sedang duduk di sebuah Cafe. Keduanya terlihat begitu serius.

"Pak Gilang, aku boleh curhat enggak? 'Kan Bapak sudah lebih pengalaman dalam menjalani pernikahan. Apa lagi aku lihat, rumah tangga Pak Gilang begitu romantis. Tujuh tahun kalian menaungi Mahligai rumah tangga masih langgeng saja meski belum dikaruniai anak. Dan itu luar biasa. Saat ini, aku sedang menganggumi salah satu anak didik kita. Dia seorang Muslimah. Aku menyukainya sejak mengajar di kampus ini. Menurut Bapak apa yang harus aku lakukan?" tanya Satria. Dia mengulum senyum sambil melirik pria di sampingnya.

Gilang tersenyum berat. Sebenarnya ia juga dirudung dalam masalah yang besar. Hanya saja, ia lebih memilih memendam sendiri ketimbang harus bercerita pada orang terdekat. Takut terjadi yang tak diinginkan.

"Siapa gadis itu?" Gilang begitu penasaran. Dia mengenal Satria, sosok pria yang tak mudah jatuh cinta. Dia tipe orang yang serius dan tak suka bermain dalam menjalani hubungan.

"Dia, dia, Indah Aprilia Putri," jawabnya terbata-bata.

Degh! Jantung Gilang terhenti sejenak. Gemuruh mengguncang tubuh tegapnya. Ini diluar dugaan. Gadis yang berstatus menjadi istrinya saat ini, justru dikagumi pria baik seperti Satria.

"Kamu serius? Apa yang kamu lihat dari sosok Indah? Aku melihat dia gadis biasa saja. Tak ada istimewa," paparnya. Gilang berpura bertanya tentang sosok Indah di mata pria yang memiliki perbedaan usia 11 tahun lebih tua darinya.

"Dia memang biasa saja. Tapi ada yang Bapak tak tahu tentangnya," ucap Satria.

"Apa itu?" Gilang mengernyit alis.

"Dia adik teman masa kecilku waktu di kampung. Jarakku dengan Indah tujuh tahun. Sebenarnya Indah punya kakak. Dulu, waktu di kampung kami sering bermain bersama. Kakak Indah seumur dengan aku. Namun, kami terpisah karena Ayahku mendapat pindah tugas diluar kota. Sejak itu, kami tak pernah bertemu lagi," papar Satria sambil tersenyum lebar. Satria terlihat begitu bersemangat menceritakan kisah Indah. Dari raut bicara begitu meyakinkan jika ia benar-benar terpesona pada sosok adik dari temannya itu.

Gilang mengusap leher. Dia ingin rasanya menghardik Satria. Jelas, Gilang merasa tak terima dengan pengakuan yang diungkap secara langsung tanpa berpikir lagi. Hatinya begitu panas. Gilang juga tak mengerti pada hati kecilnya yang tak terima mendengar pengakuan Satria. Namun, ia gengsi untuk mengakuinya.

Gilang menyerumput kopi sambil memandang sekitaran. Dia membulat mata ketika tak sengaja melihat Indah di sana.

"Maaf, aku duluan ya," kata Gilang. Dia meraih kunci sambil berlari menuju mobil. Dia berusaha mengejar Indah.

Satria merasa aneh. Dia baru saja ingin meminta pendapat. Namun, Gilang pergi begitu saja. Tanpa memberikan alasan kepergiannya.

Ditempat lain, Indah dibuat syok oleh ucapan Satria. Pria yang selalu tersenyum ketika bertemu. Ternyata sosok teman masa kecil kakaknya. Mereka sering bermain bersama. Siapa sangka, jika sosok Satria berubah jadi pria yang begitu tampan dan berwibawa.

"Kamu sengaja ngikutin aku?" tuduh Gilang.

"Tidak Pak." Indah menyerahkan kertas kecil.

"Ini apa?" Gilang membulat mata ketika melihat kertas tersebut. Bahkan ponselnya berbunyi notifikasi dari sang isteri. Dia bisa gila jika harus berurusan dengan Indah lagi. Gilang memilih pergi. Dia harus bisa menghindari semua ini.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status