Gilang meninggalkan Indah. Dia berusaha membuat Indah untuk tidak tinggal serumah dengannya. Namun, Indah tak putus asa. Dia terpaksa melakukan ini semua, demi menjalani yang diperintahkan Gladis. Semakin cepat, maka semakin baik. Dengan begitu, ia bisa bertemu Dira dan Hendra. Hanya mereka satu-satunya keluarga dan sumber kekuatan Indah untuk bertahan menjalani ini semua. Meski kedepannya ia tak tahu harus bagaimana.Indah memilih menaiki taksi menuju alamat tadi. Dia tak peduli lagi jika Gilang akan memaki, mengusir, bahkan mengatakan apapun tentangnya. Dia sudah siap dengan konsekuensi yang terjadi.Setelah membayar ongkos kepada supir. Indah bergegas menuju pintu gerbang. Di sana, ia ditahan oleh Fogi, petugas keamanan di rumah sana."Maaf, kamu siapa? Di sini dilarang masuk selain Pak Gilang dan Ibu Gladis," tegasnya. Sebagai petugas keamanan, Pak Fogi harus lebih mendetail tamu yang masuk. Mengingat itu perintah majikannya.Indah meraih ponsel. Dia menghubungi Gladis untuk menje
Setelah memastikan mobil Gladis menghilang. Gilang memilih menemui Indah. Indah sedang melamun memandang mereka dari atas.Indah menghela nafas berat memikirkan masalah kehidupannya yang tak tahu mau dibawa ke mana. "Indah," sapa Gilang. Dia berdiri menghampiri istri keduanya yang tak berani menatapnya dari samping."Iya, Pak." Indah memutar tubuh ingin masuk kembali. Dia masih syok pada perdebatan tadi. Terlihat Gilang sangat mencintai istrinya. Bahkan tak rela dengan pernikahan kedua ini."Aku sedang bicara. Mengapa kamu menunduk begitu? Jika suami mengajak bicara seharusnya menatap. Bukan di tekuk begitu," sindirnya. Gilang memberanikan diri meraih lengan kecil gadis yang kini status menjadi istri keduanya menuju tempat tidur."M-a-af. Bapak mau membawa aku ke mana?""Menurutmu? Bukankah kau ingin dipercepat? Aku juga sudah lelah dengan ini semua. Mari kita lakukan!" Gilang memberanikan diri memandang Indah. Jantungnya memompa cepat. Dia menghela nafas panjang. Apakah mungkin ia a
Indah menyentuh dada ketika menyadari sosok suaminya tengah menatapnya. Dia merasa takut. Indah jadi cecegukan. Kebiasaan yang baru terlihat."Ini kenapa? Mulai deh," gumam Indah. Dia memaling wajah seakan tak ada masalah. Padahal Gilang hanya ingin bertanya masalah tadi malam."Tunggu!""Ada apa ya Pak?" Indah bertanya sambil sesekali cecegukan, dan Gilang merasa heran. Matanya yang tadinya melebar perlahan mengecil karena keunikan istrinya."Tak jadi. Kau kenapa?" Gilang meraih air putih di meja dan menyerahkan pada istrinya. Indah merasa ilfeel karena ia sangat ingat, itu minum bekas bibir suaminya yang sengaja ia siapkan untuk Gilang. Sebuah kebiasaan di pagi hari, Gilang ketika bangun tidur. Bahkan suhu air masih terasa hangat dan tinggal setengah."Tak perlu Pak. Nanti juga hilang sendiri," tolaknya.Gilang mendengus napas kesal. Indah berani menolak permintaannya. Padahal terlihat tidak baik-baik saja. Indah bersegera menuju lemari. Tak lupa meletakkan kembali gelas tadi. Sesek
Satria berjalan cepat. Dia menahan pundak gadis yang sedang ingin melangkah cepat. "Mau ke mana?"Satria menyerahkan sesuatu pada Indah. Sebuah tas kecil anyaman. sejak kecil, keduanya pernah terlibat kerajinan tangan. "Hah, mau ke toilet, Pak. Ini untukku?" Pelangi meraih paperbag tersebut. Dia bisa mengerti, jika Satria berusaha untuk mengingat kenangan masa kecilnya."Silahkan dibuka!" "I-ya Pak." Indah tampak gugup. Perlahan paperbag tersebut terbuka. Indah mengintip sekilas, lalu menutup cepat."Bagaimana? Apa kamu suka?"Indah mengangguk pelan. Tak ingin berlama di sana. Dia berpamitan untuk segera menghilang dari sana. Tak sengaja melihat Gilang yang ternyata mencarinya. Ketiga netra mereka saling memandang. Untung saja, ada Luna yang membantunya."Indah! Mari kita pulang!""Iya Lun, mari! Kami duluan ya, Pak. Terimakasih atas hadiahnya," ucap Indah dengan sopan. Dia memutar mata badan sambil merangkul pundak sang sahabat menuju parkiran. Gilang memaling wajah. Dia juga iku
Indah sedang berlari menuju kelas. Dia berlari dengan kuat. Namun, lagi-lagi ia terlambat. “Kamu lagi, kamu lagi,” sindir Gilang. Dia melipat tangan berdiri memandang gadis yang sudah basah dengan keringat. “Maaf Pak,” lirih Indah. Dia tersenyum lebar sambil menangkup tangan. Gilang yang memandangnya merasa kesal. Jiwanya meronta ketika melihat mata hazel itu melemas seakan meminta belai kasihan. Gadis ini benar-benar membuatnya begitu emosi karena aliran darah pada jantungnya memompa kencang. Siapa gadis ini? Mengapa setiap melihat Indah. Hatinya tak mampu melawan. Pesona Indah mengugurkan sifat setia yang selama ini ia pegang dengan susah payah. Indah tersenyum ketika pria (37 tahun) ini bernapas panjang, tanda menyerah. Indah menarik kursi dan duduk menghadapnya. Dia membuka tas meraih tugas untuk diserahkan kepada Gilang."Ini Pak."Gilang meraih dan mengeceknya. Ia tak menyangka tugas yang Indah kerjakan begitu sempurna. Wajar saja, Indah mendapat beasiswa untuk bisa menunt
Gladis sedang duduk manis di gerbang. Dia tersenyum manis ketika melihat sang suami berlari menuju kearahnya. Gilang terlihat begitu perhatian. Dia meraih tangan sang istri lalu mencium lama di sana.“Maaf, lama. Tadi aku sedang mengoreksi nilai ujian para peserta didik di sini. Bagaimana kalo kita langsung berangkat saja? Ini juga sudah siang,” pinta Gilang. Dia merangkul pundak sang istri dengan lembut menuju mobil yang terparkir rapi di sudut sana. Keduanya terlihat begitu bahagia. Saling melengkapi satu sama lain. Gilang tak henti menatap sang istri. Sudah seminggu mereka tak bertemu karena adanya tugas keluar kota. Mengingat Gladis seorang Designer yang cukup populer kala itu. Sementara Indah dan Luna juga menuju tempat yang sama. Langkah Indah terhenti ketika melihat Gladis dan Gilang menuju pada sebuah mobil yang terparkir tak jauh dari mereka. Bahkan matanya tak bisa berkedip karena terpana pada keromantisan mereka. Dia tak habis pikir pada Gladis yang meminta ia menjadi istr