Mag-log inSebuah tangan melingkar di pinggang Emily, yang kini tengah bersantai. Hingga...
“Aku mencarimu. Ternyata kamu di sini,” bisik Vincent tepat di telinganya.Bahu Emily bergetar. Tawanya lepas.“Apa ada yang lucu?” tanya Vincent.Emily tidak menjawab. Ia berbalik. Tatapannya bertemu wajah Vincent yang tampak heran.“Ekspresi Tuan siang tadi,” ucapnya pelan. “Kelihatan sangat menikmati masakan Owen.”Wajah Vincent menegang. “Jangan bahas makanan itu. Mengingatnya saja membuat perutku tidak nyaman.”Emily tertawa kecil. “Tapi Tuan tetap menghabiskannya.”“Aku tidak ingin dia kecewa.”Napas Emily meluruh. Ia kembali menghadap ke depan. Langit sore berwarna oranye. Hangat menyentuh kulitnya. Lengan Vincent kembali memeluk dari belakang. Tubuh pria itu menempel.“Soal semalam, aku tidak bisa melupakannya,” suara Vincent rendah.Bibir Emily melengkung tipis. “Aku juga.”Jari Vincent nVincent berdiri menatap laut terbentang di hadapannya, tenang, berbanding terbalik dengan pikirannya.“Hari ini waktu kita berlibur telah habis.”Adrian terperanjat. “Apa? Kenapa mendadak sekali, Vin?”Vincent menoleh setengah. Sorot matanya gelap. “Ada masalah aku yang bisa menyelesaikannya,” jawabnya datar. “Kalian bersiap.”“Kami belum puas, Vin. Iya kan?” keluh Lucien.Vincent berbalik sepenuhnya. Tatapannya dingin, tegas, tak memberi ruang bantahan.“Bersiaplah,” tekan Vincent. “Kapal sebentar lagi tiba.”Ia kembali menghadap laut. Angin menerpa wajahnya. Liburan ini memang harus berakhir. Dan bersama itu, waktunya Emily juga hampir habis. Sementara itu, Emily sedang merapikan pakaian Elowen.“Kita harus bersiap,” ucap Vanessa tiba-tiba. “Tuan Vincent mengajak kita kembali.”Tangan Emily berhenti. Ia menoleh pelan. “Kembali?” alisnya terangkat. “Bukankah kita sampai akhir tahun baru?”
Malam perlahan turun.Di meja makan, Emily duduk diam. Pandangannya tertahan pada piring di depannya. Makanan itu nyaris tak tersentuh. Ia bisa merasakan tatapan seseorang kepadanya, dalam. Namun ia memilih berpura-pura tak menyadarinya.Kursinya bergeser pelan saat Emily berdiri.“Mau ke mana?” tanya Vanessa.Langkahnya tertahan sesaat. “Aku sudah selesai,” jawab Emily singkat. “Aku mau membereskan dapur.” Ia kembali bergerak menjauh.Di dapur, Emily berhenti. Tangannya naik ke dada. ‘Untuk sekarang… aku tidak boleh bertemu dengannya,’ batinnya. ‘Tapi bagaimana caranya?’“Kenapa?”Suara itu membuat tubuhnya menegang. Emily berbalik cepat.“T-Tuan…” katanya gugup. Kelopak matanya sedikit turun, ia sedikit menguap. “Aku mengantuk sekali.”Tanpa menunggu jawaban, Emily melangkah pergi, meninggalkan Vincent yang masih berdiri di sana.Di kamar, tubuhnya jatuh ke ranjang. Pandangannya men
Pagi ini.Emily berdiri di depan cermin. Jemarinya menekan kain bikini di dadanya, berusaha menutup belahan yang terasa terlalu terbuka.“Aku malu sekali memakai ini,” gumamnya. “Kalau begitu, bagaimana denganku?” sahut Lia dari belakang.Emily menoleh. Lia berdiri santai dengan bikini berwarna cerah. Kulitnya tampak kontras dengan cahaya matahari yang masuk dari jendela.“Kamu cocok. Sangat,” ujar Emily jujur. Ia lalu meraih kaos tipis di atas ranjang. “Aku ganti saja.”“Eh, jangan!” seru Vanessa cepat. Ia melangkah mendekat dan menarik tangan Emily. “Sudah terlanjur begini. Ayo main air!”Emily ragu. Matanya beralih ke cermin sekali lagi. Napasnya tertahan sesaat. Namun sebelum sempat menolak, Vanessa sudah menariknya keluar kamar.Langkah mereka berakhir di pantai. Pasir putih membentang, ombak kecil berkejaran di tepi. Angin laut menyapu rambutnya.“Emily, ayo!” seru Vanessa, yang kini sedikit jauh
“Tiba-tiba sekali, Tuan?” Lia berseru.Emily ikut menatap Vincent. Alisnya sedikit terangkat. Ajakannya datang tanpa tanda. Liburan ke pulau. Mendadak.“Nanti siang kapal akan berangkat,” ujar Vincent singkat. “Bersiaplah.”“Baik!” Lia dan Vanessa menjawab hampir bersamaan. Mereka langsung pergi.Kini hanya tersisa Emily dan Vincent.“Tuan,” Emily mendekat setengah langkah. “Kenapa tiba-tiba berlibur? Apa ada hari khusus?”Vincent tersenyum. Tangannya terangkat, merapikan kerah baju Emily. Jemarinya menyentuh lehernya sekilas.“Aku hanya ingin liburan bersamamu,” katanya pelan. “Kalau hanya mengajakmu, mereka akan merasa tidak adil.”Emily terdiam. ‘Jadi itu alasannya.’•••Siang merambat naik, hangat matahari menyentuh kulit.Sesuai ucapannya tadi pagi, Vincent membawa mereka ke dermaga. Emily melangkah di sampingnya, angin laut memainkan ujung rambutnya. Suara burung camar, membuat s
Pagi ini terasa kaku.Emily berdiri di hadapan Vincent. Pria itu menatapnya dengan wajah masam, sorot matanya dingin. Emily tidak perlu menebak. Semalam ia memilih tidur bersama Elowen, bukan bersamanya.Vincent bangkit dari kursi. Gerakannya tegas, seolah tak ingin berlama-lama di sana. Ia mengulurkan jas ke arah Emily.“Pakaikan.”Emily menatapnya sesaat. Tapi ia tetap menerima jas itu. Ia melangkah mendekat, menyelipkan lengan jas ke bahu Vincent. Jemarinya merapikan kerah, gerakannya rapi, terlatih.“Sudah, Tuan.”Tanpa menoleh, Vincent melangkah pergi. Tidak ada satu kata pun tertinggal.Emily berdiri sendiri. Pandangannya mengikuti punggung itu hingga menghilang di balik pintu. Tangannya perlahan turun ke sisi tubuhnya.Ia menarik napas panjang. Udara terasa berat di dadanya.••• Mobil Vincent melaju meninggalkan rumah itu. Pandangannya lurus ke depan. Jalanan padat, klakson bersahutan,
Sebuah tangan melingkar di pinggang Emily, yang kini tengah bersantai. Hingga...“Aku mencarimu. Ternyata kamu di sini,” bisik Vincent tepat di telinganya.Bahu Emily bergetar. Tawanya lepas.“Apa ada yang lucu?” tanya Vincent.Emily tidak menjawab. Ia berbalik. Tatapannya bertemu wajah Vincent yang tampak heran.“Ekspresi Tuan siang tadi,” ucapnya pelan. “Kelihatan sangat menikmati masakan Owen.”Wajah Vincent menegang. “Jangan bahas makanan itu. Mengingatnya saja membuat perutku tidak nyaman.”Emily tertawa kecil. “Tapi Tuan tetap menghabiskannya.”“Aku tidak ingin dia kecewa.”Napas Emily meluruh. Ia kembali menghadap ke depan. Langit sore berwarna oranye. Hangat menyentuh kulitnya. Lengan Vincent kembali memeluk dari belakang. Tubuh pria itu menempel.“Soal semalam, aku tidak bisa melupakannya,” suara Vincent rendah.Bibir Emily melengkung tipis. “Aku juga.”Jari Vincent n







