Bab 6 . Whispers of Deceit
Pagi ini hujan deras, suara rintik hujan beradu dengan gemuruh guntur dan kilatan petir, Laura semakin meringkukan tubuhnya pada tubuh besar Juan yang memeluknya.
Menghirup aroma parfum milik Juan yang masih menempel di sela-sela perpotongan leher sang suami. Laura menggerakan satu tangannya, membalas pelukan suaminya.
"Morning sweetheart," bisik Juan menundukan wajahnya, lalu menggesekan hidung mancungnya di kening Laura.
"Morning," balas Laura pelan.
"Kau tidak ada jadwal kan hari ini?" Lanjut Laura berbisik.
"Tidak, tinggal satu kontrak pemotretan majalah dua hari lagi," jawab Juan parau.
"Jangan pergi kemanapun hari ini please." Mohon Juan yang tiba-tiba manja.
Laura terkekeh."Baiklah, hari ini aku mengambil libur. Tapi kita harus sarapan. Aku lapar," ujarnya, menggeser dekapan Juan yang lumayan erat.
"Kau lapar?"
Laura berdengung.
"Tidurlah, biar aku yang membuatkanmu sarapan, kau kelelahan semalam." Juan langsung bangkit, meraih celana training untuk menutupi bagian
bawahnya.
"Nanti aku antarkan sarapanmu." Kekeh pria itu yang bahkan belum sempat merapikan rambutnya yang berantakan. Meninggalkan Laura seorang diri dikamar mereka tersenyum, dengan perasaan bersalah.
Laura terduduk, menghela nafasnya yang berat sambil bersandar pada headboard kasur, menatap kearah pintu berbahan kaca bening yang terkena tetesan hujan. Ponselnya yang terletak di nakaspun bergetar.
Boss is calling.
Laura melirik ke arah pintu kamar, memastikan Juan masih di dapur sebelum mengangkat panggilan telepon itu.
"Halo?" Terdengar deru nafas Brian di seberang sana.
"Aku sedang dalam perjalanan ke kantor, kata Lisa, kau cuti?" Suara Brian terdengar keberatan.
"Ya, aku perlu istirahat."
Brian tertawa singkat."Istirahat,setelah malam panasmu?"
Laura meremas selimutnya,menggigit bibir bawahnya, kesal dengan sikap Brian yang akan kembali posesif dan tak tahu batas bila mendengar Juan pulang.
"Jaga ucapanmu,Brian!"
"Apa yang perlu ku jaga sayang? Kau tahu bukan sekali kau bermain denganku. Tak akan ku biarkan kau bernafas legah sedetikpun, ku tunggu dua jam lagi di kantor, bawa laporan planning dan meeting denganku berdua ,di ruangan!" Perintah Brian mutlak.
"Aku tidak bisa." Suara Laura terdengar memohon.
"Kau mau ku pecat?" Ancam Brian.
Laura mengumpat, bangkit berdiri sambil mengambil kaos milik Juan di lantai dan merapikannya asal.
"Kau mengancamku?" Laura balik bertanya.
"Oh tidak mempan ya, keluarga Alexander kan cukup kaya. Baiklah, Meeting denganku dua jam lagi atau aku akan mengatakan pada suami tercintamu setiap dia pergi, kau selalu tidur denganku."
"Brian, apa maksudmu!" Umpat Laura tanpa ada pilihan lagi membuat Brian tertawa terbahak.
"I love you more, Love" Balas Brian nakal dan mematikan sambungan teleponnya.
"Apa yang kau inginkan, Brian!" Laura melempar Handphonenya hingga berserakan di kasur. Ia marah dan kesal dengan dirinya sendiri dan juga sikap Brian yang semakin tidak bisa menjaga batas hubungan mereka.
"Sayang?"suara berat Juan menyentakannya.
"Oh, hai." Laura tersenyum kaku, dengan mata yang bergerak kacau, terlihat bingung.
"Ada apa, hmm?" Juan meletakan Handphone Laura ke atas Nakas sebelum memeluk Laura dari belakang. "Ada masalah?"
Laura menatap, Laura menyadari sorot mata Juan yang terlihat sedih dan kecewa memandangnya.
"Tidak, hanya urusan di kantor"
"Lalu?"
"Ada meeting mendadak, dan mereka mengancam akan memecatku.” Laura yang kemudian membalikan badannya dan kini mereka saling berhadapan.
"Sebaiknya kau memang resign saja dari sana,Lau." suara Juam bergetar parau. Mendengar ucapan Juan, Laura langsung mendorong tubuh besar itu dan menjauh.
"Aku tidak bisa!" Serunya.
"Kenapa?" Kedua alis Juan bertaut, mencari arti dari ekspresi Laura yang aneh.
"Aku tidak bisa, Juan."
"Kau harus membayar penalti? Aku sanggup membayarnya, aku suamimu. Aku bekerja selama ini untukmu." Juan kembali mendekati Laura.
"Ini bukan tentang uang, Juan." Laura membentaknya. Juan tercekat, berdiri kaku.
Sembari mengamati Laura yang gemetar menyadari kesalahannya, ini pertama kalinya Laura membentak suaminya. Sedangkan Juan, pria itu sama sekali tak pernah bersikap kasar padanya. Laura semakin merasa bersalah. Juan mendekat, mendekap tubuh istrinya. Diam tanpa kata selama beberapa detik lalu kemudian ia berseru."Tidak apa-apa."
Juan perlahan melepaskan pelukannya, memegang bahu Laura dan menatapnya."Percayalah, apapun pilihanmu. Aku tidak akan pergi meninggalkanmu." Ucapnya penuh arti kearah Laura yang membeku.
"Sarapanlah, setelah itu bersiap. Aku akan mengantarmu bekerja hari ini, dan jangan menolak!"
"Tapi." Laura segera menggeleng."Bagaimana bila wartawan melihatmu, keluar dari apartemen yang sama denganku?"
Juan tertawa."Apa yang kau khawatirkan bila semuanya terkuak. Toh aku tidak pernah berbohong dengan orientasiku." Juan mencium keningnya.
"Sarapanlah. Aku mandi dulu," bisiknya lagi.
Laura mengangguk, tersenyum tipis ketika Juan berjalan menjauh darinya.
Wajah Laura berubah sendu, menatap sepiring nasi goreng dan segelas orange juice yang Juan siapkan.
“Maafkan Aku,” lirihnya dalam hati
----
Laura duduk di tepi ranjang, menatap layar ponselnya yang masih menampilkan panggilan Brian yang sudah terputus beberapa menit lalu. Napasnya masih bergetar, pikirannya bercampur aduk. Juan mencintainya, dia tahu itu. Tapi Brian...Dia menggigit bibirnya, jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya. Seharusnya dia tidak merasa seperti ini. Seharusnya dia menolak tanpa ragu. Tapi kenapa rasanya begitu sulit?Namun, tangannya tetap mengetik pesan untuk Brian dengan jari yang sedikit gemetar.Aku akan datang.Pintu kamar terbuka perlahan. Juan berdiri di ambang pintu, menatapnya dengan ekspresi yang sulit diterjemahkan. "Laura, kau tidak apa-apa?"Laura tersentak, buru-buru memasukkan ponselnya ke dalam genggaman. "Ya, aku baik-baik saja."Juan menatapnya lebih lama sebelum akhirnya tersenyum tipis. "Aku tiba- tiba harus ke studio sebentar. Kamu ada rencana hari ini?"Laura menelan ludah. Ini kesempatannya. Jika dia ingin menemui Brian, ini adalah satu-satunya cara. "Aku juga ada perte
Jantung Juan mencelos ketika mendengar suara Brian yang memanggil Laura seintim itu. "Don't leave me," mohon pria itu sekali lagi. "Laura please,aku janji." Juan siap menyapa CEO KDN grub itu tapi Laura keluar lebih dulu keluar dari closet room menatapnya bingung. "Juan, siapa?" Juan hanya tersenyum tipis, dirinya yakin Brian di seberang sana sadar dengan siapa dirinya berbicara tadi. Juan menyerahkan ponsel tersebut ke Laura yang masih memandangnya dengan ekspresi bingung. "Atasanmu," lirih Juan parau dan ia sempat menangkap ekspresi gugup dan panik Laura dari raut wajah manis milik sang istri. "Juan." Laura sedang menelan air liurnya mencari alasan tapi Juan jauh lebih cepat mencela. "Bicaralah, mungkin penting.” Juan memilih mengalah-keluar dari kamar milik mereka meninggalkan Laura yang mematung menatap ponsel miliknya dengan nama Brian yang masih melangsungkan panggilan telephonenya. Sekuat hati ia menempelkan ponsel itu di telinganya, hingga mendengar derit pintu kamar yan
Apartemen mewah di pusat kota itu tampak gelap, hanya diterangi cahaya temaram dari lampu-lampu jalan yang menyusup melalui celah tirai putih. Seorang pria duduk dengan wajah kusut, sebotol wine di satu tangan, rokok di tangan lainnya. Diteguknya cairan merah itu sebelum kembali menghisap rokoknya, membiarkan asap tembakau dan mentol membumbung tinggi, memenuhi ruangan dengan aroma yang menyesakkan.Brian terkekeh parau.Hari ini, kenapa terasa seperti akhir dunia baginya?Sejak kecil, ia tak pernah meminta apa pun—bukan mainan mahal, bukan makanan enak. Ia tidak pernah menuntut apapun dari Tuhan. Sepasang mata monolid nya menatap nanar lengannya, tempat bekas sayatan dan guratan masih tampak jelas. Luka-luka itu adalah kenangan pahit yang ditinggalkan ibunya sendiri.Depresi akut dan hilangnya ingatan sebagian telah menjadikan ibunya sosok yang tidak stabil. Sentuhan, yang bagi orang lain adalah bentuk kasih sayang, baginya hanya berarti luka. Beruntung, ibunya segera mendapatkan per
“Maaf," desis Brian kearah Laura yang hanya terdiam di kursi depan meja ruang CEO milik Brian. "Lau aku minta maaf," ulangnya.Laura mendongkak, sisa airmata tercetak jelas di wajahnya yang lelah memandangi pria di hadapannya itu. Entah apa yang sekarang ia rasakan, lelah, hampa, takut, marah, kesal bercampur dengan perasaan yang begitu menggebu ketika pria tampan itu setiap kali menyentuhnya."Setujui saja permohonan pengunduran diriku, Brian," ucap Laura"Aku tidak bisa!" Tegas Brian."Bagaimana caranya, aku pasti akan gila bila tak melihatmu. Membayangkannya saja aku-""Aku sudah menikah Brian!"Satu ucapan Laura seketika membungkam Brian, pria itu bahkan tak merapikan jasnya seperti semula, sisa-sisa permainan mereka tampak dari kusutnya kemeja sang CEO yang bergesekan pada kulit tubuh Laura sejam yang lalu. Brian meremas rambutnya frustasi, mata monolid nya tampak memohon memandangi wanita cantik yang sudah mencuri atensinya, mengambil seluruh dunia nya.Brian merasa begitu diing
Juan menyalakan keran shower, membiarkan tubuh kekar atletisnya basah disirami air hangat yang menenangkan tubuhnya yang menegang karena menahan emosi.Satu tangannya digunakan untuk menyangga tubuhnya yang limbung.Juan mendengarnya, mendengar pembicaraan telepon Laura dari depan pintu kamar mereka.Juan mendengar semuanya."Lau." Juan mengusap air yang membasahi wajahnya "Sadarlah," desisnya. ----"Perlu ku tunggu?" tanya Juan.Laura menggeleng lemah."Aku bisa pulang sendiri.""Tidak Lau, aku akan menunggumu" tegas Juan."Sayang please," ucap Laura memohon.Terdengar desahan nafas Juan yang kembali memaksakan senyumnya."Baiklah, usai mengantarmu. Aku akan mampir ke kantor Ibu.""Baiklah." Laura mengenakan pakaiannya dengan tatapan kosong."Aku akan menjemputmu Laura dan jangan menolak!" Tegas Juan kembali mengingatkan.Laura mengangguk, menerima uluran tangan Juan yang membawanya lagi dalam pelukannya."Lau,""Hmm..""Aku tidak mau kita seperti orang lain, aku dan kau kita akan ber
Bab 6 . Whispers of DeceitPagi ini hujan deras, suara rintik hujan beradu dengan gemuruh guntur dan kilatan petir, Laura semakin meringkukan tubuhnya pada tubuh besar Juan yang memeluknya.Menghirup aroma parfum milik Juan yang masih menempel di sela-sela perpotongan leher sang suami. Laura menggerakan satu tangannya, membalas pelukan suaminya."Morning sweetheart," bisik Juan menundukan wajahnya, lalu menggesekan hidung mancungnya di kening Laura."Morning," balas Laura pelan."Kau tidak ada jadwal kan hari ini?" Lanjut Laura berbisik. "Tidak, tinggal satu kontrak pemotretan majalah dua hari lagi," jawab Juan parau."Jangan pergi kemanapun hari ini please." Mohon Juan yang tiba-tiba manja.Laura terkekeh."Baiklah, hari ini aku mengambil libur. Tapi kita harus sarapan. Aku lapar," ujarnya, menggeser dekapan Juan yang lumayan erat."Kau lapar?" Laura berdengung."Tidurlah, biar aku yang membuatkanmu sarapan, kau kelelahan semalam." Juan langsung bangkit, meraih celana training untuk