haaaai bab selanjutnya menyusul yahh 🤗🤗
Hujan yang turun pada pagi itu bukan hanya menjatuhkan air, tetapi juga membawa serta ribuan jarum yang menghujam siapapun yang berdiri di bawahnya.Memberi mereka kelukaan yang besar saat menatap mata berair Kayden yang diluluh-lantakkan badai.Ia tidak pernah terlihat sehancur itu, ia selalu membawa dirinya tegas dan tetap mengangkat dagu.Tapi pagi ini, sepertinya ia tak peduli dengan bagaimana orang akan memandangnya. Harga dirinya, egonya, statusnya, bahkan ... hidupnya sendiri.Ia hanya ingin bertemu dengan Liora, Liora seorang.“Berdiri!” desak Tuan Royan. Suaranya sedikit meninggi, mendesak Kayden yang terlihat sangat menyedihkan.“Saya tidak akan berdiri sebelum Anda mempertemukan saya dengan Liora.”Nyonya Jessie terlihat selangkah mendekat, matanya sudah basah saat mengatakan, “Kita bicarakan itu, tapi tolong jangan seperti ini, Nak ....”Nyonya Jessie melihatnya bukan sebagai Kayden Baldwin yang berkuasa, tetapi sebagai anak lelakinya yang sedang patah hati.Beliau menatap
“Perlihatkan padaku fotonya!” pinta Kayden, salah satu tangannya terarah ke depan dengan tidak sabar.Evan menyerahkan ponselnya pada Kayden yang menerimanya sembari berjalan meninggalkan tempat ia berdiri semula.Tanpa bertanya pun Evan tahu akan ke mana mereka pergi. Ke Echelon Health Hospital.Kayden melangkah dengan gegas, sementara matanya terarah ke layar ponsel yang menunjukkan foto seorang perempuan berambut panjang yang diikat dengan pita berwarna putih, perempuan yang sangat cantik meski foto itu hanya diambil dari samping.Liora ... gadis dalam foto itu benar adalah Liora.Ia tampak sempurna dalam balutan dress ibu hamil yang dikenakannya. Terlihat di salah satu lorong rumah sakit tepat seperti yang dikatakan oleh si pengirim pesan.“Ibu itu mengatakan hanya bisa mengambil fotonya dari samping karena takut ketahuan,” ucap Evan saat ia dan Kayden sudah berjalan meninggalkan teras rumah.Kayden tak menjawab, lidah dan bibirnya membeku.Tuhan menjawab doanya dengan memberinya
Seperginya Freya, Julia tidak bisa duduk dengan tenang atau sekadar bersantai.Meski ia telah mengusir perempuan mata duitan itu, tapi tak ada yang menjamin ia akan tetap tutup mulut.‘Akan aku cari cara lain, tapi sementara ini biarkan dulu dia pergi dari hidupku.’ Julia membatin penuh amarah.Semua rencana yang disusunnya dengan rapi bahkan hampir tak bercelah sepertinya akan menemui batu sandungan.‘Perempuan sialan itu sama saja dengan Liora ternyata,’ gumamnya seorang diri.Matanya yang menatap jendela di dalam ruang kerja miliknya di DN Construction terasa perih.‘Liora sudah aku singkirkan dan menghilang tapi anak itu malah membuat ulah.’Dorongan napasnya yang berat mengatakan seberapa muaknya ia pada Freya.“Apa yang dia pikirkan sebenarnya saat mengambil cincin milik Marry?”Setelah Kayden mengetahui ini ... pria itu pasti tidak akan tinggal diam. Posisi semua orang terancam jika Kayden dan tangan kanan iblisnya itu bergerak memburu kebenaran hingga di titik penghabisan.Jul
“Pergi kamu dari sini!” Julia menghardik Freya yang bibirnya sudah memutih.Gadis itu memucat, seolah darahnya terserap habis, tenaganya, ketahanan tubuhnya.Saat Julia melepasnya, Freya nyaris jatuh ke lantai. Kedua kakinya seakan tak bisa menopang berat tubuhnya.Sepasang mata Julia menembusnya, membuatnya perlahan mundur dan angkat kaki dari lobi DN Construction.Ia masuk ke dalam mobilnya, sekali lagi ... seperti orang gila yang sedang melarikan diri. Tangannya yang menggigil itu menyalakan mobil dan berkendara pergi dari sana.Ia berusaha menata hatinya, detak jantungnya.Setelah lebih dari seratus meter meninggalkan sekitaran tempat itu, ia berhenti di tepi jalan. Menutup mulutnya dengan kedua tangan agar tangisnya ini terbendung. Tetapi tidak bisa ... terlalu banyak hal yang membuatnya terkejut hari ini.Ia tidak siap!Freya menunduk, memejamkan matanya yang perih hanya untuk menyesali apa yang ia lakukan di belakang sana.Kegelapan itu membuat ingatannya kembali pada malam ha
Nyawanya seperti akan tercabut, dan sebelum ia benar-benar mati di dalam ruang meeting Evermore lalu keberadaannya tidak dapat ditemukan karena dilenyapkan oleh Kayden, maka Freya dengan gegas meninggalkan tempat itu. Lobinya cukup sibuk pagi ini. Ia harus menerobos beberapa orang yang berkerumun tak tau tempat. Yang pandangan mereka dirasanya mengikuti ke manapun ia pergi. Beberapa bisikan singgah bahwa ia seperti orang gila yang sedang mencari jalan keluar. Pintu yang ada di depan itu seperti begitu sulit dijangkaunya. Seakan membutuhkan waktu lebih lama bagi Freya untuk bisa benar-benar keluar. Ia menyeka air matanya dengan tangannya yang gemetar, langkahnya gamang saat ia menuju ke tempat di mana mobilnya ia parkirkan. Merasa bodoh sebab harus berjalan memutar untuk tiba di sana padahal ia sebelumya bisa langsung ke basement. Kepanikan yang melandanya membuatnya tak bisa berpikir dengan jernih. Ia menghubungi Julia sembari mengemudikan mobilnya, mengatakan ingin bertemu dan
Evan yang berdiri di dekat Kayden untuk sesaat tak bisa bergerak. Ia menatap Freya yang kehilangan kata, bukan hanya karena Kayden mencekiknya, tetapi karena ada gelombang kejut yang tak diantisipasinya dari pertanyaan itu. Evan mendengar dari pengacara Hans Mercer yang mengatakan cincin itu bisa saja dibawa sebagai ‘souvenir’ oleh psikopat gila, orang yang malam itu terakhir kali menemui Nyonya Marry—dan menyelundupkan senjata tajam ke dalam kamar rawatnya—itu ia lihat di mana keberadaannya sekarang. Di jari manis Freya. Bukankah itu telah menjelaskan bahwa Freya lah yang bertanggung jawab atas tewasnya Nyonya Marry saat itu? Evan tadinya hendak mencegah Kayden, atau menarik tangannya itu untuk pergi dari leher Freya, tetapi mengingat betapa tragisnya kematian Nyonya Marry, keberadaan Liora yang tak diketahui dan hancurnya Kayden saat badai ini menghantam ... Evan memilih untuk membiarkannya. Gadis itu gemetar di hadapkan pada kemarahan Kayden. Ia berusaha menguraikan tangan Kayd