LOGINDaisy membuka blazernya sambil menahan debaran dalam dada yang semakin tidak terkendali.
Ketika kain itu terbuka sepenuhnya, mata Jade menggelap dan rahangnya mengeras. "Daisy," panggil Jade dengan suara rendah. "Siapa yang melakukan ini?" Daisy tetap diam, tidak berani menatap mata bosnya. Jade tiba-tiba merangkul bahu Daisy lebih dekat dan membawanya untuk duduk di tepi sofa yang ada di kamar. "Tunggu di sini," perintah Jade. Sebelum Daisy sempat membalas, Jade pergi ke kamar mandi. Jade membawa kotak P3K saat kembali dan duduk di depan Daisy. Gadis itu tersentak. "Tuan Jade, Anda harus berpakaian dulu," ucap Daisy gugup sambil melihat ke arah lain. Jade mengabaikan komentar itu dan membuka kotak P3K. Dia mencari salep memar dan mulai mengoleskannya dengan lembut ke setiap memar di lengan Daisy. Kali ini sentuhannya sangat hati-hati, seakan takut membuat memar Daisy bertambah parah. "Dengarkan saya," ucap Jade sambil terus mengobati memar itu. "Apa pun yang terjadi dan siapa pun yang membuatmu terluka seperti ini, kamu bisa menceritakannya pada saya. Saya bisa menghentikannya. Kamu tidak perlu takut, saya juga bisa melindungi kamu." Daisy merasa napasnya tercekat. Selama ini, sejak ibunya meninggal saat Daisy berusia tujuh, tidak pernah ada yang berkata akan melindunginya. Selama bertahun-tahun, Daisy hanya belajar untuk melindungi dirinya sendiri. Ucapan Jade berhasil membuat sesuatu dalam dada Daisy bergetar. Hanya saja, apakah Jade akan tetap melindungi Daisy jika tahu bahwa orang yang menyebabkan memar itu adalah tunangannya? "Terima kasih," bisik Daisy sambil tersenyum tipis. Jade terus mengobati setiap memar dengan teliti, sampai dia melihat memar baru yang lebih merah dari yang lain di sekitar pergelangan tangan Daisy. Jade menghentikan aktivitasnya. "Ini …" kata Jade pelan dan menggantung sesaat, "karena saya. Kemarin, ketika saya tidak bisa mengendalikan diri di dalam mobil. Maafkan saya." "Tuan–" "Kamu yang seharusnya pergi ke rumah sakit, bukan saya," lanjut Jade memotong ucapan Daisy. "Kamu harus diperiksa, Daisy. Memar sebanyak ini tidak normal." "Tidak perlu, Tuan," tolak Daisy dengan cepat. "Saya akan baik-baik saja. Memar akan hilang dalam beberapa hari." "Daisy." Suara Jade tegas dan tatapannya mengarah langsung ke dalam mata gadis itu. “Saya ingin kamu pergi ke dokter. Sebagai asisten pribadi saya, saya memiliki tanggung jawab untuk menjaga kesehatanmu." Daisy terdiam beberapa saat. Sementara Jade mulai merapikan kotak P3K. "Sebenarnya …" desah Daisy sambil mencari kebohongan yang bisa mudah dipercaya, "memar ini dari kecelakaan. Saya jatuh dari tangga beberapa minggu lalu." “Sungguh alasan yang payah.” Jade berdiri sambil mengambil kemeja di rak. “Memar karena jatuh dari tangga, tidak akan seperti ini. Jangan anggap saya bodoh.” Daisy tertunduk. Dia segera keluar, membiarkan bosnya berpakaian. Dalam perjalanan menuju kantor, ponsel Jade tiba-tiba berdenting. Jade langsung memeriksanya. "Renata tidak bisa terbang," ucap Jade setelah menutup ponsel. "Dokter kandungannya tidak memberikan izin. Kehamilannya sudah mendekati hari perkiraan lahir." "Jadi ... Tuan tetap dinas ke luar kota atau tidak?" Daisy yang duduk di sebelah Jade menoleh pelan. "Saya harus tetap pergi," jawab Jade. "Kamu akan menggantikan Renata." "Tapi Tuan, saya belum menyiapkan barang bawaan," elak Daisy, tidak menyembunyikan kepanikannya. "Renata akan meminjamkan kopernya, kamu tinggal berangkat saja,” sahut Jade. Tidak lama kemudian, pesan dari Renata masuk ke ponsel Daisy. [Daisy, maaf sekali aku tidak bisa berangkat dan kamu jadi harus menggantikanku. Bawalah koperku, semuanya sudah siap. Ini permintaan maaf dariku, Daisy.] Daisy bisa membayangkan Renata yang hamil besar berusaha keras untuk meminta maaf atas situasi yang jelas-jelas di luar kendalinya. Hati gadis itu sedikit mencair. Dia membalas, “Serahkan saja padaku. Jaga baik-baik dirimu dan juga kandunganmu.” Sebelum naik ke pesawat, Daisy mengirim pesan pada Olga bahwa dia tidak akan pulang ke rumah selama beberapa hari. Seperti biasa, pesan itu hanya dibaca tanpa respons apa pun. Di luar kota, bukannya langsung menuju hotel, Jade membawa Daisy ke rumah sakit. "Apa ini, Tuan?" tanya Daisy bingung. "Pemeriksaan," jawab Jade singkat sambil mempersilakan Daisy masuk ke ruang dokter. "Tuan Jade, saya tidak perlu–" "Kamu harus diperiksa," potong Jade, wajahnya berubah lebih serius. Saat dokter memeriksa memar-memarnya, Daisy hampir meledak karena rasa malu. Jade berdiri sambil bersedekap di seberang tirai yang memisahkan mereka, matanya tajam memperhatikan hasil rontgen Daisy dari monitor. Setelah selesai, dokter membuka tirai yang memisahkan mereka dan mempersilakan Daisy untuk duduk di sebelah Jade. “Ini bukan memar kecelakaan, Tuan.” Dokter menjelaskan sambil membuka sarung tangannya. “Polanya menunjukkan benturan benda tumpul berulang.” Daisy merasa wajahnya memanas. Dia tidak bisa menyangkal apa pun sekarang. "Apakah ada perdarahan dalam?" tanya Jade khawatir. "Untungnya tidak," jawab dokter. "Dengan salep khusus dan istirahat yang cukup, Nona Daisy akan pulih meski memakan banyak waktu karena memar hampir menutup seluruh bagian atas tubuhnya." Ketika mereka meninggalkan rumah sakit, Jade hanya diam. Namun, rahang pria itu mengeras dan tangannya terus mengepal. Berkali-kali Daisy bisa melihat Jade siap membuka mulut untuk bicara, tetapi pria itu segera mengurungkan niatnya. "Maaf karena sempat berbohong tentang jatuh dari tangga," ucap Daisy memecah keheningan. Jade menoleh dengan wajah datar. "Tuan tidak perlu mencampuri urusan pribadi saya," lanjut Daisy, mencoba memberikan penjelasan. "Selama Tuan membiarkan saya bekerja bersama Tuan, saya bisa segera keluar dari situasi ini. Itu saja yang saya butuhkan." Jade menatap Daisy lekat. "Baiklah," ucap Jade akhirnya. "Tapi, saya ingin kamu tahu, saya akan selalu ada jika kamu ingin menceritakannya lebih detail.” Jade biasanya lebih senang mendesak seseorang untuk memenuhi keinginannya. Namun dengan Daisy, Jade ingin melakukannya secara perlahan hingga gadis itu percaya padanya. Ketika mereka tiba di hotel, Daisy mengikuti Jade ke meja resepsionis. Pria itu melakukan check-in untuk dua kamar. Namun ketika Daisy memasuki kamarnya yang bersebelahan dengan Jade, gadis itu mematung. Ada sebuah pintu di dinding kamarnya. Daisy mencoba membukanya dan melihat Jade dari kamar sebelah sedang membuka koper di atas ranjang. Itu pintu penghubung antara kamar Daisy dan bosnya! “T-tuan,” panggil Daisy terbata-bata. “Kenapa ada pintu penghubung?”“Tolong berdiri.” Daisy terkejut ketika tangan Jade menggenggam lengannya dan menarik gadis itu bangkit dari lantai. Tubuh Daisy limbung, tetapi genggaman Jade menjaga keseimbangannya. “Jangan pernah bersujud seperti itu lagi di hadapan saya,” pinta Jade sambil menahan napas. “Dan, saya setuju dengan permintaanmu. Rahasiamu aman.” Daisy mengangkat wajah. Ada sisa air mata di pelupuknya. "Terima kasih, Tuan." Masalah kesalahpahaman selesai, kini mereka sibuk menyiapkan agenda selanjutnya. Daisy membantu Jade merapikan berkas-berkas untuk rapat pagi. Sesekali Daisy merasakan debaran aneh tiap kali Jade berdiri terlalu dekat. “Kemeja saya mana?” tanya Jade sambil membuka lemari hotel. Pria itu lagi-lagi berjalan di sekitar Daisy hanya dengan handuk yang melilit di pinggangnya. Daisy menunjuk tanpa menatap. “Sudah saya setrika, Tuan. Bagian kanan.” Jade memperhatikan pipi Daisy yang memerah. “Jika kamu kurang sehat, kamu boleh istirahat.” “Saya baik-baik saja,” balas Daisy cep
Jade menoleh, satu tangannya masih memegang koper yang terbuka.“Tidak bisakah kau mengetuk pintu dulu?” tegur Jade, kemudian menjawab, “supaya koordinasi lebih mudah, Daisy.”“Ah ya,” ucap Jade lagi, kali ini sambil merogoh sesuatu dari saku celananya dan mendekat. “Kunci khusus pintu penghubung ini, kamu yang pegang. Silakan kunci saja.”Daisy menerima uluran kunci itu, meski wajahnya masih tampak terkejut.“Baik, Tuan,” sahut Daisy kemudian.“Istirahat yang cukup,” tukas Jade sambil berjalan menjauh. “Besok jadwal kita padat.”Daisy mengangguk cepat, lalu menutup pintu penghubung dari sisinya.Walaupun sudah mandi dengan air dingin, jantung Daisy masih belum merasa tenang. Namun tubuhnya terasa sangat lelah.Baru hitungan menit sejak Daisy terlentang di kasur, kelopak matanya mulai terasa berat.Daisy hampir saja terpejam ketika ponsel di atas nakas berbunyi. Pesan masuk dari Bianca.Hanya membaca namanya saja, wajah Daisy memucat.[Di mana kamu, Jalang?]Daisy menegang. Dia membac
Daisy membuka blazernya sambil menahan debaran dalam dada yang semakin tidak terkendali.Ketika kain itu terbuka sepenuhnya, mata Jade menggelap dan rahangnya mengeras."Daisy," panggil Jade dengan suara rendah. "Siapa yang melakukan ini?"Daisy tetap diam, tidak berani menatap mata bosnya.Jade tiba-tiba merangkul bahu Daisy lebih dekat dan membawanya untuk duduk di tepi sofa yang ada di kamar."Tunggu di sini," perintah Jade.Sebelum Daisy sempat membalas, Jade pergi ke kamar mandi.Jade membawa kotak P3K saat kembali dan duduk di depan Daisy.Gadis itu tersentak."Tuan Jade, Anda harus berpakaian dulu," ucap Daisy gugup sambil melihat ke arah lain.Jade mengabaikan komentar itu dan membuka kotak P3K. Dia mencari salep memar dan mulai mengoleskannya dengan lembut ke setiap memar di lengan Daisy.Kali ini sentuhannya sangat hati-hati, seakan takut membuat memar Daisy bertambah parah."Dengarkan saya," ucap Jade sambil terus mengobati memar itu. "Apa pun yang terjadi dan siapa pun yan
"Tuan Jade,” panggil Daisy dengan suara yang mulai bergetar. “Tuan adalah pria baik yang tidak mungkin melecehkan wanita. Saya percaya Tuan, jadi tolong menjauh.”“Sialan!” Jade tiba-tiba memalingkan wajahnya dengan kasar, membuat Daisy terdorong mundur.Pria itu mengusap wajahnya frustasi dengan napas yang masih terengah-engah."Maaf," ucap Jade penuh penyesalan. "Maafkan saya, Daisy."Jantung Daisy masih berdetak seperti genderang perang, pipinya memanas. Dia tidak berani bergerak, mendekat, atau pun menjauh.Mobil akhirnya berhenti di depan rumah Jade yang megah. Daisy dapat melihat taman luas dengan kolam ikan mas di halaman depan."Kamar saya ada di lantai atas," instruksi Jade sambil berjalan tertatih-tatih, meraih pundak Daisy untuk menopang diri. "Bantu saya."Daisy merasa segan, tetapi ketika melihat kondisi Jade yang benar-benar memburuk, dia tidak memiliki pilihan lain.Dengan hati-hati, Daisy memandu pria itu naik tangga marmer yang lebar dan melewati koridor panjang denga
Pagi hari keesokannya, ponsel Daisy berdenting saat dia baru saja tiba di kantor Poseidon Exports Suri.Pesan masuk dari kontak dengan emotikon berbentuk es.[Ada rapat di luar, saya akan sampai di kantor saat siang. Kamu tangani urusan yang ada di kantor.]Daisy segera membalas dengan cepat, “Baik, Tuan Jade.”Waktu terus berlalu. Daisy menangani panggilan telepon, menjawab surel, dan mengatur jadwal Jade dengan baik.Jade tiba di kantor pada pukul dua siang."Selamat siang, Tuan Jade." Daisy segera berdiri dan menyambut kehadiran bosnya.Jade tidak membalas sapaan gadis itu. Matanya bergerak dari wajah ke lengan Daisy yang tertutup oleh blazer panjang berwarna biru tua.Pria itu ingin memastikan bahwa memar yang kemarin dia lihat, memang benar ada atau hanya salah lihat.Namun, lengan blazer Daisy kali ini lebih panjang daripada seragam pelayan kemarin."Masuk ke ruangan saya," perintah Jade akhirnya sambil berbalik dan melangkah menuju pintu yang mengarah ke ruang pribadinya.Daisy
Brak!Pintu toilet wanita terbuka dengan keras dan seseorang masuk.Sebelum gadis itu sempat mengerti apa yang terjadi, suara pukulan memecah keheningan, diikuti ringisan kesakitan dari Andrew.“Aarghh!” pekik Andrew yang terjatuh menghantam ubin lantai toilet sambil memegangi rahangnya.Daisy terhuyung-huyung ke samping sambil menghirup napas panjang yang membuatnya batuk.Mata Daisy kabur oleh air mata, tetapi dia bisa melihat sosok yang menolongnya dengan jelas.“Tuan Jade?” Daisy terisak pelan sambil mengusap kasar dadanya.Jade menatap Andrew dengan tajam, seperti siap meninju lagi jika pria itu mendekat.“Kau–” Andrew tersentak, mata merahnya membulat saat menyadari siapa yang memukul. “Aiiishh!”Daisy menelan ludah saat melihat Andrew perlahan bangkit.“Sialan!” maki Andrew sebelum berlari keluar toilet.Jade berbalik menghadap Daisy, dan ketegangan dalam wajahnya berubah menjadi kekhawatiran."Apa kamu baik-baik saja?" tanya Jade sambil memegang kedua bahu Daisy dan menelusuri







