MasukJade menoleh, satu tangannya masih memegang koper yang terbuka.
“Tidak bisakah kau mengetuk pintu dulu?” tegur Jade, kemudian menjawab, “supaya koordinasi lebih mudah, Daisy.” “Ah ya,” ucap Jade lagi, kali ini sambil merogoh sesuatu dari saku celananya dan mendekat. “Kunci khusus pintu penghubung ini, kamu yang pegang. Silakan kunci saja.” Daisy menerima uluran kunci itu, meski wajahnya masih tampak terkejut. “Baik, Tuan,” sahut Daisy kemudian. “Istirahat yang cukup,” tukas Jade sambil berjalan menjauh. “Besok jadwal kita padat.” Daisy mengangguk cepat, lalu menutup pintu penghubung dari sisinya. Walaupun sudah mandi dengan air dingin, jantung Daisy masih belum merasa tenang. Namun tubuhnya terasa sangat lelah. Baru hitungan menit sejak Daisy terlentang di kasur, kelopak matanya mulai terasa berat. Daisy hampir saja terpejam ketika ponsel di atas nakas berbunyi. Pesan masuk dari Bianca. Hanya membaca namanya saja, wajah Daisy memucat. [Di mana kamu, Jalang?] Daisy menegang. Dia membaca pesan itu berkali-kali sambil menggigit bibirnya kuat. Tangan Daisy mulai bergetar. Bianca tidak pernah mencarinya, kecuali untuk melampiaskan amarah. Daisy mengusap wajah frustasi. Pada akhirnya dia memutuskan untuk tidak membalas. Gadis itu menutup ponsel dan meringkuk di bawah selimut. “Aku tidak di rumah. Dia tidak bisa melakukan apa-apa,” bisik Daisy menenangkan diri. Daisy tidak sadar kapan mimpi buruk itu mulai. Dalam mimpi, seseorang menarik tangan Daisy dan menyeretnya ke ruang gelap. Suara Bianca terdengar marah, lalu berubah menjadi jeritan. Napas Daisy memburu. Dia mencoba berlari, tetapi kakinya seperti terikat. "Tolong! Tolong!" jerit Daisy dalam tidur, tubuhnya berkeringat dingin di atas ranjang. "Kak Bianca, jangan! Jangan!" Jade tersentak, tubuhnya spontan duduk tegak. “Daisy?” ucap Jade pelan, berusaha memastikan pendengarannya tidak salah. Begitu Daisy kembali berteriak dari kamar sebelah, Jade melompat dari ranjangnya dan berlari ke pintu penghubung. “Daisy?!” panggil Jade sambil mengetuk pintu penghubung. “Daisy, buka pintunya!” Tidak ada respons. Jade mengetuk lebih keras. “Daisy!” Tetap tidak ada jawaban. Suara Daisy justru berubah menjadi isakan yang memilukan. “Sialan!” Jade mengumpat pelan lalu bergegas menelepon resepsionis hotel dan meminta mereka membuka paksa kamar Daisy dari pintu utama. Ketika pintu terbuka, pemandangan yang Jade lihat membuat hatinya mencelos. Daisy terbaring di ranjang sambil menangis dalam tidurnya yang gelisah. Keringat mengalir di wajah gadis itu, dan tubuhnya bergetar seperti sedang mengalami kedinginan ekstrem. Tanpa berpikir panjang, Jade duduk di tepi ranjang. Pria itu melingkarkan lengannya di sekitar tubuh Daisy dan menarik gadis itu ke dalam pelukannya. "Shhh, saya di sini. Kamu aman." Jade membisikkan kata-kata yang menenangkan, meskipun dia sendiri tidak tahu apa yang sedang terjadi. Daisy terbangun, setengah sadar akan kehangatan yang membungkusnya. Gadis itu perlahan mendongak pelan dan berusaha membuka mata. “Tuan … Jade?” bisik Daisy memastikan. Pandangannya masih tampak kabur. “Ya.” Jade mengusap punggung Daisy pelan. “Kamu hanya bermimpi buruk.” Daisy menutup mata lagi berusaha mengatur napas. "Tidurlah di sini, Tuan." Jade membeku. Tatapannya turun pada wajah Daisy yang pucat dan basah oleh air mata. “Tolong .…” Daisy menambahkan, terdengar putus asa. Matahari pagi masuk melalui celah gorden. Daisy terbangun dalam keadaan yang jauh lebih baik. Namun ketika Daisy membuka mata sepenuhnya, Jade yang duduk di tepi ranjang dan memunggunginya, mengejutkan gadis itu. “Tu-Tuan Jade?!” manik Daisy membulat. Jade bergeming. Beberapa detik kemudian, Jade menoleh dan Daisy melihat sesuatu yang membuat darahnya mendidih. Ponselnya berada di tangan Jade. Dengan layar yang menyala dan menu riwayat pesan terbuka. "Tuan!" Daisy langsung bangkit dan merebut ponselnya. “Kenapa Tuan membuka ponsel saya?! Kenapa Tuan ada di kamar saya?!” Daisy lupa bahwa semalam dia sendiri yang memintanya. Jade tidak menjawab. Tatapannya justru melunak melihat Daisy berdiri gemetar. Piyama Renata yang kebesaran menggantung longgar di tubuh Daisy, membuat memar-memarnya terlihat samar. Mengingatkan Jade pada pesan di ponsel Daisy yang baru saja dia baca, penuh hinaan dan ancaman. [Jalang tidak berguna! Sebenarnya di mana kamu?!] [Lihat saja, Daisy, aku akan membunuhmu, jika aku berhasil menemukanmu!] [Angkat teleponnya, Bodoh! Apa kau sibuk melacur?] [Berapa pria yang kau layani tadi malam?] Itu beberapa yang Jade ingat. Dikirim dari satu kontak yang sama, Bianca Lulla. "Apa hubunganmu dengan Keluarga Lulla?" tanya Jade, mengabaikan protes Daisy. Daisy tersentak. “Saya … tidak ada hubungan apa-apa.” “Daisy.” Jade menatapnya tajam. “Saya sudah membaca semua pesannya. Percuma kamu berbohong.” Daisy menggigit bibir. “Tuan sudah bersikap lancang. Meskipun Tuan atasan saya, Tuan tidak punya hak–” "Kamu berteriak minta tolong semalam!" potong Jade, suaranya meninggi karena emosi yang meledak, “dan kamu ketakutan setengah mati sambil menyebut nama Bianca.” Jade berdiri, mata cokelatnya berkilat dengan kekhawatiran yang bercampur kemarahan. "Lihat dirimu, Daisy! Memar-memarmu, mimpi buruk yang membuatmu menangis dalam tidur, semua itu membuat saya merasa harus melindungimu dari sesuatu. Dari apa atau siapa pun yang membuatmu ketakutan seperti itu!" Daisy menatap Jade dengan air mata berlinang. “Kenapa?” Jade hendak menjawab, tetapi nyatanya dia tidak menemukan jawaban atas pertanyaan Daisy dalam kepalanya. Daisy mengusap air mata dengan punggung tangan. “Saya … anak pembantu Keluarga Lulla. Diangkat menjadi anak mereka setelah ibu saya meninggal.” Berdasarkan pesan Daisy yang Jade baca, dia memang sudah menebak seperti itu. Namun mendengarnya langsung membuat dada Jade berdesir aneh. “Jadi memar itu …” ucap Jade pelan, “ulah mereka?” Daisy menunduk. “Bukan mereka. Hanya satu orang.” Tanpa bertanya lebih jauh, Jade sudah tahu siapa orangnya. Pria itu tidak sadar mengepalkan tangan. "Di pesta pertunangan Tuan," lanjut Daisy, "saya tidak tahu Kak Bianca akan bertunangan dengan Tuan, karena selama ini yang saya tahu, kekasih Kak Bianca adalah–" Daisy berhenti. Mata gadis itu membulat menyadari apa yang baru saja keluar dari mulutnya. "Andrew?" tanya Jade sambil mengangkat salah satu alis. "Bagaimana Tuan tahu nama itu?" tanya Daisy. "Waktu kita bertemu di pesta pertunangan, saya diam-diam mengikutimu dan tidak sengaja mendengar semuanya dari luar toilet wanita," jawab Jade seraya tersenyum miring. "Termasuk saat dia berkata bahwa dia sedang menunggu Bianca." Daisy jatuh berlutut. Air mata meluncur lagi tanpa bisa dia tahan. “Tuan, saya mohon jangan bilang pada Kak Bianca, maupun orang tuanya kalau saya bekerja dengan Tuan, dan memberitahu tentang hubungan Kak Bianca dengan Andrew pada Tuan. Saya tidak bisa kehilangan pekerjaan saya.” Daisy merendahkan tubuhnya, bersujud di kaki Jade dengan lutut gemetar. “Saya harus bertahan supaya bisa keluar dari rumah mereka hidup-hidup.”“Tolong berdiri.” Daisy terkejut ketika tangan Jade menggenggam lengannya dan menarik gadis itu bangkit dari lantai. Tubuh Daisy limbung, tetapi genggaman Jade menjaga keseimbangannya. “Jangan pernah bersujud seperti itu lagi di hadapan saya,” pinta Jade sambil menahan napas. “Dan, saya setuju dengan permintaanmu. Rahasiamu aman.” Daisy mengangkat wajah. Ada sisa air mata di pelupuknya. "Terima kasih, Tuan." Masalah kesalahpahaman selesai, kini mereka sibuk menyiapkan agenda selanjutnya. Daisy membantu Jade merapikan berkas-berkas untuk rapat pagi. Sesekali Daisy merasakan debaran aneh tiap kali Jade berdiri terlalu dekat. “Kemeja saya mana?” tanya Jade sambil membuka lemari hotel. Pria itu lagi-lagi berjalan di sekitar Daisy hanya dengan handuk yang melilit di pinggangnya. Daisy menunjuk tanpa menatap. “Sudah saya setrika, Tuan. Bagian kanan.” Jade memperhatikan pipi Daisy yang memerah. “Jika kamu kurang sehat, kamu boleh istirahat.” “Saya baik-baik saja,” balas Daisy cep
Jade menoleh, satu tangannya masih memegang koper yang terbuka.“Tidak bisakah kau mengetuk pintu dulu?” tegur Jade, kemudian menjawab, “supaya koordinasi lebih mudah, Daisy.”“Ah ya,” ucap Jade lagi, kali ini sambil merogoh sesuatu dari saku celananya dan mendekat. “Kunci khusus pintu penghubung ini, kamu yang pegang. Silakan kunci saja.”Daisy menerima uluran kunci itu, meski wajahnya masih tampak terkejut.“Baik, Tuan,” sahut Daisy kemudian.“Istirahat yang cukup,” tukas Jade sambil berjalan menjauh. “Besok jadwal kita padat.”Daisy mengangguk cepat, lalu menutup pintu penghubung dari sisinya.Walaupun sudah mandi dengan air dingin, jantung Daisy masih belum merasa tenang. Namun tubuhnya terasa sangat lelah.Baru hitungan menit sejak Daisy terlentang di kasur, kelopak matanya mulai terasa berat.Daisy hampir saja terpejam ketika ponsel di atas nakas berbunyi. Pesan masuk dari Bianca.Hanya membaca namanya saja, wajah Daisy memucat.[Di mana kamu, Jalang?]Daisy menegang. Dia membac
Daisy membuka blazernya sambil menahan debaran dalam dada yang semakin tidak terkendali.Ketika kain itu terbuka sepenuhnya, mata Jade menggelap dan rahangnya mengeras."Daisy," panggil Jade dengan suara rendah. "Siapa yang melakukan ini?"Daisy tetap diam, tidak berani menatap mata bosnya.Jade tiba-tiba merangkul bahu Daisy lebih dekat dan membawanya untuk duduk di tepi sofa yang ada di kamar."Tunggu di sini," perintah Jade.Sebelum Daisy sempat membalas, Jade pergi ke kamar mandi.Jade membawa kotak P3K saat kembali dan duduk di depan Daisy.Gadis itu tersentak."Tuan Jade, Anda harus berpakaian dulu," ucap Daisy gugup sambil melihat ke arah lain.Jade mengabaikan komentar itu dan membuka kotak P3K. Dia mencari salep memar dan mulai mengoleskannya dengan lembut ke setiap memar di lengan Daisy.Kali ini sentuhannya sangat hati-hati, seakan takut membuat memar Daisy bertambah parah."Dengarkan saya," ucap Jade sambil terus mengobati memar itu. "Apa pun yang terjadi dan siapa pun yan
"Tuan Jade,” panggil Daisy dengan suara yang mulai bergetar. “Tuan adalah pria baik yang tidak mungkin melecehkan wanita. Saya percaya Tuan, jadi tolong menjauh.”“Sialan!” Jade tiba-tiba memalingkan wajahnya dengan kasar, membuat Daisy terdorong mundur.Pria itu mengusap wajahnya frustasi dengan napas yang masih terengah-engah."Maaf," ucap Jade penuh penyesalan. "Maafkan saya, Daisy."Jantung Daisy masih berdetak seperti genderang perang, pipinya memanas. Dia tidak berani bergerak, mendekat, atau pun menjauh.Mobil akhirnya berhenti di depan rumah Jade yang megah. Daisy dapat melihat taman luas dengan kolam ikan mas di halaman depan."Kamar saya ada di lantai atas," instruksi Jade sambil berjalan tertatih-tatih, meraih pundak Daisy untuk menopang diri. "Bantu saya."Daisy merasa segan, tetapi ketika melihat kondisi Jade yang benar-benar memburuk, dia tidak memiliki pilihan lain.Dengan hati-hati, Daisy memandu pria itu naik tangga marmer yang lebar dan melewati koridor panjang denga
Pagi hari keesokannya, ponsel Daisy berdenting saat dia baru saja tiba di kantor Poseidon Exports Suri.Pesan masuk dari kontak dengan emotikon berbentuk es.[Ada rapat di luar, saya akan sampai di kantor saat siang. Kamu tangani urusan yang ada di kantor.]Daisy segera membalas dengan cepat, “Baik, Tuan Jade.”Waktu terus berlalu. Daisy menangani panggilan telepon, menjawab surel, dan mengatur jadwal Jade dengan baik.Jade tiba di kantor pada pukul dua siang."Selamat siang, Tuan Jade." Daisy segera berdiri dan menyambut kehadiran bosnya.Jade tidak membalas sapaan gadis itu. Matanya bergerak dari wajah ke lengan Daisy yang tertutup oleh blazer panjang berwarna biru tua.Pria itu ingin memastikan bahwa memar yang kemarin dia lihat, memang benar ada atau hanya salah lihat.Namun, lengan blazer Daisy kali ini lebih panjang daripada seragam pelayan kemarin."Masuk ke ruangan saya," perintah Jade akhirnya sambil berbalik dan melangkah menuju pintu yang mengarah ke ruang pribadinya.Daisy
Brak!Pintu toilet wanita terbuka dengan keras dan seseorang masuk.Sebelum gadis itu sempat mengerti apa yang terjadi, suara pukulan memecah keheningan, diikuti ringisan kesakitan dari Andrew.“Aarghh!” pekik Andrew yang terjatuh menghantam ubin lantai toilet sambil memegangi rahangnya.Daisy terhuyung-huyung ke samping sambil menghirup napas panjang yang membuatnya batuk.Mata Daisy kabur oleh air mata, tetapi dia bisa melihat sosok yang menolongnya dengan jelas.“Tuan Jade?” Daisy terisak pelan sambil mengusap kasar dadanya.Jade menatap Andrew dengan tajam, seperti siap meninju lagi jika pria itu mendekat.“Kau–” Andrew tersentak, mata merahnya membulat saat menyadari siapa yang memukul. “Aiiishh!”Daisy menelan ludah saat melihat Andrew perlahan bangkit.“Sialan!” maki Andrew sebelum berlari keluar toilet.Jade berbalik menghadap Daisy, dan ketegangan dalam wajahnya berubah menjadi kekhawatiran."Apa kamu baik-baik saja?" tanya Jade sambil memegang kedua bahu Daisy dan menelusuri







