LOGIN"Tuan Jade,” panggil Daisy dengan suara yang mulai bergetar. “Tuan adalah pria baik yang tidak mungkin melecehkan wanita. Saya percaya Tuan, jadi tolong menjauh.”
“Sialan!” Jade tiba-tiba memalingkan wajahnya dengan kasar, membuat Daisy terdorong mundur. Pria itu mengusap wajahnya frustasi dengan napas yang masih terengah-engah. "Maaf," ucap Jade penuh penyesalan. "Maafkan saya, Daisy." Jantung Daisy masih berdetak seperti genderang perang, pipinya memanas. Dia tidak berani bergerak, mendekat, atau pun menjauh. Mobil akhirnya berhenti di depan rumah Jade yang megah. Daisy dapat melihat taman luas dengan kolam ikan mas di halaman depan. "Kamar saya ada di lantai atas," instruksi Jade sambil berjalan tertatih-tatih, meraih pundak Daisy untuk menopang diri. "Bantu saya." Daisy merasa segan, tetapi ketika melihat kondisi Jade yang benar-benar memburuk, dia tidak memiliki pilihan lain. Dengan hati-hati, Daisy memandu pria itu naik tangga marmer yang lebar dan melewati koridor panjang dengan lukisan mahal menghiasi dinding. "Kamar mandi ada di sana," tunjuk Jade pada salah satu pintu di dalam kamarnya. "Saya ingin berendam … di bathtub saja, tapi tambahkan … banyak es batu." “Es batu?” Daisy tertegun. “Saya tahu apa yang saya lakukan,” tukas Jade sambil menahan berat tubuhnya pada dinding. “Cepat!” Daisy segera berlari ke kamar mandi. Dia menyalakan air, lalu mengatur suhu sambil mengisi bathtub dengan es batu yang dia ambil dari lemari pendingin khusus di kamar mandi. “Dia punya banyak stok es batu di rumahnya,” komentar Daisy saat melihat hanya ada es batu yang memenuhi lemari pendingin itu. Ketika bathtub sudah penuh dengan air yang cukup dingin, Jade masuk. "Obat saya," ucap Jade sambil melepas jas dan kancing kemejanya. "Kotak P3K di atas wastafel. Ambilkan botol dengan label biru." Kini Jade berbicara lebih cepat, seperti tengah terburu-buru. Daisy menemukan kotak itu dan mencari botol yang dimaksud. Ketika dia memberikannya ke Jade, pria itu langsung meminum beberapa tablet. Dalam beberapa detik, Jade tampak sedikit membaik. "Sekarang kamu pergi ke ruang tamu," pinta Jade. "Tunggulah saya di sana. Jangan pergi ke mana-mana." Daisy duduk di ruang tamu rumah Jade sambil meremas ujung blazernya. Ruangan itu sangat besar, dengan sofa kulit hitam menghadap ke perapian dan lukisan-lukisan seni modern di dinding. Beberapa menit kemudian, Jade muncul dari tangga dengan pakaian yang lebih kasual, celana abu-abu gelap dan kaus putih lengan panjang. Wajah dingin dan mengintimidasi yang biasa Daisy lihat sudah kembali sepenuhnya. "Maaf atas tindakan gegabah saya di mobil," ujar Jade tanpa basa-basi sambil duduk di sebelah Daisy. “Dalam rapat siang tadi, ada seseorang yang memberi saya minuman. Di dalamnya mungkin dicampur zat tertentu. Biasanya digunakan … untuk melunakkan kesepakatan bisnis dengan membuat target kehilangan kendali.” Daisy mengangkat kedua alisnya, sementara Jade menghela napas. “Obat perangsang, Daisy.” Jade menjelaskan. “Mereka ingin saya tidur dengan seorang wanita, lalu menjadikan itu sebagai alat pelicin.” Pipi Daisy memerah, dia mengalihkan pandangan sesaat. “Beberapa kali terjadi. Karena itu saya selalu membawa obat penawar. Hanya saja, hari ini saya lupa,” sambung Jade. Daisy membatu. “Jadi … Tuan sudah pernah–” “Tidak pernah sampai menyentuh siapa pun. Tidak akan pernah.” Tatapan Jade menusuk Daisy. “Saya tahu cara mengatasinya. Itu sebabnya saya bilang harus pulang. Ini pertama kalinya saya hampir lepas kendali. Maaf, Daisy.” Daisy dan Jade saling menatap selama beberapa detik, sebelum akhirnya gadis itu menunduk sambil mengangguk pelan. “Saya mengerti.” “Baiklah.” Jade menyugar rambutnya, lalu berdiri hendak mengambil kunci mobil. “Biar saya antar kamu pulang.” “Tuan Jade tidak perlu mengantar saya. Saya bisa naik kendaraan umum,” tolak Daisy perlahan berdiri juga. Jade memperhatikan raut ketakutan gadis itu, lalu mengangguk. “Saya akan panggilkan taksi untukmu.” Daisy mengangguk setuju "Sebelum kamu datang ke kantor besok, datanglah ke sini dulu." “Ada apa, Tuan?” tanya Daisy berusaha menetralkan detak jantungnya. "Saya akan dinas luar kota bersama Renata sebagai tugas terakhirnya sebelum cuti melahirkan," jawab Jade. "Tapi Renata sudah mulai mudah lelah, jadi dia tidak bisa menyiapkan keperluan saya. Kamu yang akan melakukannya." Daisy teringat Renata, asisten pribadi lama Jade, yang juga mengajari gadis itu beberapa hal di minggu pertama. Wanita berbadan dua itu memang mudah lelah, bisa berbahaya jika dia memaksakan diri. "Baik, Tuan," jawab Daisy. Keesokan harinya, Daisy tiba di rumah Jade cukup pagi, ketika cahaya matahari masih terlihat malu-malu menampakkan diri. Dengan password pintu yang sudah Jade berikan lewat pesan, Daisy masuk ke rumah yang tampak sunyi itu. Tidak menemukan tanda-tanda keberadaan Jade di mana pun, Daisy langsung bergerak menuju kamar utama. Ruang pakaian Jade terletak di sebelah kamarnya, sebuah ruangan berukuran besar dengan rak-rak yang rapi berisi puluhan jas, kemeja, dan pakaian berkualitas tinggi. Renata juga sudah memberikan sebuah daftar barang bawaan yang harus Daisy siapkan. Gadis itu mulai bekerja setelah menarik koper hitam besar ke tengah ruangan dan membukanya. Supaya gerakannya lebih leluasa, Daisy melepas blazer dan meninggalkannya di kursi. Menyisakan blus putih tanpa lengan yang memamerkan memar-memar keunguan di sepanjang lengan. Daisy terlalu fokus pada pekerjaannya untuk menyadari bahwa Jade telah keluar dari kamar mandi. "Daisy …." “Aahh!” Daisy menjerit kencang, hampir terjatuh karena tersandung koper. Jade berdiri di ambang pintu ruang pakaian dengan hanya mengenakan handuk putih yang dililit di sekitar pinggang. Sisa tetesan air masih mengalir di dada dan bahu Jade yang berotot. Rambut basah yang menempel di dahi menambah kesan seksi pada pria itu. "Maaf! Maaf!" seru Daisy sambil menutupi wajahnya dengan kedua tangan, lalu memutar tubuh membelakangi Jade. "Saya pikir Tuan tidak ada di kamar. Saya akan pergi." Daisy melangkah cepat ke arah pintu, tetapi tangan Jade menyambar dan memegang bahunya. Gadis itu berhenti, tetapi dia tetap menjaga wajahnya tetap tertutup. "Memar ini …" ucap Jade sambil mengusap lembut tangan Daisy dari bagian atas ke bawah. "Daisy, siapa yang membuatmu seperti ini?!” Mata Daisy membulat, spontan dia menarik tangannya dari genggaman Jade. ‘Bodoh!’ rutuk Daisy dalam hati sambil mengambil blazernya. "B-bukan urusan Tuan," jawab Daisy sambil memakai kembali blazernya, menyembunyikan memar-memar itu. "Saya akan menyelesaikan pekerjaan saya dan segera pergi." Jade memang berhenti bertanya. Namun bukan berarti dia menyerah mencari tahu. Pria itu mengikis jarak dengan Daisy. "Buka blazermu!” perintah Jade tegas. Daisy menggigit bibir. Jantungnya berdetak dengan cepat. "Tuan, saya benar-benar harus–" "Buka," ulang Jade penuh penekanan, manik cokelatnya menggelap. "Sekarang, Daisy."“Tolong berdiri.” Daisy terkejut ketika tangan Jade menggenggam lengannya dan menarik gadis itu bangkit dari lantai. Tubuh Daisy limbung, tetapi genggaman Jade menjaga keseimbangannya. “Jangan pernah bersujud seperti itu lagi di hadapan saya,” pinta Jade sambil menahan napas. “Dan, saya setuju dengan permintaanmu. Rahasiamu aman.” Daisy mengangkat wajah. Ada sisa air mata di pelupuknya. "Terima kasih, Tuan." Masalah kesalahpahaman selesai, kini mereka sibuk menyiapkan agenda selanjutnya. Daisy membantu Jade merapikan berkas-berkas untuk rapat pagi. Sesekali Daisy merasakan debaran aneh tiap kali Jade berdiri terlalu dekat. “Kemeja saya mana?” tanya Jade sambil membuka lemari hotel. Pria itu lagi-lagi berjalan di sekitar Daisy hanya dengan handuk yang melilit di pinggangnya. Daisy menunjuk tanpa menatap. “Sudah saya setrika, Tuan. Bagian kanan.” Jade memperhatikan pipi Daisy yang memerah. “Jika kamu kurang sehat, kamu boleh istirahat.” “Saya baik-baik saja,” balas Daisy cep
Jade menoleh, satu tangannya masih memegang koper yang terbuka.“Tidak bisakah kau mengetuk pintu dulu?” tegur Jade, kemudian menjawab, “supaya koordinasi lebih mudah, Daisy.”“Ah ya,” ucap Jade lagi, kali ini sambil merogoh sesuatu dari saku celananya dan mendekat. “Kunci khusus pintu penghubung ini, kamu yang pegang. Silakan kunci saja.”Daisy menerima uluran kunci itu, meski wajahnya masih tampak terkejut.“Baik, Tuan,” sahut Daisy kemudian.“Istirahat yang cukup,” tukas Jade sambil berjalan menjauh. “Besok jadwal kita padat.”Daisy mengangguk cepat, lalu menutup pintu penghubung dari sisinya.Walaupun sudah mandi dengan air dingin, jantung Daisy masih belum merasa tenang. Namun tubuhnya terasa sangat lelah.Baru hitungan menit sejak Daisy terlentang di kasur, kelopak matanya mulai terasa berat.Daisy hampir saja terpejam ketika ponsel di atas nakas berbunyi. Pesan masuk dari Bianca.Hanya membaca namanya saja, wajah Daisy memucat.[Di mana kamu, Jalang?]Daisy menegang. Dia membac
Daisy membuka blazernya sambil menahan debaran dalam dada yang semakin tidak terkendali.Ketika kain itu terbuka sepenuhnya, mata Jade menggelap dan rahangnya mengeras."Daisy," panggil Jade dengan suara rendah. "Siapa yang melakukan ini?"Daisy tetap diam, tidak berani menatap mata bosnya.Jade tiba-tiba merangkul bahu Daisy lebih dekat dan membawanya untuk duduk di tepi sofa yang ada di kamar."Tunggu di sini," perintah Jade.Sebelum Daisy sempat membalas, Jade pergi ke kamar mandi.Jade membawa kotak P3K saat kembali dan duduk di depan Daisy.Gadis itu tersentak."Tuan Jade, Anda harus berpakaian dulu," ucap Daisy gugup sambil melihat ke arah lain.Jade mengabaikan komentar itu dan membuka kotak P3K. Dia mencari salep memar dan mulai mengoleskannya dengan lembut ke setiap memar di lengan Daisy.Kali ini sentuhannya sangat hati-hati, seakan takut membuat memar Daisy bertambah parah."Dengarkan saya," ucap Jade sambil terus mengobati memar itu. "Apa pun yang terjadi dan siapa pun yan
"Tuan Jade,” panggil Daisy dengan suara yang mulai bergetar. “Tuan adalah pria baik yang tidak mungkin melecehkan wanita. Saya percaya Tuan, jadi tolong menjauh.”“Sialan!” Jade tiba-tiba memalingkan wajahnya dengan kasar, membuat Daisy terdorong mundur.Pria itu mengusap wajahnya frustasi dengan napas yang masih terengah-engah."Maaf," ucap Jade penuh penyesalan. "Maafkan saya, Daisy."Jantung Daisy masih berdetak seperti genderang perang, pipinya memanas. Dia tidak berani bergerak, mendekat, atau pun menjauh.Mobil akhirnya berhenti di depan rumah Jade yang megah. Daisy dapat melihat taman luas dengan kolam ikan mas di halaman depan."Kamar saya ada di lantai atas," instruksi Jade sambil berjalan tertatih-tatih, meraih pundak Daisy untuk menopang diri. "Bantu saya."Daisy merasa segan, tetapi ketika melihat kondisi Jade yang benar-benar memburuk, dia tidak memiliki pilihan lain.Dengan hati-hati, Daisy memandu pria itu naik tangga marmer yang lebar dan melewati koridor panjang denga
Pagi hari keesokannya, ponsel Daisy berdenting saat dia baru saja tiba di kantor Poseidon Exports Suri.Pesan masuk dari kontak dengan emotikon berbentuk es.[Ada rapat di luar, saya akan sampai di kantor saat siang. Kamu tangani urusan yang ada di kantor.]Daisy segera membalas dengan cepat, “Baik, Tuan Jade.”Waktu terus berlalu. Daisy menangani panggilan telepon, menjawab surel, dan mengatur jadwal Jade dengan baik.Jade tiba di kantor pada pukul dua siang."Selamat siang, Tuan Jade." Daisy segera berdiri dan menyambut kehadiran bosnya.Jade tidak membalas sapaan gadis itu. Matanya bergerak dari wajah ke lengan Daisy yang tertutup oleh blazer panjang berwarna biru tua.Pria itu ingin memastikan bahwa memar yang kemarin dia lihat, memang benar ada atau hanya salah lihat.Namun, lengan blazer Daisy kali ini lebih panjang daripada seragam pelayan kemarin."Masuk ke ruangan saya," perintah Jade akhirnya sambil berbalik dan melangkah menuju pintu yang mengarah ke ruang pribadinya.Daisy
Brak!Pintu toilet wanita terbuka dengan keras dan seseorang masuk.Sebelum gadis itu sempat mengerti apa yang terjadi, suara pukulan memecah keheningan, diikuti ringisan kesakitan dari Andrew.“Aarghh!” pekik Andrew yang terjatuh menghantam ubin lantai toilet sambil memegangi rahangnya.Daisy terhuyung-huyung ke samping sambil menghirup napas panjang yang membuatnya batuk.Mata Daisy kabur oleh air mata, tetapi dia bisa melihat sosok yang menolongnya dengan jelas.“Tuan Jade?” Daisy terisak pelan sambil mengusap kasar dadanya.Jade menatap Andrew dengan tajam, seperti siap meninju lagi jika pria itu mendekat.“Kau–” Andrew tersentak, mata merahnya membulat saat menyadari siapa yang memukul. “Aiiishh!”Daisy menelan ludah saat melihat Andrew perlahan bangkit.“Sialan!” maki Andrew sebelum berlari keluar toilet.Jade berbalik menghadap Daisy, dan ketegangan dalam wajahnya berubah menjadi kekhawatiran."Apa kamu baik-baik saja?" tanya Jade sambil memegang kedua bahu Daisy dan menelusuri







