Tubuh Sherly terhuyung setiap kali dorongan keras itu menghantamnya dari belakang. Tangannya mencengkeram sprei, merasakan kenikmatan yang tidak pernah dia rasakan sebelumnya.
“Ahh… hahh…!”
Lenguhan terlontar dari bibir Sherly kala tangan kokoh pria itu menahan pinggangnya, menariknya lebih rapat, memaksa tubuhnya mengikuti irama yang kian liar.
“Lihat aku…” bisikan berat itu menyusup, rendah namun tegas.
Mata Sherly refleks terarah pada pantulan cermin rias di dalam kamar. Dirinya terguncang di sana, rambut berantakan, bibir ternganga, matanya basah oleh kenikmatan yang meluap.
Lalu, sosok pria itu terlihat. Otot-ototnya menegang di bawah kulit yang berkilau oleh keringat, wajahnya dipahat tajam, rahang mengeras, dan yang terpenting sepasang mata hitam yang menenggelamkan.
Bibir pria itu menempel di telinga Sherly dan berbisik, “Sebut namaku, aku–”
TOK! TOK! TOK!
“Sherly! Bangun atau aku akan dobrak pintu kamarmu ini!”
Mendengar teriakan itu, Sherly langsung terbangun dengan napas tersengal. Selagi tubuhnya banjir keringat, Sherly merutuk dalam hati mengenai mimpi yang dia alami tadi.
Sudah dua minggu semenjak pertama kali ia memimpikan mimpi itu, tapi tiap malam, mimpi yang sama tersebut terus menghantuinya.
“Sherly! Aku hitung sampai tiga ya! Satu, dua–”
“Ugh! Iya, aku bangun!” seru Sherly seraya berjalan menghampiri pintu dan membukanya.
Di sana, berdiri dengan rambut dikuncir ekor kuda dan bibir merengut, adalah Ovi, tetangga kamar kontrakannya.
“Astaga, Vi. Suaramu bisa bikin satu lantai kontrakan bangun!”
Ovi berkacak pinggang. “Kan kamu sendiri yang menyuruhku membangunkanmu! Katanya takut telat buat hari pertama PPDS. Gimana sih?”
Mendengar ucapan itu, Sherly tersentak dan langsung melirik jam di dinding. Sudah pukul 6 lewat, dan Sherly hanya punya waktu kurang dari satu jam untuk sampai di lobi rumah sakit!
“Ah, aku hampir telat!” teriak Sherly yang langsung meraih handuk dan peralatan mandinya.
Memutar bola matanya, Ovi pun hanya bisa melihat Sherly tergesa-gesa berlari ke kamar mandi untuk mandi. Teman Sherly tersebut kemudian menutup pintu dan kembali ke kamarnya.
Sepanjang perjalanan ke RSUD yang akan menjadi tempatnya belajar selama beberapa tahun ke depan, Sherly merutuki nasibnya yang hampir telat. Ini semua karena mimpinya itu!
Dua minggu lalu, di pesta reuni SMA-nya, Sherly kira kekasih yang dia pacari dengan diam-diam selama sepuluh tahun, Reynan, akan mengungkapkan hubungan mereka di hadapan teman-teman. Akan tetapi, tidak Sherly sangka pria itu malah berakhir menyatakan cinta kepada Berliana, anak dari dekan di universitas tempat mereka menimba ilmu kedokteran yang entah kenapa bisa turut ada di sana.
Marah dan patah hati, Sherly pun pergi meninggalkan pesta dan pergi ke bar untuk menumpahkan amarah dan kekecewaan diri. Namun, ia justru berakhir tidur dengan seorang pria asing!
Panik, pagi harinya Sherly memutuskan langsung pergi sebelum pria itu bangun dan mengubur apa yang terjadi di malam itu sendiri.
Namun, sebagai efeknya, dia terus dihantui mimpi bersama pria tersebut!
“Haah … tenanglah, Sher. Tidak lama lagi kamu akan tenggelam dengan kesibukan di rumah sakit, dan tidak ada waktu lagi untuk memimpikan pria itu ….”
“Baru dateng, Sher?” sapa seseorang saat Sherly baru menginjakkan kaki di lobi gedung utama, tepat sepuluh menit sebelum pukul tujuh.
Saat menoleh, ia mendapati Antika, teman seangkatannya di pendidikan spesialis yang sama, sedang memandangnya sambil tersenyum.
"Eh, Mbak,” balas Sherly sembari mengatur napasnya yang berantakan habis berlari. “Pagi, Mbak. Diantar suami?”
Antika mengangguk. “Iya.”
Mereka kemudian berjalan bersama menuju lantai tempat departemen bedah berada sembari mengobrol sampai kemudian Antika menghentikan langkah mereka secara tiba-tiba.
"Kenapa, Mbak?" tanya Sherly dengan tatapan bingung.
"Lihat ke arah jam 9, Sher!" bisik Antika lirih. Ia berdeham. “Wah, aku emang udah punya suami dan anak sih, tapi tetep aja. Syukur bisa lihat beliau lagi–”
Sherly mengernyit. Namun, ia mengikuti instruksi Antika dan menoleh ke arah yang Antika tujukan.
Tubuhnya seketika menegang. Rasanya Sherly akan pingsan!
Sepasang matanya membelalak melihat pria tinggi tegap yang berdiri tidak jauh dari sana. Sosok itu tampak gagah dan berwibawa dengan setelan scrub warna biru muda, seragam khusus dari rumah sakit yang dipakai oleh para dokter spesialis dan tenaga kesehatan di departemen bedah.
Namun, bukan penampilan tampan dokter itu yang mengejutkan Sherly.
Wajah itu … tidak mungkin Sherly lupakan. Apalagi dengan bayangan mimpi-mimpi panas yang mewarnai tidurnya belakangan ini.
Itu adalah pria yang tidur dengannya malam itu!
"Daebak!" desis Antika lirih tanpa memalingkan pandangan. "Umur hampir 40 tapi gagah pol macam aktor Korea!"
Sherly menelan ludah. Mungkin Antika melihatnya sebagai gadis haus yang bernafsu melihat pria tampan, tapi sebenarnya, Sherly sedang gugup!
Apakah pria itu mengenalinya? Apakah … sosok itu mengingatnya?
Bisa mati Sherly kalau iya. Sherly boleh ingat soal betapa panasnya malam itu, tapi orang itu tidak boleh! Apalagi melihat seragam departemen bedah itu–
“Mbak, dia siapa?” tanya Sherly dalam bisikan lirih setelahnya saat ia bisa bersuara.
“Oh, kamu nggak tahu?” balas Antika. "Itu Dokter Gerrard Sutanto, Sher! Dia dokter bedah sekaligus konsulen kita, lagi ambil sub spesialis juga dia. Ganteng, ya?"
Konsulen?
Tubuh Sherly makin terasa lemas.
Itu berarti … mereka punya kemungkinan sangat besar untuk terus bertemu setelah ini?
Wah, dunia sudah gila.
Ini baru hari pertamanya sebagai mahasiswi pendidikan dokter spesialis, tapi hari ini juga, Sherly mengetahui bahwa ia sudah tidur dengan konsulennya.
Sherly menghela napas panjang.
Tiba-tiba sepasang mata hitam kelam itu beradu dengan milik Sherly–membuat perempuan itu terkesiap dan buru-buru langsung melanjutkan langkah, menghilang di balik dinding koridor sembari menyeret Antika bersamanya.
“Ih, Sher! Kenapa buru-buru sih? Aku masih mau liat Dok Gerrard!” Antika langsung memprotes. “Buat semangat pagi!”
Duh, semangat apanya. Yang ada, riwayat Sherly bisa langsung tamat kalau pria itu mengenalinya sebagai gadis yang menggodanya malam itu.
***
"Untuk pasien ini, nanti tolong di-follow up lagi dan setor hasilnya ke saya. Kita perlu observasi lebih lanjut sebelum jadwal operasi beliau besok pagi."
“Baik, Dok.”
Sherly mencatat diam-diam di belakang para senior dan teman-temannya. Ia sengaja setengah bersembunyi, karena sekarang ia sedang ikut rombongan visite Dokter Gerrard. Seakan posisinya masih terlihat pun, Sherly masih pakai masker untuk menutupi setengah wajahnya.
Ya, apesnya. Dia kebagian jadi tim visite Dokter Gerrard. Kita memang tidak boleh main-main dengan takdir.
Tidak apa-apa. Sherly tinggal diam di belakang dan–
“Saya dengar lulusan terbaik bergabung di departemen kita.”
Sherly mengangkat wajahnya mendengar ucapan tersebut. Ia langsung bisa melihat semua pasang mata di sana terarah padanya.
Termasuk mata tajam milik Dokter Gerrard.
“Y-ya?” bisik Sherly lirih.
“Kamu lulusan terbaik? Siapa nama kamu?”
“Sherly, Dok.”
“Kalau pasien tiba-tiba demam sebelum operasi, apa yang harus dilakukan? Apakah operasi bisa tetap dilanjutkan?” Gerrard kemudian bertanya.
Kening Sherly tampak mengerut sejenak saat ia berpikir sebelum kemudian menjawab, “Evaluasi penyebabnya dulu, cek tanda vital, lab, dan kemungkinan sumber infeksi.” Suaranya tidak terlalu keras, sekaligus menyimpan kegugupan karena berada dalam fokus konsulen tampan tersebut.
“Lalu?”
“Setelahnya … laporkan kondisi pasien.”
“Kalau demamnya cukup tinggi karena infeksi, apakah tetap bisa operasi?”
Sherly menggeleng kemudian dan menjelaskan sebab dan akibat yang bisa terjadi apabila operasi dilanjutkan.
Sepasang matanya bertatapan dengan milik Gerrard cukup lama, sebelum pria itu kemudian mengangguk dan Sherly diam-diam bisa bernapas lega. Kegiatan visite kemudian berlanjut hingga setengah jam kemudian.
Sherly segera mengendap keluar ketika agenda visite mereka usai. Beruntung meski sempat berinteraksi, sepertinya Dokter Gerrard tidak mengenalinya,
Perempuan itu berjalan cepat, terus melangkah menjauh tanpa menyadari ada sepasang langkah kaki yang mengikutinya dari belakang.
"Fiuh!"
Pada akhirnya, dengan hati lega, Sherly melepaskan maskernya, melipat benda itu dan memasukkan ke dalam saku sembari terus melangkah.
Tiba-tiba, sebuah tepukan lembut mendarat di bahunya.
Refleks Sherly menoleh–dan sepasang matanya membelalak ketika melihat siapa yang menepuk bahunya barusan!
Pria itu!
Dokter Gerrard menatap Sherly dengan saksama, begitu lekat sampai rasanya Sherly seperti sedang ditelanjangi oleh tatapan laki-laki beralis tebal yang langsung menjadi bahan gosip para penghuni bangsal bedah.
“Sherly?” Suara itu terdengar tercekat. Alis tebalnya bertaut, tampak berpikir.
Jelas saja, Sherly langsung panas dingin.
“Y-ya, Dok?”
Cukup lama mata itu menatap Sherly dengan saksama, sampai kemudian ia menghela napas panjang dan kembali bersuara.
"Ikut ke ruangan saya, ada beberapa hal yang ingin saya bicarakan."
“Kamu sendiri kenapa, Dek? Kata Ibu kecelakaan? Kondisinya parah? Kok ada di rumah?” Sherly memberondong Sony dengan pertanyaan. Baru kemudian pandangannya jatuh pada pergelangan kaki sang adik yang terbungkus perban.Selain itu? Hanya lecet biasa di dua tiga tempat."Siapa, Son?"Belum sempat Sony menjawab pertanyaan Sherly, sang ibu muncul dari dalam rumah. Wanita paruh baya itu pun tampak terkejut dengan kepulangan Sherly.“Kamu kok nggak ngabarin kalau mau pulang?” kata Sari, ibu Sherly, dengan nada setengah menggerutu.“Aku nunggu kabar dari Ibu, tapi Ibu nggak balas ataupun angkat teleponku. Jelas aku khawatir,” jelas Sherly. “Tapi kata Ibu, kondisi Sony parah. Apa ini yang seperti ini yang Ibu maksud?”“Apa maksud kamu?” Ibunya tampak tidak terima. Nada suaranya langsung meninggi. “Jadi menurutmu, adikmu bonyok sampe begitu itu nggak parah? Kamu nggak bersyukur adikmu masih hidup? Maumu dia koma, sekarat di rumah sakit, begitu?"Sherly menghela napas. “Bukan begitu maksud aku,
Otak Sherly langsung bertanya-tanya apa maksud dari pertanyaan itu. Memang sebelumnya Sherly menangis di depan Gerrard? Pun, matanya mungkin sempat berkaca-kaca, ia tidak menumpahkannya di hadapan pria itu.Akan tetapi, Sherly tidak bertanya lebih jauh.“Maaf, Dok. Tadi saya tidak lihat jalan,” ucapnya kemudian. “Matamu agak sembab,” balas Gerrard kemudian. “Kamu baik-baik saja?”Tanpa sadar, Sherly menggigit bibirnya. Kenapa pria ini terdengar begitu peduli? Apakah ini hanya kedok? Atau Dokter Gerrard murni mencemaskan kondisinya? Sherly akui, setelah satu hari ini, kondisi tubuh dan mentalnya tidak cukup baik. Mungkin itu bisa dilihat dari wajahnya yang kuyu dan lesu.Pendidikannya tahun ini tampaknya penuh cobaan. Tidak hanya dari Reynan dan pihak rumah sakit, melainkan juga dari konsulennya sendiri.“Sherly?” panggil Gerrard lagi saat Sherly tidak kunjung menjawab.“Baik-baik saja, Dok.” Sherly memaksakan sebuah senyum tipis. “Mungkin karena sudah sore, jadi agak capek. Saya per
“Kamu bukannya temenan deket sama Sherly, Rey? Kok aku nggak pernah lihat dia lagi bareng kamu?”Usai dari ruangan Gerrard, Sherly hendak menuju ke bangsal poli rawat jalan ketika ia mendengar obrolan tersebut. Saat ia mengintip di persimpangan koridor, Sherly melihat beberapa anak koas dan residen anestesi yang lain–departemen yang dipilih oleh Reynan. Apes betul nasibnya hari ini. Sherly berniat berbalik dan mengambil jalan lain saat ia mendengar suara Reynan menjawab komentar sang kawan.“Cuma temen satu SMA biasa. Nggak begitu deket kok.” Suara familier itu membuat Sherly berhenti melangkah.“Nggak deket gimana, Rey? Aku sering lihat kalian bareng lho. Kadang kalian juga nugas bareng, bukannya?” Suara lain berkomentar. “Sampai kukira, Reynan dan Sherly pacaran.”Reynan terdengar tertawa. "Ah! Pacaran apaan?" kilah suara itu yang seperti menghantam hati Sherly dengan begitu keras. Pria itu benar-benar lupa kalau waktu SMA dulu, justru Reynan-lah yang menyatakan cinta. Namun,
"Ikut ke ruangan saya, ada beberapa hal yang ingin saya bicarakan."DEG! Jantung Sherly rasanya seperti meloncat dari tempat. Tanpa menunggu jawaban Sherly, dokter Gerrard membalikkan badan, melangkah lebih dulu menuju ruangan pribadinya. Sementara Sherly, ia masih membeku di tempatnya berdiri. Ia didera ketakutan yang teramat sangat.Apa yang ingin laki-laki itu bicarakan padanya? Apakah ini tentang apa yang terjadi malam itu antara mereka? Dengan langkah berat, Sherly mulai mengikuti Dokter Gerrard ke ruangan.Jantung Sherly berdegup dua kali lebih cepat. Ia benar-benar tidak tahu, apa yang harus dia katakan nanti ketika benar malam panas itulah yang hendak dibahas Dokter Gerrard. Haruskah Sherly mengaku sebagai wanita itu? Atau dia berpura-pura Dokter Gerrard salah orang supaya hidupnya bisa tenang dan benar-benar melupakan malam laknat efek mabuknya dia kala itu? Tapi apakah lelaki itu akan percaya dan punya pemikiran yang sama dengan Sherly? Bagaimana kalau malah sebaliknya
Tubuh Sherly terhuyung setiap kali dorongan keras itu menghantamnya dari belakang. Tangannya mencengkeram sprei, merasakan kenikmatan yang tidak pernah dia rasakan sebelumnya.“Ahh… hahh…!”Lenguhan terlontar dari bibir Sherly kala tangan kokoh pria itu menahan pinggangnya, menariknya lebih rapat, memaksa tubuhnya mengikuti irama yang kian liar.“Lihat aku…” bisikan berat itu menyusup, rendah namun tegas. Mata Sherly refleks terarah pada pantulan cermin rias di dalam kamar. Dirinya terguncang di sana, rambut berantakan, bibir ternganga, matanya basah oleh kenikmatan yang meluap.Lalu, sosok pria itu terlihat. Otot-ototnya menegang di bawah kulit yang berkilau oleh keringat, wajahnya dipahat tajam, rahang mengeras, dan yang terpenting sepasang mata hitam yang menenggelamkan.Bibir pria itu menempel di telinga Sherly dan berbisik, “Sebut namaku, aku–”TOK! TOK! TOK!“Sherly! Bangun atau aku akan dobrak pintu kamarmu ini!”Mendengar teriakan itu, Sherly langsung terbangun dengan napas t