LOGIN"Daebak!" desis Antika lirih tanpa memalingkan pandangan. "Umur hampir 40 tapi gagah pol macam aktor Korea!"
Sherly menelan ludah. Mungkin Antika melihatnya sebagai gadis haus yang bernafsu melihat pria tampan, tapi sebenarnya, Sherly sedang gugup!
Apakah pria itu mengenalinya? Apakah … sosok itu mengingatnya?
Bisa mati Sherly kalau iya. Sherly boleh ingat soal betapa panasnya malam itu, tapi orang itu tidak boleh! Apalagi melihat seragam departemen bedah itu–
“Mbak, dia siapa?” tanya Sherly dalam bisikan lirih setelahnya saat ia bisa bersuara.
“Oh, kamu nggak tahu?” balas Antika. "Itu Dokter Gerrard Sutanto, Sher! Dia dokter bedah sekaligus konsulen kita, lagi ambil sub spesialis juga dia. Ganteng, ya?"
Konsulen?
Tubuh Sherly makin terasa lemas.
Itu berarti … mereka punya kemungkinan sangat besar untuk terus bertemu setelah ini?
Wah, dunia sudah gila.
Ini baru hari pertamanya sebagai mahasiswi pendidikan dokter spesialis, tapi hari ini juga, Sherly mengetahui bahwa ia sudah tidur dengan konsulennya.
Sherly menghela napas panjang.
Tiba-tiba sepasang mata hitam kelam itu beradu dengan milik Sherly–membuat perempuan itu terkesiap dan buru-buru langsung melanjutkan langkah, menghilang di balik dinding koridor sembari menyeret Antika bersamanya.
“Ih, Sher! Kenapa buru-buru sih? Aku masih mau liat Dok Gerrard!” Antika langsung memprotes. “Buat semangat pagi!”
Duh, semangat apanya. Yang ada, riwayat Sherly bisa langsung tamat kalau pria itu mengenalinya sebagai gadis yang menggodanya malam itu.
***
"Untuk pasien ini, nanti tolong di-follow up lagi dan setor hasilnya ke saya. Kita perlu observasi lebih lanjut sebelum jadwal operasi beliau besok pagi."
“Baik, Dok.”
Sherly mencatat diam-diam di belakang para senior dan teman-temannya. Ia sengaja setengah bersembunyi, karena sekarang ia sedang ikut rombongan visite Dokter Gerrard. Seakan posisinya masih terlihat pun, Sherly masih pakai masker untuk menutupi setengah wajahnya.
Ya, apesnya. Dia kebagian jadi tim visite Dokter Gerrard. Kita memang tidak boleh main-main dengan takdir.
Tidak apa-apa. Sherly tinggal diam di belakang dan–
“Saya dengar lulusan terbaik bergabung di departemen kita.”
Sherly mengangkat wajahnya mendengar ucapan tersebut. Ia langsung bisa melihat semua pasang mata di sana terarah padanya.
Termasuk mata tajam milik Dokter Gerrard.
“Y-ya?” bisik Sherly lirih.
“Kamu lulusan terbaik? Siapa nama kamu?”
“Sherly, Dok.”
“Kalau pasien tiba-tiba demam sebelum operasi, apa yang harus dilakukan? Apakah operasi bisa tetap dilanjutkan?” Gerrard kemudian bertanya.
Kening Sherly tampak mengerut sejenak saat ia berpikir sebelum kemudian menjawab, “Evaluasi penyebabnya dulu, cek tanda vital, lab, dan kemungkinan sumber infeksi.” Suaranya tidak terlalu keras, sekaligus menyimpan kegugupan karena berada dalam fokus konsulen tampan tersebut.
“Lalu?”
“Setelahnya … laporkan kondisi pasien.”
“Kalau demamnya cukup tinggi karena infeksi, apakah tetap bisa operasi?”
Sherly menggeleng kemudian dan menjelaskan sebab dan akibat yang bisa terjadi apabila operasi dilanjutkan.
Sepasang matanya bertatapan dengan milik Gerrard cukup lama, sebelum pria itu kemudian mengangguk dan Sherly diam-diam bisa bernapas lega. Kegiatan visite kemudian berlanjut hingga setengah jam kemudian.
Sherly segera mengendap keluar ketika agenda visite mereka usai. Beruntung meski sempat berinteraksi, sepertinya Dokter Gerrard tidak mengenalinya,
Perempuan itu berjalan cepat, terus melangkah menjauh tanpa menyadari ada sepasang langkah kaki yang mengikutinya dari belakang.
"Fiuh!"
Pada akhirnya, dengan hati lega, Sherly melepaskan maskernya, melipat benda itu dan memasukkan ke dalam saku sembari terus melangkah.
Tiba-tiba, sebuah tepukan lembut mendarat di bahunya.
Refleks Sherly menoleh–dan sepasang matanya membelalak ketika melihat siapa yang menepuk bahunya barusan!
Pria itu!
Dokter Gerrard menatap Sherly dengan saksama, begitu lekat sampai rasanya Sherly seperti sedang ditelanjangi oleh tatapan laki-laki beralis tebal yang langsung menjadi bahan gosip para penghuni bangsal bedah.
“Sherly?” Suara itu terdengar tercekat. Alis tebalnya bertaut, tampak berpikir.
Jelas saja, Sherly langsung panas dingin.
“Y-ya, Dok?”
Cukup lama mata itu menatap Sherly dengan saksama, sampai kemudian ia menghela napas panjang dan kembali bersuara.
"Ikut ke ruangan saya, ada beberapa hal yang ingin saya bicarakan."
DEG!
Pria ini … tidak mungkin mengenalinya, bukan?
"Fix ya, jumat langsung masuk, nanti tindakan sab--.""Nggak bisa jumat sekalian?" potong Gerrard mencoba nego. Yanu nampak serius menatap layar monitor, sesekali ia mengentuk pulpen ke meja, tanpa melepaskan pandangan dari layar monitor. "Jumat full. Kalau mau malam, Ge." jawab Yanu memulai negosiasi. "Malamnya jam berapa?""Sembilan."Gerrard mendesah, ia mengusap wajahnya dengan kasar. Sungguh pilihan yang sulit! Ia ingin anaknya segera lahir, kekhawatiran Gerrard akan pendarahan yang selama ini berulang terjadi bisa segera usai dan jangan lupa ... Gerrard bisa segera meluapkan semua yang selama ini dia pendam pada ibunya. "Pas kamu udah loyo-loyonya itu!" desis Gerrard dengan mata terpejam dan tubuh bersandar di kursi. "Sabtu pagi jam lima!"Kini obsgyn itu yang nampak memejamkan mata sembari menghela napas panjang. "Jam segitu tindakan, obsgyn-nya nggak boleh tidur, Ge?" protes Yanu dengan wajah memelas. "Kalo ada cito, obsgyn-nya juga masih mau tidur?" Gerrard kekeuh, ia i
Gerrard menatap nanar layar ponsel, ia mendesah panjang dan membiarkan ponsel itu jatuh ke pangkuannya. Room chat itu masih disana, dan Gerrard tidak tahu harus membalas apa. Nirina mengabarkan bahwa besok dia sudah sampai dan minta dijemput di bandara. Pada akhirnya, waktu itu akan tiba! Gerrard sudah mempersiapkan diri, bukan hanya untuk menjadi ayah, tetapi juga untuk membela istrinya dan mempertahankan Sherly agar tetap berada di sisinya. Apakah besok dia akan berhasil? Kenapa dia tanyakan ini? Bukankah Gerrard sudah bertekad bahwa apapun itu akan dia lakukan? "Mas, kenapa?"Gerrard tersentak, entah sejak kapan Sherly duduk di sebelahnya, dia tidak tahu. Yang jelas, akhir-akhir ini gerak Sherly benar-benar terbatas. Ia sudah kesulitan beraktivitas, susah tidur dan masih banyak lagi. "Besok mama udah sampai, nggak apa-apa, kan?"Gerrard bisa lihat wajah itu berubah. Senyum itu terlihat kaku, begitu dipaksa sampai kemudian kepalanya terangguk. "Tentu nggak apa-apa, memang kena
"Istri lahiran sama siapa besok, Ge?"Ibra menyeruput americano miliknya, mereka sedang beristirahat di cafe yang merupakan salah satu fasilitas di lapangan golf langganan mereka. "Yanu, akhir bulan nanti sudah harus operasi." jawab Gerrard ikut menyeruput kopinya. Tiga bapak-bapak ini sebenarnya tidak benar-benar bermain dan bertaruh skor. Mereka hanya datang, bermain sebentar dan berakhir nongkrong di salah satu meja cafe. Efek lelah sepulang praktek dan tentu saja hari yang sudah mulai menggelap. "Banyak pasien dia kulihat." ucap Bastian ikut nimbrung, tentu dia kenal dengan Yanu, mereka satu kampus dulu! "Kamu sih, kenapa dulu nggak ambil obsgyn? Dengan bentukan kamu yang begini, laris kamu!" kelakar Gerrard yang kontan membuat Bastian mencebik. "Kamu tentu tidak lupa aku yang harus mengulang tiga minggu di stase obsgyn dulu, kan? Dan kamu menyuruhku jadi ahli kandungan?" omel Bastian yang entah mengapa begitu payah selama stase itu. Gerrard sontak terbahak-bahak, membuat I
"Kalau ada yang ingin kamu tanyakan, jangan sungkan. Oke?"Evelyn tersenyum, mengangguk pelan tanda bahwa dia mengerti dan paham dengan pesan yang Bastian berikan. "Aku benar-benar berharap kamu yang bakalan temenin aku sampai akhir hayat, Lyn."Evelyn tertegun, jujur dia masih belum bisa menerima semua itu. Meskipun beberapa kali meminta bahwa ia ingin Bastian untuk seumur hidupnya, namun bagaimana pun ia tetap syok dan terkejut Bastian akan secepatnya ini mengajaknya menikah! "Aku pun sama, semoga Tuhan dan semesta merestui ya, Mas." jawab Evelyn sembari tersenyum. "Terimakasih untuk hari ini, aku pamit pulang, ya?"Bastian menarik tangan Evelyn, mencegah tangan itu membuka pintu mobil, toh ia belum membuka kuncinya, namun ia melakukan itu bukan hanya agar Evelyn tidak membuka kunci pintu, namun juga untuk mendekatkan wajah Evelyn agar ia bisa kembali meraup bibirnya. Dengan sedikit liar, Bastian melumat bibir itu. Suhu tubuhnya meningkat seketika, ciuman itu bahkan bisa membangu
"Apa ini, Mas?" tanya Evelyn ketika Bastian menyodorkan ponsel ke depan wajahnya. "Liat dulu!" paksa Bastian sembari menjejalkan ponsel ke tangan Evelyn. Evelyn menatap ponsel Bastian, sebuah katalog tapi .... "List wedding dream kamu!" titah Bastian yang sukses membuat Evelyn membelalak terkejut. "Kurang beberapa bulan aja, kan? Kita bahas mulai sekarang!"Astaga! Evelyn tertegun, pacaran dengan duda apakah memang sedramatis ini? Langsung sat-set diajak menikah? Evelyn benar-benar syok, Bastian benar-benar tidak membiarkan dia beristirahat barang sebentar. "Ta-tapi kita belum bahas sama keluarga, Mas!" desis Evelyn lirih. "Yaudah ayo kita bahas!" sahutnya santai, "Besok ketemu orang tua kamu, ya? Kita bahas!"Evelyn terkesiap, ia begitu gemas pada Bastian. Segampang itukah? Apakah dia tidak tahu bagaimana peragai ibunya? Kemungkinan apa yang terjadi jika Evelyn membawa Bastian pulang dan meminta izin hendak menikah? "Mas!" desis Evelyn lemas. "Buru-buru amat sih?"Bastian meng
"Mbak duluan, ya!" pamit Evelyn pada para perawat IGD, lirikannya berubah sinis pada lelaki itu, siapa lagi kalau bukan Fendi? Bahkan Evelyn tidak menyalami lelaki itu, melengos dan melewatinya begitu saja tak peduli sejak masuk tadi, tatapan Fendi sudah tertuju kepadanya. Dari sudut mata, Evelyn bisa melihat dia bangkit dan hendak mengejar langkah Evelyn, namun secara tidak terduga, ada pasien datang dibopong masuk ke dalam. Evelyn tersenyum lebar, agaknya semesta memang benar-benar tidak merestui mereka. Dengan santai, Evelyn melangkah menyusuri koridor rumah sakit. Satu tangannya merogoh ponsel, baru akan menelepon Bastian ketika panggilan lembut itu sudah lebih dulu menyapanya. "Jadi ngopi, Yang?" Ah! Hampir Evelyn melonjak ketika tangan itu meraih dan menggenggam tangannya, matanya membelalak, membuat Bastian tertawa dan menyeret Evelyn dengan segera sebelum ada yang memergoki mereka. Bukan ke tempat sepi, Bastian membawa Evelyn ke tempat parkir. Segera membuka







