LOGINJantung Sherly rasanya seperti meloncat dari tempat. Tanpa menunggu jawaban Sherly, dokter Gerrard membalikkan badan, melangkah lebih dulu menuju ruangan pribadinya.
Sementara Sherly, ia masih membeku di tempatnya berdiri. Ia didera ketakutan yang teramat sangat.
Apa yang ingin laki-laki itu bicarakan padanya? Apakah ini tentang apa yang terjadi malam itu antara mereka?
Dengan langkah berat, Sherly mulai mengikuti Dokter Gerrard ke ruangan.
Jantung Sherly berdegup dua kali lebih cepat. Ia benar-benar tidak tahu, apa yang harus dia katakan nanti ketika benar malam panas itulah yang hendak dibahas Dokter Gerrard.
Haruskah Sherly mengaku sebagai wanita itu? Atau dia berpura-pura Dokter Gerrard salah orang supaya hidupnya bisa tenang dan benar-benar melupakan malam laknat efek mabuknya dia kala itu?
Tapi apakah lelaki itu akan percaya dan punya pemikiran yang sama dengan Sherly?
Bagaimana kalau malah sebaliknya? Bagaimana kalau hal ini malah dijadikan senjata lelaki itu untuk terus mengusik dan mengganggunya?
"Silakan masuk."
Lelaki itu berucap sembari menahan pintu. Gerrard membiarkan Sherly masuk lebih dulu. Baru setelahnya, pria itu masuk. Beliau menarik kursi duduk yang ada di depan meja untuk Sherly. Baru setelah Sherly duduk, Gerrard lalu menyusul dan duduk tepat di depan Sherly, di kursi kekuasaan miliknya sendiri.
"Wajahmu pucat.”
Sherly tersentak.
Sepasang mata itu masih menatapnya lekat, cenderung seperti tengah menimbang atau menilai Sherly, membuat keringat dingin mengucur di dahi Sherly.
Sherly menelan ludah dengan susah payah, ia mencoba tenang, meskipun ia tidak tahu bagaimana caranya supaya dia bisa tenang dalam kondisi saat ini.
"Saya tidak apa-apa, Dok. Cuma sedikit kurang enak badan." kilah Sherly kemudian. Ia berusaha untuk tidak tampak gugup, meskipun ia yakin aktingnya ini tidak bagus.
Gerrard mengernyit. "Sakit?” tanyanya. Tangannya terulur untuk menyentuh dahi Sherly.
"Ah, nggak-nggak. Nggak usah," tukas Sherly cepat. Sepasang matanya bergerak panik saat ia menjauhkan dirinya dari jangkauan Gerrard. "Nggak perlu, Dokter."
Gerrard terdiam dan menarik kembali tangannya. Namun, sepasang matanya yang tajam masih saja menatap Sherly, sementara perempuan itu sibuk melihat apa pun selain melakukan kontak mata dengan Gerrard. Ia merasakan jantungnya yang berdebar tidak karuan–sementara dadanya mulai sesak.
Tidak. Tidak lucu kalau ia kena serangan jantung di sini.
“Tidak perlu gugup,” ucap Gerrard kemudian. Pria itu berdiri dan berjalan ke arah dispenser di ujung ruangan. “Mau minum apa?”
“Ti-tidak usah, Dok. Saya nggak enak sama Dokter kalau mengganggu lama-lama, hehe,” balas Sherly setelah susah payah memutar otaknya untuk mencari jawaban. “Udah ditunggu sama yang lain juga, Dok, buat atur jadwal jaga.”
Gerrard menggumam pelan. Tangannya menuang air putih hangat ke dalam dua cangkir kecil tanpa mengatakan apa pun. Hanya ada suara air mengucur ke dalam cangkir dan itu membuat Sherly makin gugup.
“Um … ja-jadi apa yang ingin Dokter bicarakan?” tanya Sherly kemudian. Gila, ini lebih menegangkan dari ujian kelulusannya!
Gerrard meletakkan salah satu cangkir berisi air hangat di depan Sherly sebelum ia kemudian memutari meja dan duduk di hadapan perempuan itu lagi. Pria itu perlu beberapa saat lebih lama sebelum akhirnya bertanya.
“Kamu perempuan di malam itu, kan?”
Deg!
Sekujur tubuh Sherly langsung membeku. Namun, ia berusaha keras untuk menampilkan sikap biasa saja–bahkan cenderung berpura-pura bodoh.
“Perempuan … yang mana, Dok?”
Gerrard mengernyit. “Waktu itu, di bar. Kita–”
“Di bar? Astaga, Dokter. J-jelas itu bukan saya!” Sherly langsung memotong. Kebohongan itu meluncur begitu saja.
“Saya memang pernah melihat dokter–waktu bareng dengan rekan saya, Dokter Antika,” lanjut Sherly. “Tapi ini adalah kali pertama kita mengobrol. Mana mungkin saya adalah–”
"Kamu punya tanda lahir berbentuk hati," potong suara itu datar, membuat Sherly tercekat. Sepasang matanya membola. Apalagi saat tangan pria itu terulur untuk menyentuh tengkuknya yang tertutup rambut.
Buru-buru Sherly berkelit, mendorong kursinya mundur mendadak.
“D-Dok!”
Gerrard tersenyum tipis. “Aktingmu sangat buruk, Sherly,” komentarnya sembari menarik tangannya kembali. “Kamu pikir, saya tidak mampu mengenalimu?”
“Ma-maaf, Dok. Saya benar-benar minta maaf karena sudah tidak sopan dan kurang ajar.” Sherly buru-buru berucap. “Saya berjanji tidak akan mabuk lagi, ataupun tidur sembarangan dengan pria asing tadi. Mohon jangan ungkit lagi masalah ini, Dok!”
Lalu tanpa menunggu respons Gerrard, Sherly melanjutkan, “Jika tidak ada yang ingin Dokter katakan lagi, saya permisi, Dok.”
***
Gerrard mengeram begitu ruang pribadinya kembali sunyi. Matanya terpejam dengan ekspresi kesal.
Ia akhirnya menemukan gadis yang menghabiskan malam bersamanya waktu itu.
Namun, tampaknya, sekalipun mereka berdua berbagi malam panas yang sulit terlupakan, gadis itu justru ingin menghapusnya dari ingatan.
Meski memang merasa kesal, jelas Gerrard tidak menyalahkannya.
Andai saja malam itu ia tidak mabuk, malam panas itu tidak akan terjadi. Sebagai orang yang lebih tua, pengambilan keputusannya lebih baik. Apalagi memang Gerrard bukanlah orang yang akan tidur sembarangan–apalagi tanpa pengaman!
Malam itu jadi begitu panas. Gerrard yang sudah lama mengabaikan gelora yang sesekali muncul, seolah-olah mendapatkan pelampiasan atas puasanya selama ini. Gerrard melampiaskan semuanya pada tubuh yang entah siapa namanya, tubuh yang membuat Gerrard seperti kembali lagi menjadi seorang laki-laki sejati!
Namun, saat pagi tiba, bak kisah Cinderella, gadis itu sudah lenyap tanpa sepatah kata, meninggalkan Gerrard yang masih lemas efek pergumulan panas semalam.
Jika Cinderella meninggalkan sebelah sepatu kacanya, maka gadis yang entah siapa namanya itu hanya meninggalkan noda darah di sprei yang membuat Gerrard sama sekali tidak bisa tenang memikirkannya.
Pemandangan pagi itu masih saja ada di dalam kepala Gerrard. Membuatnya merasa ingin bertanggung jawab.
Selain karena, sejak malam itu, gadis itu selalu bercokol dalam kepalanya.
"Sherly Ananda Putri." gumam Gerrard lirih sembari terus membaca informasi yang dia dapatkan.
Keningnya mengernyit tipis saat mengetahui bahwa Sherly adalah penerima beasiswa?
Gerrard tidak yakin apakah ini ada hubungannya atau tidak, tapi apakah mungkin kalau ketakutan Sherly bertemu dengannya tadi ada sangkut pautnya dengan beasiswa yang dia terima untuk bisa melanjutkan pendidikan spesialis?
"Fix ya, jumat langsung masuk, nanti tindakan sab--.""Nggak bisa jumat sekalian?" potong Gerrard mencoba nego. Yanu nampak serius menatap layar monitor, sesekali ia mengentuk pulpen ke meja, tanpa melepaskan pandangan dari layar monitor. "Jumat full. Kalau mau malam, Ge." jawab Yanu memulai negosiasi. "Malamnya jam berapa?""Sembilan."Gerrard mendesah, ia mengusap wajahnya dengan kasar. Sungguh pilihan yang sulit! Ia ingin anaknya segera lahir, kekhawatiran Gerrard akan pendarahan yang selama ini berulang terjadi bisa segera usai dan jangan lupa ... Gerrard bisa segera meluapkan semua yang selama ini dia pendam pada ibunya. "Pas kamu udah loyo-loyonya itu!" desis Gerrard dengan mata terpejam dan tubuh bersandar di kursi. "Sabtu pagi jam lima!"Kini obsgyn itu yang nampak memejamkan mata sembari menghela napas panjang. "Jam segitu tindakan, obsgyn-nya nggak boleh tidur, Ge?" protes Yanu dengan wajah memelas. "Kalo ada cito, obsgyn-nya juga masih mau tidur?" Gerrard kekeuh, ia i
Gerrard menatap nanar layar ponsel, ia mendesah panjang dan membiarkan ponsel itu jatuh ke pangkuannya. Room chat itu masih disana, dan Gerrard tidak tahu harus membalas apa. Nirina mengabarkan bahwa besok dia sudah sampai dan minta dijemput di bandara. Pada akhirnya, waktu itu akan tiba! Gerrard sudah mempersiapkan diri, bukan hanya untuk menjadi ayah, tetapi juga untuk membela istrinya dan mempertahankan Sherly agar tetap berada di sisinya. Apakah besok dia akan berhasil? Kenapa dia tanyakan ini? Bukankah Gerrard sudah bertekad bahwa apapun itu akan dia lakukan? "Mas, kenapa?"Gerrard tersentak, entah sejak kapan Sherly duduk di sebelahnya, dia tidak tahu. Yang jelas, akhir-akhir ini gerak Sherly benar-benar terbatas. Ia sudah kesulitan beraktivitas, susah tidur dan masih banyak lagi. "Besok mama udah sampai, nggak apa-apa, kan?"Gerrard bisa lihat wajah itu berubah. Senyum itu terlihat kaku, begitu dipaksa sampai kemudian kepalanya terangguk. "Tentu nggak apa-apa, memang kena
"Istri lahiran sama siapa besok, Ge?"Ibra menyeruput americano miliknya, mereka sedang beristirahat di cafe yang merupakan salah satu fasilitas di lapangan golf langganan mereka. "Yanu, akhir bulan nanti sudah harus operasi." jawab Gerrard ikut menyeruput kopinya. Tiga bapak-bapak ini sebenarnya tidak benar-benar bermain dan bertaruh skor. Mereka hanya datang, bermain sebentar dan berakhir nongkrong di salah satu meja cafe. Efek lelah sepulang praktek dan tentu saja hari yang sudah mulai menggelap. "Banyak pasien dia kulihat." ucap Bastian ikut nimbrung, tentu dia kenal dengan Yanu, mereka satu kampus dulu! "Kamu sih, kenapa dulu nggak ambil obsgyn? Dengan bentukan kamu yang begini, laris kamu!" kelakar Gerrard yang kontan membuat Bastian mencebik. "Kamu tentu tidak lupa aku yang harus mengulang tiga minggu di stase obsgyn dulu, kan? Dan kamu menyuruhku jadi ahli kandungan?" omel Bastian yang entah mengapa begitu payah selama stase itu. Gerrard sontak terbahak-bahak, membuat I
"Kalau ada yang ingin kamu tanyakan, jangan sungkan. Oke?"Evelyn tersenyum, mengangguk pelan tanda bahwa dia mengerti dan paham dengan pesan yang Bastian berikan. "Aku benar-benar berharap kamu yang bakalan temenin aku sampai akhir hayat, Lyn."Evelyn tertegun, jujur dia masih belum bisa menerima semua itu. Meskipun beberapa kali meminta bahwa ia ingin Bastian untuk seumur hidupnya, namun bagaimana pun ia tetap syok dan terkejut Bastian akan secepatnya ini mengajaknya menikah! "Aku pun sama, semoga Tuhan dan semesta merestui ya, Mas." jawab Evelyn sembari tersenyum. "Terimakasih untuk hari ini, aku pamit pulang, ya?"Bastian menarik tangan Evelyn, mencegah tangan itu membuka pintu mobil, toh ia belum membuka kuncinya, namun ia melakukan itu bukan hanya agar Evelyn tidak membuka kunci pintu, namun juga untuk mendekatkan wajah Evelyn agar ia bisa kembali meraup bibirnya. Dengan sedikit liar, Bastian melumat bibir itu. Suhu tubuhnya meningkat seketika, ciuman itu bahkan bisa membangu
"Apa ini, Mas?" tanya Evelyn ketika Bastian menyodorkan ponsel ke depan wajahnya. "Liat dulu!" paksa Bastian sembari menjejalkan ponsel ke tangan Evelyn. Evelyn menatap ponsel Bastian, sebuah katalog tapi .... "List wedding dream kamu!" titah Bastian yang sukses membuat Evelyn membelalak terkejut. "Kurang beberapa bulan aja, kan? Kita bahas mulai sekarang!"Astaga! Evelyn tertegun, pacaran dengan duda apakah memang sedramatis ini? Langsung sat-set diajak menikah? Evelyn benar-benar syok, Bastian benar-benar tidak membiarkan dia beristirahat barang sebentar. "Ta-tapi kita belum bahas sama keluarga, Mas!" desis Evelyn lirih. "Yaudah ayo kita bahas!" sahutnya santai, "Besok ketemu orang tua kamu, ya? Kita bahas!"Evelyn terkesiap, ia begitu gemas pada Bastian. Segampang itukah? Apakah dia tidak tahu bagaimana peragai ibunya? Kemungkinan apa yang terjadi jika Evelyn membawa Bastian pulang dan meminta izin hendak menikah? "Mas!" desis Evelyn lemas. "Buru-buru amat sih?"Bastian meng
"Mbak duluan, ya!" pamit Evelyn pada para perawat IGD, lirikannya berubah sinis pada lelaki itu, siapa lagi kalau bukan Fendi? Bahkan Evelyn tidak menyalami lelaki itu, melengos dan melewatinya begitu saja tak peduli sejak masuk tadi, tatapan Fendi sudah tertuju kepadanya. Dari sudut mata, Evelyn bisa melihat dia bangkit dan hendak mengejar langkah Evelyn, namun secara tidak terduga, ada pasien datang dibopong masuk ke dalam. Evelyn tersenyum lebar, agaknya semesta memang benar-benar tidak merestui mereka. Dengan santai, Evelyn melangkah menyusuri koridor rumah sakit. Satu tangannya merogoh ponsel, baru akan menelepon Bastian ketika panggilan lembut itu sudah lebih dulu menyapanya. "Jadi ngopi, Yang?" Ah! Hampir Evelyn melonjak ketika tangan itu meraih dan menggenggam tangannya, matanya membelalak, membuat Bastian tertawa dan menyeret Evelyn dengan segera sebelum ada yang memergoki mereka. Bukan ke tempat sepi, Bastian membawa Evelyn ke tempat parkir. Segera membuka







