Bab 5
Halimah termenung melihat Nadiya yang sejak kemarin hanya murung saja. Ia sedih melihat sang putri tampak abai pada laki-laki yang kini sudah menjadi suaminya. "Nak," panggil Halimah saat Nadiya duduk di ruang tengah. Nadiya mendongak, menatap sumber suara yang sedang berdiri di depannya. "Ibu tahu pernikahan ini bukan pernikahan yang kamu impikan. Tapi runtutan kejadian membuatmu menjadi istri dari Dira Atmaja. Berarti menurut Allah, Dira adalah jodoh yang terbaik untukmu," sambung Halimah setelah ia duduk di samping putrinya. Tangan Halimah yang tak lagi mulus itu mengusap lembut rambut Nadiya yang dibiarkan tergerai. "Ibu paham bagaimana perasaanmu sebab dulu, Ibu pun mengalami hal yang sama. Bapak dan Ibu adalah hasil perjodohan. Tapi kami bisa saling menerima dan membuka hati hingga benih cinta tumbuh antara kami. Kalau kami bisa, mengapa kamu tidak?" Tatapan Halimah mengunci wajah putrinya. "Nadiya tidak tahu harus bagaimana, Bu. Rasanya hati Nadiya sudah mati. Foto itu dan apa yang terjadi semuanya sungguh membuat Nadiya tak punya semangat hidup." Nadiya berucap dengan lemah. Ia tak tahu harus bagaimana bersikap, terlebih pada laki-laki yang kini menjadi suaminya. "Cinta itu tidak harus selalu memiliki, Nak. Ibu tahu dalam hatimu masih ada nama Kavi, meskipun telah melukaimu sedemikian kejamnya. Tapi, apa yang terjadi ini adalah pertanda bahwa kalian tidak bisa bersatu. Lukamu akan sembuh seiring berjalannya waktu dan pernikahan ini, ada di depanmu, yang harus kamu jalani kedepannya. Lakukan kareja kewajiban, maka cinta akan tumbuh setelahnya." Nadiya bergeming. Ia tak tahu harus bagaimana. "Kami merestui kalian tapi faktanya, perempuan itu datang di rumah ini untuk meminta calon suamimu bertanggung jawab atas anak dalam rahimnya. Apa yang bisa kami lakukan?" sambung Halimah lagi untuk membuka hati Nadiya yang masih penuh dengan onak dan duri. Nadiya tak mampu bicara. Sedikit banyak apa yang diucapkan oleh ibunya itu benar adanya. Tapi untuk membuka hati rasanya masih perlu waktu. Entah sehari, satu minggu, satu bulan atau bahkan satu tahun. "Dira tampaknya laki-laki yang baik. Dia sopan sama Ibu dan saudaramu di sini. Kamu hanya belum mengenalnya," sambung Halimah untuk meyakinkan Nadiya. Nadiya mendongak, menatap wajah ibunya yang sejak tadi menatapnya sendu. Ada rasa sedih yang menyeruak ke dalam dada saat melihat nasibnya ini. Akan tetapi, ia bisa apa jika Tuhan sudah membuatnya demikian? Nadiya meraih badan ibunya untuk dipeluk erat. Air matanya tumpah di dalam dada hangat milik wanita yang telah melahirkannya itu. "Menangislah, Nak. Tidak ada yang salah dengan air mata. Menangislah sampai kamu lega dan mulai bisa membuka hati menerima semua ini." "Semua ini terlalu berat untuk Nadiya, Bu. Sakit rasanya." Nadiya terisak. "Bukan sakit. Hanya saja kamu belum terbiasa. Dira saja bisa menerima pernikahan ini, mengapa kamu tidak?" Halimah kembali mengusap sambut putrinya. "Jangan menangis. Malu sama Dira. Dia suamimu sekarang. Kalau kamu terus menangisi orang lain, dia pasti akan tersinggung." Halimah kembali memberi nasehat. "Hargai Dira karena dia sudah bersedia menolong kita terhindar dari rasa malu." Lagi, Halimah meyakinkan. Nadiya tersentak dengan ucapan Halimah itu. Ia sama sekali tidak berpikir ke arah sana. Anak dari Halimah itu hanya sibuk memikirkan dirinya sendiri tanpa melihat ada laki-laki lain yang juga berada di posisi yang sama dengannya. Setelah Nadiya tenang, ia kembali ke kamar. Dada yang sejak tadi penuh sesak, kini mulai terurai. Akan tetapi, nyalinya kembali menciut saat mendapati laki-laki yang sudah sah menjadi suaminya menyambut kehadirannya di kamar dengan tatapan dingin. Nadiya mendekat ke arah ranjang, tempat suaminya terbaring sembari memainkan ponselnya. Ia harus mengajaknya makan siang ini. "Mas, waktunya makan," ucap Nadiya tanpa berani menatap wajah laki-laki di depannya. Tak ada sahutan, apalagi jawaban. Dira bangun dari tempat tidur dan berjalan keluar tanpa ekspresi. Nyali Nadiya makin menciut melihat sikap lelaki itu. Ia tak tahu harus bagaimana bersikap. Semalam, lelaki itu tidur di atas sofa yang ada di sudut kamarnya. Seakan memasang benteng yang tinggi dengannya. "Aku ngga nyangka, akhirnya kita jadi besanan," ucap Yusuf membuka obrolan di meja makan. "Aku juga tapi lebih ngga nyangka lagi kalau Mas Radi harus pergi secepat itu." Halimah menyahuti. "Umur manusia memang ngga ada yang tahu. Sama kayak jodoh, lihatlah, anak kita akhirnya jadi suami istri," balas Yusuf sambil menatap kamar Nadiya yang berada tak jauh dari meja makan. Halimah tersenyum. Ia melakukan hal yang sama. "Semoga pernikahan ini berkah, sakinah, mawadah dan warahmah. Pacaran setelah menikah itu nikmat," papar Halimah. "Aamiin," jawab Yusuf. Dira datang lebih dulu di meja makan. Tak ada suara, ia duduk di samping papanya. Nadiya menyusul setelah itu. Ia duduk tepat di depan Dira. Rasa canggung masih menyelimuti keduanya. "Lihatlah, pengantin baru ini. Masih malu-malu kucing," ucap Yusuf sambil mengulum senyum. Namun, yang sedang dibicarakan tak memberikan respon apapun. Terlebih Dira. Ia sibuk menatap ponsel yang sejak tadi digenggamnya. "Duduk sini, Nak. Dekat suamimu. Ambilkan suamimu makan," titah Yusuf berusaha mencairkan suasana. Nadiya menganggu. "Iya, Pa." Urung duduk, Nadiya kembali berdiri. Ia meraih piring yang ada di depan Dira. "Permisi, Mas," ucap Nadiya sungkan. Tak menjawab, Dira meminggirkan tangannya untuk memberi Nadiya ruang. Ia membiarkan tangan Nadiya meraih piring yang ada di depannya tanpa menatap sumber suara. "Dira izin nanti malam balik ya, Pa?" ucap Dira membuka obrolan. Nadiya tersentak dengan ucapan Dira. Ia yang masih dalam kondisi berduka tak bisa begitu saja pergi dari rumah secepat ini mengikuti suaminya. "Jangan ngawur kamu! Tunggu sampai tujuh harinya mertuamu baru kamu balik!" sembur Yusuf tak setuju dengan permintaan Dira. "Ada meeting besok pagi, Pa!" "Ada asisten. Atau batalkan saja sampai tujuh hari ke depan." "Tapi, Pa," ucap Dira berusaha menyanggah ucapan papanya. "Tidak bisa. Tidak sopan jika kamu pergi dalam kondisi berkabung seperti ini. Kasihan istrimu kalau kamu ajak balik cepet-cepet." "Dira bisa pergi sendiri. Dia biar di sini." "Jangan asal kamu!" sentak Yusuf keras. Nadiya dan Halimah seketika beradu pandangan.Bab 80Nadiya tersentak dengan ucapan ibunya. Bagaimana mungkin mereka memintanya honeymoon sementara yang terjadi saat mereka di Bali cukup membuat Nadiya trauma?"Tidak, Bu. Kami masih belum punya waktu." Nadiya menyela ucapan ibunya. Rautnya berubah seketika. Wajah cerahnya berubah panik serta keringat dingin mulai mengucur di telapak tangannya."Weekend kan bisa, Nak?" Tak mau menerima ucapan putrinya, Bu Halimah kembali menyahut.Nadiya menggelengkan kepalanya. Bayangan kejadian di atas tebing itu membuat dada Nadiya tiba-tiba berdebar. "Tidak bisa, Bu. Nadiya mulai bekerja besok. Tidak mungkin kami bisa pergi jauh."Dira menatap wajah mertuanya sambil menggelengkan kepalanya. Ia paham kondisi Nadiya. Rasa bersalah pun turut tumbuh di dadanya saat teringat apa yang terjadi saat mereka honeymoon."Dira juga masih sibuk, Bu. Lain waktu saja," sahut Dira turut membela istrinya. Ia pahamm dengan perubahan ekspresi istrinya. Tak salah jika Nadiya trauma sebab apa yang terjadi saat itu
Bab 79Hati yang dipenuhi dendam kerap kali membuat si pemilik kalap dan menghalalkan segala cara demi membuat hatinya lega. Mereka tenggelam dalam kabut hitam yang menutupi kesadaran. Sedikit sekali yang mau meraba alasan mengapa dendam itu bertahan dalam diri, juga mencoba mencari jalan keluar. Kebanyakan mereka selalu memaksakan kehendak dan berharap yang terjadi sesuai dengan apa yang diinginkannya.Sayangnya, Tuhan tidak serta merta memberikan apa yang si pendendam mau. Seperti sekarang ini, Sarah kembali terbaring di atas ranjang rumah sakit karena insiden tabrakan yang ia ciptakan sendiri. Kali ini, kondisinya lebih buruk dari kemarin. Bayinya tak lagi dapat diselamatkan. Benturan keras itu membuat makhluk kecil dalam rahimnya tak lagi dapat bertahan.Edo, laki-laki yang berharap banyak akan kehadiran bayi itu kini bak kehilangan semangat hidup. Apapun sudah ia lakukan demi bisa melihat calon buah hatinya berkembang di rahim wanita yang dicintainya. Nyatanya, kecerobohan Sarah
Bab 78Dira terdiam dalam duduknya. Ia tak bisa diam saja. Harus ada sesuatu yang dilakukan agar hubungannya tetap baik dan berjalan dengan semestinya sebagai pasangan suami istri.Setelah beberapa saat tinggal dengan Nadiya, ia mulai tahu bagaimana karakter wanita itu. Ada rasa berat untuk melepas setelah tahu perbedaan karakter sang pacar dengan sang istri. Bisa dibilang, Nadiya termasuk sosok istri ideal yang sayang untuk dilepaskan."Pa, bisa minta bantuan ngga?" Siang itu Dira sengaja menghubungi papanya. Tak ada yang bisa membantu selain mereka. Tidak ada yang akan didengar kata-katanya oleh Nadiya selain dua orang itu."Ada apa? Sepertinya penting sekali.""Iya, Pa. Penting banget ini. Dira baru aja pindah di rumah baru. Apa Papa bisa datang buat nginep sini?" To the point. "Kamu sudah pindah? Memangnya sudah gelar acara syukuran? Asal pindah aja kamu!" Pak Yusuf tak terima. Baginya, pindah rumah tidak bisa hanya asal pindah saja. Harus ada acara syukuran meskipun itu kecil-ke
Bab 77Di depan sebuah makam, Dira mengajak Nadiya untuk duduk, lalu mengangkat kedua tangannya demi mendoakan mendiang yang bersemayam di bawah sana.Tak banyak bicara, Nadiya mengikuti perintah suaminya. Laki-laki itu memimpin doa yang lantas diamini oleh wanita di belakangnya.Diam-diam Nadiya terharu. Laki-laki yang ia kira jauh dari agama, rupanya paham tentang doa yang dipanjatkan untuk manusia bergelar almarhum. Wajah itu tampak khusuk dalam bermunajat hingga membuat Nadiya tak melepas pandangannya untuk beberapa saat.Usia berdoa, Dira mengusap wajahnya dengan kedua telapak tangan. Ia lantas memegang ujung nisan itu."Maafkan aku, Rin. Aku ngga bermaksud membuatmu seperti ini," lirih Dira. Matanya menatap nisan bertuliskan nama mantan kekasihnya dulu."Aku hanya ingin memberimu pelajaran tapi kamu malah pergi menjemput ajal." Dira masih berkata tanpa peduli ada Nadiya di sisinya.Nadiya tidak berkomentar. Ia hanya mengusap lembut punggung lelaki yang masih menatap dalam nisan
Bab 76Nadiya kembali membaik setelah Kavi memberinya air putih. Wajah yang pucat itu sirna, berganti dengan raut tenang."Ada apa dengan dirimu?" tanya Kavi lagi. Ia penasaran dengan wajah Nadiya yang mendadak berubah pucat seperti itu."Aku juga pernah kecelakaan di situ, Mas. Denger kata kecelakaan, rasanya aku seperti kembali pada saat kejadian itu terjadi. Apalagi benar-benar melihat atau mendengar suara keras karena kecelakaan." Nadiya meremas gelas dalam tangannya. Matanya memejam sejenak, lalu kembali terbuka dan menatap raut di depannya dengan tatapan dalam."Kecelakaan? Bagaimana bisa?" Kavi mulai penasaran. Selama ini ia tak pernah mendengar kabar Nadiya kecelakaan."Iya. Pacar Mas Dira yang menabrak." Nadiya menunduk, merasai sakit yang kadang kala masih timbul tenggelam karena perbuatan Karina.Kavi tersentak mendengar cerita Nadiya."Laki-laki itu masih jalan sama pacarnya? Kenapa kamu bertahan sampai sejauh ini kalau mereka masih pacaran?" protes Kavi tak setuju. Ia mem
Bab 75Nadiya menatap rumah yang sudah dipenuhi perabotan dengan senyum sumringah. Ia senang melihat tiap sisi rumah yang barang-barangnya sesuai dengan keinginan hatinya. Rumahnya makin terasa nyaman dan menyenangkan."Benar juga apa kata Mas Dira, sebaiknya rumah memang diatur sendiri sama istri. Lebih bahagia rasanya," ucap Nadiya sambil menatap seluruh ruangan tengah yang disudut ruangan itu sudah terpasang smart TV."Kenapa senyum-senyum gitu?" tanya Dira. Ia baru saja kembali dari depan mengantar kurir."Enggak. Aku baru merasa kalau apa yang Mas bilang itu memang benar. Sebaiknya, wanita yang mengatur barang-barang di rumah agar mereka betah dan nyaman. Aku nyaman di sini," jawab Nadiya. Matanya menyapu seluruh ruangan, lalu berakhir di wajah Dira."Alhamdulillah. Mas juga nyaman di rumah ini. Suasananya enak, apalagi ada kamu." Dira turut menyapu ruangan. Ruangan yang semula kosong, kini sudah penuh dengan barang-barang belanjaan mereka. Pandangan itu berakhir di wajah sang is