Bab 6
"Sayang kapan balik?" rengek suara diujung panggilan. Hal itu membuat Dira makin merasa bersalah sebab harus meninggalkan kekasihnya lebih lama lagi. "Maafkan aku. Sepertinya aku belum bisa balik sekarang. Kamu sabar, ya? Setelah aku kembali, kamu boleh belanja apapun yang kamu mau. Aku janji." Dira berusaha mengambil hati Karina, kekasihnya. "Kamu kan sudah janji cuma sebentar di sana?!" rengek Karina lagi. Nada suara yang dibuat semanja mungkin membuat lawan bicaranya tak mampu berkutik. "Iya. Maafkan aku. Bapaknya baru saja meninggal pas malam pernikahan kami. Aku ngga boleh kembali sama Papa. Jadi aku harap kamu mengerti posisiku," balas Dira penuh penyesalan. "Tapi kamu janji kan, ngga sentuh dia? Kamu cuma milikku!" sentak Karina lagi. Nada bicara yang manja tak lepas dari bibirnya yang dibalut dengan lip mate warna baby pink. "Enggak, Sayang. Aku ngga sentuh dia. Aku kan sudah janji sama kamu. Masak kamu ngga percaya?" ucap Dira dengan suara tertahan. Posisinya yang sedang di teras rumah membuat suaranya tak bisa bebas. Ia harus berjaga-jaga agar tak ada yang mendengar pembicaraannya dengan sang kekasih. "Beneran ya?! Awas kamu sampai berani sentuh dia!" "Enggak! Kapan aku pernah ingkar janji!" "Sekarang! Kemarin kamu janji mau lamar aku tapi nyatanya kamu malah nikah sama perempuan lain!" "Astaga Sayang. Ini diluar kemauanku. Kamu paham kan?" "Iya iya!" Tanpa Dira tahu, di balik pintu ruang tamu seseorang mendengar pembicaraannya. Tanpa tahu jawaban dari ujung panggilan, seseorang itu tahu kemana arah pembicaraan mereka. Wanita paruh baya yang mendengar obrolan Dira itu segera berjalan menuju kamarnya. Ia terdiam sambil menunduk, memikirkan nasib putrinya yang sepertinya tidak seberuntung dirinya saat pertama kali mendapatkan gelar sebagai seorang istri dulu. "Ada yang dirahasiakan suamimu," ucap Halimah setelah berhasil memanggil Nadiya ke kamarnya. Nadiya tak menjawab. Tapi sorot matanya cukup lawan bicaranya tahu untuk segera melanjutkan pembicaraannya. "Dia punya kekasih." "Lalu?" Nadiya tak bersemangat. "Nak, kamu sudah jadi istrinya. Kamu berhak atas diri suamimu ketimbang wanita itu yang hanya sebagai kekasih." Halimah memindai wajah putrinya yang masih di balut kesedihan. "Berusahalah menjadi istri yang baik untuknya. Rebut hatinya dari rasanya untuk kekasihnya itu," sambung Halimah berusaha menyemangati putrinya. "Nadiya tak tahu harus memulainya dari mana, Bu. Mas Dira tak pernah mengajakku bicara. Dia hanya diam sambil memegang ponselnya saat di kamar." "Kalau dia diam, berarti kamu yang harus aktif. Dekati dia, tawarkan apapun yang seharusnya dilakukan sang istri. Jangan menunggu dia yang mengajak bicara." Nadiya menghela napas dalam. Melihat wajah sang suami saja kadang nyalinya menciut. Apalagi harus memulai mengajaknya bicara. "Jangan takut. Semuanya tidak semengerikan yang ada dalam pikiranmu," ucap Bu Halimah seolah tahu apa yang sedang dirasakan oleh putrinya. "Nadiya tidak pernah ada di posisi ini sebelumnya. Jadi Nadiya masih belum tahu harus bagaimana." "Lakukan saja tugasmu sebagai istri. Layani dia, penuhi semua kebutuhannya agar dia tahu bahwa kamu adalah istri yang baik. Tidak hanya di sini, ketika kalian kembali ke kota juga kamu harus begitu." Nadiya diam seraya mencerna ucapan ibunya. Meskipun terdengar mengerikan, tapi ia harus tetap mencobanya. Dira sudah terlelap saat Nadiya kembali ke kamarnya. Tidak seperti malam kemarin, Dira tidur di atas ranjang. Merasa mendapatkan kesempatan, Nadiya pun bergegas naik ke atas ranjang dengan hati-hati agar tidak membangunkan sang suami. Dada Nadiya berdebar. Bukan debar karena hendak menjalankan kewajibannya sebagai seorang istri. Tapi berdebar karena khawatir terjadi penolakan dari lelaki yang sedang memejamkan mata di sebelahnya. Nadiya menatap langit-langit kamar. Betapa miris nasibnya. Seharusnya malam pertama sebagai pasangan suami istri adalah mereguk surga dunia bersama-sama dengan penuh cinta. Tapi yang didapatnya malah malam yang mencekam. Dira yang merasakan ada sebuah gerakan di sebelahnya segera membuka mata. Ia merasa harus menepati janjinya pada sang kekasih. Ia pun segera bangkit dari tempat tidur untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan. Dira duduk di sofa yang ada di sudut kamar. Ia menatap wajah wanita yang sedang tidur itu. Tak dapat dipungkiri bahwa wanita yang tidur di depannya itu terlihat cantik natural. Tanpa mekap yang menempel di wajahnya, wanita itu sudah terlihat ayu. Sayangnya, cintanya yang besar untuk Karina membuat Dira menutup mata dari wanita yang ada di depannya itu. Nadiya sedikit kecewa saat matanya terbuka tapi tak didapatinya sang suami di sisi. Matanya segera menoleh ke samping, di mana terdapat kursi yang ada di sudut ruangan. Benar saja, Dira terlelap di sana. Ucapan Bu Halimah kembali terngiang di kepala Nadiya. Ia tak boleh putus asa. Sebagai seorang istri, ia harus berusaha mendekati sang suami untuk mendapatkan hatinya. "Mas, sholat Subuh, yuk?" ajak Nadiya setelah mengusap lengan suaminya. Suara yang lirih serta usapan yang lembut cukup mampu mengusik tidur lelaki yang sedang kalut itu. Mata Dira mengerjap, mengumpulkan kesadaran yang baru saja datang menghampiri. Tangan kanan lelaki itu tergerak ke wajah untuk mengusapnya. "Kamu saja duluan," ucap Dira asal. Ia kembali memejamkan matanya untuk menghindari kontak mata dengan wanita di depannya. Nadiya menghela napas panjang. "Sabar Nadiya," lirihnya sambil mengusap dada. Ia lantas berjalan menuju sajadah yang sudah digelar untuk salat seorang diri. Sebuah koper yang teronggok di dekat lemari mencuri perhatian Nadiya. Ia harus melakukan sesuatu untuk mulai mengambil hati sang suami. "Sebaiknya kutata saja bajunya sebagai bentuk baktiku padanya," lirih Nadiya. Ia lantas mengosongkan satu rak untuk dipenuhi dengan pakaian milik lelaki yang sedang terlelap di kursi itu. Ada beberapa barang pribadi milik Dira yang ada dalam koper dan dimasukkan ke dalam tas kecil. Akan tetapi, Nadiya tidak kepo dengan apapun isi koper itu. Ia hanya menata baju di dalam lemari tanpa ingin tahu benda yang ada dalam tas itu. Saat tangan Nadiya sibuk menata baju, mata Dira terbuka. Kelopak yang baru saja terbuka itu makin melebar manakala melihat kopernya ada di hadapan Nadiya dengan posisi terbuka. "Apa yang kamu lakukan dengan koperku?" ucap Dira yang seketika membuat Nadiya terkaget.Bab 76Nadiya kembali membaik setelah Kavi memberinya air putih. Wajah yang pucat itu sirna, berganti dengan raut tenang."Ada apa dengan dirimu?" tanya Kavi lagi. Ia penasaran dengan wajah Nadiya yang mendadak berubah pucat seperti itu."Aku juga pernah kecelakaan di situ, Mas. Denger kata kecelakaan, rasanya aku seperti kembali pada saat kejadian itu terjadi. Apalagi benar-benar melihat atau mendengar suara keras karena kecelakaan." Nadiya meremas gelas dalam tangannya. Matanya memejam sejenak, lalu kembali terbuka dan menatap raut di depannya dengan tatapan dalam."Kecelakaan? Bagaimana bisa?" Kavi mulai penasaran. Selama ini ia tak pernah mendengar kabar Nadiya kecelakaan."Iya. Pacar Mas Dira yang menabrak." Nadiya menunduk, merasai sakit yang kadang kala masih timbul tenggelam karena perbuatan Karina.Kavi tersentak mendengar cerita Nadiya."Laki-laki itu masih jalan sama pacarnya? Kenapa kamu bertahan sampai sejauh ini kalau mereka masih pacaran?" protes Kavi tak setuju. Ia mem
Bab 75Nadiya menatap rumah yang sudah dipenuhi perabotan dengan senyum sumringah. Ia senang melihat tiap sisi rumah yang barang-barangnya sesuai dengan keinginan hatinya. Rumahnya makin terasa nyaman dan menyenangkan."Benar juga apa kata Mas Dira, sebaiknya rumah memang diatur sendiri sama istri. Lebih bahagia rasanya," ucap Nadiya sambil menatap seluruh ruangan tengah yang disudut ruangan itu sudah terpasang smart TV."Kenapa senyum-senyum gitu?" tanya Dira. Ia baru saja kembali dari depan mengantar kurir."Enggak. Aku baru merasa kalau apa yang Mas bilang itu memang benar. Sebaiknya, wanita yang mengatur barang-barang di rumah agar mereka betah dan nyaman. Aku nyaman di sini," jawab Nadiya. Matanya menyapu seluruh ruangan, lalu berakhir di wajah Dira."Alhamdulillah. Mas juga nyaman di rumah ini. Suasananya enak, apalagi ada kamu." Dira turut menyapu ruangan. Ruangan yang semula kosong, kini sudah penuh dengan barang-barang belanjaan mereka. Pandangan itu berakhir di wajah sang is
Bab 74Disebuah gerai furnitur, Dira sedang melihat-lihat beberapa macam kasur yang akan digunakan untuk mengisi rumah barunya. Ia membiarkan Nadiya memilih sendiri ukuran dan warna kasur yang disukainya."Kita beli yang kecil aja ya, Mas? Kan kamarnya ada dua, jadi kita beli ukuran kecil buat kamar masing-masing." Nadiya menatap Dira setelah melihat beberapa macam kasur yang digelar di lantai."Yang kecil? Kenapa ngga yang besar aja sekalian?" Dira tidak setuju dengan usulan Nadiya."Kebesaran Mas. Kan kita tidurnya sendiri-sendiri?" balas Nadiya mengingatkan.Dira tercengang mendengar jawaban Nadiya. "Oh tidur sendiri-sendiri ya? Mas kira tidurnya sekalian berdua," balas Dira sambil mengulum senyum."Jangan mulai deh, Mas!" kesal Nadiya lagi."Enggak. Tapi kan siapa tahu nanti kedepannya kita bakal terus sama-sama. Terus kasur yang satunya bisa dipakai buat anak-anak kita nanti. Ngga akan sia-sia kalau beli yang besar."Nadiya terdiam. Benar juga saran dari Dira. Akan tetapi, ia tid
Bab 73Sarah tak bisa lagi berbuat apapun sebab Edo selalu saja menunggunya di ruangan. Ia bak mati gaya. Dendamnya untuk Kavi masih tersimpan rapi dalam hati sedangkan Edo sudah menolak permintaannya berkali-kali.Siang itu, dokter sudah mengizinkan Sarah pulang. Kondisinya sudah lebih baik dan diperbolehkan sedikit beraktivitas. Meskipun masih harus banyak istirahat tapi tidak harus selalu bedrest seperti sebelumnya."Akhirnya kamu bisa pulang," ujar Edo senang. "Kita ke rumahku. Biar rencana pernikahan kita bisa langsung disiapkan."Sarah melengos. Ia tak tertarik dengan pernikahan. Yang ada dalam benaknya hanya bagaimana caranya untuk mencelakai Kavi, yang menurutnya bisa saja sewaktu-waktu mengejar Nadiya kembali."Kenapa? Kamu ngga suka kita nikah?" Edo menyahuti setelah melihat respon Sarah. Ia mendekat ke bibir ranjang, lalu duduk di sana."Terserah mau nikah apa enggak! Aku ngga tertarik!" ketus Sarah."Astaga kamu masih marah karena aku menolak mencelakai laki-laki itu? Apa
Bab 72Perjalanan kembali ke rumah Dira berubah suasana. Tidak ada lagi obrolan santai, apalagi bercandaan ringan, yang ada hanya kebisuan yang menyelimuti seluruh kabin mobil setelah insiden ciuman itu.Namun, Dira tak membiarkan hal itu terjadi. Ia kembali berusaha mencairkan suasana dengan mengajak Nadiya ngobrol santai."Kita mau ke apartemen apa langsung ke rumah baru?" tanya Dira memecah suasana. Ada rasa canggung sebenarnya, tapi Dira tak mau larut. Ia harus mengubah suasana yang dingin menjadi hangat kembali.Nadiya menoleh sekilas, lalu kembali mengarahkan pandangannya ke luar jendela. "Terserah Mas aja.""Aku ada meeting habis ini. Kita ke apartemen dulu aja ya?"Nadiya terdiam sejenak. Tiba-tiba saja ia teringat akan kejadian mengerikan yang terjadi di apartemen itu. Ia lantas menggeleng cepat. "Tidak. Tidak mau! Aku mau ke rumah baru aja langsung."Dira tampak aneh dengan reaksi Nadiya. Tidak biasanya. "Kenapa kamu?"Nadiya menggeleng. "Aku takut." Ia meremas tangannya den
Bab 71Di dalam keheningan malam Nadiya terjaga dari tidurnya. Ia melihat sang suami sedang tidur meringkuk di sisi ranjang sambil memeluk guling pembatas yang ia tata sebagai sekat. Istri Dira itu tak punya pilihan lain. Sekat itu terpaksa dipasang untuk meyakinkan dirinya bahwa hatinya benar-benar rela membuka lembaran baru dengan lelaki yang ada di sampingnya itu.Nadiya tersenyum samar. "Maafkan aku, Mas. Aku sengaja seperti ini. Aku tidak mau mudah luluh menerimamu yang nantinya berujung kamu sia-siakan seperti sebelumnya. Aku mau kamu benar-benar berjuang untuk mendapatkan hati dan cintaku dengan sepenuh hati," batin Nadiya dengan tatapan tak lepas dari wajah yang sedang terlelap itu.Tangan Nadiya terarah ke atas kepala Dira. Jemarinya mengusap lembut pucuk kepala laki-laki yang masih sah menjadi suaminya itu. "Tidur yang nyenyak ya? Mimpi indah," lirih Nadiya.Keesokan harinya, Nadiya dan Dira bersiap untuk kembali ke kota. Pekerjaan Dira tak bisa ditinggalkan begitu saja. Dua