Share

Bab 2

last update Last Updated: 2022-05-10 21:32:16

Bab 2

Tapi, Des, apa Keysha bakal menerimaku, ya?" tanyaku, masih sambil melihat langit-langit kamar. 

Desi menoleh ke arahku, kemudian menghembuskan napasnya. 

"Pasti. Apalagi, selama ini kalian sangat dekat." 

"Ya ... Semoga saja." 

Esok hari. 

Sedari pagi, Nyonya Mega sudah memintaku untuk mengantarnya. Semua pekerjaan sudah kurapikan, begitupun dengan makanan Keysha. Karena tugasku adalah mengasuhnya. Pakaian dan makannya pun tak luput dari tugasku. 

"Des, titip Keysha, ya!" 

Desi mengangguk, kemudian membenarkan letak hijabku. 

"Kamu mau ke mana memangnya, Ning?" 

"Nggak tahu, Nyonya minta diantar ke suatu tempat katanya." 

Desi hanya manggut-manggut, kemudian beranjak ke luar bersamaku. 

"Desi, tolong rapikan kamar saya, ya!" perintah Nyonya begitu beliau datang. 

Aku memperhatikannya dari atas sampai bawah. Bukannya ia bilang ingin diantar ke suatu tempat? Kenapa masih berpakaian seperti itu? 

Tak lama kemudian, terdengar derap langkah menuruni tangga. Terlihat Pak Andra datang dengan senyuman di wajahnya, untuk sang Ibu. Begitu melihatku, senyum itu pudar. 

Ia terlihat begitu tampan. Kemeja berwarna blue ocean dan juga celana hitam membuatnya tampak gagah, seperti artis Rio Dewanto saja! 

"Ning?" 

Aku mengerjap, kemudian bertanya pada Nyonya Mega. 

"Iya, Nya?"

"Kamu kenapa bengong gitu?" tanyanya dengan mengulum senyum. 

Astaga, sedari tadi aku melamun? 

"Kamu pergi sama Andra, ya? Saya ada urusan mendadak. Kalau Andra macam-macam, lapor saja sama saya," ucap Nyonya Mega sambil menggandeng lengan pria itu. 

Aku hanya bisa menunduk sembari tersenyum. Kami sudah bersama lebih dari dua tahun, kenapa baru sekarang terasa berdebar saat melihatnya? 

Pak Andra berjalan terlebih dahulu menuju mobil, sedangkan aku jalan di belakangnya. Aku tak berani bertanya padanya, jantungku sudah siap untuk meledak. 

"Duduk di depan, memangnya kamu pikir saya ini supir?!" ucap Pak Andra seraya menatapku tajam. 

"Oh, iya, Pak." 

Mobil berjalan menelusuri padatnya kota Jakarta. Sepanjang perjalanan, tak ada sepatah katapun yang keluar dari bibir kami masing-masing. 

"Turun!" ucapnya begitu mobil berhenti di depan sebuah bangunan. Indah boutique, namanya. 

Kami pun turun, dengan formasi yang sama. Pak Andra di depan, sedangkan aku di belakangnya. 

"Siang, Pak. Ada yang bisa saya bantu?" 

"Siang. Reservasi atas nama Mega Bintang."

Perempuan itu menuntun jalan kami menuju ke atas. Terpampang berbagai jenis gaun. Mulai dari gaun tertutup, hingga gaun yang terbuka. 

"Kamu pilih saja, Ning." 

"Biar saya bantu, Pak. Kalau Mbaknya, mungkin tidak bisa memilih. Calon istrinya tidak ikut, ya?" 

Aku hanya tersenyum kecut. Dari ekor mata, dapat kulihat Pak Andra tengah menatapku. 

"Nggak usah. Biar dia yang pilihkan." 

Aku maju beberapa langkah. Menatap satu persatu gaun yang terpajang di manequin. Semuanya cantik. Tapi, untuk apa aku disuruh memilih? Apa Pak Andra benar-benar akan menikahiku? 

Meskipun penolakannya waktu itu tak langsung di hadapanku, tapi sama saja. Aku merasa canggung. Pernikahan impianku hanya sekali seumur hidup. Bagaimana jika Pak Andra meninggalkanku suatu hari nanti? 

"Mbak, pilih yang benar, nanti calon istrinya marah. Lagipula, kenapa bosmu itu percaya banget sama pilihanmu? Apa kamu sudah lama bekerja dengannya?" cerocos perempuan itu. 

Aku melirik ke arah Pak Andra yang tengah sibuk dengan ponselnya. Lalu menatap perempuan di sampingku ini.  

"Aku ini calon istrinya." 

Ingin sekali aku mengatakan itu, tapi rasanya sangat susah. 

Huuft, resiko menikah dengan majikan! 

--

Pulang dari butik, aku masuk ke kamar terlebih dahulu. Lelah rasanya. Lebih tepatnya, lelah menghadapi Mbak-Mbak tadi yang kekeuh nanyain calon istri Pak Andra. 

"Abis dari mana, Ning?" tanya Desi. 

Aku baru sadar. Sejak berita aku akan menikah dengan Pak Andra kemarin, Desi berubah menjadi super kepo. Kenapa dia? 

"Habis dari butik. Pak Andra nyuruh aku buat milihin beberapa baju." 

Desi hanya ber-oh ria. Ia ikut-ikutan merebahkan kepalanya di sebelahku. Hari memang sudah sore, dan Keysha belum bangun tidur kata Desi. 

"Mbak Niniiing!" 

Lengkingan teriakan Keysha menyadarkanku yang ternyata terlelap sebentar. Kulihat jam. Sudah pukul empat. Astaga, aku ketiduran setengah jam setelah salat ashar tadi.

Desi ke mana lagi? Kenapa ia tak membangunkanku? Hish! 

"Iya, Sayang. Kenapa?" tanyaku sambil mengintip di pintu.

"Aku sudah mandi. Ayo, kita jalan-jalan." 

Aku mengambil hijab, lalu keluar bersama gadis imut itu. Ia menggenggam kuat tanganku. Apakah ia akan begini jika aku jadi ibunya nanti? 

Tapi, ah, dia kan masih kecil. Seharusnya ia bisa menerimaku. 

"Mbak tadi habis dari mana sama Papa?" Aku menoleh saat anak itu bertanya padaku. Kini kami sudah sampai di taman. 

"Nganterin Papa buat beli baju."

Mata Keysha mengerjap, mulutnya membuka meminta makan. Segera kusuapkan nasi berlauk ayam opor ini. 

"Katanya, besok kita mau ke rumah Mbak Nining, ya?"

Aku tertegun. Kemudian menatap balik mata anak itu. 

"Keysha tahu dari mana?" 

Anak itu tersenyum lebar, kemudian memelukku. 

"Mbak Nining nggak akan ninggalin Key, kan?"

Aku tersenyum. Kupikir, anak itu akan merengek karena tak ingin ikut. Alhamdulillah. 

"Tidak, Sayang. Key mau ikut?" 

Ia mengangguk cepat, lalu kusuapkan lagi nasi yang tinggal sedikit. 

-

Kami berangkat dari Jakarta pukul tiga subuh. Supaya sampai di kampungku pukul sepuluh pagi dan juga belum terlalu panas. 

Aku memangku Key yang masih tertidur. Di depan ada Pak Andra yang tengah menyetir, di sampingnya ada Pak Ahmad--satpam rumah, di sebelahku Nyonya Mega, dan di belakang ada Mbok Minah dan juga Desi. 

Debar dalam dada terus saja tak ingin berhenti. Sudah berusaha kunetralkan, tapi nyatanya tak bisa. 

"Orang tuamu sudah tahu kan, Ning?" tanya Nyonya Mega. 

"Sudah, Nya..."

"Hush! Panggil saja Ibu. Sebentar lagi, kamu kan jadi menantu saya, istrinya Andra." 

"Uhuk-uhuk!" 

Kami menoleh ke depan, kulihat Pak Andra tengah terbatuk. 

"Kenapa, Ndra?" 

"Oh, nggak papa, Bu."

Tepat pukul sebelas kurang lima belas menit, kami sampai di kampung halamanku. Sudah tujuh bulan aku tak pulang. Ternyata sudah banyak perubahan. 

Ada sumur bor besar tepat di gapura selamat datang kampungku. Dulu memang sempat ada desas-desus ingin membangun sumur bor, ketika musim panas berkepanjangan. Kupikir semua itu tak jadi, nyatanya terealisasikan. 

Banyak rumah baru, bahkan di depan rumahku saja sudah ada dua rumah baru. Mobil berhenti tepat di halaman. 

Kulihat Bapak dan Ibu tergesa-gesa keluar. Murni berjalan di belakangnya. Umur kami hanya terpaut empat tahun saja. 

"Assalamu'alaikum," ucapku bersamaan dengan Nyonya Mega. 

"W*'alaikum salam."

Ibu mendekat, kemudian menyalami Nyonya Mega, Pak Andra dan yang lain, hingga akhirnya berdiri di depanku. Ia menepuk pipi ini. Dapat kulihat binar bahagia di dua bola matanya. Mau tak mau, mataku pun mengembun. 

"Silakan masuk, Bu." 

Kami semua masuk. Aku berjalan ke dapur, membantu Murni menyiapkan minum. Saat sampai di depan, kulihat adik-adik Bapak sudah datang, begitupun dengan kakaknya Ibu. 

Paman Saleh-adiknya Bapak, menyalami Bu Mega dan yang lain. Aku sendiri was-was, karena dalam kelurga kami, hanya dia yang mempunyai keberanian untuk berbicara. Maksudku, untuk ukuran laki-laki, dia begitu lemes layaknya perempuan. 

Pernah dulu ketika anaknya Paman Wiro-adik bungsu Bapak, akan menikahkan putrinya, ia berucap tak sopan hingga akhirnya lamaran pun batal. 

Itu semua hanya satu alasan, karena Paman Saleh adalah orang terkaya di kampung kami. Uang tak membuat persaudaraan kami mendekat, malah menjauhkan. 

"Bu, apa nggak akan kacau acara kalau Paman Saleh datang?" tanyaku. 

"Insya Allah semua akan baik-baik saja, Nduk. Sudah, kamu tenang. Akad akan segera dimulai," jawab Ibu.

Setelah semua hadir. Dimulai lah acara lamaran itu. Aku di belakang bersama Ibu dan para wanita yang lain, sementara para lelaki dan juga Nyonya Mega ada di depan. 

Ada rasa haru tersendiri, ketika aku si gadis kampung ini akan menikah dengan Pak Andra. Pemilik KeyDra group. Perusahaan air yang cukup besar. 

"Nduk, nanti yang nurut sama suamimu, ya."

Berbagai wejangan Ibu sampaikan padaku. Murni memelukku erat, seakan aku akan pergi lama. 

"Mbak, nanti tetap pulang kan, ya?" 

Aku mengelus pergelangan tangannya. "Iya, dong." 

"Mbak Nining, aku dilupain, ya?" 

Aku menoleh pada Keysha yang sedari tadi dipangku oleh Desi. Aku terkekeh sembari merentangkan tangan, memindahkan anak itu ke pangkuanku. 

"Jadi bagaimana, Pak, apakah lamaran anak saya diterima?" Suara Nyonya Mega terdengar. 

-

Akankah diterima?

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Malam Pertama Dengan Majikan    Bab 91-TAMAT

    "Des?" panggilku. "Ah, iya, Bu." Lalu muncul Ibu dengan tergesa-gesa. Beliau langsung berlari ke tempat anak bungsunya itu. Bukannya memeluk, beliau malah memukulnya. "Bagus, ya! Kerjaanmu itu gak jelas! Pergi-pergi terus gak pulang-pulang! Sekalian aja lupain kalau Ibu sudah meninggal!" "Ibu! Kok gitu? Ibu gak boleh meninggal sebelum Kino menikah." "Menikah? Alhamdulillah, Ya Allah! Kamu sudah punya pacar, Kin? Siapa itu?" "Ada, Bu. Nanti Kino kenalkan. Sekarang dia lagi jauh." Jauh? Ah, tentu saja. Kenapa aku berpikir kalau Kino ada hubungan dengan Desi? Ibu pun mengajak Mas Kino ke meja makan dan mengambilkan jus jambu kesukaannya. "Kok pulang nggak ngasih kabar?" "Kan surprise, Bu." "Ya sudah, Ibu tinggal dulu ke kamar. Kamu habis ini istirahat." Ibu menarik tanganku ke kamar, lalu menutup pintu meski tak rapat. "Bu, ngapain?" "Sssst! Diem dulu." Tak lama kemudian, Kino ke depan, menghampiri Desi yang tengah duduk di tangga. Mataku membulat, saat melihat Kino memeluk

  • Malam Pertama Dengan Majikan    Bab 90

    Aku tersenyum, dasar mirip bocah! Selesai menyuapi Ghani dan Shani, aku pun mengajak mereka ke kamar Keysha untuk kususui sambil menunggu Keysha pulang sekolah. Kuminta Desi untuk ikut, sambil menjaga Shani yang nanti menunggu giliran kususui. "Pacarmu orang mana, Des?" tanyaku. "Eh? Emmm, gak jauh dari sini kok, Ning.""Aku kenal?" Pelan, Desi mengangguk. Hal itu membuatku makin bingung dengan teka-teki pacarnya Desi ini. Jika aku mengenalnya, lantas ia siapa? "Siapa?" "Ada deh, nanti juga dia datang ke sini." Aku mengangguk saja, tak ingin mengorek lebih dalam lagi. Aku sadar akan privasinya. Jika ia mengatakan akan mengenalkannya padaku suatu hari nanti, maka aku tinggal menunggu saja. Lalu kami bercerita lagi, tentang apapun. Sampai aku tak sadar jika Ghani sudah terlelap. Kupindahkan Ghani ke tempat Shani, lalu Shani pindah ke tempat Ghani untuk kuberi asi. "Nikah itu, enak gak sih, Ning?" tanya Desi tiba-tiba. "Ya ada enaknya, ada gak enaknya. Tinggal gimana kita dan

  • Malam Pertama Dengan Majikan    Bab 89

    "Bu Nining tenang saja, Pak Andra ga mungkin nikah lagi. Orang kaya kulkas gitu, siapa yang mau?" "Buktinya, Mbak Nesha mau tuh. Andai Mas Andra ngeladenin, pasti mangsanya itu Mas Andra.""Untungnya Pak Andra gak nanggepin, ya?" Aku mengangguk. Lalu fokus mengambil bayam yang sangat menggoda mataku itu. "Bu Wina juga katanya nemuin duit di tumpukan selimut yang nggak pernah dipake. Pas ditanya, katanya mau buat gugurin kandungannya Bu Nesha." "Apa?" Kami semua terkejut mendengar penuturan Bu Dian. Selama ini, Bu Wina memang lebih dekat dengan Bu Dian, sehingga beliau selalu up to date tentang temannya itu. "G*la, ya? Jadi perempuan itu sudah hamil?" Aku benar-benar tak menyangka dengan berita pagi ini. Mbak Nesha, pantas saja akhir-akhir ini sering pakai baju kegedean, nyatanya ada yang tengah coba ia sembunyikan?Setelah membayar belanjaan, aku pun pamit pulang pada ibu-ibu yang lain. Kasihan Shani dan Ghani yang belum sarapan. "Des, sudah siap sarapan si kembar?" "Sudah, Bu

  • Malam Pertama Dengan Majikan    Bab 87

    "Hampir, andai Winto tak melihatmu, mungkin orang itu sudah membawamu pergi.""Ah, nggak sampai hutang budi kok, Mbak. Biasa aja." "Jadi, Nesha yang centil itu, istrimu?" "Mantan istri, Mbak." "Kok, semalem aku nggak lihat kamu? Kapan datangnya?" "Pak Winto datang setelah Ibu pulang. Paling selisih tiga menit Ibu masuk, mobil Pak Winto datang." "Oh, iya. Bagus lah kalau kamu ceraikan dia. Bukan bermaksud mengompori, tapi istrimu itu emang benar-benar, kok! Masa rumah tangga anakku mau dirusakin?" "Ah, masa, Mbak? Benar begitu, Bu Nining?" "Panggil Nining saja, Pak. Iya, begitu lah, Pak." "Ah, kan Bu Nining istrinya Pak Andra, jadi saya harus menghormati. Sebelumnya, saya mau minta maaf kalau kelakuan mantan istri saya keterlaluan ya, Pak, Bu, Mbak." "Nggak papa, Win. Namanya manusia. Tapi untungnya anakku nggak goyah. Mantan istrimu itu pakaiannya sexy banget. Sampe mau muntah aku lihatnya." "Bu...." Mas Andra mengingatkan Ibu, supaya jangan terlalu jauh menceritakan tentang

  • Malam Pertama Dengan Majikan    Bab 86

    "Betul." "Ingat, ya. Kalau aku jadi Bu Wina, bukan hanya kupukul kalian, tapi kumusnahkan senj*t*mu dan kucabein punya si perempuan. Jangan main-main sama aku, Mas." "Ish! Ngeri amat, sih?" protes Mas Andra dengan wajah meringis, aku malah jadi ingin tertawa melihatnya. "Makanya, mau gitu, nggak?" "Ya nggak, lah." "Bagus!" "Punya satu aja pusing, apa lagi dua." "Apaaaa?" --Pagi hari. Biasanya aku hanya mengurus Keysha, namun kali ini juga ada Aura. Meski mempunyai Sinta dan Desi, tapi aku tetap akan turun tangan jika itu urusan anak-anak. "Aura, nanti setelah mandi, ambil seragam sekolah di rumah, ya? Biar diantar sama Mbak Desi. Soalnya Kalau bareng sama Keysha, beda arah," ucapku sambil mengolesi salep di bekas lukanya. Memar yang terlihat seperti baru, kupikir hanya bagian lengan saja, tapi ternyata saat Desi membuka bajunya, makin banyak terlihat. Aku sampai bergidik ngeri, kok ada ibu sejahat ini pada anaknya? "Aura, kenapa banyak luka begini?" "Karena Aura nakal, T

  • Malam Pertama Dengan Majikan    Bab 85

    Aku membeliakkan mata saat melihat Mbak Nesha terkena tinjuan Pak Winto. Lelaki itu bukannya merasa bersalah telah meninju istrinya malah makin menjadi. Beruntung, semua itu bisa dipisahkan dan akhirnya Pak RT duduk di antara mereka. "Jadi bagaimana ini, Pak Winto? Bu Wina?" "Saya sih sudah nggak mau tahu, Pak RW. Pokoknya saya mau mereka diusir dari sini." "Ma, kan tadi Papa sudah bilang..." "Maaf, Pa, tapi kami menolak kehadiran Papa di tengah-tengah kami lagi," ucap Wandi sambil berdiri di samping Bu Wina, begitupun Meriska. "Begini saja, silakan selesaikan urusannya secara pribadi. Tapi, kami mengharapkan hal seperti ini tak akan terulang kembali, alis Pak Adi dan Bu Nesha pergi dari komplek ini," ucap Bu Dian. "Saya setuju." "Saya juga." Terdengar sahutan dari yang lain. Begitu pula aku dan Mas Andra. Lelaki itu sibuk menggenggam jemariku. "Tapi, Papa mau ke mana kalau nggak di rumah kita, Ma?" "Ya terserah. Pergi saja sama wanita selingkuhanmu itu. Lagi pula, itu rumah

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status