Bab 2
Tapi, Des, apa Keysha bakal menerimaku, ya?" tanyaku, masih sambil melihat langit-langit kamar.
Desi menoleh ke arahku, kemudian menghembuskan napasnya.
"Pasti. Apalagi, selama ini kalian sangat dekat."
"Ya ... Semoga saja."
Esok hari.
Sedari pagi, Nyonya Mega sudah memintaku untuk mengantarnya. Semua pekerjaan sudah kurapikan, begitupun dengan makanan Keysha. Karena tugasku adalah mengasuhnya. Pakaian dan makannya pun tak luput dari tugasku.
"Des, titip Keysha, ya!"
Desi mengangguk, kemudian membenarkan letak hijabku.
"Kamu mau ke mana memangnya, Ning?"
"Nggak tahu, Nyonya minta diantar ke suatu tempat katanya."
Desi hanya manggut-manggut, kemudian beranjak ke luar bersamaku.
"Desi, tolong rapikan kamar saya, ya!" perintah Nyonya begitu beliau datang.
Aku memperhatikannya dari atas sampai bawah. Bukannya ia bilang ingin diantar ke suatu tempat? Kenapa masih berpakaian seperti itu?
Tak lama kemudian, terdengar derap langkah menuruni tangga. Terlihat Pak Andra datang dengan senyuman di wajahnya, untuk sang Ibu. Begitu melihatku, senyum itu pudar.
Ia terlihat begitu tampan. Kemeja berwarna blue ocean dan juga celana hitam membuatnya tampak gagah, seperti artis Rio Dewanto saja!
"Ning?"
Aku mengerjap, kemudian bertanya pada Nyonya Mega.
"Iya, Nya?"
"Kamu kenapa bengong gitu?" tanyanya dengan mengulum senyum.
Astaga, sedari tadi aku melamun?
"Kamu pergi sama Andra, ya? Saya ada urusan mendadak. Kalau Andra macam-macam, lapor saja sama saya," ucap Nyonya Mega sambil menggandeng lengan pria itu.
Aku hanya bisa menunduk sembari tersenyum. Kami sudah bersama lebih dari dua tahun, kenapa baru sekarang terasa berdebar saat melihatnya?
Pak Andra berjalan terlebih dahulu menuju mobil, sedangkan aku jalan di belakangnya. Aku tak berani bertanya padanya, jantungku sudah siap untuk meledak.
"Duduk di depan, memangnya kamu pikir saya ini supir?!" ucap Pak Andra seraya menatapku tajam.
"Oh, iya, Pak."
Mobil berjalan menelusuri padatnya kota Jakarta. Sepanjang perjalanan, tak ada sepatah katapun yang keluar dari bibir kami masing-masing.
"Turun!" ucapnya begitu mobil berhenti di depan sebuah bangunan. Indah boutique, namanya.
Kami pun turun, dengan formasi yang sama. Pak Andra di depan, sedangkan aku di belakangnya.
"Siang, Pak. Ada yang bisa saya bantu?"
"Siang. Reservasi atas nama Mega Bintang."
Perempuan itu menuntun jalan kami menuju ke atas. Terpampang berbagai jenis gaun. Mulai dari gaun tertutup, hingga gaun yang terbuka.
"Kamu pilih saja, Ning."
"Biar saya bantu, Pak. Kalau Mbaknya, mungkin tidak bisa memilih. Calon istrinya tidak ikut, ya?"
Aku hanya tersenyum kecut. Dari ekor mata, dapat kulihat Pak Andra tengah menatapku.
"Nggak usah. Biar dia yang pilihkan."
Aku maju beberapa langkah. Menatap satu persatu gaun yang terpajang di manequin. Semuanya cantik. Tapi, untuk apa aku disuruh memilih? Apa Pak Andra benar-benar akan menikahiku?
Meskipun penolakannya waktu itu tak langsung di hadapanku, tapi sama saja. Aku merasa canggung. Pernikahan impianku hanya sekali seumur hidup. Bagaimana jika Pak Andra meninggalkanku suatu hari nanti?
"Mbak, pilih yang benar, nanti calon istrinya marah. Lagipula, kenapa bosmu itu percaya banget sama pilihanmu? Apa kamu sudah lama bekerja dengannya?" cerocos perempuan itu.
Aku melirik ke arah Pak Andra yang tengah sibuk dengan ponselnya. Lalu menatap perempuan di sampingku ini.
"Aku ini calon istrinya."
Ingin sekali aku mengatakan itu, tapi rasanya sangat susah.
Huuft, resiko menikah dengan majikan!
--
Pulang dari butik, aku masuk ke kamar terlebih dahulu. Lelah rasanya. Lebih tepatnya, lelah menghadapi Mbak-Mbak tadi yang kekeuh nanyain calon istri Pak Andra.
"Abis dari mana, Ning?" tanya Desi.
Aku baru sadar. Sejak berita aku akan menikah dengan Pak Andra kemarin, Desi berubah menjadi super kepo. Kenapa dia?
"Habis dari butik. Pak Andra nyuruh aku buat milihin beberapa baju."
Desi hanya ber-oh ria. Ia ikut-ikutan merebahkan kepalanya di sebelahku. Hari memang sudah sore, dan Keysha belum bangun tidur kata Desi.
"Mbak Niniiing!"
Lengkingan teriakan Keysha menyadarkanku yang ternyata terlelap sebentar. Kulihat jam. Sudah pukul empat. Astaga, aku ketiduran setengah jam setelah salat ashar tadi.
Desi ke mana lagi? Kenapa ia tak membangunkanku? Hish!
"Iya, Sayang. Kenapa?" tanyaku sambil mengintip di pintu.
"Aku sudah mandi. Ayo, kita jalan-jalan."
Aku mengambil hijab, lalu keluar bersama gadis imut itu. Ia menggenggam kuat tanganku. Apakah ia akan begini jika aku jadi ibunya nanti?
Tapi, ah, dia kan masih kecil. Seharusnya ia bisa menerimaku.
"Mbak tadi habis dari mana sama Papa?" Aku menoleh saat anak itu bertanya padaku. Kini kami sudah sampai di taman.
"Nganterin Papa buat beli baju."
Mata Keysha mengerjap, mulutnya membuka meminta makan. Segera kusuapkan nasi berlauk ayam opor ini.
"Katanya, besok kita mau ke rumah Mbak Nining, ya?"
Aku tertegun. Kemudian menatap balik mata anak itu.
"Keysha tahu dari mana?"
Anak itu tersenyum lebar, kemudian memelukku.
"Mbak Nining nggak akan ninggalin Key, kan?"
Aku tersenyum. Kupikir, anak itu akan merengek karena tak ingin ikut. Alhamdulillah.
"Tidak, Sayang. Key mau ikut?"
Ia mengangguk cepat, lalu kusuapkan lagi nasi yang tinggal sedikit.
-
Kami berangkat dari Jakarta pukul tiga subuh. Supaya sampai di kampungku pukul sepuluh pagi dan juga belum terlalu panas.
Aku memangku Key yang masih tertidur. Di depan ada Pak Andra yang tengah menyetir, di sampingnya ada Pak Ahmad--satpam rumah, di sebelahku Nyonya Mega, dan di belakang ada Mbok Minah dan juga Desi.
Debar dalam dada terus saja tak ingin berhenti. Sudah berusaha kunetralkan, tapi nyatanya tak bisa.
"Orang tuamu sudah tahu kan, Ning?" tanya Nyonya Mega.
"Sudah, Nya..."
"Hush! Panggil saja Ibu. Sebentar lagi, kamu kan jadi menantu saya, istrinya Andra."
"Uhuk-uhuk!"
Kami menoleh ke depan, kulihat Pak Andra tengah terbatuk.
"Kenapa, Ndra?"
"Oh, nggak papa, Bu."
Tepat pukul sebelas kurang lima belas menit, kami sampai di kampung halamanku. Sudah tujuh bulan aku tak pulang. Ternyata sudah banyak perubahan.
Ada sumur bor besar tepat di gapura selamat datang kampungku. Dulu memang sempat ada desas-desus ingin membangun sumur bor, ketika musim panas berkepanjangan. Kupikir semua itu tak jadi, nyatanya terealisasikan.
Banyak rumah baru, bahkan di depan rumahku saja sudah ada dua rumah baru. Mobil berhenti tepat di halaman.
Kulihat Bapak dan Ibu tergesa-gesa keluar. Murni berjalan di belakangnya. Umur kami hanya terpaut empat tahun saja.
"Assalamu'alaikum," ucapku bersamaan dengan Nyonya Mega.
"W*'alaikum salam."
Ibu mendekat, kemudian menyalami Nyonya Mega, Pak Andra dan yang lain, hingga akhirnya berdiri di depanku. Ia menepuk pipi ini. Dapat kulihat binar bahagia di dua bola matanya. Mau tak mau, mataku pun mengembun.
"Silakan masuk, Bu."
Kami semua masuk. Aku berjalan ke dapur, membantu Murni menyiapkan minum. Saat sampai di depan, kulihat adik-adik Bapak sudah datang, begitupun dengan kakaknya Ibu.
Paman Saleh-adiknya Bapak, menyalami Bu Mega dan yang lain. Aku sendiri was-was, karena dalam kelurga kami, hanya dia yang mempunyai keberanian untuk berbicara. Maksudku, untuk ukuran laki-laki, dia begitu lemes layaknya perempuan.
Pernah dulu ketika anaknya Paman Wiro-adik bungsu Bapak, akan menikahkan putrinya, ia berucap tak sopan hingga akhirnya lamaran pun batal.
Itu semua hanya satu alasan, karena Paman Saleh adalah orang terkaya di kampung kami. Uang tak membuat persaudaraan kami mendekat, malah menjauhkan.
"Bu, apa nggak akan kacau acara kalau Paman Saleh datang?" tanyaku.
"Insya Allah semua akan baik-baik saja, Nduk. Sudah, kamu tenang. Akad akan segera dimulai," jawab Ibu.
Setelah semua hadir. Dimulai lah acara lamaran itu. Aku di belakang bersama Ibu dan para wanita yang lain, sementara para lelaki dan juga Nyonya Mega ada di depan.
Ada rasa haru tersendiri, ketika aku si gadis kampung ini akan menikah dengan Pak Andra. Pemilik KeyDra group. Perusahaan air yang cukup besar.
"Nduk, nanti yang nurut sama suamimu, ya."
Berbagai wejangan Ibu sampaikan padaku. Murni memelukku erat, seakan aku akan pergi lama.
"Mbak, nanti tetap pulang kan, ya?"
Aku mengelus pergelangan tangannya. "Iya, dong."
"Mbak Nining, aku dilupain, ya?"
Aku menoleh pada Keysha yang sedari tadi dipangku oleh Desi. Aku terkekeh sembari merentangkan tangan, memindahkan anak itu ke pangkuanku.
"Jadi bagaimana, Pak, apakah lamaran anak saya diterima?" Suara Nyonya Mega terdengar.
-
Akankah diterima?
Bab 3Kami semua terdiam, menunggu jawaban Bapak. "Baik, saya terima, Bu.""Alhamdulillah." Air mata mengucur deras dari dua bola mata Ibu. Beliau mencium pipiku. "Nduk, Ibu nggak pernah meminta muluk. Hanya ingin kamu bahagia. Jangan hiraukan uang, yang penting kamu bahagia. Jangan hanya karena kamu menikah dengan orang kaya, menjadikanmj pribadi yang jelek, sombong. Jangan ya, Nduk?!" Aku mengangguk. Aku sedih, namun juga bahagia. Ah, ntah perasaan apa ini namanya? "Ya, walaupun Nining hanyalah gadis kampung tak berpendidikan..."Deg! Aku dan Ibu saling pandang. Kami paham betul itu suara siapa. Gawat, jangan sampai hal yang menimpa Dara juga menimpa denganku! -Setelah hari itu, aku menetap di rumah. Drama Keysha yang tak ingin jauh dari aku pun tak bisa dielakkan. Meskipun sekarang harus video call setiap hari. "Nduk, kamu sudah yakin? Besok acara ijab qabulmu, loh." Aku yang tengah membantu para tetangga masak di rumah, pun menghentikan aktivitasku memotong wortel. "Me
Bab 4Saya terima nikah dan kawinnya Ningsih Setya Dewi dengan mas kawin emas lima gram dan seperangkat alat salat dibayar, tunai!" ucap Pak Andra lantang. "Bagaimana saksi? Sah?" "Sah!" sahut saksi dan juga tamu yang datang. Setelah menandatangani buku nikah, lalu aku diminta mencium takzim tangan Pak Andra. Entah bagaimana, tiba-tiba Pak Andra malah menarikku dan mencium kening ini. Deg! Jantung, tolong baik-baik saja! --Setelah akad tadi, aku langsung dibawa ke kota. Tak ada kata istirahat buat Pak Andra. Ya aku paham, dia adalah seorang pembinis. Membuang waktunya, sama saja dengan membuang uang. Aku sudah berada di kamar. Kamar Pak Andra maksudnya. Kulirik jam, pukul sebelas malam. Kini, Pak Andra tengah mandi, sekalian melepas penat. "Kamu gak mau mandi juga, Ning?" Aku terkesiap saat mendengar suaranya, terlebih lagi, saat melihatnya hanya memakai handuk saja. Ia berjalan mendekat, semakin dekat, hingga melaluiku begitu saja. Setelah berpakaian lengkap, Pak Andra men
Bab 5Seorang wanita memakai busana kebaya, tampak anggun. Di sebelahnya berdirj seorang pria. Lelaki dengan senyum yang bahkan hanya beberapa kali kulihat. Pak Andra, tersenyum. Aku tak percaya, foto pernikahan kami menjadi wallpapernya. Aku pun belum pernah melihat album pernikahan kami karena belum jadi. Insya Allah, besok baru diantarkan. Tapi, dari mana Pak Andra dapat ini? Di sana memang aku tak melihat ke layar, aku tengah menatap ke arah lain. Perlahan, kurasa pipiku memanas. Pak Andra, ternyata bisa sweet juga. Ah, Ibu, putrimu memang sedang jatuh cinta! -Jarum jam di dinding sudah pukul satu siang. Sambil menunggu Keysha bangun, aku berjalan menuju kamar belakang. Berniat membantu Desi dan Mbok Minah yang biasanya tengah menyetrika di jam segini. "Enak ya, Mbok, jadi Nining. Aku juga mau, lah, kenapa harus dia, coba?" Aku berhenti saat mendengar suara Desi berbicara pada Mbok Minah. "Hust! Jangan ngawur, kamu. Coba kamu pikir lagi. Si Nining itu banyak kelebihannya.
Setelah beberapa menit, pesanan kami datang. Ayam goreng, ikan bakar, capcay, dan juga sambal dendeng. Aku melongo melihatnya. Kenapa makanannya banyak banget? "Kenapa, Dek? Nggak suka makanannya?" "Eh? Suka kok Pak, eh Mas." Oke, aku memang belum terbiasa dengan panggilan baru ini. Kami mulai menyantap hidangan. Aku hanya mengambil capcay dan juga sambal dendeng. "Nih, makan," ucap Mas Andra saat aku menyuapi Key makan. Aku tertegun saat Mas Andra menaruh daging ikan yang sudah terpisah dari durinya, ke atas nasiku. Aku hanya mengangguk seraya mengucapkan terima kasih. Usai makan, Mas Andra mengantar kami pulang, lalu langsung pergi lagi menuju kantor. Saat masuk ke rumah, Ibu yang tengah menonton televisi segera menghampiri kami. "Key, ke Mbak Desi dulu minta mandi, ya? Habis ini kita jalan-jalan sama Oma."Mendengar kata jalan-jalan, Key segera pergi ke belakang seraya memanggil Desi. Tanganku segera ditariknya menuju sofa. "Bagaimana, Ning?" tanya Ibu. "Bagaimana apanya,
"Pa, laper," ucap Key yang sedang dalam gendongan Mas Andra. "Ya sudah, kita makan, ya?" Kami pun masuk ke dalam restoran makanan. Tiga minggu menjadi istri Mas Andra membuatku mulai terbiasa dengan gaya makannya. "Keysha tunggu di sini sama Mama, ya? Papa mau ke depan, pesan makanan." Anak itu mengangguk. Mama. Baru kali ini ia membahasakan Mama untukku pada anaknya. Biasanya, ia hanya akan menunjukku. Tak lama kemudian, Mas Andra daang membawa makanan yang sangat membuatku takjub. "Mas, kenapa ayamnya banyak sekali? Satu juga cukup, kok!" protesku. "Kamu ini, Dek, tinggal makan aja kok banyak protes." Aku hanya garuk-garuk kepala. Baiklah, nanti saat pulang aku akan meminta yang satu dibungkus saja, untuk Desi di rumah. --Saat sampai di rumah, aku memberikan bungkusan makanan pada Desi dan Mbok Minah yang tengah duduk usai salat maghrib. Saking asyiknya kami main, jadi lupa waktu. "Makasih banyak ya, Ning," ucap Mbok Minah. Aku mengangguk, kemudian masuk ke kamar mandi.
Mas Andra membawa Bu Rosa keluar. Aku tahu, ia pasti tak ingin bertengkar di hadapan anaknya."Mama, tadi itu siapa?" tanyanya. Aku menatap Bu Mega. Bingung harus menjawab apa? Karena memang seusianya pasti belum mengetahui apa itu ibu kandung dan juga ibu tiri?"Nanti kita kasih tahu. Keysha sudah sarapan?" tanya Bu Mega. "Belum, Oma. Kan mau sarapan bareng Papa, Mama, sama Oma." Bu Mega tersenyum, kemudian pamit keluar. Beliau pasti ingin tahu alasan Bu Rosa ke mana saja selama ini. Setelah mengikat rambut Keysha, aku membawa anak itu naik ke atas ranjang. Untung, semalam sprei ini sudah kuganti dengan yang bersih. "Key, mau dibacain dongeng, nggak?" tawarku. "Mau dong, Ma." Karena tak ada buku di sini, maka aku mengambil koran. Dulu, biasanya di halaman tengah suka ada dongeng atau cerita yang dikirimkan oleh penulis ke perusahaan koran tersebut. Key ikut duduk di sofa, lalu tubuhnya memelukku. Ya Allah, aku memang belum punya anak, tapi melihatnya begini, aku sudah merasa
Sekarang, kalau sudah begini, mau bagaimana lagi? Aku menghela napas panjang, menghampiri suami yang masih duduk di sisi ranjang Mbak Rosa. "Biarkan aku yang pergi, Mas. Aku sadar diri. Memang sebaiknya, dari awal aku tak pernah menyetujui pernikahan ini," ucapku. Mas Andra mendongak, kemudian menggelengkan kepalanya. "Tidak, Dek. Kamu tak perlu pergi. Apa kalian tak bisa hidup satu atap bersama? Atau, Rosa, bagaimana jika kamu pergi dari sini?" Mata Mbak Rosa melebar. Ia pasti tak menyangka akan diusir oleh suaminya. "Nggak, Mas! Suamiku ada di sini, begitupula dengan anakku. Kenapa nggak pelakor itu aja?!" "Mbak, aku ini bukan pelakor! Kenapa selalu saja memanggilku dengan sebutan itu?!" "Karena kamu memang pelakor." Aku tersenyum sinis. Kesabaranku benar-benar diuji oleh wanita itu. "Ya, katakanlah aku pelakor. Setidaknya, aku tak akan pernah meninggalkan anak dan suamiku, aku mengurus anak yang ditinggalkan oleh orang yang menuduhku pelakor. Aku mengurus suami oleh oran
Andra mendongak, kedua matanya terus memandangi wanita di hadapannya itu. "Apa maksudmu?" "Kamu memang lebih mencintai wanita itu, kan? Jawab, Mas! Kamu memang telah berubah. Hiks." Andra termenung. Benarkah ia sudah mencintai Nining? Gadis desa yang terpaksa dinikahinya itu? Rosa mulai menangis. Awalnya hanya isakan saja, tapi lama kelamaan berubah menjadi kencang. Andra pusing mendengarnya. Ia sudah mengorbankan waktunya, seharusnya ia sudah berangkat kerja tadi pagi. "Argh!" Andra bangkit dan keluar. Tak mempedulikan Rosa yang mencoba menarik perhatiannya lewat tangisan. "S*al!" Rosa memukul ranjang, rahangnya mengeras. Baru kali ini, ia merasa diremehkan. Andra, memang sudah berubah padanya. Sebuah seringai jahat, terbit di bibir seksi milik Rosa. Wanita itu mulai menggumam."Lihat saja, Mas. Apa kamu masih dapat membela Nining dan cuek padaku nantinya?"-Pov Nining Beberapa hari setelah insiden kedatangan Mbak Rosa, akhirnya diputuskanlah kalau aku dan Mbak Rosa akan ti