Share

Bab 3

Bab 3

Kami semua terdiam, menunggu jawaban Bapak. 

"Baik, saya terima, Bu."

"Alhamdulillah." 

Air mata mengucur deras dari dua bola mata Ibu. Beliau mencium pipiku. 

"Nduk, Ibu nggak pernah meminta muluk. Hanya ingin kamu bahagia. Jangan hiraukan uang, yang penting kamu bahagia. Jangan hanya karena kamu menikah dengan orang kaya, menjadikanmj pribadi yang jelek, sombong. Jangan ya, Nduk?!" 

Aku mengangguk. Aku sedih, namun juga bahagia. Ah, ntah perasaan apa ini namanya? 

"Ya, walaupun Nining hanyalah gadis kampung tak berpendidikan..."

Deg! 

Aku dan Ibu saling pandang. Kami paham betul itu suara siapa. 

Gawat, jangan sampai hal yang menimpa Dara juga menimpa denganku! 

-

Setelah hari itu, aku menetap di rumah. Drama Keysha yang tak ingin jauh dari aku pun tak bisa dielakkan. Meskipun sekarang harus video call setiap hari. 

"Nduk, kamu sudah yakin? Besok acara ijab qabulmu, loh." 

Aku yang tengah membantu para tetangga masak di rumah, pun menghentikan aktivitasku memotong wortel. 

"Memangnya kenapa, Bu?" 

"Ibu hanya takut kamu nggak bahagia." .

Kupegang tangan tua itu, lalu mengusapnya lembut. Ah tidak, ini semua demi Keysha. Jika anak itu bahagia, akupun begitu. Mungkin karena kami terbiasa bersama, aku sudah terlanjur menyayangi anak berumur tiga tahun itu. 

"Insya Allah, Nining siap, Bu. Ibu tinggal do'akan saja, ya."

"Pasti, Nduk. Do'a Ibu akan selalu untukmu."

Selesai memotong wortel, aku bersiap untuk salat dulu karena adzan dzuhur telah berkumandang. 

Setelah selesai, kuangkat tangan, memohon padanya yang terbaik untuk jalan hidupku ke depannya. 

"Ya Allah, jika memang ini takdir baik-Mu untuk hamba, bantu hamba untuk bisa ikhlas menjalani ini semua. Demi orang-orang yang kusayangi dan menyayangiku. Semoga Ibu dan Bapak sehat, bahagia selalu hingga terus melihatku hidup bahagaia. Ampunilah semua dosa-dosaku." 

Kubereskan bekas salat tadi dan berjalan ke luar kamar. Nampak suasana rumah sudah berbeda. Tenda dan dekorasi pernikahan sudah terpasang. Aku, akan menikah esok. 

Saat hendak kembali ke dapur, samar-samar aku mendengar suara orang berbicara. Itu, suara Bude Karmi-istrinya Paman Saleh. 

"Maafkan Bapaknya Wika ya, Mbak. Aku juga nggak bisa berbuat apa-apa. Beruntung, kemarin Mas Saleh belum keterlaluan ngomongnya," ucap Bude Karmi di kamar Ibu yang bersebelahan dengan dapur. 

Apa? Belum keterlaluan katanya? Ingatanku kembali lagi ke waktu lamaran. 

"Ya, meskipun Nining hanyalah gadis kampung yang kurang berpendidikan, semoga dia bisa menjadi istri yang berguna untukmu, Andra." 

Deg! 

Saat itu, hatiku rasanya seperti diremas. Apa Paman Saleh memang berniat merusak acaraku? 

Baru saja hendak melangkah keluar, Pak Andra sudah tertawa terlebih dahulu. 

"Iya, benar, Pak. Semoga saja Nining ada gunanya buat saya. Saya juga akan berusaha membuat diri saya bisa berguna untuk Nining. Karena pada dasarnya, suami-istri itu harus bisa melengkapi satu sma lain. Iya, kan?"

Makjleb! 

Paman Saleh hanya terdiam. Aku sendiripun tak menyangka, Pak Andra akan membelaku begitu. Meskipun buat sesuatu yang ditonjolkan, tapi aku tahu jika ia sedang melindungi harga diriku. 

"Mbak, ngapain?" Aku terkejut saat tepukan tangan Murni berakhir di pundak. 

"Astaghfirullah, Murni. Kamu itu ngagetin aja!" 

Murni terkekeh. Ia memang paling bisa membuatku merajuk. 

"Mbak lagi ngapain? Nguping, ya?" tanyanya berbisik. 

Aku hanya melengos, kemudian berlalu ke dapur. Pekerjaan masih banyak. Ibu memang sengaja memints bantuan pada tetangga terdekat saja. Karena jika terlalu banyak orang yang membantu, maka semakin banyak uang yang keluar. Bukan masalah pelit, hanya saja anggarannya tak ada. 

Kemarin, Pak Andra memberikan uang lima puluh juta pada Bapak. Aku sempat bertanya-tanya, apa isi tas yang tak boleh kubuka itu, dan ternyata isinya adalah uang? 

Namun, Ibu bersikeras hanya akan menggunakan uang itu sebagai pembayaran untuk dekor saja. Sedangkan sisanya akan diserahkan padaku nanti. 

Aku sudah menolak, namun bukan ibu namanya jika tak memaksakan kehendaknya padaku. 

-

Esok hari. 

Aku sudah siap bermake-up saat ramai-ramai di depan. Mbak Yuni-penata rias- pun sampai berlalu ke depan. Aku sempat bertanya-tanya, namun mereka tak memperbolehkanku untuk keluar. Ada apa sih? 

Murni datang. Terlihat sekali ia tengah berusaha menyembunyikan panik di wajahnya. Aku sendiri sudah penasaran akut. 

Dengan susah payah, aku berjalan sambil mengangkat gaun yang kemarin kupilih sendiri di butik.

"Gimana ini, Mbak? Masa harus dibatalin?" 

Deg! 

Itu suara Bude Karmi. Ada apa ini? Apa yang harus dibatalin? Maksudnya, pernikahanku? 

Tiba-tiba, kepalaku berdenyut. Terdengar juga suara Nyonya Mega yang terdengar khawatir. 

"Tadi dia memang meminta untuk berbeda mobil dengan kami. Tapi sewaktu di jembatan, mobilnya tak ada di belakang kami." 

Deg! 

Lagi-lagi jantungku berdetak tak karuan. Pak Andra, apakah ia melarikan diri?

Ning, ayo masuk lagi. Kita selesaikan riasan." Mbak Yuni menarik tanganku menuju kamar. 

Kupandangi diri di cermin. Sungguh, saat ini aku melihat diriku yang berbeda. Biasanya kucel, kusam, kali ini begitu cantik. 

Namun, apa gunanya cantik tapi calon suaminya kabur? 

"Eh itu datang!" 

Aku mengangkat kepala. Lalu berjalan keluar. Kulihat Pak Andra keluar dari mobil dan berjalan pincang. 

"Assalamu'alaikum."

"W*'alaikum salam," jawabku pelan.

Di hati ini satu perasaan lega, juga senang melihatnya datang. Kupikir, ia menjebakku karena tak ingin menikah. 

"Maaf saya telat. Tadi mobil mogok. Jadi terpaksa dorong. Di sini kan gak ada bengkel." 

Aku tersenyum simpul. Alhamdulilah, jika ia memang tak kabur dan ada alasan tersendiri. 

"Ning, ayo!" 

Aku tersentak saat Mbak Yuni sudah berada di belakangku. Ia menatapku sembari mengulum senyum. 

"Kenapa, Mbak?" 

"Yang mau jadi manten, udah gak sabar liat calon suami, ya? Ganteng sih, pantas aja kamu mau." 

Aku tersenyum kecut. Bukan karena mau, Mbak, tapi ini masuknya pengorbanan juga. Eh tapi, kenapa aku nggak melihat Keysha sedari tadi? 

Setelah make up selesai, kini Mbak Yuni pergi ke kamar sebelah untuk merapikan pakaian dan juga mengoleskan bedak di wajah Pak Andra. Duh, aku keduluan sama Mbak Yuni! 

"Mbak, gimana perasaannya?" Murni bertanya pas sudah masuk ke kamar. 

"Memangnya kenapa?" tanyaku.

"Ya, menikah sama orang ganteng dan kaya itu, rasanya gimana?" 

"Ya mana Mbak tahu, Mur. Kamu ini ada-ada aja, lah wong nikah aja belum!" 

Murni terkekeh mendengar jawabanku. Aku berharap dia mendapatkan kebahagiaannya sendiri nantinya. Jangan sepertiku yang harus menikah karena perjodohan. Tapi, aku berdo'a semoga pernikahan ini adalah awal dari kebahagiaanku. 

"Semoga suatu saat nanti, aku ketemu jodohku yang kaya Pak Andra itu ya, Mbak." 

"Aamiin," jawabku. 

Mulutku meng-aamiinkan, tapi hatiku tidak. Boleh saja soal kekayaan dan juga wajahnya. Hanya saja untuk sifatnya? Big no! 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status