Share

Part 5

"Sepertinya nama pengantin wanitanya yang tertulis di undangan bukan Andini. Tapi Vika atau siapa, gitu."

"Iya, bener. Apa jangan-jangan yang ini udah di hamili duluan sama anaknya Pak Lurah."

"Bisa jadi tuh. Mereka berdua kan, sering kemana-mana bareng. Ya kemana perginya kalau nggak kayak gituan."

"Aduh, pergaulan anak jaman sekarang ngeri, ya, buk."

"Jangan suka fitnah, ibu-ibu. Saya dengar si Vika itu lebih pilih ikut audisi nyanyi daripada melanjutkan pernikahannya dengan Angga."

"Oh, begitu? Jadi, mungkin saja yang ini hanya di jadikan pengantin pengganti begitu, ya, Mama Helen? Aduh, kasian, ya, kalau begitu ceritanya. Bisa-bisa nanti yang ini di tinggalin kalau si Vika itu udah sukses dan balik lagi ke sini."

"Keluarga Pak Seno mau aja, ya, anaknya di manfaatkan?"

"Siapa yang bisa nolak, sih, Mama Karen kalau bisa jadi besannya kepala desa? Anak mantunya udah mapan, pekerjaannya dokter, ganteng lagi. Paket komplit itu."

"Tapi kasian, si Andini. Lihat tuh, senyumnya kelihatan kalau terpaksa."

###

Andini memaksakan bibirnya untuk tetap tersenyum saat satu persatu tamu naik ke atas pelaminan untuk mengucapkan selamat pada keluarga dan kedua mempelai.

Sebagian dari mereka terkejut karena melihat pengantinnya berbeda dengan yang tertulis di undangan yang mereka terima. Sebagian yang lain tidak peduli dan langsung mengucapkan selamat untuk Andini dan Angga.

Tiga hari setelah acara akad nikah di rumah Andini, kini gantian di rumah Angga di adakan hajatan besar. Lebih dari seribu tamu undangan datang ke acara ngunduh mantu yang di adakan Hardi. Tidak heran dengan banyaknya tamu yang datang karena Hardi adalah seorang kepala desa.

"Capek, Ndin?" bisik Angga pelan yang di balas anggukan kepala oleh Andini.

"Mau minum?" Andini menggelengkan kepalanya sebagai jawaban.

Yang Andini mau bukan makan atau minum. Tapi Andini mau acara ini cepat berakhir sehingga dia tidak perlu bersandiwara di depan banyak orang seolah dia bahagia dengan pernikahannya.

Bibir dan rahangnya sudah terlalu pegal untuk terus mengukir senyum bahagia tapi palsu di depan para tamu.

Kedua tangannya sudah mulai pegal karena terus terlipat di depan dadanya untuk menyalami tamu yang terus berdatangan.

Kedua lututnya sudah terasa linu ingin segera di tekuk sebentar saja karena terlalu pegal di pakai untuk berdiri.

Pergelangan kakinya sudah mulai terasa panas karena terlalu lama berdiri. Di tambah lagi dengan high heels setinggi tujuh centimeter yang dia kenakan. Semua semakin terasa menyiksa bagi tubuh dan hati Andini.

Bagaimanapun juga, meskipun dia menyayangi Angga, bukan berarti dia menerima pernikahan ini dengan hati yang lapang. Rasa sayangnya untuk Angga hanya sekedar sahabat saja. Bagaimana mungkin bisa berubah menjadi rasa cinta?

***

"Mau kemana?"

Andini tersentak saat mendengar suara serak saat Angga baru bangun dari tidurnya. Waktu masih menunjukkan pukul empat subuh tapi Andini sudah berpenampilan rapi dengan memakai jilbab dan jaket rajutnya.

"Mau pulang." Andini menjawab tanpa melihat Angga.

"Pulang? Ngapain?" Suara Angga terdengar tidak suka dengan keputusan Andini.

Andini menghela napas dalam-dalam. "Aku harus kerja."

"Kerja?" Angga mencoba memastikan bahwa dia tidak salah dengar. Sedangkan Andini tak berniat untuk meyakinkan Angga. "Come on, Andini. Kita baru nikah tiga hari yang lalu dan kamu udah mau kerja? Dan kemarin aja kita baru ada acara ngunduh mantu."

Mata Andini melirik sengit ke arah Angga yang masih tiduran di atas ranjang. "Angga, kamu tahu ini semua mendadak buat aku. Aku cuma dapat ijin dua hari karena aku nggak bisa mengajukan cuti kalau mendadak begini."

"Kenapa nggak bilang dari kemarin-kemarin?"

"Buat apa? Nggak penting juga, kan?" Andini menatap Angga dengan tatapan enggan. "Perasaan aku aja nggak kalian pedulikan apalagi ini hanya urusan pekerjaan. Buang-buang waktu."

Andini langsung mengambil tasnya yang berisi skincare dan make up-nya yang berada di atas meja, lalu keluar dari kamar Angga dan bersiap untuk pulang ke rumahnya.

Namun, saat Andini akan membuka pintu rumah Angga, Wiwin dengan panik menghampiri Andini dan menahan tangan Andini yang akan membuka pintu. "Mau kemana, Nduk, subuh-subuh begini?"

"Mau pulang ke rumah siap-siap buat kerja, budhe, eh, ibu." Andini tersenyum tipis. Merasa canggung untuk memanggil Wiwin dengan sebutan ibu. Biasanya dia memanggilnya dengan sebutan budhe.

Raut wajah Wiwin sama dengan raut wajah Angga saat mendengar bahwa Andini akan kerja hari ini. "Nggak libur dulu, to? Kamu baru saja menikah, Nduk."

Dengan terpaksa, Andini menjelaskan kembali kenapa dia harus bekerja.

"Andini nggak bisa libur terlalu lama, Bu. Dapat ijinnya cuma dua hari karena ini terlalu mendadak. Andini nggak mau kehilangan pekerjaan karena melanggar aturan dari kantor."

Wiwin sebenarnya merasa tidak rela dan tidak setuju kalau Andini harus kembali bekerja hari ini juga. Tapi bagaimanapun juga dia harus tetap menghargai keputusan Andini. Wiwin paham betul Andini sudah merasa tertekan dengan keputusannya untuk meminta Andini agar mau menikah dengan Angga. 

Kurang ajar sekali rasanya kalau masih melarang Andini untuk ini itu. Apalagi ini menyangkut pekerjaan. Jaman sekarang mencari pekerjaan sudah sulit. Sayang kalau di sia-siakan.

"Kalau begitu kenapa malah mau pulang sendiri? Angga mana?"

"Nggak apa-apa. Andini bisa sendiri kok, Bu."

"Eh, jangan!" Wiwin menyahut dengan cepat. "Apa omongan orang-orang nanti kalau tahu kamu pulang sendiri ke rumah orangtua kamu subuh-subuh begini? Nanti malah jadi fitnah. Tunggu, ibu bangunkan si Angga dulu."

Andini membenarkan apa yang di katakan oleh ibu mertuanya. Akan jadi fitnah jika ada yang melihat Andini pulang sendiri di jam subuh seperti ini. 

Biasanya bapak-bapak dan ibu-ibu di desa ini akan berangkat ke masjid. Jadi mungkin tidak sedikit yang akan melihat Andini nanti.

Lima menit menunggu, Angga sudah keluar dari kamar dengan wajah dan rambut yang sedikit basah sisa basuhan air wudhu. "Yuk. Sekalian aku ke masjid. Nanti berangkat kerja aku antar aja, jangan naik motor sendiri."

"Kenapa? Biasanya aku juga naik motor."

"Kalau aku bisa antar kamu kerja, jangan berharap kamu bisa bawa motor sendiri." 

"Tapi, kan_"

"Tidak ada penolakan." Tegas Angga dan langsung melewati Andini begitu saja dan langsung membuka pintu rumahnya.

Setelah Andini berpamitan pada Wiwin, Andini segera mengikuti langkah Angga yang sudah lebih dulu keluar rumah.

Dinginnya udara pagi langsung menerpa wajah Andini. Kedua telapak tangannya mendingin seketika sampai dia harus menggosokkan keduanya untuk mendapatkan kehangatan.

"Dingin banget tangan kamu." Andini tersentak saat tangan besar Angga memegang kedua telapak tangannya yang dia satukan. Terasa hangat di tangannya yang begitu dingin.

Andini tak berniat untuk menjawab. Tak berniat juga untuk melepaskan tangannya dari genggaman Angga. Andini justru sibuk menetralkan detak jantungnya yang berdetak kencang. Tak pernah sebelumnya dirinya dan Angga berada dalam situasi seperti ini.

Jalan berdua di pagi buta dengan udara yang sangat dingin. Kemudian tangannya yang dingin di genggam oleh tangan Angga yang lebih besar dari tangannya dan terasa begitu hangat.

"Ayolah, Andini. Jangan baper!!!" teriak Andini di dalam hatinya.

Untung saja momen itu tidak berlangsung lama. Hampir sepuluh menit jalan kaki, keduanya sudah sampai di depan rumah kedua orangtua Andini. 

Hal yang sama harus dia jelaskan pada kedua orangtuanya saat bertanya kenapa subuh-subuh begini Andini dan Angga sudah ada di depan rumah.

Dan apa yang Andini dengar dari kedua orangtuanya sama dengan apa yang di katakan oleh Wiwin. Dan lagi-lagi tidak ada yang bisa menghentikan keputusan Andini untuk tetap bekerja. 

Entah itu mertuanya, kedua orangtuanya, bahkan Angga yang suaminya sendiri saja tidak bisa menahan Andini untuk tidak masuk kerja terlebih dahulu.

***

"Ciyeee... Pengantin baru."

Andini tidak memperdulikan ucapan Lila, sahabat sekaligus teman kerjanya, yang dengan sedikit berbisik menggoda dirinya.

Memang tidak banyak yang tahu tentang pernikahan Andini selain Lila dan Bu Mawar selaku HRD di kantornya.

Kalau saja Andini tidak memohon agar Bu Mawar tidak mengatakan pada siapapun tentang pernikahannya, pasti sekarang satu kantor sudah menggodanya habis-habisan.

"Udah unboxing belum?" bisik Lila lagi.

Andini melirik tajam pada Lila. "Berisik!"

Bukannya takut, Lila malah cekikikan mendengar ucapan kesal Andini. "Ceritain gimana rasanya, dong."

Andini semakin kesal. Botol minum kesayangan Lila yang dia pegang, dia acungkan pada Lila. "Kalau nggak diam, aku lempar, nih."

"Eh, jangan." Lila mulai panik. "Oke, maaf. Nggak harus botol kesayangan aku juga, dong, yang mau di lempar," ucapnya sambil mengelus botol kesayangan yang dia dapat dari pacarnya yang sekarang sedang bekerja di luar negeri. Lila berhasil merebut botolnya dari tangan Andini.

Giliran Andini yang ingin sekali-kali menggoda Lila. Sebenarnya bukan bentuk godaan yang akan Andini katakan. Tapi Andini ingin tahu, sejauh mana Lila mengetahui kelakuan pacarnya yang ada di jauh sana.

Beberapa minggu yang lalu, Andini melihat story W******p pacar Lila sedang bersama perempuan lain di sebuah kamar hotel.

Mungkin dia lupa mengubah pengaturan privasi sehingga Andini bisa melihat statusnya. Padahal, dia tahu kalau Andini adalah sahabat dekat Lila.

Tapi, paginya dan hari-hari berikutnya bahkan sampai sekarang, Lila baik-baik saja dan seperti tidak ada permasalahan apapun. Firasat Andini mengatakan, Lila belum tahu tentang kelakuan pacarnya. "La, sayang banget sama itu botol. Yakin yang ngasih itu botol setia sama kamu?"

"Ih, ngomongnya." Lila memukul ringan lengan Andini. Terlihat tidak suka sekali dengan apa yang di ucapkan Andini. "Mas Deny pasti setia. Aku percaya itu. Dia bilang dia lagi ngumpulin uang buat nikahin aku tahun depan," lanjut Lila dengan percaya diri, membanggakan pacarnya.

Andini mengangguk saja tanpa berniat mengatakan yang sebenarnya. Dia tidak ada bukti apapun. Hari itu dia lupa tidak meng-screenshoot postingan Deny. Jadi sudah di pastikan, Lila tidak akan percaya pada ucapannya.

Kasian. Pasti Deny menganggap Lila itu perempuan bodoh yang dengan mudahnya percaya dengan Deny. Tapi yang sebenarnya, Deny-lah yang sudah kurang ajar dan tidak punya perasaan mengkhianati wanita sebaik Lila.

***

Kalau biasanya selesai bekerja Andini bisa langsung pulang, kali ini dia harus menunggu di jemput Angga. Sudah sepuluh menit Andini menunggu Angga di depan lobi kantor, tapi Angga belum juga datang.

Andini menghela napas panjang. Dia tidak ingin menghubungi Angga sekedar bertanya dia dimana dan kenapa tidak datang juga.

"Lima menit nggak datang juga, aku pulang sendiri," gumam Andini pelan.

Tapi belum ada lima menit, Angga sudah sampai dan menghentikan mobilnya di depan Andini duduk. Tanpa basa-basi, Andini segera membuka pintu mobil dan segera masuk lalu duduk tanpa menyapa Angga.

"Maaf, aku telat jemput."

"Nggak masalah," jawab Andini dengan cuek lalu membuang tatapannya ke luar jendela.

Angga tersenyum tipis dengan sikap Andini. kemudian Angga mulai menjalankan mobilnya meninggalkan halaman kantor tanpa berniat membuka percakapan dengan Andini yang suasana hatinya belum membaik.

Awalnya, Andini tidak ingin bersuara. Tapi Andini terpaksa membuka mulutnya saat Angga membelokkan mobilnya memasuki sebuah halaman rumah yang lumayan besar.

"Rumah siapa?" tanya Andini.

Angga tersenyum lembut. "Rumah kita."

Jawaban Angga membuat Andini mengerutkan keningnya. "Rumah kita?" tanyanya untuk memastikan bahwa dia tidak salah dengar.

Angga mengangguk pasti sebagai jawaban. "Turun, yuk. Mulai hari ini kita tinggal di sini."

"Hari ini?" Andini memastikan lagi. Dan lagi-lagi di sambut dengan anggukan kepala oleh Angga.

"Barang-barangku masih di rumah_"

"Udah aku bawa ke sini semua, Ndin. Tadi di bantu ibu buat beresin semuanya."

Andini tertawa hambar. "Hidupku sudah mulai di atur orang lain," gumamnya sarkasme. Andini langsung turun dari mobil tanpa menunggu Angga.

Tapi langkahnya terpaksa berhenti mengingat kunci rumah masih di tangan Angga. 

Setelah Angga membuka pintu rumah baru mereka, Angga mempersilahkan Andini untuk masuk ke dalam rumah. "Silahkan, nyonya Angga," ucap Angga dengan sedikit membungkuk mempersilahkan Andini untuk masuk. Mirip seperti seorang pelayan hotel yang mempersilahkan tamunya untuk masuk ke dalam kamar hotel.

Andini melangkahkan kakinya untuk masuk ke dalam rumah. Dia melihat ke seluruh bagian rumah tanpa terlewat sedikitpun.

Rumah berlantai dua yang di dominasi warna mawar merah muda yang dipadu dengan nuansa keemasan. Kesan feminin dapat di ciptakan dari kombinasi warna ini. Sesuai dengan kepribadian Andini seiring usianya yang beranjak dewasa. Berbanding terbalik dengan Andini kecil yang terkesan tomboi.

Sofa beludru berwana merah maroon yang berada di ruang tamu menambah kesan mewah. Di batasi dengan tembok, belakang ruang tamu terdapat ruang keluarga. Ada tv berukuran 50 inchi yang berhadapan dengan sofa yang berwarna senada dengan yang ada di ruang tamu. 

Beberapa koper dan tas besar berisi barang-barang Andini dan Angga berada di sana dan belum sempat di bereskan.

Lalu di samping kiri ruang keluarga, ada satu kamar tamu dan kamar mandi di dalamnya. Samping kanan ada dapur dan meja makan. Lalu di dekat dapur ada kamar mandi dan tempat mencuci baju.

Naik ke lantai dua, di sana ada dua kamar yang saling berhadapan. Di tengah-tengahnya ada ruang keluarga lagi. Juga beberapa alat gym milik Angga yang sudah di pindahkan ke rumah itu dari rumah kedua orangtuanya.

Dalam hati Andini, Andini berdecak kagum dengan rumah yang akan dia tempati bersama Angga. Entah seberapa banyak harta yang di miliki oleh Angga sendiri maupun orangtua Angga yang kini juga menjadi orangtuanya.

"Kamar aku dimana?"

Pertanyaan Andini membuat Angga menatap Andini dengan tatapan bingung. "Kamar kamu?"

Andini mengangguk pasti.

"Maksudnya kita pisah kamar begitu?" tanya Angga dengan ragu.

Andini mengangguk lagi. Tapi kali ini disertai dengan senyuman di wajahnya.

"Yang bener aja dong, Ndin." Angga tidak setuju dengan keputusan Andini yang di ambil secara sepihak.

"Terus kamu maunya kita tidur satu kamar, begitu? Enggak, ya, Ga. Aku nggak mau. Aku tetap mau pisah kamar."

"Sampai kapan?"

Sekarang Andini yang terlihat bingung harus menjawab apa. Iya, sampai kapan dia dan Angga akan pisah kamar? Tepatnya dirinya yang meminta untuk pisah kamar. "Sampai... Aku nggak tahu sampai kapan. Udah, sekarang kamar aku dimana?"

Angga mendesah kecewa. Kekecewaan tercetak jelas di wajahnya. Tapi dia tidak ada pilihan lain selain menuruti keinginan Andini. Mungkin setelah hati Andini membaik, Angga akan mencoba bicara dari hati ke hati dengan Andini.

Dengan terpaksa, Angga menjawab pertanyaan Andini. "Terserah kamu mau pilih yang mana asalkan tetap di lantai dua."

Andini tersenyum senang dan langsung memilih kamar mana yang akan dia tempati.

"Lihat saja nanti, Ndin. Kamu bakalan nggak bisa pisah dari aku." Angga tersenyum penuh arti.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Park Soeun
lanjutannya thor
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status