Adzan subuh berkumandang, Raina yang terus terjaga semalaman membangunkan dirinya pelan-pelan. Tulangnya remuk, badannya hancur. Sakit dirasakan disekujur tubuhnya.
Perlahan dia terduduk dan menoleh ke sisinya. Lelaki yang dicintainya itu tengah tertidur pulas dengan dengkuran halus yang terdengar dari mulutnya. Amar tertidur sambil menghadapnya. Raina menatap lelaki itu dengan sedih. Teman masa kecilnya, cinta pertamanya yang terkenal lembut dan penuh dengan kasih sayang kini telah berubah menjadi lelaki dewasa yang sangat kasar dan kejam. Hanya butuh beberapa jam saja, mereka berdua sudah resmi berpisah karena hari ini adalah hari perceraian mereka. Dengan tertatih Raina keluar dari rumah itu. Rumah yang sudah ditempatinya selama enam bulan. Rumah yang menyimpan banyak kenangan buruk. Sambil menyusuri jalanan yang masih sepi dengan rasa dingin yang menusuk tulang. Raina melangkahkan kakinya tanpa tahu kemana dia akan pergi. Air mata mengalir dari pelupuk matanya yang indah. "Aku tidak ingin melihatmu lagi! Pergi dari sini pada hari perpisahan kita! Jangan sampai aku menemukanmu pada hari itu atau aku akan menghabisimu!" Kejamnya Amar padanya pada beberapa hari yang lalu. Dan Raina menepati janjinya, dia pergi pada hari perpisahan mereka. Meninggalkan semua kenangannya dengan Amar. Raina tak membawa apapun kecuali pakaian dan ponsel yang ia miliki, bahkan uangpun hanya sedikit. Amar tak pernah memberikannya nafkah. Ia mendapatkan uang dari sisa uang belanja yang diberikan oleh Mbok Darti. Itupun ditabungnya, karena ia tahu bahwa hari ini akan datang padanya. Dengan menahan nyeri, Raina menyusuri jalan raya. Tiba-tiba kepalanya begitu berat, pandangannya berubah menjadi gelap.. dan dia kehilangan kesadarannya.. ____________ "Mana Raina?" Tanya Erina. "Sudah pergi," jawab Amar. "Jadi, kamu benar-benar mengusirnya????" "Hmm.." Amar sedang tak mau berdebat. Dia masih duduk terpekur di sofa. "Kamu tega sekali, Amar!!" Pekik Erina sedih. Amar hanya terdiam. Sesekali dia menarik nafasnya untuk mengontrol emosinya. "Kamu tahu dia sudah tidak memiliki siapapun di dunia ini selain kita! Tapi kamu malah menceraikannya untuk alasan yang tidak jelas!" Jika biasanya Amar mampu mendebat, kini dia hanya diam. Hatinya sedang galau, pikirannya juga masih melayang ke Raina. Kemana wanita itu sekarang berada. Erina mendengus kesal. "Mama kecewa sekali padamu, Amar! Kamu berubah!" Erina pergi dari rumah anaknya itu tanpa berpamitan. Dia berencana untuk mencari Raina di sepanjang kota. Raina dan Amar boleh berpisah, tapi Raina akan tetap menjadi tanggung jawabnya sampai akhir. Sesuai dengan janjinya pada Ranti. Baru saja, Erina akan masuk ke dalam mobilnya. Sebuah taksi berhenti di depan perkarangan rumah Amar. Seorang gadis cantik dengan rambut sebahu, memakai kemeja putih ketat dan rok hitam pendek keluar dari taksi tersebut. Wajahnya sangat ceria hingga membuat Erina muak melihatnya. "Selamat siang, tante.." sapa Ditha ramah kepada Erina. Erina membalas sapaan ramah Ditha dengan tatapan tajam seakan menguliti Ditha. 'Beginilah selera Amar sekarang.. jauh sekali dari Raina yang anggun dengan gamis dan hijab panjangnya..' ucap Erina dalam hatinya. Melihat tatapan tak enak dari calon mertuanya, Ditha tetap memamerkan senyum manisnya. "Tante mau pulang?" Tanya Ditha mencoba ramah lagi. "Hmm." Tanpa ba-bi-bu, Erina lalu masuk ke mobilnya dan meninggalkan Ditha. Membuat yang ditinggalkan menggerutu kesal. "Sombong sekali!! Lihat saja jika aku sudah menikah dengan Amar, aku tak akan pernah mengizinkannya untuk bertemu denganmu lagi!!" Ditha lalu masuk ke rumah tersebut dan meluapkan kebahagiaannya kepada Amar yang masih terpekur sedih. Dia memeluk Amar dengan erat sampai Amar harus menepis tangan wanita itu. "Kita harus merayakan hari ini, sayang! Ayo kita jalan-jalan!!" Ucap Ditha bersemangat karena sekarang tak ada lagi saingan untuk mendapatkan hati Amar. "Maaf Ditha, aku sedang tidak mau pergi," jawab Amar lesu. "Kenapa??? Apa karena ibumu tadi kemari?? Pasti dia marah-marah padamu, kan??" Amar tak menjawab. Dia memilih bangkit dari duduknya dan menuju kamar. "Sayang.." panggil Ditha lagi mencoba menyadarkan Amar. Amar menoleh. "Aku ingin istirahat, Dit. Kamu pulanglah dulu. Nanti aku hubungi lagi." Ditha menatap tak percaya ke arah Amar yang sudah masuk ke kamarnya. Tak seperti biasanya. Amar paling suka melarikan diri dari rumah ini untuk bersenang-senang dengannya. Tapi kali ini dia tampak murung sekali. "Ini pasti karena wanita tua itu!!" Gerutu Ditha kesal. Ditha dan Amar. Keduanya saling kenal semenjak menjadi rekan kerja di perusahaan yang sama. Ditha juga mengetahui bahwa saat itu Amar sudah memiliki calon istri. Tapi, ia tak perduli. Dia tetap mendekati Amar walaupun Amar seringkali menolaknya. Karena saat itu rasa cinta Amar kepada Raina masih menggebu-gebu. Namun setelah menikahi Raina, Ditha bisa mengendus hubungan yang tak baik antara kedua orang itu sehingga akhirnya dia mengambil kesempatan itu. Kembali mendekati Amar, memberikan seluruh perhatiannya. Tak perduli dia di cap sebagai pelarian ataupun selingkuhan. Hubungan mereka akhirnya berlanjut selama 3 bulan ini. Amar sering mengajaknya datang ke rumah untuk bermesraan di depan Raina. Dengan senang hati Ditha menunjukkannya. Bahkan dia tak segan ikut memperlakukan Raina seperti pembantu. Singkatnya, Ditha sangat suka sekali melihat Amar menyiksa wanita itu. Sebagai contoh sore itu, ketika keduanya sedang bermesraan sambil menonton televisi. Ditha pura-pura mengaduh bahwa makanan yang dibawakan Ditha sangat pedas. Seolah-olah ingin mengerjai Raina. Hingga akhirnya Raina harus mendapatkan tamparan di pipinya. Perlakuan Amar kepada Ditha membuat wanita itu seperti sedang bermain-main di surga cinta. Tak hanya itu, Amar juga berjanji akan menikahinya 3 bulan setelah ia berpisah dari Raina. Dan saat ini, Ditha menagih janji Amar.. Ia tak sabar lagi menjadi Nyonya Amar, walaupun ia tahu saat ini masih ada satu orang lagi yang menjadi penghalang. Yaitu, ibunya Amar. *** Erina menyelusuri setiap sudut kota berharap mantan menantunya itu ditemukan. Erina merasa bersalah sekali terutama kepada Ranti. "Selanjutnya, kita mau kemana lagi bu?" Tanya Sopir Erina. "Kita ke rumah lama Ranti saja, pak." Perintah Erina. "Baik, bu.." Sang sopir pun memutar mobilnya dan menuju tempat yang dulu di kediami oleh Ranti dan Raina. Tapi sayang sekali, rumah itu sekarang sudah rata dengan tanah. Rumah itu menjadi korban pelebaran jalan raya. "Ya Allah kemana putriku berada?" Isak Erina sedih. Raina yang malang. Kini tak ada yang tahu dimana rimbanya. Rumah kecilnya dulu sudah rata dengan tanah. Dia hidup sebatang kara di dunia ini. Erina menyesali keputusan Amar menceraikan wanita malang itu. Erina sangat yakin, Raina tak pernah berselingkuh seperti dugaan Amar. Erina mengenal wanita itu dengan baik semenjak ia masih kecil. Wanita yang pemalu, lembut dan juga sholehah. "Semoga Allah selalu melindungimu, nak.." do'a kasih teruntai dari mulut Erina. #Next"Aku tidak mau di operasi."Raina menatap Amar dengan penuh kesungguhan. "Kenapa?""Apa mas tidak melihat mereka tadi? Mereka sangat bersedih karena kehilangan bayinya.. dan aku tidak mau itu terjadi padaku..""Raina..." ucap Amar mencoba membujuk Raina."Tidak, mas! Keputusanku sudah bulat. Aku tidak akan dioperasi sampai anak ini lahir!" Ucap Raina tegas dengan mata yang mulai berembun"Raina.. apa yang terjadi pada mereka dan padamu itu berbeda.." jelas Amar."Apanya yang beda, mas?" Tanya Raina sedih."Aku bahkan mengidap penyakit yang lebih parah! Aku tidak mau egosi, mas! Jangan sampai karena ingin menyelamatkanku lalu kita membunuh anak ini! Lagipula hasilnya akan sama saja bagiku!Operasi atau tidak di operasi, aku akan tetap mati!""Raina!" Kata Amar dengan intonasi yang mulai tinggi."Apa kamu sadar yang sudah kamu ucapkan??"
Tak ada yang berubah dari Amar.Hanya saja dia tak mau membebani Raina dengan perasaannya. Apalagi Raina pasti masih merasakan trauma akibat penyiksaan Amar ketika mereka menikah dulu.Oleh karena itu, Amar tak mau egois. Dia tidak ingin memaksakan Raina menerima perasaannya. Baginya, Raina sehat dan bahagia saja sudah cukup. Apalagi sekarang benih yang ditabur Amar dalam perut Raina sudah menginjak 7 bulan.Perhatian Amar juga masih sama saja.Amar rutin mengajak jandanya itu untuk memeriksakan kehamilan. Dia juga setia menemani Raina yang harus mendapatkan transfusi zat besi di rumah sakit.Raina menderita anemia defisiensi zat besi, nutrisi untuk janinnya di serap oleh sang penyakit. Raina sering kelelahan bahkan dua kali sempat jatuh pingsan.Raina terbaring di ranjang observasi sambil menunggu transfusinya selesai.Samar-samar ia kembali melihat wanita paruh baya itu lagi. Kini seperti bersembunyi di balik
Tak ada suara dari ketiganya.Baik Amar, Erlina dan Raina diam membisu selama perjalanan pulang ke rumah. Apa yang mereka dengar hari ini bak petir yang menyambar otak mereka. Terasa sakit dan kosong.Raina terpekur duduk di kursi belakang menatap nanar keluar.Cobaan apalagi ini ?Apakah Tuhan benar-benar menyayanginya sehingga cobaan tak berhenti selalu mendatanginya?Apa ini sebagai ujian untuk menggugurkan dosa-dosanya?Sesampainya di rumah, ketiganya tak banyak bicara dan memilih masuk ke kamar masing-masing. Kecuali Erina yang menyempatkan dirinya mengantar Raina sampai ke kamarnya.Sedangkan Amar, masuk dan mengunci pintu kamarnya.Ia masuk ke kamar mandi dan menghidupkan shower dan menjerit sepuasnya.Air matanya luruh bersama dengan air yang jatuh dari atas kepalanya."Kenapa bukan aku saja, Tuhan??Kenapa Kau tidak hukum aku saja???Aku
Sudah hampir 2 bulan Raina tinggal di rumah ini, ia mulai terbiasa dengan tempat yang ia tinggali.Ia juga tak segan kembali lagi ke dapur walaupun sakit kepala dan mual sering kali menderanya.Seperti hari ini, Raina merasa kepalanya sakit sekali.. tapi ia ingin sekali memasak. Ia ingin memasak donat seperti dulu.Tak butuh waktu lama, Raina dengan cekatan bertempur di dapur membuat donat-donat tersebut.Erina dan mbok Darti pun dengan setia menemani Raina memasak di dapur."Rasanya enak sekali.." puji Erina sambil mencicipi satu donat coklat buatan Raina."Iya bu.. donat mbak Raina rasanya mirip seperti donat yang sering mas Amar beli dulu.." cetus mbok Darti."Oh ya? Amar sering membeli donat?" Tanya Erina tak percaya."Iya bu.. mungkin dua bulan lebih yang lalu lah.. pokoknya mas Amar sering beli donat dan hampir tiap hari. Jumlahnya juga banyak. Kadang sampai 30 donat sampai mbok bi
Raina menyendokkan satu butir bakso kecil ke mulutnya. Rasa hangat dan nikmat melumuri mulutnya, perutnya yang terasa lapar seperti menemukan maksud makanan yang cocok dengan rasa mualnya."Apakah enak?" Tanya Amar yang memperhatikan mantan istrinya itu memakan baksonya dengan perlahan.Raina mengangguk. "Enak, mas."Amar mengajak Raina untuk menyantap semangkuk bakso itu di meja makan saja. Tapi, Amar tetap menjaga jarak aman supaya Raina tak ketakutan."Mas tidak makan?" Tanya Raina pelan ketika ia melihat lelaki di sebrangnya itu hanya diam saja.Amar tersenyum. "Tadi mas sudah makan.."Raina mengangguk dan kembali menyantap makanannya."Apa mualnya masih begitu parah?" Tanya Amar akhirnya."Iya.."Amar ingin bertanya lagi tapi karena mendengar jawaban Raina yang singkat, ia tak mau merusak mood wanita yang dicintainya itu.Raina berhasil mem
Raina tercengang mendengar perintah Wijaya.Lelaki paruh baya itu menginginkan Amar untuk tinggal disini. Satu rumah dengannya.Sebenarnya tak ada yang salah, mengingat Amar juga tuan rumah di rumah ini.Tapi untuk tinggal satu atap lagi dengan lelaki itu?Rasanya Raina belum sanggup..Trauma itu belum hilang..Apalagi keduanya sudah berstatus menjadi mantan suami istri."Tidak apa-apa, pa. Aku tinggal disana saja.." jawab Amar."Lalu bagaimana kamu akan membayar operasional rumah itu? Kamu mau menghabiskan tabunganmu?Pikirkan mengenai listrik, air dan juga perawatan lainnya! Apalagi rumah itu dua kali lebih besar daripada rumah ini.." kata Wijaya dengan tegas."Papa tenang saja, insya Allah dalam waktu dekat aku akan mendapatkan pekerjaan.." jawab Amar mulai merasa tak enak karena papanya menggerutuinya di depan Raina.Raina tertunduk sambil memikirkan sesuat
Erina dan suaminya berhasil membawa Raina kembali ke rumahnya. Entah bagaimana caranya, wanita hamil itu sekarang berada dalam perlindungan mantan mertuanya.Erina juga mengucapkan rasa terima kasihnya kepada Ayu yang sudah menampung dan merawat Raina selama ini.Sebenarnya, Raina menolak untuk tinggal bersama Erina dan Wijaya. Ia terlalu banyak merepotkan. Tapi melihat ketulusan dan kasih sayang yang Erina tunjukkan dan ketegasan Wijaya. Raina tak punya pilihan. Akhirnya ia mengikuti keduanya.Raina tiba di rumah kedua orang tua baik hati itu.Rumah berasitektur belanda. Terlihat sederhana tapi sangat luas.Rumah itu dibuat menanjak seperti bukit ketika akan masuk ke halamannya. Terdapat beberapa pohon yang lebat tertanam di halaman serta taman yang begitu terawat.Dulu, Raina suka sekali duduk di taman itu. Sangat teduh meskipun terik matahari menyapa.Rumah tersebut terdiri dari tiga kama
"Bukan. Ini bukan anakmu!" Ucap Raina tegas.Amar menatap wanita itu dengan kebingungan."Raina....." panggil Amar lembut."Ini bukan anakmu! Ini anak selingkuhanku! Aku hanya wanita kotor dan pezinah."Raina memalingkan wajahnya saat mengatakan hal itu, air mata tak bisa dibendungnya.Amar sangat sedih mendengar ucapan Raina. Ia sama seperti Raina, menahan tangisnya.Perlahan, Amar menarik kursi yang berada di samping tempat tidur dan duduk di samping Raina."Maafkan aku, Raina..." ucap Amar lirih."Aku sudah mengetahui semuanya, Wira sudah menceritakan semuanya padaku..Maafkan kebodohanku saat itu yang tak mempercayaimu.. aku benar-benar menyesal."'Jadi, mas Amar sudah mengetahui kebenarannya?' Ucap Raina dalam hati."Raina.. aku tahu luka yang kuberikan kepadamu begitu dalam.. aku mohon dengan sangat kepadamu tolong maafkan aku..Aku rela ber
Suara gemuruh terdengar kembali dari atas langit. Awan yang menggumpal hitam semakin menunjukkan tanda-tanda tangisan hebatnya."Ayo semuaa bereskan dagangan kalian! Sebentar lagi akan hujan!" Seru pria yang juga merupakan pedagang.Raina membereskan kotak donat terakhirnya dan menaruhnya di sebuah kantong besar.Namun rasa sakit kepala kembali mendera hingga mau tak mau tangannya harus kembali berpegangan kepada meja."Ya Allah.. mampukan aku untuk bertahan.." bisik Raina. Kepalanya benar-benar sakit. Tapi dia harus pergi.Karena saat ini bukan hanya gemuruh, tapi rintik gerimis sudah mulai turun.Dengan tertatih, Raina menyusuri jalan mencari ojek yang biasanya memangkal tak jauh dari taman rekreasi itu."Dimana mereka?"Tempat pangkalan ojek itu tampak kosong. Mungkin karena hujan, mereka mencari tempat yang aman untuk berteduh.Raina memutuskan untuk berjalan