Samar-samar Raina membuka matanya. Bau khas alkohol dan antiseptik bercampur membelai hidungnya.
Tirai putih, suara berisik dari luar menyadarkan dirinya. "Mbak, sudah sadar?" Tanya seorang wanita yang memakai jas dokter. Raina menatap wanita itu dengan nanar. Dimana sekarang dia berada? "Mbak berada di igd rumah sakit. Tadi ada warga yang menemukan mbak pingsan di pinggir jalan. Sesuai kartu identitas, apakah benar nama anda Raina Afifah?" Tanya dokter wanita itu. "Benar dok..," jawab Raina lemah. "Saya sudah memeriksa anda. Tensi anda dan kadar gula darah anda tadi sangat rendah. Oleh karena itu kami memasang infus di tangan anda. Sekarang apakah ada keluhan lainnya?" Raina tampak berpikir sebentar. "Kepala saya sakit sekali dok..," "Baik.. lalu apa lagi?" "Sepertinya itu saja dok.." jawab Raina masih lemah. "Apa saya boleh bertanya lagi, mbak? Apakah mbak baru saja mengalami perampokan? Atau kejadian lainnya? Karena tubuh anda banyak sekali memar.." tanya dokter wanita itu hati-hati. "Tidak ada dok.." ucap Raina. Matanya kembali memerah mengingat bercak-bercak kesakitan pada tubuhnya. "Baik kalau begitu. Saya akan memberikan obat penahan nyeri. Apakah ada keluarga yang bisa dihubungi?" Raina menggeleng. "Tidak ada dok, saya tidak punya keluarga." Dokter wanita itu memandang Raina kembali dengan tatapan curiga. Dia merasa Raina menyembunyikan sesuatu. Tapi, ia tak mau bertanya lebih karena menyangkut privasi pasien. Setelah mendapatkan perawatan di igd, Raina yang merasa lebih baik diperbolehkan untuk pulang. Raina yang tak memiliki arah dan tujuan, akhirnya pergi mengunjungi rumah masa kecilnya yang sudah rata dengan tanah. Raina duduk terlemas melihat pemandangan itu. Air mata kembali mengalir dengan derasnya.. "Ayah.. ibu.. Raina rindu...," lirih Raina. Rumah kecil itu sudah tak ada lagi. Rumah tempat ia berteduh, yang memberikan rasa aman dan nyaman kepadanya. Rumah itu harus digusur karena terkena dampak pelebaran jalan. Apalagi ternyata tanah itu merupakan tanah sengketa yang merupakan milik Pemerintah. Sehingga Raina tak mendapatkan satu sen pun ganti rugi. Dengan langkah gontai, Raina melangkahkan kakinya lagi. Mengikuti jejak kakinya yang akan membawanya entah akan kemana.. Yang Raina tahu, saat ini dia sudah sendirian.. Dia telah dibuang, dihempaskan dan dicampakkan ke dalam lembah kesedihan yang luar biasa. ___________ Dua bulan setelah berpisah... Hubungan Ditha dan Amar bukan lagi jadi rahasia di perusahaan. Apalagi Ditha begitu ugal-ugalan memamerkan Amar sebagai calon suaminya. Sesuai tanggal, mereka akan menikah satu bulan lagi.. Desas desus berkembang di kantor kalau Ditha menjadi orang ketiga dalam hubungan Amar dan mantan istrinya. Tapi semua ditepis oleh Ditha. Bahkan Ditha dengan sengaja mengatakan ke semua orang jika mantan istri Amar lah yang berselingkuh sebelum mereka menikah. Amar terpaksa menikahi wanita itu karena desakan orang tuanya. "Sudahlah, Dit. Kamu gak perlu menceritakan lagi keburukan mantan istriku," ucap Amar gerah. Mereka berdua saat ini sedang makan bersama di kantin kantor. "Kenapa? Bukannya mantan istrimu itu memang buruk?!" "Aku sudah berusaha melupakannya, Dit. Jika kamu terus mengungkitnya sama saja dengan menggoreskan lukaku lagi," jawab Amar tegas. Ditha terdiam mendengar ketegasan Amar. "Baiklah. Maafkan aku..," kata Ditha setengah hati. "Kamu tidak lupa kan, hari ini?" Tanya Ditha mengganti topik pembicaraan mereka. "Apa?" "Kita harus fitting baju pengantin, Amar!!! Apa kamu lupa?" Tanya Ditha geram. "Kamu saja yang fitting. Aku terima saja." Ditha mengernyitkan dahinya. "Lalu cincin kawin kita bagaimana? Kita belum beli, loh.. pokoknya hari ini kamu harus ikut aku fitting terus kita beli cincin kawin!!" "Kamu sajalah.. aku terima apapun pilihanmu." "Amar!!!!!" Bentak Ditha. Amar yang dari tadi hanya mengaduk-ngaduk makanannya sekarang menatap Ditha. "Ada apa denganmu?? Kenapa aku merasa kamu berubah???" "Berubah bagaimana?" Tanya Amar datar. "Iya! Semenjak kamu berpisah dengan mantan istrimu itu sikapmu padaku berubah!!" Ucap Ditha kesal. Amar menarik nafas. "Aku lelah, Dit. Kamu tahu pekerjaanku sangat banyak. Aku harus pulang ke rumah untuk beristirahat." Tangkas Amar. Lelaki itu lalu bangkit meninggalkan kekasihnya yang masih geram dengan perubahan sikapnya. Amar tak perduli. Dia hanya ingin pulang dan beristirahat. Seperti menikmati kesepiannya selama dua bulan terakhir ini *** "Belum tidur, mas?" Tanya mbok Darti lagi untuk kesekian kalinya. Amar terbiasa duduk menghabiskan kopinya sambil membawa laptop di meja makan. Selesai bekerja, dia lalu memandang ke arah sudut dapur yang mengarah ke kamar mandi belakang. Disanalah Raina menghabiskan malamnya beristirahat. Beralaskan kasur tipis untuk merebahkan dirinya. Amar tak mengizinkan dia untuk tidur bersama di kamar mereka. Tak hanya itu, Amar juga tidak memperbolehkan Raina tidur di kamar tamu atau pembantu. Wanita itu boleh tidur di dapur saja. "Sebentar lagi.." "Mas rindu sama mbak Raina, ya?" Tanya mbok Darti begitu berani. Amar menatap pembantunya itu dengan tajam sampai yang ditatap bergidik ngeri. "Tidak." Mbok Darti bernafas lega saat tuannya itu tidak memarahinya. Padahal dia sudah was-was takut membuat Amar marah karena pertanyaannya. Buktinya, Amar langsung pergi ke kamar. Dalam hati Darti, ia merasa lega Raina sudah pergi dari rumah ini mengingat betapa tersiksanya wanita itu karena Amar. Dia masih ingat betul saat Amar menyiram Raina dengan kopi panasnya. Tak hanya itu, Raina juga sering mendapat tamparan karena melakukan sesuatu yang tidak ia lakukan. Dia dituduh mencuri, dituduh bersikap kurang ajar dengan selingkuhan Amar. Tapi di sisi lain Darti juga merasa sedih.. Bagaimana kabar Raina sekarang? Dimana dia tinggal? Raina kan seorang diri di dunia ini. Dia pasti sangat kesepian. *** Dengan rasa jengkel dan kecewa, Ditha pergi fitting sendirian dan dilanjutkan mencari cincin pernikahan di sebuah toko emas yang ada di sebuah pusat perbelanjaan. "Sendirian aja, calon suaminya mana?" Tanya seorang wanita khas dengan suara manjanya. Ditha menoleh ke arah wanita itu. Siapa lagi kalau bukan Aurellie! Saingan Ditha untuk mendapatkan perhatian Amar sebelum Amar menikahi Raina. Aurellie dulunya bekerja di perusahaan yang sama dengan Amar dan Ditha. Namun karena dia sangat problematik, Aurellie ditendang dari perusahaan. Dan siapa lagi kalau bukan ulah Ditha. "Hmm.." desis Ditha sinis. "Ada.. dia sedang membelikan minuman.." jawab Ditha berbohong. "Oh!!" Ucap Aurellie sambil menaikan salah satu alisnya. "Kau tidak mau mengucapkan selamat padaku? Sebentar lagi aku akan resmi menjadi Nyonya Amar.." Giliran Aurellie yang tersenyum sinis. "Kenapa aku harus melakukan itu?" "Ya.. karena aku adalah pemenang sesungguhnya." Ucap Ditha bangga. "Kau ingat waktu itu, ketika kau sangat yakin bahwa Amar akan menjadi milikmu???!! Nyatanya dia malah menikahi si culun Raina. Tapi ujung-ujungnya, Amar tetap melabuhkan hatinya kepadaku, kan???" "Hahahahaha!!" Aurellie tertawa keras. "Melabuhkan hatinya padamu?? Ya.. ya.. ya.. mungkin iya.. tapi apa pernah Amar melakukan hal lebih kepadamu??" Ditha menaikkan salah satu alisnya. "Melakukan hal lebih maksudmu?" "Hal lebih!! Masa kau tak tahu?" Goda Aurellie. "Jangan macam-macam, Aurel! Katakan saja apa maksudmu!!" Ucap Ditha mulai kesal. Aurellie tersenyum melihat kemarahan Ditha. Dia lalu membuka ponselnya dan menunjukkan sebuah foto kepada wanita itu. "Apa kamu ingat ini? Kejadiannya sekitar 5 bulan yang lalu.. saat kita sedang bekerja di Bali." Ditha menatap foto itu dengan keterkejutan yang luar biasa. "Aku kasihan padamu, Ditha.. sepertinya kau tidak akan menikah dengan Amar. Karena akulah yang akan menjadi istrinya.." kata Aurellie puas. Senyumnya mengembang di wajah tirusnya. "Beraninya.. Kau!!!" Hardik Ditha. Ditha lalu memberikan ponsel tersebut dengan kasar kepada Aurellie. Hatinya terasa panas. Saat ini tujuannya hanyalah satu. Menemui Amar dan meminta penjelasan kepadanya. #NextRaina meletakan satu nampan berisi dua porsi nasi dan ayam goreng lengkap dengan cola dan kentang goreng. Tak lupa eskrim coklat dengan taburan kacang sebagai makanan penutup untuk Sierra."Ma.." "Ya, sayang?"Sierra terlihat ragu. Perlukah dia mengatakan apa yang ia lihat tadi."Ada apa?" Tanya Raina tahu jika anaknya ingin mengatakan sesuatu."Nggak apa-apa." Jawab Sierra. Remaja ini mengambil makanannya. "Cuma sedih karena mbak Amara gak ikut kita makan siang disini."Mendengar itu Raina jadi tersenyum. "Mbakmu lagi sibuk persiapan olimpiade, sayang. Jangan kecil hati."Sierra hanya mengangguk.Raina mengambil ponselnya. Dia jadi ingat tentang Amara yang tak jadi ia jemput. Raina menelpon Amara. Pada panggilan kedua barulah terdengar suara di sebrang sana."Sudah dimana? Sudah sampai rumah?" Tanya Raina langsung. Dia tahu karena Amara tadi bilang pulang dengan ojek online."Lagi di jalan, ma."Terdengar suara bising juga klakson."Hati-hati, sayang.. sampai ketemu di rumah.""Iy
Amara terkejut. Dua lelaki dewasa memanggilnya. Galih berdiri di gerbang sekolah dengan senyum manisnya serta Amar yang mengejar dari belakang dengan muka masamnya.Seketika Amara membeku, dia takut. Bagaimana jika Amar benar-benar ingin bertemu dengan Galih. Walau dia merasa tak melakukan kesalahan, entah kenapa ada rasa tidak suka jika ayahnya itu bertatap muka dengan guru idamannya.Dering ponsel berbunyi. Amar menghentikan langkah dan mengambil ponsel yang ada di sakunya.Raina menelpon."Ya, sayang?" Amar masih memandang putrinya yang berdiri disana.Pas sekali bel sekolah berbunyi. Amara langsung berlari masuk ke gerbang sekolah sebelum ditutup. Galih sendiri sudah masuk terlebih dahulu."Aku akan kesana." Amar mematikan ponsel dengan mata yang tetap awas memperhatikan Amara lebih jauh. Anak sulungnya tampak berlarian masuk ke area sekolah."Lain kali saja." Amar menghela nafas.Niatnya tadi ingin menegur sikap Amara yang keterlaluan. Sekalian ingin bertemu dengan guru yang ber
Satu minggu berlalu, hubungan Amara dan Galih semakin dekat. Tiada hari tanpa bertemu. Setelah jam pelajaran usai, maka waktu menjadi milik mereka.Amara juga selalu mencari cara agar bisa menarik perhatian pak guru yang tampan itu. Seperti bertanya mengenai soal yang rumit dan sulit dipecahkan atau masalah yang lain. Karena semangat belajar, Amara jadi lebih berani memoles pewarna bibir di bibirnya yang merekah. Sungguh Amara kini tengah menikmati gemuruh perasaan di hatinya yang berbunga.Walau dia tahu ini salah karena menyukai gurunya sendiri. Tapi ia tak perduli. Toh, ini hanya sekedar perasaan suka saja. Tidak lebih. Amara cukup tahu diri.Satu minggu terlewati, begitu juga dengan Sierra yang tengah gugup karena akan melewati hari besarnya. Dua hari lagi dia akan lomba tilawah tingkat kota. Seluruh persiapan sudah dia lakukan. Menyiapkan stamina yang cukup agar tampil fit saat lomba nanti. Dia juga mampu menciptakan variasi nada untuk bisa memenangkan lomba ini."Tapi, hari min
FlashbackPetir menggelegar merendakan sore ini. Langit yang berubah menjadi gelap pertanda akan meluapkan hujan yang lebat.Mbok Darti menutup seluruh pintu dan jendela."Kayaknya mau hujan lebat, mbak.." serunya dari luar.Raina menatap arah luar sebelum pintu ditutup rapat. "Gelap banget, mbok.." Raina tiba-tiba merasa cemas. Suaminya belum pulang. Hari sudah pukul 4 sore tapi langit sudah gelap. Cuaca begitu mencekam.Untunglah 10 menit kemudian Amar pulang ke rumah di tengah langit yang bergemuruh.Tak lama, hujan lebat mengguyur membasahi bumi. Menyebabkan luapan banjir di dataran yang rendah.Sudah dua jam hujan tidak berhenti. Hingga akhirnya suara dentuman yang besar terdengar membuat Raina terpekik sambil menutupi telinganya.Lampu menjadi padam."Mbok Darti.." panggil Raina. Dia sedang seorang diri di dapur ingin menyiapkan makan malam. Amar berlari memeluk istri
Sierra menoleh ketika pintu diketuk. Ternyata Raina yang sudah berdiri di depan pintu yang tidak tertutup rapat."Boleh masuk, sayang?" Tanya Raina lembut.Sierra tersenyum. "Boleh, ma." Sierra menutup buku yang sedang ia baca di meja belajarnya dan menatap ibunya yang baru saja masuk.Raina sangat suka kamar Sierra. Kamarnya tidak lebih luas dari kamar Amara. Mungkin hanya setengahnya. Tapi, Sierra sangat pintar menata kamarnya. Begitu rapi dan bersih.Tempat tidur berukuran satu orang berada di sudut ruangan. Lemari pakaian terletak di sebrangnya dengan meja belajar. Buku juga tertata rapi dengan rak gantung yang ada di dinding.Tak banya barang di ruangan ini hingga membuat ruangan ini terkesan luas."Sedang belajar?""Iya, ma." Jawab Sierra ikut tersenyum."Jangan pernah merasa kecil hati, sayang. Papa dan mama tidak pernah membedakanmu.." ucap Raina lembut."Sierra gak
"Amara Putri Wijaya."Suara itu dengan lantang berkumandang di penjuru sekolah. Semua orang berkumpul menyaksikan pemenang dari pemilihan Putri Sekolah tahun ini.Tak hanya mengandalkan kecantikan fisik, tapi juga kecerdasan dan tata krama kesopanan.Amara naik ke panggung setelah namanya disembut. Tampil dengan senyum menawan menghampiri kepala sekolah yang sudah siap membawa selempang.Selempang itu dikalungkan pada tubuh Amara. Begitu juga mahkota kecil yang tersemat di atas kepala yang terlapis hijab putih itu.Amara Putri Wijaya. Siswi tingkat 2 menengah atas telah berhasil mengukuhkan dirinya sebagai Putri Sekolah. Sebuah gelar yang didambakan oleh para siswi yang bersekolah di sekolah elit disana."Selamat Amara.." Amara tersenyum. Riuh penonton yang terdiri dari para siswa dan juga memberikan tepukan padanya."Dreams come true ya, Mar." Anita menempel pada Amara ketika gadis itu suda