Raina bangun sebelum subuh. Mandi, sholat dan menyibukkan diri di dapur.
Tak lama Mbok Darti ikut terbangun dan nampak terkejut kenapa pengantin baru malah sibuk pagi-pagi di dapur. Asal dia tahu saja pengantin baru ini malah tidur sendirian semalam."Sudah bangun, sayang.."Erina juga ikut muncul.Raina melihat jam dinding ternyata sudah pukul 06 pagi.Raina tersenyum. "Iya, ma."Raina lalu menghidangkan sarapan di meja makan. Tidak ada yang istimewa. Hanya nasi goreng komplit saja.Raina juga merasa dari tadi Erina memperhatikannya. "Ada apa, ma?"Erina menggeleng tapi wajahnya tersipu. Tak tahu apa yang sedang dipikirkannya.Tak lama Amar muncul, dengan tampilan kaus putih dengan celana panjang. Tubuhnya segar terlihat dari rambutnya yang basah. Makin tersenyum saja Erina melihatnya."Sarapan dulu, mas." Tegur Raina karena Amar langsung berbalik saja tadi ketika melihSenin sampai Jum'at bekerja maka weekend Amar milik keluarganya seutuhnya. Tak ada lagi Amar yang gila kerja atau selalu mencari alasan untuk meninggalkan rumah.Secepat mungkin dia selalu pulang, menjemput kekasih hatinya dan menghabiskan waktu bersama keluarga kecilnya.Tiada hari minggu yang dilewatkan tanpa pergi keluar. Ah, ini seperti balas dendam karena Amara selama ini tak mengenal apa itu dunia luar, bagaimana serunya bermain di wahana permainan anak-anak, berinteraksi dengan teman sebayanya serta membeli mainan yang disukainya."Mas.. ini kamar bukan toko mainan."Amar terkeleh geli. "Iya tahu..""Baru minggu kemarin Amara beli mainan.." protes Raina.Tapi Amar dan Amara terlihat tak perduli sampai Raina harus geleng-geleng kepala. Jika keduanya sudah bersama maka tak ada yang bisa mencegahnya.Mainan sudah bertumpuk di kamar Amara. Lebih mirip toko mainan dibanding kamar tidur.Buk
Raina menggigil kedinginan. Angin laut ini begitu dingin menusuk hingga ke tulangnya. Padahal tadinya Amar ingin mengajak istrinya itu berwisata tapi diurungkan niatnya.Mereka pun memutuskan untuk pulang."Aku sudah memesan jeruk hangat untukmu." Amar memberikan segelas jeruk hangat untuk istrinya."Minumlah dulu.""Terima kasih." Dengan perlahan Raina menyesap jeruk hangat itu."Apa lagi yang terasa?"Raina menggeleng. "Cuma mau flu aja kayaknya, mas.""Ya sudah istirahatlah."Raina berbaring diikuti oleh Amar disampingnya."Jam berapa kita pulang besok, mas?" Tanya Raina sambil merebahkan dirinya."Agak siang aja." Amar sibuk memperhatikan gambar dari galeri ponselnya. Raina mengernyitkan dahinya. Ternyata Amara yang sedang mengalihkan perhatian Amar darinya."Gak kerasa dia udah tiga tahun."Raina tersenyum. "Bena
"Hah?"Raina terperangah mendengar kata-kata yang keluar dari mulut Amar."Iya, Pacaran." Ucap Amar lagi dengan penuh penekanan.Amar menggenggam erat tangan Raina dan kembali membimbingnya berjalan di sepanjang bibir pantai."Cepet banget." Gumam Raina.Padahal belum ada satu jam mereka memutuskan untuk mengulang semuanya dari awal dengan berteman. Tapi tiba-tiba Amar menaikan status mereka."Bukannya dosa ya kalau pacaran sambil pegang-pegang tangan?" Jebak Raina."Kita kan pacaran halal. Pacaran setelah menikah." Amar mengulum senyumnya.Raina memalingkan wajahnya. Dia tersipu. Terserahlah Amar mau menganggap status mereka apa. Raina terima saja. Yang penting Amar senang.Amar lalu membawa Raina duduk di bawah pohon tak jauh dari bibir pantai. Menikmati sinar matahari yang mulai meninggi. Ada untungnya tak mengajak Amara, jadi mereka bisa mengambil waktu untuk berdu
"Aku mau keluar!!" Raina memakai hijab dan mengambil tasnya. Ia melangkahkan kakinya menuju pintu kamar."Raina.." tegur Amar. "Tadi kamu bilang mau istirahat.""Aku mau cari udara segar.""Tunggu. Aku ikut." Amar segera bangun dari tempat tidur."Nggak usah. Aku mau pergi sendiri." Ketus Raina"Raina.." tegur Amar lembut. Ia tahu kalau suasana hati istrinya sedang tidak baik.Raina berbalik menatap Amar yang juga menatapnya. Ada rasa marah di balik tatapan mata itu. Emosi membuncah di dada Raina. Sebenarnya Amar tahu tidak sih kalau dia sedang kesal saat ini."Aku tahu kamu marah. Tidak baik kamu keluar dalam keadaan seperti itu." Amar menasihati."Aku benci padamu." Ucap Raina. Dia lalu keluar dan membanting pintu agak keras.Tersentak Amar karena ucapan Raina. Sakit sekali rasanya. Kata benci itu keluar juga dari mulut manisnya.Amar terduduk
"Izin lagi? Mau kemana?" Tanya Dini.Raina jadi tak enak hati. Rasanya menyesal mengatakan ini ke Dini. Dia terlalu banyak merepotkan pemilik toko bunga ini."Mas Amar ngajak ke Palembang. Di resto lagi sedikit ada masalah, mbak. Jadi mereka mau banding dan belajar rasa dengan restoran yang ada disana." Jawab Raina jujur."Ooo begitu.." Dini mengangguk. Kurang lebih dia memahami apa yang terjadi pada bisnis Amar karena dia juga berkecimpung di dunia bisnis."Tapi kalau gak diizinkan gak apa kok, mbak. Aku juga gak enak merepotkan mbak terus." Ucap Raina merasa bersalah Mendengar itu si Dini malah tertawa. "Ku izinkan. Tapi, ingat! Ini yang terakhir ya, Raina." Tegas Dini dengan penyampaian yang lembut. "Rencana berapa hari?"Raina tersenyum. "Mungkin sekitar tiga hari." Ya Raina tak akan cerita kalau mereka sekalian jalan-jalan ke Lampung."Kalian pergi berdua aja? Atau ajak Amara?" En
Amara sudah terlebih dulu berlayar ke pulau mimpi dengan dijaga oleh dua malaikat tanpa sayap di sisi kanan dan kirinya.Keduanya masih setia melakukan perintah Amara meski gadis kecil itu sudah tertidur lelap.Raina masih mendekatkan kepalanya di tubuh anaknya itu sambil memandangi dada anak yang ia tepuk dengan penuh kasih sayang. Sedang Amar membenamkan wajahnya ditengah bantal dengan tangan yang sedang mengelus pucuk kepala anaknya.Amar mengintip dari selipan bantalnya. Ya, mata Raina ikut terpejam. Tapi tangannya masih bergerak. Sampai akhirnya tangan itu melambat dan berhenti di atas dada Amara.Kepala Amar tegak kembali, dengan jelas dia melihat kedua wajah itu. Dua perempuan yang sangat ia cintai. Raina ikut pergi ke pulau mimpi mengikuti Amara Tiba-tiba saja Amar mendapatkan kekuatan. Tangannya terayun ke udara untuk membelai pucuk kepala wanita yang ada disebrang sana.Rambut halus dan wangi samphoo itu membelai