"Kenapa?" Tanya Aurellie kepada Amar yang terus memegang kepalanya.
Amar baru saja terbangun dari tidurnya. Kepalanya masih sangat berat bak dihantam batu. "Kepalaku sakit, aku harus ke dokter.." ucap Amar sambil menahan nyeri. Amar membuka selimutnya dan ia terkejut dengan tubuhnya yang polos tak memakai apapun. Tapi karena sakit kepala yang benar-benar dirasakannya. Dia tak perduli. Pikirannya saat ini harus ke rumah sakit dan bertemu dokter. "Bodoh!!" Kutuk Amar setelah ia mengingat semuanya. "Kenapa aku sama sekali tidak mencurigai semuanya? Aku berada dalam satu kamar yang sama dengan Aurel malam itu.. tapi aku tak mengingat apapun! Yang aku ingat hanya sakit kepala saja!" Amar merasa dirinya pasti sudah dijebak oleh wanita bersuara manja itu. Selama ini ia teralihkan karena urusannya dengan Raina. Masalah itu tertutupi karena kebenciannya yang amat sangat dengan Raina. Kini setelah Raina pergi.. Aurellie datang kembali.. Menyibakkan masa lalunya yang kelam dan mencoba menghancurkan kehidupannya. *** Aurellie tidak main-main dengan ancamannya. Setelah memberikan waktu selama tiga hari kepada Amar, ia kehilangan kesabarannya. "Apa yang terjadi, Amar? Apa benar tuduhan wanita itu?" Tanya Erina tak percaya. "Pelecehan seksual? Apa itu benar?" Kini Wijaya yang ikut bertanya kepadanya. "Entahlah. Aku rasa wanita itu berusaha menjebakku.." jawab Amar. "Menjebakmu bagaimana? Apa maksudmu kau membenarkan semua tuduhan wanita itu???" Tanya Wijaya lagi. "Aku tidak ingat apa-apa pada malam kejadian itu, pa. Yang aku ingat kami berada dalam satu kamar yang sama. Tapi karena saat itu kepalaku sangat sakit, jadi aku tak ingat untuk mengacuhkannya. Aku yakin aku sudah dijebak." Jelas Amar. "Dijebak seperti apa maksudmu?" "Aku rasa dia memberikan sesuatu di minumanku.. karena aku merasa tidak sadar setelah itu." "Apa kamu punya bukti?" Kini Erina ikut bersuara. "Itu masalahnya!" Ucap Amar kesal. Erina hanya mengelus dadanya. Cobaan apalagi kini yang menimpanya. "Siapkan pengacara terbaik kita! Mari kita lawan dia jika memang kamu merasa dijebak!" Tegas Wijaya. Berbeda hal dengan Erina dan Wijaya yang mendukung Amar. Ditha malah sibuk menyalahkan Amar. "Ternyata kamu tak sebaik yang aku kira, Amar!! Kamu sama bajingannya dengan lelaki lain di luar sana!" Amar mendengus kesal. "Ditha.. saat ini yang aku butuhkan adalah kepercayaan dan dukungan dari orang terdekatku! Tapi kamu malah ikut menyalahkanku!" "Lalu aku harus bagaimana? Semua bukti mengarah kepadamu!!! Hasil visum wanita itu sudah keluar! Dia bahkan sudah memberikan bukti foto-foto kalian! Tak hanya itu, Amar.. dia juga sudah menyiapkan saksi. Dan saksinya adalah teman sekantor kita!!" Bentak Ditha. "Dan kamu percaya?" "Apa ada alasan untuk tidak percaya?" "Baiklah! Kalau begitu kamu boleh pergi dari sini. Aku tidak membutuhkanmu.." ucap Amar kesal. Dia lalu meninggalkan Ditha begitu saja. Saat ini yang ia butuhkan hanya dukungan. Tapi yang ia dengar dari calon istrinya hanya bentakan dan umpatan. Beberapa hari kemudian, Amar akhirnya memenuhi panggilan kepolisian. Dia di introgasi hampir 6 jam. Semua bukti mengarah kepadanya. "Siapkan pengacara terbaikmu, Amar! Karena sekarang kau tidak bisa mengelak lagi!" Gertak Aurellie. "Apa maumu, Aurel?" Sinis Amar. "Sudah kubilang. Sederhana. Aku mau kau bertanggung jawab atas perbuatanmu kepadaku." Amar menepis pandangannya ke arah lain. "Tidak akan pernah!! Kau telah menjebakku, Aurel. Aku yakin itu.." "Kalau begitu buktikanlah kalau aku yang menjebakmu!" Tantang Aurellie. Ternyata melawan Aurellie tak semudah yang dibayangkan. Bukti-bukti yang ada sangat kuat hingga membuat status Amar naik menjadi tersangka kasus pelecehan seksual. Amar akhirnya dipaksa untuk mempertanggung jawabkan perbuatannya dengan cara yang lain. Kedua orang tua dan pengacaranya sudah berusaha dengan keras melepaskan jeratan hukum yang mencengkram Amar. Tapi sia-sia, kehadiran ketiga saksi yang juga merupakan teman kerja Amar itu malah memberatkan Amar. Mereka memberikan kesaksian jika Amar lah yang terlebih dahulu menggoda Aurellie. Amar kembali dibawa ke sebuah ruangan tertutup. Amar sudah pasrah saja karena saat ini dia sudah resmi menjadi tahanan di tempat ini. Pintu dibuka oleh seseorang. Seorang pria yang menggunakan jaket kulit hitam dengan kaos hitam didalamnya. Amar menyipitkan matanya saat melihat pria itu. "Kau..." bisiknya pelan. "Selamat siang, pak Amar." Kini pria berjaket kulit itu duduk di depannya. Sedangkan Amar masih tak percaya dengan apa yang ia lihat. Nama pria itu adalah Wira. Salah satu anggota kepolisian yang betugas di kantor tersebut. Saat pertama kali menangani kasus Amar, Wira merasa ada yang janggal. Oleh karena itu dia bermaksud menggali lebih dalam pernyataan Amar jika memang lelaki itu terbukti tak bersalah. "Tidak usah repot-repot membantu saya," tolak Amar sambil menatap tajam ke arah Wira. "Bukannya anda mengatakan jika anda merasa dijebak? Oleh karena itu saya disini. Saya ingin mendengar kisah lengkapnya." "Semuanya sudah saya ceritakan. Tapi, sepertinya tidak ada gunanya. Karena kalian lebih percaya wanita itu dibanding saya." "Itu karena bukti-bukti sudah mengarah ke anda, pak Amar. Jika anda punya bukti yang lain dan bisa menguatkan posisi anda, saya bisa membantu." "Membantu?" Desis Amar sinis kepada lelaki itu. "Membantu seperti apa? Bukannya kalian semua sama saja! Seragam yang kalian pakai hanya untuk menutupi keburukan kinerja kalian." Wira menghembuskan nafasnya dan menatap Amar dengan tatapan yang sulit di artikan. Pria muda ini begitu keras kepala. Padahal niat hati Wira sangatlah baik. "Saya sudah bertahun-tahun berkecimpung di urusan seperti ini, pak Amar.. Saya merasa ada yang janggal dari kasus yang sedang anda hadapi. Saya bisa melihat ada batas yang tak kasat mata yang bisa menjadi benang merah dalam kasus Anda." Jelas Wira lagi. "Memang kasus seperti apa yang sering anda hadapi?" "Kasus-kasus seperti ini. Khususnya kasus pelecehan seksual." "Bukan kasus perselingkuhan?" Tanya Amar sinis sampai membuat Wira menatapnya dengan bingung. "Maksud anda?" "Sebaiknya, sebelum anda menyelidiki kasus orang lain. Anda lihat saja diri anda terlebih dahulu.. dengan mudahnya anda membawa wanita ke dalam hotel dan mengurungnya selama berjam-jam disana." "Langsung saja ke intinya, maksud anda apa?" Punggung Amar yang direbahkan di kursi kini maju mendekatkan diri ke lelaki yang ada di depannya. "Ada hubungan apa antara anda dan mantan istri saya, Raina??" Bisik Amar dingin dengan tatapan kebencian yang luar biasa. Benar! Lelaki ini adalah lelaki yang dilihatnya telah membawa Raina ke dalam kamar hotel dan mengurung wanita itu 2 jam lamanya. "Raina???" Wira mengernyitkan dahinya seolah bingung dengan pertanyaan Amar. "Betul. Anda berselingkuh dengan mantan istri saya. Tepat dua minggu sebelum kami menikah." Deg! Kini Wira mengingat wanita yang bernama Raina itu. Dan ternyata lelaki yang didepannya ini adalah lelaki yang dicintai oleh Raina. "Anda sudah salah paham, pak Amar.. Bagaimana bisa saya berselingkuh sedangkan saya sudah memiliki anak dan istri?" Ucap Wira dengan ketenangan yang luar biasa. Kini giliran Amar yang bingung. Ternyata Wira sudah memiliki anak dan istri. Lalu untuk apa dia membawa Raina ke hotel sore itu? Kedua lelaki yang terpaut usia itu kini saling bertatapan. Amar menatapnya dengan pertanyaan yang luar biasa banyaknya... Dan Wira menatapnya dengan tatapan tajam, seolah ingin menjawab seluruh pertanyaan Amar.. #Bersambung"Aku tidak mau di operasi."Raina menatap Amar dengan penuh kesungguhan. "Kenapa?""Apa mas tidak melihat mereka tadi? Mereka sangat bersedih karena kehilangan bayinya.. dan aku tidak mau itu terjadi padaku..""Raina..." ucap Amar mencoba membujuk Raina."Tidak, mas! Keputusanku sudah bulat. Aku tidak akan dioperasi sampai anak ini lahir!" Ucap Raina tegas dengan mata yang mulai berembun"Raina.. apa yang terjadi pada mereka dan padamu itu berbeda.." jelas Amar."Apanya yang beda, mas?" Tanya Raina sedih."Aku bahkan mengidap penyakit yang lebih parah! Aku tidak mau egosi, mas! Jangan sampai karena ingin menyelamatkanku lalu kita membunuh anak ini! Lagipula hasilnya akan sama saja bagiku!Operasi atau tidak di operasi, aku akan tetap mati!""Raina!" Kata Amar dengan intonasi yang mulai tinggi."Apa kamu sadar yang sudah kamu ucapkan??"
Tak ada yang berubah dari Amar.Hanya saja dia tak mau membebani Raina dengan perasaannya. Apalagi Raina pasti masih merasakan trauma akibat penyiksaan Amar ketika mereka menikah dulu.Oleh karena itu, Amar tak mau egois. Dia tidak ingin memaksakan Raina menerima perasaannya. Baginya, Raina sehat dan bahagia saja sudah cukup. Apalagi sekarang benih yang ditabur Amar dalam perut Raina sudah menginjak 7 bulan.Perhatian Amar juga masih sama saja.Amar rutin mengajak jandanya itu untuk memeriksakan kehamilan. Dia juga setia menemani Raina yang harus mendapatkan transfusi zat besi di rumah sakit.Raina menderita anemia defisiensi zat besi, nutrisi untuk janinnya di serap oleh sang penyakit. Raina sering kelelahan bahkan dua kali sempat jatuh pingsan.Raina terbaring di ranjang observasi sambil menunggu transfusinya selesai.Samar-samar ia kembali melihat wanita paruh baya itu lagi. Kini seperti bersembunyi di balik
Tak ada suara dari ketiganya.Baik Amar, Erlina dan Raina diam membisu selama perjalanan pulang ke rumah. Apa yang mereka dengar hari ini bak petir yang menyambar otak mereka. Terasa sakit dan kosong.Raina terpekur duduk di kursi belakang menatap nanar keluar.Cobaan apalagi ini ?Apakah Tuhan benar-benar menyayanginya sehingga cobaan tak berhenti selalu mendatanginya?Apa ini sebagai ujian untuk menggugurkan dosa-dosanya?Sesampainya di rumah, ketiganya tak banyak bicara dan memilih masuk ke kamar masing-masing. Kecuali Erina yang menyempatkan dirinya mengantar Raina sampai ke kamarnya.Sedangkan Amar, masuk dan mengunci pintu kamarnya.Ia masuk ke kamar mandi dan menghidupkan shower dan menjerit sepuasnya.Air matanya luruh bersama dengan air yang jatuh dari atas kepalanya."Kenapa bukan aku saja, Tuhan??Kenapa Kau tidak hukum aku saja???Aku
Sudah hampir 2 bulan Raina tinggal di rumah ini, ia mulai terbiasa dengan tempat yang ia tinggali.Ia juga tak segan kembali lagi ke dapur walaupun sakit kepala dan mual sering kali menderanya.Seperti hari ini, Raina merasa kepalanya sakit sekali.. tapi ia ingin sekali memasak. Ia ingin memasak donat seperti dulu.Tak butuh waktu lama, Raina dengan cekatan bertempur di dapur membuat donat-donat tersebut.Erina dan mbok Darti pun dengan setia menemani Raina memasak di dapur."Rasanya enak sekali.." puji Erina sambil mencicipi satu donat coklat buatan Raina."Iya bu.. donat mbak Raina rasanya mirip seperti donat yang sering mas Amar beli dulu.." cetus mbok Darti."Oh ya? Amar sering membeli donat?" Tanya Erina tak percaya."Iya bu.. mungkin dua bulan lebih yang lalu lah.. pokoknya mas Amar sering beli donat dan hampir tiap hari. Jumlahnya juga banyak. Kadang sampai 30 donat sampai mbok bi
Raina menyendokkan satu butir bakso kecil ke mulutnya. Rasa hangat dan nikmat melumuri mulutnya, perutnya yang terasa lapar seperti menemukan maksud makanan yang cocok dengan rasa mualnya."Apakah enak?" Tanya Amar yang memperhatikan mantan istrinya itu memakan baksonya dengan perlahan.Raina mengangguk. "Enak, mas."Amar mengajak Raina untuk menyantap semangkuk bakso itu di meja makan saja. Tapi, Amar tetap menjaga jarak aman supaya Raina tak ketakutan."Mas tidak makan?" Tanya Raina pelan ketika ia melihat lelaki di sebrangnya itu hanya diam saja.Amar tersenyum. "Tadi mas sudah makan.."Raina mengangguk dan kembali menyantap makanannya."Apa mualnya masih begitu parah?" Tanya Amar akhirnya."Iya.."Amar ingin bertanya lagi tapi karena mendengar jawaban Raina yang singkat, ia tak mau merusak mood wanita yang dicintainya itu.Raina berhasil mem
Raina tercengang mendengar perintah Wijaya.Lelaki paruh baya itu menginginkan Amar untuk tinggal disini. Satu rumah dengannya.Sebenarnya tak ada yang salah, mengingat Amar juga tuan rumah di rumah ini.Tapi untuk tinggal satu atap lagi dengan lelaki itu?Rasanya Raina belum sanggup..Trauma itu belum hilang..Apalagi keduanya sudah berstatus menjadi mantan suami istri."Tidak apa-apa, pa. Aku tinggal disana saja.." jawab Amar."Lalu bagaimana kamu akan membayar operasional rumah itu? Kamu mau menghabiskan tabunganmu?Pikirkan mengenai listrik, air dan juga perawatan lainnya! Apalagi rumah itu dua kali lebih besar daripada rumah ini.." kata Wijaya dengan tegas."Papa tenang saja, insya Allah dalam waktu dekat aku akan mendapatkan pekerjaan.." jawab Amar mulai merasa tak enak karena papanya menggerutuinya di depan Raina.Raina tertunduk sambil memikirkan sesuat
Erina dan suaminya berhasil membawa Raina kembali ke rumahnya. Entah bagaimana caranya, wanita hamil itu sekarang berada dalam perlindungan mantan mertuanya.Erina juga mengucapkan rasa terima kasihnya kepada Ayu yang sudah menampung dan merawat Raina selama ini.Sebenarnya, Raina menolak untuk tinggal bersama Erina dan Wijaya. Ia terlalu banyak merepotkan. Tapi melihat ketulusan dan kasih sayang yang Erina tunjukkan dan ketegasan Wijaya. Raina tak punya pilihan. Akhirnya ia mengikuti keduanya.Raina tiba di rumah kedua orang tua baik hati itu.Rumah berasitektur belanda. Terlihat sederhana tapi sangat luas.Rumah itu dibuat menanjak seperti bukit ketika akan masuk ke halamannya. Terdapat beberapa pohon yang lebat tertanam di halaman serta taman yang begitu terawat.Dulu, Raina suka sekali duduk di taman itu. Sangat teduh meskipun terik matahari menyapa.Rumah tersebut terdiri dari tiga kama
"Bukan. Ini bukan anakmu!" Ucap Raina tegas.Amar menatap wanita itu dengan kebingungan."Raina....." panggil Amar lembut."Ini bukan anakmu! Ini anak selingkuhanku! Aku hanya wanita kotor dan pezinah."Raina memalingkan wajahnya saat mengatakan hal itu, air mata tak bisa dibendungnya.Amar sangat sedih mendengar ucapan Raina. Ia sama seperti Raina, menahan tangisnya.Perlahan, Amar menarik kursi yang berada di samping tempat tidur dan duduk di samping Raina."Maafkan aku, Raina..." ucap Amar lirih."Aku sudah mengetahui semuanya, Wira sudah menceritakan semuanya padaku..Maafkan kebodohanku saat itu yang tak mempercayaimu.. aku benar-benar menyesal."'Jadi, mas Amar sudah mengetahui kebenarannya?' Ucap Raina dalam hati."Raina.. aku tahu luka yang kuberikan kepadamu begitu dalam.. aku mohon dengan sangat kepadamu tolong maafkan aku..Aku rela ber
Suara gemuruh terdengar kembali dari atas langit. Awan yang menggumpal hitam semakin menunjukkan tanda-tanda tangisan hebatnya."Ayo semuaa bereskan dagangan kalian! Sebentar lagi akan hujan!" Seru pria yang juga merupakan pedagang.Raina membereskan kotak donat terakhirnya dan menaruhnya di sebuah kantong besar.Namun rasa sakit kepala kembali mendera hingga mau tak mau tangannya harus kembali berpegangan kepada meja."Ya Allah.. mampukan aku untuk bertahan.." bisik Raina. Kepalanya benar-benar sakit. Tapi dia harus pergi.Karena saat ini bukan hanya gemuruh, tapi rintik gerimis sudah mulai turun.Dengan tertatih, Raina menyusuri jalan mencari ojek yang biasanya memangkal tak jauh dari taman rekreasi itu."Dimana mereka?"Tempat pangkalan ojek itu tampak kosong. Mungkin karena hujan, mereka mencari tempat yang aman untuk berteduh.Raina memutuskan untuk berjalan