Ditha tergesa-gesa masuk ke rumah Amar sambil mendorong Mbok Darti yang membukakan pintu untuknya.
"Ada apa ini?" Tanya Amar kepada Ditha yang sikapnya begitu kasar pada pembantunya. "Ada hubungan apa kamu dengan Aurel?" Tanya Ditha tajam. Kobaran api terlihat dari manik matanya. "Aurel? Aurel siapa??" Tanya Amar bingung. "Ada hubungan apa kamu dengan Aurel???!!" Tanya Ditha kembali dengan intonasi yang tinggi. "Kamu sudah gila, ya!!! Kamu datang kemari tiba-tiba dan bertanya mengenai Aurel!! Aurel siapaaa???!!" Balas Amar dengan nada tinggi yang sama. "Aurellie!! Rekan kerja kita dulu di perusahaan!!" Ucap Ditha tak sabar. Amar mengingat Aurellie mana yang dimaksud Ditha. "Oh, perempuan itu. Aku tidak ada hubungan dengannya." Jawab Amar santai. "Bohong kamu!! Terus foto itu apa maksudnya??" "Foto apalagi sih? Apa maksudmu?" Tanya Amar yang mulai lelah dengan sikap Ditha. "Foto kamu berciuman dengan dia di tempat tidur!! Ingat tidak ketika kita harus bekerja di Bali 5 bulan yang lalu?" Amar mengernyitkan dahinya dan mencoba mengingat-ingat kembali. Namun diingatannya kosong. "Maaf, Ditha. Aku tidak bisa berbicara dengan orang yang sedang emosi. Kamu pulanglah dulu dan tenangkan pikiranmu supaya tidak berbicara ngawur seperti ini!" Ucap Amar dingin. "Apa??" Ucap Ditha tak percaya. "Jadi, kau mengusirku?" "Iya. Pulanglah. Hari sudah malam. Aku mau istirahat!" "Amar!!!!" Bentak Ditha tak percaya. "Berani sekali kau padaku!!!! Ingat Amar, satu bulan lagi kita akan menikah. Aku tidak mau ada gangguan sedikitpun!" Ancam Ditha. Amar menatap datar wanita di hadapannya itu sampai akhirnya wanita itu berlalu. "Aurel? Bali? Tempat tidur?" Amar kembali mengingat kejadian 5 bulan yang lalu. Yang ia ingat waktu itu, dia bekerja disana dengan teman satu perusahaannya. Diantaranya ada Aurellie dan Ditha. Mereka pergi ke sebuah cafe dengan teman-teman pria dan ada Aurel disana. Lalu dia tak ingat lagi apa yang terjadi. Dan satu ingatan yang ia ingat, ada Raina juga disana. Dia menyusul Amar ke Bali karena mengkhawatirkannya. Karena memang saat itu tinggal 7 hari sebelum pernikahan mereka dan hubungan mereka sedang tidak baik karena Raina berselingkuh di belakangnya. *** "Kamu tidak menyimpan nomorku, ya?" Tanya Aurellie di ujung telpon. "Siapa ini? Saya tidak punya waktu untuk bermain-main." Jawab Amar tegas. Dia baru saja merebahkan dirinya di tempat tidur. "Sayang sekali.. padahal ada banyak hal yang ingin kubicarakan denganmu," kata Aurellie khas dengan suara manja yang dibuat-buat. "Saya tutup." "Ini Aurel, apakah kamu sudah ingat?" "Aurel? Aurellie?" Tanya Amar. Dia ingat ketika Ditha tadi mengucapkan nama itu. Aurellie terkekeh. "Betul sekali. Aku rekan kerja sekantormu dulu.." "Ada apa?" Tanya Amar langsung ke intinya. "Aku ingin mengirimkan sesuatu kepadamu. Jadi, aku meyakinkan bahwa nomormu ini masih aktif.. Tunggu ya, aku kirim dulu sebentar." Aurellie lalu mematikan ponselnya dan mengirimkan beberapa foto ke ponsel Amar. Amar terbelalak melihat isi pesan yang dikirim oleh Aurellie. Foto dirinya bersama wanita itu di atas tidur. Sama-sama topless dan beradegan mesra layaknya suami istri. "Apa-apaan ini???!!" Hardik Amar menelpon Aurellie. "Apa kamu sudah ingat semuanya? Bayangkan Amar sudah berapa lama aku menyimpan foto-foto ini!!" "Kau pasti mencoba memfitnahku, kan?? Foto ini pasti editan!!!" "Editan? Coba perhatikan baik-baik. Apa perlu aku menghubungi pakar telematika untuk mengecek keaslian foto ini?? Lihat saja, Amar. Kau yang mengambil foto-foto kita!!" Jawab Aurellie tenang. "Bohong!!!!" "Tak percaya? Ya sudah.. akan aku ceritakan semuanya supaya kau ingat bahwa malam itu kau telah merenggut kegadisanku!" Aurellie lalu mulai menceritakan kisah panjang pada malam itu. "Ingat saat kita baru saja menyelesaikan pekerjaan sore itu, kita berlima. Bersama tiga rekan pria. Hmm.. kau mengajakku dan mereka untuk melepaskan penat ke sebuah cafe.. apa kau ingat? Setelah itu kita makan dan minum bersama.. dan entah apa yang saat itu memasuki dirimu, kau tiba-tiba menciumku di depan umum. Tak hanya mencium, kau juga memelukku dengan mesra.. Aku yakin kau tak percaya padaku.. tapi kau bisa tanyakan sendiri pada tiga rekan kerja itu. Mereka masih hidup kok!" Tantang Aurellie. "Setelah menghabiskan waktu di cafe, kau mengajakku ke kamar hotel milikmu.. dan disanalah kau merampas kegadisanku!! Tak hanya itu, Amar! Kau juga memaksaku untuk berfoto-foto bersama selama kita bercinta di tempat tidur.. Apa sekarang kau sudah ingat????" Tanya Aurellie dingin. Amar mencoba mencerna situasi saat ini. Dia sama sekali belum mengingat apaapun. "Bagaimana, Amar?" "Jangan mencoba membohongiku, Aurel! Kau pasti sedang mengarang cerita!!" Aurellie kembali terkekeh geli. "Ternyata kau memang benar-benar brengsek! Setelah meniduriku kau lalu melupakanku begitu saja!!" "Apa kau masih ingat apa alasanmu mengajak kami bermain di cafe? Karena kau menghindari kehadiran Raina yang menyusulmu ke Bali, kan?" Deg! Perlahan Amar mengingat kejadian semuanya. "Jadi, apa yang kau inginkan sekarang?" Tanya Amar dingin. "Sederhana. Aku ingin kau bertanggung jawab atas perbuatanmu!" "Bertanggung jawab?" Ucap Amar setengah memekik. "Apa kau gila?" "Aku memang sudah gila, Amar. Aku gila karena dirimu! Harusnya kau membayangkan posisiku! Kau merenggut kegadisanku lalu meninggalkanku dengan menikahi Raina! Sekarang saat kau sudah berpisah dengan Raina, kau malah akan menikah dengan Ditha! Brengsek kamu, Amar!" "Cukup, Aurel! Lupakan semuanya. Anggap itu hanya kecelakaan. Lagipula aku yakin kau pasti menjebakku pada malam itu. Karena sampai sekarang aku belum bisa mengingat semuanya!" "Begitukah?? Baiklah, Amar.. Aku akan memberikan kesempatan padamu sekali lagi.. pilihannya ada satu, kau mau bertanggung jawab dengan menikahiku atau kau akan kulaporkan ke polisi atas kasus pemerkosaan.. Silahkan berpikir sendiri." Tut! Aurellie menutup sambungannya. Amar menarik nafas panjang beberapa kali untuk mengontrol emosinya. Dia lalu mencoba mengingat kembali seluruh kejadian hari itu. Tepatnya 7 hari sebelum ia menikah dengan Raina. Amar bersama rekan kerjanya diutus ke Bali selama dua hari. Mereka bekerja sampai sore saat itu dan Amar mendapat kabar bahwa Raina menyusulnya ke Bali. Amar yang kesal dengan Raina tak mau melihat gadis itu sehingga dia mengajak teman-temannya termasuk Aurellie untuk menghabiskan waktu di Cafe. Entah apa yang ia makan dan minum. Amar merasa ada getaran yang hebat dalam jiwanya, nafasnya diburu nafsu yang luar biasa. Apalagi melihat kemolekan tubuh Aurellie yang aduhai bak gitar spanyol. Sore itu, Aurellie hanya memakai kaos hitam ketat berbelahan dada rendah dengan jeans ketat. Yang Amar ingat malam itu ia tertidur sangat pulas di kamar hotelnya sampai ia bangun kesiangan. Namun, ia terkesiap melihat seorang wanita yang keluar dari kamar hotelnya. Berbalutkan handuk dengan rambut yang masih basah. Dan wanita itu adalah Aurellie. #Next"Aku tidak mau di operasi."Raina menatap Amar dengan penuh kesungguhan. "Kenapa?""Apa mas tidak melihat mereka tadi? Mereka sangat bersedih karena kehilangan bayinya.. dan aku tidak mau itu terjadi padaku..""Raina..." ucap Amar mencoba membujuk Raina."Tidak, mas! Keputusanku sudah bulat. Aku tidak akan dioperasi sampai anak ini lahir!" Ucap Raina tegas dengan mata yang mulai berembun"Raina.. apa yang terjadi pada mereka dan padamu itu berbeda.." jelas Amar."Apanya yang beda, mas?" Tanya Raina sedih."Aku bahkan mengidap penyakit yang lebih parah! Aku tidak mau egosi, mas! Jangan sampai karena ingin menyelamatkanku lalu kita membunuh anak ini! Lagipula hasilnya akan sama saja bagiku!Operasi atau tidak di operasi, aku akan tetap mati!""Raina!" Kata Amar dengan intonasi yang mulai tinggi."Apa kamu sadar yang sudah kamu ucapkan??"
Tak ada yang berubah dari Amar.Hanya saja dia tak mau membebani Raina dengan perasaannya. Apalagi Raina pasti masih merasakan trauma akibat penyiksaan Amar ketika mereka menikah dulu.Oleh karena itu, Amar tak mau egois. Dia tidak ingin memaksakan Raina menerima perasaannya. Baginya, Raina sehat dan bahagia saja sudah cukup. Apalagi sekarang benih yang ditabur Amar dalam perut Raina sudah menginjak 7 bulan.Perhatian Amar juga masih sama saja.Amar rutin mengajak jandanya itu untuk memeriksakan kehamilan. Dia juga setia menemani Raina yang harus mendapatkan transfusi zat besi di rumah sakit.Raina menderita anemia defisiensi zat besi, nutrisi untuk janinnya di serap oleh sang penyakit. Raina sering kelelahan bahkan dua kali sempat jatuh pingsan.Raina terbaring di ranjang observasi sambil menunggu transfusinya selesai.Samar-samar ia kembali melihat wanita paruh baya itu lagi. Kini seperti bersembunyi di balik
Tak ada suara dari ketiganya.Baik Amar, Erlina dan Raina diam membisu selama perjalanan pulang ke rumah. Apa yang mereka dengar hari ini bak petir yang menyambar otak mereka. Terasa sakit dan kosong.Raina terpekur duduk di kursi belakang menatap nanar keluar.Cobaan apalagi ini ?Apakah Tuhan benar-benar menyayanginya sehingga cobaan tak berhenti selalu mendatanginya?Apa ini sebagai ujian untuk menggugurkan dosa-dosanya?Sesampainya di rumah, ketiganya tak banyak bicara dan memilih masuk ke kamar masing-masing. Kecuali Erina yang menyempatkan dirinya mengantar Raina sampai ke kamarnya.Sedangkan Amar, masuk dan mengunci pintu kamarnya.Ia masuk ke kamar mandi dan menghidupkan shower dan menjerit sepuasnya.Air matanya luruh bersama dengan air yang jatuh dari atas kepalanya."Kenapa bukan aku saja, Tuhan??Kenapa Kau tidak hukum aku saja???Aku
Sudah hampir 2 bulan Raina tinggal di rumah ini, ia mulai terbiasa dengan tempat yang ia tinggali.Ia juga tak segan kembali lagi ke dapur walaupun sakit kepala dan mual sering kali menderanya.Seperti hari ini, Raina merasa kepalanya sakit sekali.. tapi ia ingin sekali memasak. Ia ingin memasak donat seperti dulu.Tak butuh waktu lama, Raina dengan cekatan bertempur di dapur membuat donat-donat tersebut.Erina dan mbok Darti pun dengan setia menemani Raina memasak di dapur."Rasanya enak sekali.." puji Erina sambil mencicipi satu donat coklat buatan Raina."Iya bu.. donat mbak Raina rasanya mirip seperti donat yang sering mas Amar beli dulu.." cetus mbok Darti."Oh ya? Amar sering membeli donat?" Tanya Erina tak percaya."Iya bu.. mungkin dua bulan lebih yang lalu lah.. pokoknya mas Amar sering beli donat dan hampir tiap hari. Jumlahnya juga banyak. Kadang sampai 30 donat sampai mbok bi
Raina menyendokkan satu butir bakso kecil ke mulutnya. Rasa hangat dan nikmat melumuri mulutnya, perutnya yang terasa lapar seperti menemukan maksud makanan yang cocok dengan rasa mualnya."Apakah enak?" Tanya Amar yang memperhatikan mantan istrinya itu memakan baksonya dengan perlahan.Raina mengangguk. "Enak, mas."Amar mengajak Raina untuk menyantap semangkuk bakso itu di meja makan saja. Tapi, Amar tetap menjaga jarak aman supaya Raina tak ketakutan."Mas tidak makan?" Tanya Raina pelan ketika ia melihat lelaki di sebrangnya itu hanya diam saja.Amar tersenyum. "Tadi mas sudah makan.."Raina mengangguk dan kembali menyantap makanannya."Apa mualnya masih begitu parah?" Tanya Amar akhirnya."Iya.."Amar ingin bertanya lagi tapi karena mendengar jawaban Raina yang singkat, ia tak mau merusak mood wanita yang dicintainya itu.Raina berhasil mem
Raina tercengang mendengar perintah Wijaya.Lelaki paruh baya itu menginginkan Amar untuk tinggal disini. Satu rumah dengannya.Sebenarnya tak ada yang salah, mengingat Amar juga tuan rumah di rumah ini.Tapi untuk tinggal satu atap lagi dengan lelaki itu?Rasanya Raina belum sanggup..Trauma itu belum hilang..Apalagi keduanya sudah berstatus menjadi mantan suami istri."Tidak apa-apa, pa. Aku tinggal disana saja.." jawab Amar."Lalu bagaimana kamu akan membayar operasional rumah itu? Kamu mau menghabiskan tabunganmu?Pikirkan mengenai listrik, air dan juga perawatan lainnya! Apalagi rumah itu dua kali lebih besar daripada rumah ini.." kata Wijaya dengan tegas."Papa tenang saja, insya Allah dalam waktu dekat aku akan mendapatkan pekerjaan.." jawab Amar mulai merasa tak enak karena papanya menggerutuinya di depan Raina.Raina tertunduk sambil memikirkan sesuat
Erina dan suaminya berhasil membawa Raina kembali ke rumahnya. Entah bagaimana caranya, wanita hamil itu sekarang berada dalam perlindungan mantan mertuanya.Erina juga mengucapkan rasa terima kasihnya kepada Ayu yang sudah menampung dan merawat Raina selama ini.Sebenarnya, Raina menolak untuk tinggal bersama Erina dan Wijaya. Ia terlalu banyak merepotkan. Tapi melihat ketulusan dan kasih sayang yang Erina tunjukkan dan ketegasan Wijaya. Raina tak punya pilihan. Akhirnya ia mengikuti keduanya.Raina tiba di rumah kedua orang tua baik hati itu.Rumah berasitektur belanda. Terlihat sederhana tapi sangat luas.Rumah itu dibuat menanjak seperti bukit ketika akan masuk ke halamannya. Terdapat beberapa pohon yang lebat tertanam di halaman serta taman yang begitu terawat.Dulu, Raina suka sekali duduk di taman itu. Sangat teduh meskipun terik matahari menyapa.Rumah tersebut terdiri dari tiga kama
"Bukan. Ini bukan anakmu!" Ucap Raina tegas.Amar menatap wanita itu dengan kebingungan."Raina....." panggil Amar lembut."Ini bukan anakmu! Ini anak selingkuhanku! Aku hanya wanita kotor dan pezinah."Raina memalingkan wajahnya saat mengatakan hal itu, air mata tak bisa dibendungnya.Amar sangat sedih mendengar ucapan Raina. Ia sama seperti Raina, menahan tangisnya.Perlahan, Amar menarik kursi yang berada di samping tempat tidur dan duduk di samping Raina."Maafkan aku, Raina..." ucap Amar lirih."Aku sudah mengetahui semuanya, Wira sudah menceritakan semuanya padaku..Maafkan kebodohanku saat itu yang tak mempercayaimu.. aku benar-benar menyesal."'Jadi, mas Amar sudah mengetahui kebenarannya?' Ucap Raina dalam hati."Raina.. aku tahu luka yang kuberikan kepadamu begitu dalam.. aku mohon dengan sangat kepadamu tolong maafkan aku..Aku rela ber
Suara gemuruh terdengar kembali dari atas langit. Awan yang menggumpal hitam semakin menunjukkan tanda-tanda tangisan hebatnya."Ayo semuaa bereskan dagangan kalian! Sebentar lagi akan hujan!" Seru pria yang juga merupakan pedagang.Raina membereskan kotak donat terakhirnya dan menaruhnya di sebuah kantong besar.Namun rasa sakit kepala kembali mendera hingga mau tak mau tangannya harus kembali berpegangan kepada meja."Ya Allah.. mampukan aku untuk bertahan.." bisik Raina. Kepalanya benar-benar sakit. Tapi dia harus pergi.Karena saat ini bukan hanya gemuruh, tapi rintik gerimis sudah mulai turun.Dengan tertatih, Raina menyusuri jalan mencari ojek yang biasanya memangkal tak jauh dari taman rekreasi itu."Dimana mereka?"Tempat pangkalan ojek itu tampak kosong. Mungkin karena hujan, mereka mencari tempat yang aman untuk berteduh.Raina memutuskan untuk berjalan