เข้าสู่ระบบSepertinya butuh kekuatan ekstra ketika pintu kamar itu berhasil dijebol oleh seseorang. Hanna yang masih belum bisa menerima atas apa yang Jasmin lakukan terhadapnya, tampak terdiam begitu melihat seorang pria menatapnya dengan tatapan dingin, tapi juga terlihat khawatir. Seorang pria yang sebelumnya muncul ketika dirinya disambangi oleh para preman yang merupakan anak buah Darma di taman depan rumah sakit, kini tiba-tiba muncul di tempat di mana Hanna dibawa.
'Apakah dia datang untuk menolongku?' batinnya bertanya penuh harap. Sedikit perasaan bahagia hadir di tengah ketakutan sebab keberadaan dan statusnya di tempat tersebut. Di tengah perasaan Hanna yang masih berkecamuk, tiba-tiba dua orang pria lain muncul. Mereka sepertinya masih berteman dengan si pria asing sebab sikap hormat yang mereka tunjukkan ketika sampai. Tapi, ketika menoleh ke arah Hanna, seketika mereka pun berpaling dan pergi setelah mendapatkan perintah. "Kalian tunggu di luar!" perintah si pria asing. "Baik!" Hanna menyadari apa yang terjadi. Tapi, ia tak bisa berbuat apapun, hanya bisa memejamkan mata —kembali menangis. Ia malu dengan penampilannya sekarang. Setelah dua orang tadi pergi, si pria asing pun melangkah mendekati Hanna. Jasmin yang sebelumnya duduk di depan Hanna, langsung berdiri dengan tubuh gemetar ketakutan. Kepalanya menunduk seolah enggan menatap pria yang kini berdiri di depan dan memandang Hanna, membayangkan apa yang gadis di depannya sudah alami. Apa yang Jasmin lakukan, juga tengah Hanna lakukan. Ia yang hanya memakai gaun super tipis di mana lekuk tubuhnya terlihat dengan sangat jelas —meski area sensitifnya masih tertutup pakaian dalam, tertunduk menahan malu. Sampai ia sendiri tidak menyadari ketika si pria asing melepaskan ikatan di tangannya dan menutup tubuhnya dengan jas yang ia kenakan. Hanna merasa lega. Tangan yang sejak tadi mencoba melepaskan diri, kini terbebas. Penampilannya yang memalukan juga terlihat lebih baik sekarang. Si pria kemudian duduk dan menatap Hanna yang perlahan mengangkat kepalanya, menatap dengan wajah yang sembab oleh air mata. Beberapa saat mereka saling menatap dan menyelami pikiran masing-masing. Hingga Hanna perlahan berkata, "Terima kasih," ucapnya dengan suara lemah. Di detik berikutnya gadis itu kembali pingsan untuk kedua kalinya. ** Lebih dari dua jam Hanna tak sadarkan diri. Kali ini lebih lama dibanding sebelumnya. Bahkan, gadis itu terbangun setelah hari berganti malam. Saat Hanna membuka mata, ia melihat sesosok pria yang belum lama ini ada di dalam mimpinya tengah duduk di sisi ranjang. Ya, Hanna baru saja bermimpi tentang seorang pangeran berkuda yang menghampirinya ketika ia tengah sendirian di dalam hutan. Hanna tersesat, tak tahu arah pulang. Ia menangis dan tak lama kemudian sesosok lelaki dengan pakaian ala seorang pangeran muncul dengan menunggangi seekor kuda putih yang cantik. Ketika Hanna baru akan beranjak berdiri, tiba-tiba pangeran itu menghilang, dan ia pun terbangun dari mimpinya. Meski membelakangi, Hanna merasa yakin kalau lelaki yang saat ini duduk di dekatnya adalah lelaki sama yang ada di dalam mimpinya. Lelaki itu juga adalah si pria asing yang dua kali muncul ketika dirinya tengah berada dalam cengkeraman anak buah Darma. Perlahan Hanna bangun. Ia berhasil duduk tanpa membuat si pria yang tidak mengenakan pakaian itu —menyadari apa yang dilakukannya. Ketika Hanna mencoba melihat apa yang tengah lelaki itu lakukan, ia pun terkejut. Lengan lelaki itu terluka. Ada darah yang tampak keluar dari lukanya. "Boleh saya bantu?" Tiba-tiba Hanna bersuara. Ia sendiri kaget, tapi hal itu memang spontan ia ucapkan. Si pria asing menoleh. Ia melihat Hanna yang sudah duduk di belakangnya. Jarak mereka sangat dekat, bahkan mereka bisa melihat dengan jelas wajah masing-masing keduanya. "Aku bisa lakukan sendiri," balas pria itu berpaling, setelah beberapa detik sebelumnya ia memandang Hanna yang juga menatapnya penuh harap. Namun, satu gerakan cepat Hanna lakukan. Entah apa yang otaknya pikirkan, tiba-tiba ia menahan tangan si pria hingga membuat mereka kembali saling memandang. "Saya tidak tahu apa yang membuat Anda mau membantu saya, tapi saya sangat berterima kasih atas semua yang sudah Anda lakukan. Untuk itulah, biarkan saya membantu sedikit sebagai balasan atas bantuan yang Anda berikan," ujar Hanna. "Biarkan saya membantu membersihkan luka itu," lanjut Hanna dengan suara bergetar. Si pria diam. Ia tidak menyahut atau melanjutkan pekerjaannya. Detik berlalu dan itu malah membuat Hanna semakin canggung. "Bersihkan dengan benar. Luka ini ada karenamu," ucap pria asing itu akhirnya. Seketika Hanna teringat akan perkelahian yang terjadi antara lelaki asing itu dengan anak buah Darma. Sabetan belati milik preman-preman itu berhasil melukai lengan pria di depannya, membuat Hanna merasa semakin bersalah. Gadis itu pun bergerak. Ia bergeser mendekati si pria —memposisikan diri supaya bisa memudahkanya membersihkan luka. Perlahan ia mengambil kapas dari tangan si pria, lalu mulai membersihkan darah yang ada di sekitar lengan yang terluka. Perasaan berdebar mulai Hanna rasakan ketika tangannya menyentuh lengan pria itu. Ototnya yang kekar, hasil dari olah raga yang sepertinya rutin dijalani, membuat Hanna semakin gugup dan canggung. Terlebih ketika kedua matanya melihat dada dan perut six pack di depannya, pikiran kotor mulai menggelayuti. Sebagai seorang perempuan, itu tentu hal yang sangat wajar terjadi. Berhadapan dengan seorang pria tampan dengan tubuh atletis, perempuan mana yang bisa menahan godaan setan yang tiba-tiba muncul. Namun, demi membalas apa yang sudah si pria lakukan kepadanya, Hanna membuang pikiran-pikiran kotor dari pikirannya tersebut. Hanna menggeleng, tak sadar. Tapi, hal itu justru menarik perhatian si pria. "Ada apa?" "Eh, apa?" Hanna terperangah kaget, memandang pria di depannya yang menatap begitu dingin. "Kenapa kamu memejamkan mata? Apakah bisa mengobatiku dengan mata tertutup seperti tadi?" tanya si pria dengan suara bass, terdengar seksi di telinga Hanna. "Maafkan saya. Saya hanya sedikit khawatir mengenai luka ini. Kenapa Anda tidak ke rumah sakit dan malah mengobati luka ini sendiri?" tanya Hanna berbohong. "Ini bukan luka serius. Aku punya banyak peralatan medis untuk membersihkan dan mengobati luka kecil ini." Hanna percaya itu. Sebab apa yang dilihatnya bukanlah kotak P3K biasa. Kotak yang ada di depannya sangat lengkap, jauh berbeda dengan yang ia miliki di rumah. Beberapa saat mereka saling diam. Hanna yang sudah selesai membersihkan darah, kemudian menutup luka dengan perban. "Sekali lagi terima kasih. Maaf karena sudah merepotkan Anda," ucap Hanna setelahnya seraya merapikan kotak P3K di tangannya. Si pria menatap Hanna tajam, membuat gadis itu menunduk dan menatap jemarinya yang bertaut. Dan saat itu ia baru menyadari jika pakaian yang dikenakannya masih gaun berwarna maroon yang Jasmin paksa pakaikan ke tubuhnya. Hanna pun menarik selimut yang ada di dekatnya secara perlahan. Ketika dirinya masih sibuk menutupi tubuhnya, tiba-tiba si pria mendorong hingga membuatnya terlentang. "A-apa yang Anda lakukan?" Hanna menatap si pria yang berada tepat di atasnya. Pria itu dengan wajah tampan, rahang yang tegas, bibir yang penuh tapi seksi, menatap dengan mata elang yang sangat mempesona. "Aku tidak membutuhkan ucapan terima kasih dan maaf darimu atas semua yang sudah aku lakukan." "A-apa maksud Anda?" tanya Hanna gemetar, mendadak khawatir. 'Apakah ia mau meminta balasan dengan menemaninya tidur malam ini?' batin Hanna takut. 'Apa bedanya aku di sini atau di tempat Darma?' katanya lagi dalam hati. Perlahan kemudian si pria mendekatkan wajahnya, membuat Hanna spontan memejamkan mata. Deru napas si pria bisa Hanna rasakan saat pria itu berbisik di telinganya. "Aku mau kamu melakukan sesuatu untukku malam ini?" ***Hening yang tercipta setelah pernyataan Rafael terasa begitu terasa hingga membuat Hanna sulit bernapas. Ibunya masih menggenggam tangannya, sementara Yoga menatapnya dengan campuran khawatir dan bersalah —seolah kejadian itu adalah kesalahannya, padahal sama sekali bukan.Rafael menatap keduanya, memastikan tidak ada luka, tidak ada sesuatu yang terlewat.“Bu,” ucap Rafael akhirnya, nadanya menurun namun tetap tegas, “mulai hari ini, kediaman Ibu akan dijaga. Saya akan kirim dua orang. Mereka tidak akan mengganggu aktivitas Ibu, tapi Ibu tidak boleh keluar sendirian untuk sementara.”Ibunya Hanna tampak hendak menolak, tetapi kemudian ia melihat lagi cara Rafael berdiri, tegap, terlihat bahaya, dan sepenuhnya mengambang pada satu hal —melindungi Hanna dan orang-orang sekitarnya.Ia mengangguk pelan. “Baik, Nak Rafael.”Yoga mengangkat tangan sebentar, suaranya pelan, “Aku juga akan dijaga?”Rafael menatapnya tanpa banyak ekspresi. “Ya.”Yoga hendak mengangguk, tetapi ia berhenti keti
Pagi baru saja menghangatkan teras kediaman Bachtiar ketika Hanna melangkah keluar dari ruang utama. Setelah percakapan berat dengan Hartono, kepalanya masih penuh suara-suara yang menyisakan decak ngeri. Ia berjalan dengan langkah pelan, seperti seseorang yang sedang belajar kembali mengatur napasnya sendiri.Rafael berdiri menunggunya, bersandar di dinding dengan kedua tangan terlipat. Begitu melihat Hanna keluar, ia segera menjauh dari dinding dan menghampirinya.“Hanna?” suaranya rendah, khawatir.Hanna mengangguk kecil. “Kita bicara di kamar nanti. Sekarang … aku butuh udara.”Rafael mengizinkan, tetap mengikuti beberapa langkah di belakangnya seperti bayangan yang tak mau hilang.Namun, baru lima langkah mereka berjalan, seorang pelayan berlari kecil dari arah gerbang utama.“Pak Rafael! Non Hanna! Ada tamu datang.”Rafael mengerutkan dahi. “Tamu? Siapa?”“Bu Sinta, ibunya Nona Hanna. Dan satu orang lagi —seorang laki-laki bernama Yoga.”Hanna terhenti.“Apa?” suaranya keluar le
“Kenapa ini terdengar sangat rumit dan berbahaya?” Hanna membatin, jari-jarinya menekan sampul map hingga memucat.Rasa dingin merambat perlahan dari tengkuk ke punggungnya. Bukan hanya karena apa yang baru saja ia dengar, tetapi karena tatapan Hartono dan Rafael sama-sama mengarah padanya.Sebagai pusat ancaman.Sebagai sasaran utama.Meski ia tidak pernah meminta satu pun dari semua ini.Rafael melangkah mendekat, berdiri tepat di samping kursi Hanna. Satu tangannya bergerak seolah ingin menyentuh bahu Hanna, namun ia tahan —mungkin takut menyulitkan perasaan Hanna, mungkin juga karena Hartono masih memperhatikan.“Hanna,” panggil Rafael lembut namun tegas.Hanna mendongak. Tatapan Rafael bukan belas kasihan. Bukan pula rasa bersalah. Melainkan ketegasan orang yang sedang membangun dinding pelindung di sekitarnya.“Aku tidak akan membiarkan satu pun menyentuhmu,” lanjutnya.Hanna menelan ludah. Kata-kata itu menghangatkan, sekaligus membuat dadanya sesak.“Rafael benar,” sambung Har
Hening menyelimuti ruangan setelah kalimat itu. Seolah udara ikut membeku bersama bayang-bayang masa lalu yang kembali hidup.Rafael perlahan berdiri. “Kek … kalau benar Rana kembali, dia tidak akan berhenti hanya dengan mengganggu Hanna. Dia akan menyasar perusahaan. Nama keluarga. Bahkan—”“Ya,” potong Hartono pelan, namun tegas. “Dan itu sebabnya kita tidak boleh lengah.”Hanna menatap keduanya, dada sesak. “Apa… Rana punya alasan untuk membalas dendam pada keluarga ini?”Hartono menghela napas. Dalam. Berat. Napas seorang lelaki yang sudah melewati banyak perang, tapi tak menyangka harus menghadapi yang satu ini.“Rana adalah orang yang Kakek anggap keluarga.” Hartono bersandar sedikit, wajahnya tampak lebih tua dari beberapa menit sebelumnya. “Ayahmu, Rafael, juga sangat mempercayainya. Dia masuk ke dalam lingkaran terdekat kami. Tetapi ketika proyek timur bermasalah … dia menghilang. Tanpa jejak. Tanpa menjelaskan apa pun.”Rafael menambahkan dengan suara rendah, “Dia pergi begi
Ruang utama itu selalu memiliki wibawa tersendiri. Pilar kayu jati menjulang kokoh, lukisan-lukisan lama keluarga Bachtiar menghiasi dinding, dan aroma teh pahit kesukaan Hartono masih menggantung di udara.Namun pagi ini, semuanya terasa lebih berat. Seolah ruangan itu sendiri menahan napas.Hartono duduk di kursi kepala meja panjang. Bahunya tegap meski usianya sudah lanjut, rambutnya memutih sempurna, namun matanya —mata yang dulu membangun Bachtiar Grup dari nol, masih setajam baja.Rafael memberi Hanna isyarat untuk duduk di sampingnya, lalu ia sendiri berdiri tegak di hadapan kakeknya.Hartono mengangkat pandangan ketika mereka tiba. “Duduklah, kalian berdua.” Suaranya dalam, tenang, tapi menyimpan tekanan yang membuat udara sejenak menegang.Hanna menelan ludah, mencoba mengatur napas. Ia selalu menghormati Hartono. Bagaimana pun juga, lelaki tua itulah yang membuatnya menjadi bagian dari keluarga konglomerat tersebut —meski statusnya hanyalah kontrak.Namun, tatapan lelaki tua
Cahaya pagi menyusup masuk melalui tirai tipis kamar Hanna, membentuk garis-garis lembut di lantai marmer. Biasanya, pagi di rumah itu terasa hangat dan tenang. Namun hari ini, hawa ketakutan semalam masih menggantung seperti bayangan yang menolak pergi.Hanna duduk di pinggir ranjang, tangan memegangi map cokelat berisi catatan ayahnya. Rasa dingin dari sampul kertas itu seolah menembus kulitnya.Ia belum tidur —hanya menutup mata sebentar setelah Rafael memastikan semua penjagaan ditingkatkan dan pengawal ditempatkan di depan pintu.Ketukan lembut terdengar.Hanna menoleh. Rafael masuk tanpa suara, masih memakai kemeja hitam yang sama sejak semalam. Rambutnya sedikit berantakan, wajahnya lelah —namun sorot matanya tajam dan fokus, seperti seseorang yang tidak boleh goyah walau tubuhnya ingin runtuh.“Kau bangun lebih pagi dari perkiraanku.” Rafael duduk di sampingnya. “Tidak bisa tidur?”Hanna menggeleng pelan. “Tidak setelah… semua itu.”Rafael menghela napas dan menyandarkan siku







