ログインHanna bisa merasakan udara hangat menyapa telinganya ketika satu kalimat meluncur dari bibir si pria asing. Sejenak ia terpaku, mencoba mengabaikan sensasi aneh yang tiba-tiba hadir di dalam hatinya. Selama beberapa detik Hanna terdiam, seperti terbuai karena posisinya sekarang. Hanna yang mencoba menahan tubuh pria di atasnya dengan kedua tangan yang memegang dada, berharap supaya momen yang membuatnya canggung itu segera berakhir.
"Anda mau saya melakukan apa?" Hanna memberanikan diri bertanya. Suaranya lirih dan gugup. Meski lelaki itu memiliki wajah tampan dan badan yang bagus, tetapi jika dirinya harus melakukan seperti apa yang para perempuan di tempat Darma lakukan, Hanna tak akan mau. Ia takut. Sekian detik Hanna menunggu sembari menatap wajah si pria yang masih memandangnya dalam diam. Tak berapa lama pria itu beranjak bangun, membuat Hanna bisa bernapas lega yang kemudian memilih untuk duduk sambil menarik selimut. "Aku mau kamu menikah denganku," ucap pria itu setelah berdiri dan menatap Hanna dengan ekspresi serius. "Apa? Menikah? Apakah saya tidak salah dengar?" Hanna menatap bingung. "Tidak," jawab pria itu kemudian berjalan dan duduk di atas sofa yang ada di sudut kamar. Pria itu duduk seraya merentangkan kedua tangannya ke sandaran sofa. Matanya tajam menatap Hanna. "Aku mau kita menikah, tapi hanya sebatas pernikahan kontrak." 'Kontrak?' Hanna bergumam pelan. Dirinya sedikit tak fokus sebab penampilan si pria yang terlibat menggoda. Tubuh bagian atas yang terekspos, tampak begitu sempurna, "Maafkan saya, tetapi saya tidak mengerti dengan ucapan Anda," kata Hanna mencoba memalingkan muka. Hanna bisa merasakan pria itu menarik napas panjang, lalu melepas dengan helaan yang tampak berirama. "Semua yang terjadi, tidak semata-mata karena kebetulan. Aku menolongmu karena permintaan kakekku," kata pria itu kemudian. "Kakek Anda? Maksudnya?" Hanna menatap tak mengerti. Pria itu terlihat kesal, tapi ia menyadari kesalahannya karena tidak menjelaskan maksudnya dari awal. "Kemarilah!" perintah pria itu dengan suara dingin dan terdengar angkuh. Awalnya Hanna ragu karena penampilannya yang memalukan, tapi sedetik kemudian ia memilih untuk berjalan ke arah sofa. "Anak buahku akan membawakan pakaian ganti untukmu." Rupanya sikap Hanna yang berusaha menutupi tubuhnya dengan selimut tak luput dari perhatian pria tersebut. Hanna mengangguk. Langkahnya masih canggung ketika kemudian duduk —agak menjauh dari posisi si pria. "Makanlah!" kata pria itu lagi terdengar memerintah. Seketika Hanna menengok ke arah meja di depannya. Di sana tampak sepiring makanan lezat dan mewah, terhidang bersama dua gelas air, air bening dan berwarna. "Dokter bilang penyebab kamu pingsan karena perutmu kosong." Hanna ingat kalau dirinya memang belum makan dari pagi. Sejak bangun tidur, pikirannya sudah dibuat pusing mengenai biaya rumah sakit ibunya. Kesadaran sang ibu yang membuat hatinya senang dan bahagia, tidak sejalan dengan kondisi keuangannya yang semakin mengkhawatirkan. Jangankan untuk bayar rumah sakit, untuk beli makanan saja Hanna sudah tidak punya. Mengingat hal tersebut, air matanya tanpa terasa menetes. Ia ingat ibunya yang mungkin sedang mencarinya sekarang, tapi juga bingung bagaimana harus membayar seluruh biaya rumah sakit yang besar itu. "Aku menyuruhmu makan, bukan menangis." Pria di dekat Hanna tiba-tiba berkata sinis. "Maafkan saya. Saya cuma kangen sama ibu saya," ucap Hanna seraya menghapus air matanya. Ia merasa jika pria yang sudah menolongnya itu tidak menyukai hal-hal yang berbau kesedihan. Perlahan kemudian Hanna meraih piring di depannya. Ia menyantap makanan tersebut dengan penuh kenikmatan. Tak ada gangguan. Pria di dekatnya diam dan membiarkan Hanna menikmati makanannya hingga habis. "Sekarang, silakan kamu baca surat ini." Tiba-tiba Hanna disodorkan lembaran kertas ke hadapannya. Ia menatap si pria dengan tatapan tak mengerti. "Itu surat perjanjian menikah kontrak," katanya lagi. Hanna pun mengambil kertas di depannya, lalu membaca tulisan yang diketik dengan sangat jelas tersebut. Barisan huruf yang berjejer rapi dan mengandung banyak makna, yang mulai memenuhi kepala Hanna. Selain sejumlah uang yang akan pria itu berikan nantinya, ada hal lain yang menjadi perhatian Hanna. "Rafael Bachtiar? Apakah Anda cucu dari lelaki tua bernama Hartono Bachtiar?" Hanna tampak terkejut. Pria asing yang ternyata Rafael itu mengangguk. Ia kemudian meraih air berwarna yang ada di depan Hanna, meneguknya hingga setengah. Sedangkan Hanna diam memperhatikan. Gadis itu jadi teringat sesosok pria tua yang tidak sengaja ditolongnya saat sedang berada di parkiran rumah sakit. Seorang pria tua yang tiba-tiba memintanya untuk menikah dengan cucunya itu ternyata adalah seorang kakek dari lelaki yang kini duduk di sebelahnya itu. "Sejak awal saya sudah menolak." Hanna menyahut. Ia masih tak percaya ketika takdir terus membawanya pada keluarga kaya raya itu. "Tapi, sayangnya kakekku benar-benar menyukaimu. Sejak awal bertemu, ia terus meminta dan memaksaku agar mau menikah denganmu." Suara Rafael terdengar kesal. Dalam kamar yang luas tersebut keduanya sama-sama terdiam, seolah sedang mencoba memahami situasi saat ini. "Menikah selama dua tahun dan tidak mencampuri urusan pribadi masing-masing, aku pikir itu bukan sesuatu yang sulit yang bisa kamu lakukan." Rafael kembali berbicara. Mungkin untuk poin itu Hanna setuju. Tapi, "Saya harus tinggal di rumah Anda?" tanya Hanna yang memikirkan nasib ibunya nanti. Apakah ia boleh membawa ibunya? Tapi, apa alasannya? Apakah ia harus cerita mengenai pernikahan kontrak tersebut? "Kamu pikir apa kata kakekku nanti kalau setelah menikah kita hidup berpisah?" sahut Rafael tampak kesal. "Tentu saja kamu akan tinggal di rumahku. Bahkan, kita akan tidur di kamar yang sama." Hanna merasa tenggorokannya tercekat. 'Tidur bersama laki-laki yang tidak aku kenal? Bagaimana bisa aku melakukan itu?' batin Hanna yang belum apa-apa sudah merasa ngeri. "Kamu tenang saja. Tak akan pernah ada sentuhan fisik selama kita menjalani pernikahan kontrak ini," ucap Rafael lagi. "Lagipula, kamu bukanlah tipeku. Aku tidak akan berselera padamu," lanjutnya mengejek, membuat Hanna tersinggung sekaligus lega. 'Kenapa harus aku?' gumam Hanna yang bisa Rafael dengar. "Kamu jangan senang dulu. Aku yakin alasan kakek memilihmu bukan karena kamu cantik atau karena kelebihan lain yang aku rasa tidak ada," ucap Rafael terdengar menghina. "Tapi, aku pikir karena perempuan seperti kamu akan sangat mudah kakek atur dan kendalikan." 'Perempuan seperti aku? Apakah lelaki ini mau bilang kalau aku perempuan miskin?' batin Hanna sakit hati. 'Tapi, bukankah itu memang fakta?' pikir Hanna kemudian tak jadi marah. "Aku tak akan memaksa apalagi merayumu," kata Rafael. "Itu sama sekali bukan sifatku," lanjutnya angkuh. "Tapi, kamu tidak lupa dengan ibumu yang saat ini terbaring di rumah sakit bukan? Mengenai biaya pengobatan ibumu yang jumlahnya besar itu, tidak mungkin tidak kamu pikirkan." Hanna tiba-tiba merasakan satu emosi ketika harus mengingat sosok ibunya. "Oh ya, satu lagi!" seru Rafael kemudian, membuat Hanna menoleh penasaran. "Apakah kamu berpikir bahwa preman-preman itu tidak akan membalas dendam setelah kamu berhasil kabur dari tempat itu? Apakah mereka tidak akan mencari dan membawamu kembali ke sana karena hutang yang tidak bisa kamu bayar?" Rafael menambahkan. Hanna mendadak khawatir. Ucapan Rafael memang benar. Darma tak mungkin diam saja setelah semua yang terjadi. Lelaki paruh baya itu pasti akan memerintahkan orang-orang untuk mencari dan membawanya kembali. Selain Hanna harus membayar seluruh biaya rumah sakit dan melunasi hutangnya kepada Darma, hal lain yang ia butuhkan adalah perlindungan. Ya, iya butuh itu. "Apakah saya boleh meminta kompensasinya di awal perjanjian?" ***Hening yang tercipta setelah pernyataan Rafael terasa begitu terasa hingga membuat Hanna sulit bernapas. Ibunya masih menggenggam tangannya, sementara Yoga menatapnya dengan campuran khawatir dan bersalah —seolah kejadian itu adalah kesalahannya, padahal sama sekali bukan.Rafael menatap keduanya, memastikan tidak ada luka, tidak ada sesuatu yang terlewat.“Bu,” ucap Rafael akhirnya, nadanya menurun namun tetap tegas, “mulai hari ini, kediaman Ibu akan dijaga. Saya akan kirim dua orang. Mereka tidak akan mengganggu aktivitas Ibu, tapi Ibu tidak boleh keluar sendirian untuk sementara.”Ibunya Hanna tampak hendak menolak, tetapi kemudian ia melihat lagi cara Rafael berdiri, tegap, terlihat bahaya, dan sepenuhnya mengambang pada satu hal —melindungi Hanna dan orang-orang sekitarnya.Ia mengangguk pelan. “Baik, Nak Rafael.”Yoga mengangkat tangan sebentar, suaranya pelan, “Aku juga akan dijaga?”Rafael menatapnya tanpa banyak ekspresi. “Ya.”Yoga hendak mengangguk, tetapi ia berhenti keti
Pagi baru saja menghangatkan teras kediaman Bachtiar ketika Hanna melangkah keluar dari ruang utama. Setelah percakapan berat dengan Hartono, kepalanya masih penuh suara-suara yang menyisakan decak ngeri. Ia berjalan dengan langkah pelan, seperti seseorang yang sedang belajar kembali mengatur napasnya sendiri.Rafael berdiri menunggunya, bersandar di dinding dengan kedua tangan terlipat. Begitu melihat Hanna keluar, ia segera menjauh dari dinding dan menghampirinya.“Hanna?” suaranya rendah, khawatir.Hanna mengangguk kecil. “Kita bicara di kamar nanti. Sekarang … aku butuh udara.”Rafael mengizinkan, tetap mengikuti beberapa langkah di belakangnya seperti bayangan yang tak mau hilang.Namun, baru lima langkah mereka berjalan, seorang pelayan berlari kecil dari arah gerbang utama.“Pak Rafael! Non Hanna! Ada tamu datang.”Rafael mengerutkan dahi. “Tamu? Siapa?”“Bu Sinta, ibunya Nona Hanna. Dan satu orang lagi —seorang laki-laki bernama Yoga.”Hanna terhenti.“Apa?” suaranya keluar le
“Kenapa ini terdengar sangat rumit dan berbahaya?” Hanna membatin, jari-jarinya menekan sampul map hingga memucat.Rasa dingin merambat perlahan dari tengkuk ke punggungnya. Bukan hanya karena apa yang baru saja ia dengar, tetapi karena tatapan Hartono dan Rafael sama-sama mengarah padanya.Sebagai pusat ancaman.Sebagai sasaran utama.Meski ia tidak pernah meminta satu pun dari semua ini.Rafael melangkah mendekat, berdiri tepat di samping kursi Hanna. Satu tangannya bergerak seolah ingin menyentuh bahu Hanna, namun ia tahan —mungkin takut menyulitkan perasaan Hanna, mungkin juga karena Hartono masih memperhatikan.“Hanna,” panggil Rafael lembut namun tegas.Hanna mendongak. Tatapan Rafael bukan belas kasihan. Bukan pula rasa bersalah. Melainkan ketegasan orang yang sedang membangun dinding pelindung di sekitarnya.“Aku tidak akan membiarkan satu pun menyentuhmu,” lanjutnya.Hanna menelan ludah. Kata-kata itu menghangatkan, sekaligus membuat dadanya sesak.“Rafael benar,” sambung Har
Hening menyelimuti ruangan setelah kalimat itu. Seolah udara ikut membeku bersama bayang-bayang masa lalu yang kembali hidup.Rafael perlahan berdiri. “Kek … kalau benar Rana kembali, dia tidak akan berhenti hanya dengan mengganggu Hanna. Dia akan menyasar perusahaan. Nama keluarga. Bahkan—”“Ya,” potong Hartono pelan, namun tegas. “Dan itu sebabnya kita tidak boleh lengah.”Hanna menatap keduanya, dada sesak. “Apa… Rana punya alasan untuk membalas dendam pada keluarga ini?”Hartono menghela napas. Dalam. Berat. Napas seorang lelaki yang sudah melewati banyak perang, tapi tak menyangka harus menghadapi yang satu ini.“Rana adalah orang yang Kakek anggap keluarga.” Hartono bersandar sedikit, wajahnya tampak lebih tua dari beberapa menit sebelumnya. “Ayahmu, Rafael, juga sangat mempercayainya. Dia masuk ke dalam lingkaran terdekat kami. Tetapi ketika proyek timur bermasalah … dia menghilang. Tanpa jejak. Tanpa menjelaskan apa pun.”Rafael menambahkan dengan suara rendah, “Dia pergi begi
Ruang utama itu selalu memiliki wibawa tersendiri. Pilar kayu jati menjulang kokoh, lukisan-lukisan lama keluarga Bachtiar menghiasi dinding, dan aroma teh pahit kesukaan Hartono masih menggantung di udara.Namun pagi ini, semuanya terasa lebih berat. Seolah ruangan itu sendiri menahan napas.Hartono duduk di kursi kepala meja panjang. Bahunya tegap meski usianya sudah lanjut, rambutnya memutih sempurna, namun matanya —mata yang dulu membangun Bachtiar Grup dari nol, masih setajam baja.Rafael memberi Hanna isyarat untuk duduk di sampingnya, lalu ia sendiri berdiri tegak di hadapan kakeknya.Hartono mengangkat pandangan ketika mereka tiba. “Duduklah, kalian berdua.” Suaranya dalam, tenang, tapi menyimpan tekanan yang membuat udara sejenak menegang.Hanna menelan ludah, mencoba mengatur napas. Ia selalu menghormati Hartono. Bagaimana pun juga, lelaki tua itulah yang membuatnya menjadi bagian dari keluarga konglomerat tersebut —meski statusnya hanyalah kontrak.Namun, tatapan lelaki tua
Cahaya pagi menyusup masuk melalui tirai tipis kamar Hanna, membentuk garis-garis lembut di lantai marmer. Biasanya, pagi di rumah itu terasa hangat dan tenang. Namun hari ini, hawa ketakutan semalam masih menggantung seperti bayangan yang menolak pergi.Hanna duduk di pinggir ranjang, tangan memegangi map cokelat berisi catatan ayahnya. Rasa dingin dari sampul kertas itu seolah menembus kulitnya.Ia belum tidur —hanya menutup mata sebentar setelah Rafael memastikan semua penjagaan ditingkatkan dan pengawal ditempatkan di depan pintu.Ketukan lembut terdengar.Hanna menoleh. Rafael masuk tanpa suara, masih memakai kemeja hitam yang sama sejak semalam. Rambutnya sedikit berantakan, wajahnya lelah —namun sorot matanya tajam dan fokus, seperti seseorang yang tidak boleh goyah walau tubuhnya ingin runtuh.“Kau bangun lebih pagi dari perkiraanku.” Rafael duduk di sampingnya. “Tidak bisa tidur?”Hanna menggeleng pelan. “Tidak setelah… semua itu.”Rafael menghela napas dan menyandarkan siku







