Share

Bab 7

Penulis: Ummu Amay
last update Terakhir Diperbarui: 2025-09-20 14:43:58

Hanna bisa merasakan udara hangat menyapa telinganya ketika satu kalimat meluncur dari bibir si pria asing. Sejenak ia terpaku, mencoba mengabaikan sensasi aneh yang tiba-tiba hadir di dalam hatinya. Selama beberapa detik Hanna terdiam, seperti terbuai karena posisinya sekarang. Hanna yang mencoba menahan tubuh pria di atasnya dengan kedua tangan yang memegang dada, berharap supaya momen yang membuatnya canggung itu segera berakhir.

"Anda mau saya melakukan apa?" Hanna memberanikan diri bertanya. Suaranya lirih dan gugup. Meski lelaki itu memiliki wajah tampan dan badan yang bagus, tetapi jika dirinya harus melakukan seperti apa yang para perempuan di tempat Darma lakukan, Hanna tak akan mau. Ia takut.

Sekian detik Hanna menunggu sembari menatap wajah si pria yang masih memandangnya dalam diam.

Tak berapa lama pria itu beranjak bangun, membuat Hanna bisa bernapas lega yang kemudian memilih untuk duduk sambil menarik selimut.

"Aku mau kamu menikah denganku," ucap pria itu setelah berdiri dan menatap Hanna dengan ekspresi serius.

"Apa? Menikah? Apakah saya tidak salah dengar?" Hanna menatap bingung.

"Tidak," jawab pria itu kemudian berjalan dan duduk di atas sofa yang ada di sudut kamar. Pria itu duduk seraya merentangkan kedua tangannya ke sandaran sofa. Matanya tajam menatap Hanna. "Aku mau kita menikah, tapi hanya sebatas pernikahan kontrak."

'Kontrak?' Hanna bergumam pelan. Dirinya sedikit tak fokus sebab penampilan si pria yang terlibat menggoda. Tubuh bagian atas yang terekspos, tampak begitu sempurna,

"Maafkan saya, tetapi saya tidak mengerti dengan ucapan Anda," kata Hanna mencoba memalingkan muka.

Hanna bisa merasakan pria itu menarik napas panjang, lalu melepas dengan helaan yang tampak berirama.

"Semua yang terjadi, tidak semata-mata karena kebetulan. Aku menolongmu karena permintaan kakekku," kata pria itu kemudian.

"Kakek Anda? Maksudnya?" Hanna menatap tak mengerti.

Pria itu terlihat kesal, tapi ia menyadari kesalahannya karena tidak menjelaskan maksudnya dari awal.

"Kemarilah!" perintah pria itu dengan suara dingin dan terdengar angkuh.

Awalnya Hanna ragu karena penampilannya yang memalukan, tapi sedetik kemudian ia memilih untuk berjalan ke arah sofa.

"Anak buahku akan membawakan pakaian ganti untukmu." Rupanya sikap Hanna yang berusaha menutupi tubuhnya dengan selimut tak luput dari perhatian pria tersebut.

Hanna mengangguk. Langkahnya masih canggung ketika kemudian duduk —agak menjauh dari posisi si pria.

"Makanlah!" kata pria itu lagi terdengar memerintah.

Seketika Hanna menengok ke arah meja di depannya. Di sana tampak sepiring makanan lezat dan mewah, terhidang bersama dua gelas air, air bening dan berwarna.

"Dokter bilang penyebab kamu pingsan karena perutmu kosong."

Hanna ingat kalau dirinya memang belum makan dari pagi. Sejak bangun tidur, pikirannya sudah dibuat pusing mengenai biaya rumah sakit ibunya. Kesadaran sang ibu yang membuat hatinya senang dan bahagia, tidak sejalan dengan kondisi keuangannya yang semakin mengkhawatirkan. Jangankan untuk bayar rumah sakit, untuk beli makanan saja Hanna sudah tidak punya.

Mengingat hal tersebut, air matanya tanpa terasa menetes. Ia ingat ibunya yang mungkin sedang mencarinya sekarang, tapi juga bingung bagaimana harus membayar seluruh biaya rumah sakit yang besar itu.

"Aku menyuruhmu makan, bukan menangis." Pria di dekat Hanna tiba-tiba berkata sinis.

"Maafkan saya. Saya cuma kangen sama ibu saya," ucap Hanna seraya menghapus air matanya. Ia merasa jika pria yang sudah menolongnya itu tidak menyukai hal-hal yang berbau kesedihan.

Perlahan kemudian Hanna meraih piring di depannya. Ia menyantap makanan tersebut dengan penuh kenikmatan. Tak ada gangguan. Pria di dekatnya diam dan membiarkan Hanna menikmati makanannya hingga habis.

"Sekarang, silakan kamu baca surat ini." Tiba-tiba Hanna disodorkan lembaran kertas ke hadapannya. Ia menatap si pria dengan tatapan tak mengerti.

"Itu surat perjanjian menikah kontrak," katanya lagi.

Hanna pun mengambil kertas di depannya, lalu membaca tulisan yang diketik dengan sangat jelas tersebut. Barisan huruf yang berjejer rapi dan mengandung banyak makna, yang mulai memenuhi kepala Hanna. Selain sejumlah uang yang akan pria itu berikan nantinya, ada hal lain yang menjadi perhatian Hanna.

"Rafael Bachtiar? Apakah Anda cucu dari lelaki tua bernama Hartono Bachtiar?" Hanna tampak terkejut.

Pria asing yang ternyata Rafael itu mengangguk. Ia kemudian meraih air berwarna yang ada di depan Hanna, meneguknya hingga setengah. Sedangkan Hanna diam memperhatikan.

Gadis itu jadi teringat sesosok pria tua yang tidak sengaja ditolongnya saat sedang berada di parkiran rumah sakit. Seorang pria tua yang tiba-tiba memintanya untuk menikah dengan cucunya itu ternyata adalah seorang kakek dari lelaki yang kini duduk di sebelahnya itu.

"Sejak awal saya sudah menolak." Hanna menyahut. Ia masih tak percaya ketika takdir terus membawanya pada keluarga kaya raya itu.

"Tapi, sayangnya kakekku benar-benar menyukaimu. Sejak awal bertemu, ia terus meminta dan memaksaku agar mau menikah denganmu." Suara Rafael terdengar kesal.

Dalam kamar yang luas tersebut keduanya sama-sama terdiam, seolah sedang mencoba memahami situasi saat ini.

"Menikah selama dua tahun dan tidak mencampuri urusan pribadi masing-masing, aku pikir itu bukan sesuatu yang sulit yang bisa kamu lakukan." Rafael kembali berbicara.

Mungkin untuk poin itu Hanna setuju. Tapi, "Saya harus tinggal di rumah Anda?" tanya Hanna yang memikirkan nasib ibunya nanti. Apakah ia boleh membawa ibunya? Tapi, apa alasannya? Apakah ia harus cerita mengenai pernikahan kontrak tersebut?

"Kamu pikir apa kata kakekku nanti kalau setelah menikah kita hidup berpisah?" sahut Rafael tampak kesal. "Tentu saja kamu akan tinggal di rumahku. Bahkan, kita akan tidur di kamar yang sama."

Hanna merasa tenggorokannya tercekat. 'Tidur bersama laki-laki yang tidak aku kenal? Bagaimana bisa aku melakukan itu?' batin Hanna yang belum apa-apa sudah merasa ngeri.

"Kamu tenang saja. Tak akan pernah ada sentuhan fisik selama kita menjalani pernikahan kontrak ini," ucap Rafael lagi. "Lagipula, kamu bukanlah tipeku. Aku tidak akan berselera padamu," lanjutnya mengejek, membuat Hanna tersinggung sekaligus lega.

'Kenapa harus aku?' gumam Hanna yang bisa Rafael dengar.

"Kamu jangan senang dulu. Aku yakin alasan kakek memilihmu bukan karena kamu cantik atau karena kelebihan lain yang aku rasa tidak ada," ucap Rafael terdengar menghina. "Tapi, aku pikir karena perempuan seperti kamu akan sangat mudah kakek atur dan kendalikan."

'Perempuan seperti aku? Apakah lelaki ini mau bilang kalau aku perempuan miskin?' batin Hanna sakit hati. 'Tapi, bukankah itu memang fakta?' pikir Hanna kemudian tak jadi marah.

"Aku tak akan memaksa apalagi merayumu," kata Rafael. "Itu sama sekali bukan sifatku," lanjutnya angkuh. "Tapi, kamu tidak lupa dengan ibumu yang saat ini terbaring di rumah sakit bukan? Mengenai biaya pengobatan ibumu yang jumlahnya besar itu, tidak mungkin tidak kamu pikirkan."

Hanna tiba-tiba merasakan satu emosi ketika harus mengingat sosok ibunya.

"Oh ya, satu lagi!" seru Rafael kemudian, membuat Hanna menoleh penasaran. "Apakah kamu berpikir bahwa preman-preman itu tidak akan membalas dendam setelah kamu berhasil kabur dari tempat itu? Apakah mereka tidak akan mencari dan membawamu kembali ke sana karena hutang yang tidak bisa kamu bayar?" Rafael menambahkan.

Hanna mendadak khawatir. Ucapan Rafael memang benar. Darma tak mungkin diam saja setelah semua yang terjadi. Lelaki paruh baya itu pasti akan memerintahkan orang-orang untuk mencari dan membawanya kembali.

Selain Hanna harus membayar seluruh biaya rumah sakit dan melunasi hutangnya kepada Darma, hal lain yang ia butuhkan adalah perlindungan. Ya, iya butuh itu.

"Apakah saya boleh meminta kompensasinya di awal perjanjian?"

***

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Malam Pertama Penuh Gairah Bersama Cucu Presdir   Bab 80

    Langit malam mulai digantikan cahaya lembut dini hari. Jam menunjukkan pukul dua lewat lima belas, namun ruang kerja di lantai dua kediaman keluarga Bachtiar masih menyala terang.Rafael duduk di kursinya, menatap layar laptop yang menampilkan barisan data dari sistem keamanan rumah. Beberapa log aktivitas mencurigakan tercatat sekitar pukul sebelas malam —waktu yang sama dengan saat Hanna melihat sosok di taman.Ia mengetik cepat, membuka rekaman CCTV. Namun, layar hanya terlihat bayangan hitam putih. Tidak ada gambar, tidak ada suara.Rafael mengetuk meja dengan jari telunjuk, napasnya berat.“Tidak mungkin,” gumamnya pelan. “Sistem ini terkunci ganda. Seharusnya tidak bisa diakses tanpa izin.”Di sisi lain ruangan, Hanna berbaring di sofa kecil, memeluk bantal, mencoba menahan kantuk dan rasa cemas. Tatapannya sesekali beralih ke Rafael, yang wajahnya kini terlihat tegang.“Kenapa? Ada yang aneh?” tanya Hanna pelan. "Kenapa kau tak juga tidur?" Rafael malah balik bertanya. "Entah

  • Malam Pertama Penuh Gairah Bersama Cucu Presdir   Bab 79

    Hanna menatap layar ponsel itu lama, menunggu balasan lain yang tak kunjung muncul. Suara jam dinding berdetak pelan, tapi entah mengapa, malam terasa menyesakkan.Ia memutuskan untuk keluar kamar. Langkahnya ringan, tapi hati kecilnya berdebar tidak wajar. Ia berjalan menyusuri koridor menuju dapur, sekadar ingin meneguk air putih dan menenangkan diri. Namun, baru beberapa langkah, bayangan seseorang terlihat di luar jendela kaca.Tubuh Hanna menegang seketika.Refleks, ia mematikan lampu meja kecil dan bersembunyi di balik tirai. Dari celah sempit, ia melihat sosok tinggi berjaket hitam berdiri di tepi taman, menatap ke arah rumah.Hanna menutup mulutnya, menahan napas.Ia tidak tahu harus memanggil siapa —Rudi sudah pulang karena tidak ada jadwal berjaga malam ini, dan Rafael tengah sibuk di ruang kerjanya.Setelah beberapa menit yang terasa sangat lama, sosok itu akhirnya pergi. Tapi, jejak ketakutan yang ditinggalkan tidak ikut menghilang.Hanna melangkah mundur, tubuhnya gemetar

  • Malam Pertama Penuh Gairah Bersama Cucu Presdir   Bab 78

    Sore menjelang malam. Rumah keluarga Bachtiar tampak hening, hanya suara detak jam dinding yang terdengar samar. Rafael baru pulang dari kantor, langkahnya teratur tapi dingin. Wajahnya tampak tegas, tanpa ekspresi, seolah sejak pagi ia menutup rapat semua rasa terlebih emosi.Di meja makan, Hanna sedang menata piring di atas meja. Tanpa banyak bicara, tanpa menoleh ketika Rafael lewat.“Di mana Kakek?” tanya Rafael sembari celingak celinguk, mengedarkan pandangan ke seluruh ruang makan. Hanna hanya menjawab, masih tidak menoleh. “Menjenguk salah satu temannya di rumah sakit.”Rafael mengangguk. Tak ada lagi percakapan. Hanya suara gesekan sendok dan piring yang terasa lebih nyaring dari seharusnya.Beberapa menit kemudian, Rafael menatap punggung Hanna yang membantu pelayan membereskan piring. “Aku dengar Nadya datang ke toko.”Hanna berhenti, tapi tidak berbalik. “Rudi yang memberi tahu, ya?”Rafael tidak menjawab langsung. “Seharusnya kau tidak perlu menanggapinya.”“Aku tidak me

  • Malam Pertama Penuh Gairah Bersama Cucu Presdir   Bab 77

    Cahaya pagi menembus tirai, memantul lembut di ruangan yang terasa terlalu hening untuk ukuran kamar utama keluarga Bachtiar. Burung-burung di taman berkicau seperti biasa, tapi bagi Rafael, suara itu tidak terdengar menenangkan. Ia membuka mata dengan kepala berat dan pikiran yang penuh sesal.Matanya menatap sisi ranjang yang kosong —selimut masih rapi, tanpa tanda bahwa Hanna sempat kembali.Ia mendesah pelan, lalu duduk. “Bodoh,” gumamnya sendiri.Beberapa detik ia hanya memandangi cermin di seberang tempat tidur, menatap wajahnya sendiri dengan tatapan yang sulit diartikan.Ia tampak rapi seperti biasa, tapi di balik kemeja putih dan jas hitam yang ia kenakan, ada hati yang kacau dan pikiran yang tak tenang.Rafael turun ke lantai bawah. Langkah kakinya pun terhenti di depan pintu kamar tamu, di mana sosok sang istri berada di baliknya. Dari celah bawah pintu, ia bisa melihat cahaya lampu menyala.Rafael mengetuk pelan, tapi tak ada jawaban.“Hanna...” suaranya nyaris tak terdeng

  • Malam Pertama Penuh Gairah Bersama Cucu Presdir   Bab 76

    Suasana rumah malam itu terasa dingin, jauh berbeda dari biasanya. Hanna duduk di sofa di dalam kamar sambil memegang cangkir teh yang sejak tadi tak disentuh. Pikiran dan perasaannya masih bercampur aduk —antara marah, sedih, dan bingung.Sementara Rafael berada di ruang kerja, terdengar bunyi ketikan keyboard yang terputus-putus.Sepertinya pekerjaan di kantor banyak yang harus diselesaikan, yang membuatnya tidak terlalu memperhatikan Hanna sepanjang Rafael pulang dari bekerja. Saat Hanna baru selesai dengan buku di tangannya —yang bahkan tidak ia pahami sedikit pun isinya, karena pikirannya yang masih tertinggal di lobi kantor, tiba-tiba terdengar suara dering ponsel milik Rafael saat pintu di ruang sebelah tertutup. Nama di layar menunjukkan Rudi, pengawal pribadi yang selama ini Rafael percayai untuk menjaga Hanna. Nada bicara Rafael santai di awal, tapi perlahan ekspresinya berubah. Wajahnya mengeras, suaranya menurun, lalu tanpa sadar pandangannya mengarah ke arah Hanna saat

  • Malam Pertama Penuh Gairah Bersama Cucu Presdir   Bab 75

    Keesokan harinya, Hanna bangun lebih awal. Ia membantu menyiapkan sarapan seperti biasa, berusaha tampak normal di depan Hartono dan Rafael.Tapi, tatapan matanya sedikit berbeda —lebih tenang di luar, padahal di dalam dirinya ada badai kecil yang ia sembunyikan dengan sangat hati-hati.“Tidak ke toko hari ini?” tanya Hartono sambil menyeruput kopi.Hanna tersenyum lembut. “Masih, Kek. Tapi agak siang. Ada urusan sedikit yang harus aku selesaikan.”Hartono mengangguk tanpa curiga. Rafael, yang duduk di seberangnya, menatap istrinya sekilas. “Kalau butuh aku antar, bilang saja.”“Tidak usah. Aku bisa minta antar Rudi,” balas Hanna, tetap tenang.Rafael mengangguk pelan. Ada sesuatu yang berbeda dari cara Hanna menjawabnya, tapi ia tidak mau memaksakan tanya.Ia pikir Hanna masih lelah dengan urusan toko. Padahal, wanita itu sudah membuat rencana —rencana yang bisa mengubah segalanya.**Jam menunjukkan hampir pukul dua ketika Hanna tiba di depan gedung megah milik keluarga Bachtiar ber

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status