Share

Belum Selesai

Author: Nia Kannia
last update Last Updated: 2025-07-11 23:23:56

"Bapak makan aja dulu, setelah itu baru saya jawab pertanyaan-pertanyaan Bapak itu."

Melati mengangkat nampan ke pangkuan sang majikan. Kali ini tanpa penolakan.

"Jangan bohongin saya, ya, Mel. Kamu udah janji loh." Kaivan menegaskan.

"Iya, Pak. Saya gak ingkar janji, tapi saya hanya jawab yang saya tahu aja." Melati berucap tanpa beranjak ke mana pun. Ia masih berdiri tegap di tempat yang sama, denga posisi tangan di belakang pinggang—layaknya seorang bodyguard bersiaga untuk tuannya.

mengangguk. Kemudian mulai menyantap hidangan makan siang yang disiapkan khusus untuknya. Setelah satu suap, ia terdiam sejenak.

"Ini masakan istri saya, Mel," ucap Kaivan pelan, tetapi yakin.

Melati mengangguk. "Iya, Pak. Bu Alya yang masak tadi pagi sebelum pergi. Yang tadi pagi dihidangkan untuk Bapak tapi tidak Bapak sentuh," sindir Melati kemudian tanpa ekspresi.

Kaivan tidak mengatakan apa pun lagi. Ia terus menyantap makanannya sampai habis. Tanpa diingatkan Melati, ia juga meminum obat yan
Continue to read this book for free
Scan code to download App
Locked Chapter
Comments (2)
goodnovel comment avatar
madul
biarkan kaivan,azzam hancur bersama akibat penghianatan mereka yg udh menyakiti istinya,bgtu jg aira yg hancur krna akal liciknya
goodnovel comment avatar
Yeni Royani
ku harap dua laki paruh baya ini bersikap tegas sama aira. ga sabar nunggu aira masuk RS. jiwa...
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Malam Pertama dengan Dosenku   Tamu Tak Diundang

    Satu jam yang lalu.Aira membuka handel pintu setelah wanita yang dalam tiga hari terakhir itu rutin menemuinya untuk mengajak mengobrol.Sama seperti dua hari sebelumnya, pintu sepeda sengaja tidak dikunci. Sebenarnya Aira hanya ingin menuntaskan rasa penasarannya saja—di mana dirinya berada sekarang. Aira mulai menuruni tangga perlahan dengan langkah mengendap-endap. Tidak ada siapa pun setelah sampai di bawah. Aira berhenti ketika sampai di sebuah ruangan yang sepertinya ruang keluarga. Pandangannya terpaku pada figura besar yang tergantung di ruangan itu. Wajah-wajah yang ia kenal ada di sana. Azzam, Lysandra, Rayyan, beberapa orang lainnya ia belum mengenalnya. Satu lagi, wanita paruh baya di samping Azzam pernah menemuinya di kamar asing itu.Aira menoleh ketika samar-samar mendengar orang sedang mengobrol. Aira melangkah pelan mendekati sumber suara yang ternyaman dari arah ruang makan."Mas Kai udah pulang dari rumah sakit, Mas?"“Udah, kemarin." Azzam menghela napas pelan.

  • Malam Pertama dengan Dosenku   Antara Kail dan Perasaan

    Suara pintu terbuka lembut, seperti sebelumnya. Cahaya dari luar membentuk siluet pada dinding. Aira duduk di pojok matras, kali ini tidak langsung berdiri atau memaki. Rambutnya sudah sedikit lebih rapi, meski tetap tampak lesu. Wajahnya juga tak lagi menegang seperti hari-hari awal. Namun, mata bulatnya masih waspada. Perempuan yang sama kemarin kembali masuk, membawa buku catatannya dan secangkir air putih. Perempuan itu kembali duduk di kursi lipatnya. Mereka diam cukup lama. Namun, diam itu tidak menciptakan tekanan. Justru seperti … ruang untuk bernapas. “Kemarin kamu nanya, apa yang bikin aku bahagia terakhir kali. Aku mikir,” kata Aira tiba-tiba. Perempuan itu tidak menoleh cepat, hanya mengangkat kepalanya pelan—menunggu. “Aku ingat waktu aku akhirnya bisa bawa Rava pulang dari panti, tanpa rasa takut atau khawatir dihujat atau seseorang mencari masa laluku. Dan, hari itu ngerasa kayak hidupku paling kompit.” Aira menggigit bibir bawahnya. “Aku ngerasa dibutuhkan dan d

  • Malam Pertama dengan Dosenku   Pemulihan dan Harapan

    Aira langsung berdiri, penuh kewaspadaan. “Siapa kamu?”Wanita itu tak menjawab. Ia menutup pintu denger sangat perlahan, lalu berjalan mendekat sambil membuka buku catatannya. Sepatu flats-nya menjejak lantai dengan suara nyaris tak terdengar.“Aku cuma mau ngobrol sama kamu, Aira,” ucapnya tenang, seraya menarik kursi lipat dari balik pintu dan meletakkannya di dekat matras tempat Aira tidur.“Aku gak butuh ngobrol. Aku cuma butuh keluar dari sini!” bentak Aira. Suara yang diciptakan pita suaranya cukup serak. Mata Aira merah dan terlihat lelah. Wajahnya tampak makin kurus dibandingkan hari pertama ia masuk ke ruangan ini.Wanita itu hanya duduk dan menatap Aira. Tanpa ekspresi takut. Terlihat sama sekali tidak tersinggung dengan sikap Aira. Juga tanpa penghakiman.“Bagaimana rasanya tidur di lantai dingin seperti ini?” tanyanya pelan.Aira berkedip, tubuhnya refleks mundur. “Apa maksudmu?”“Tubuhmu terasa pegal, ‘kan? Sulit tidur, bahkan sulit percaya kapan waktu akan berubah. Tid

  • Malam Pertama dengan Dosenku   Ikut ke Mana Kamu Pergi

    Suara alat bantu pernapasan masih mendesis pelan. Garis-garis pada monitor berdetak stabil, tetapi belum benar-benar tenang. Kaivan membuka mata sepenuhnya. Cahaya putih dari lampu rumah sakit membuatnya memicing. Pandangannya menyapu sekeliling, lalu berhenti pada satu wajah. Ia ingin tersenyum meski kecil, tetapi ia seperti lupa bagaimana cara tersenyum. Sehingga, lengkungan itu tak terbentuk sama sekali. Seolah-olah syaraf-syaraf otot senyumnya sedang melemah. Selemah fisik dan hatinya sekarang. Alya duduk di sampingnya, memeluk jaketnya sendiri, tanpa ekspresi. Lebih tepatnya, ekspresi datar. Wajah paruh baya itu tetap cantik meski sedikit sembab. Tatapannya tidak dingin, tetapi juga jauh dari hangat. Benar-benar flat. Kaivan mulai menyisir pandang ke sekeliling ruangan. Sekilas, dia tampak bingung. “Aku... di mana, Yang?” S tanyanya dengan suara sedikit serak. Dan, kalimat itu keluar pelan, terdengar sedikit tersendat. Ia menelan ludah. Gerakan lehernya seperti terbatas.

  • Malam Pertama dengan Dosenku   Kenangan Terakhir?

    Sebuah usapan lembut mampir di bahu kiri Rayyan. Ia menoleh, dan dunia seolah berhenti berputar. Rayyan seperti kembali pulang dari gelombang-gelombang pikirannya yang berkelana menembus pintu kaca ruang perawatan intensif. “Mama” suara itu keluar seperti bisikan, tercekat di antara rasa terkejut dan tak percaya. Alya berdiri di sana. Wajahnya pucat, matanya sedikit sembab, meski masih menyiratkan sebuah kata tegar. Hijap panjangnya berkibar kecil karena tersapu angin dari AC rumah sakit. Senyum tipis menghiasi wajahnya, tetapi tak bisa menyembunyikan gugup dan pedih yang mengendap di hatinya. “Ray,” katanya lirih, “Mama di sini.” Tanpa berkata-kata, Rayyan memeluk ibunya. Kencang. Tangannya bergetar. Pelukan itu seperti jembatan dari ribuan perasaan yang tak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Lysandra menoleh, refleks berdiri dari bangku. Ia menghampiri Alya, lalu memeluk wanita itu juga. “Ma, Maaf … Papa … dia …. Ly salah juga karena kurang memperhatikan Papa,” kata Lysand

  • Malam Pertama dengan Dosenku   Panik

    Suara detak mesin pemantau detak jantung memenuhi ruangan putih dengan cahaya lampu yang terasa terlalu terang. Kaivan terbaring tak sadarkan diri di atas ranjang ICU. Selang oksigen menempel di hidungnya. Monitor di sisi kanan menampilkan garis yang naik turun pelan, kadang cepat, kadang nyaris datar. Lysandra duduk di kursi yang disediakan rumah sakit, menunduk sambil menggenggam tangan mertuanya. Tangannya gemetar, tetapi ia tetap bertahan. Rayyan berdiri tak jauh dari pintu. Wajahnya murung, matanya merah. Ia tidak banyak bicara sejak ambulans membawa sang ayah pagi tadi. Dokter masuk disusul dua perawat. Suasana mendadak menegang. Lysandra berdiri untuk memberi ruang pada tim tenaga kesehatan untuk melakukan pemeriksaan. “Bagaimana kondisi Papa saya, Dok?” tanya Rayyan cepat. Dokter yang masih muda itu menatap keduanya dengan pandangan serius, tetapi tetap tenang. “Dari gejala awal, kami duga ini akibat hipertensi berat yang menyebabkan pecahnya pembuluh darah kecil

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status