Share

Takut Baper

Penulis: Nia Kannia
last update Terakhir Diperbarui: 2025-03-21 09:05:51

Pak Kaivan yang sepertinya sadar dengan penolakanku menyambut tangannya, memundurkan tubuh sedikit. Ia kemudian membiarkanku melangkah lebih dulu.

Aku terkesiap saat ada yang membukakan pintu untuk kami saat aku baru saja sampai di teras. Tepat di depan pintu.

“Eh, sudah datang?” ucap wanita paruh baya dengan pakaian sederhana dan tertutup yang membuka pintu.

Pak Kaivan yang ada di belakang, melewatiku kemudian segera menyalami wanita paruh baya itu dengan takzim. Aku pun mengikuti gerakannya meski tanda tanya bercokol di kepala tentang siapa wanita ini? Ibunyakah? Hmm ... sepertinya bukan.

“Oya, Alya. Ini Bu Rumi. Sudah seperti ibu saya sendiri. Beliau yang akan menemani kamu tinggal di sini.” Pak Kaivan menatapku sepintas.

Benar, 'kan? Memang bukan ibunya. Jadi, Bu Rumi yang akan menemaniku di rumah ini? Baiklah, sepertinya tidak buruk. Menurut perkiraanku Bu Rumi masih lebih muda daripada ibuku.

Ah, Ibu. Aku jadi teringat, aku sudah berbohong pada Ibu dan Ayah.

Pak Kaivan menyengol lenganku, membuatku terkesiap. Aku pun mengangguk hormat, tetapi kikuk pada wanita di depan kami.

“Kalian pasti lapar. Makan malam baru saja siap.” Suara Bu Rumi terdengar halus dan ramah. Wajahnya tampak sumringah menatap kami bergantian.

Wanita itu mengambil tanganku, kemudian menggiringku ke dalam. Aku pun mengikuti ke mana dia pergi dengan sedikit rasa canggung.

Sementara Pak Kaivan sepertinya mengikuti di belakang.

Dering ponsel Pak Kaivan menginterupsi langkah kami. Aku melempar pandang padanya sesaat. Dia pun menatapku sepintas sebelum kemudian buru-buru mengangkat, kemudian berbalik arah.

Sementara Bu Rumi menuntunku melanjutkan langkah.

Aku masih sempat melirik ke arah Pak Kaivan yang serius menerima panggilan entah dari siapa.

"Ah, memang siapa lagi yang bisa bikin dia bersemangat angkat telepon kalau bukan istrinya? Ya Allah, aku juga istrinya, kan?” keluhku dalam hati.

Duh, Alya, tahu diri ajalah.

Aku menarik bibir ke samping saat Bu Rumi menepuk pelan bahuku yang ia rangkul. Apakah beliau bisa membaca kegelisahanku?

“Hmmm, Ibu ini ...?” Aku menggantung ucapan, mencoba mencairkan suasana yang beku.

“Ibu yang ngasuh Nak Kaivan sejak kecil.” Senyum itu terlihat begitu tulus di mataku.

Aku pun mengangguk tanda mengerti. Sebenarnya aku ingin bertanya lebih lanjut tentang semua yang berhubungan dengan suamiku itu. Tanya tentang Bu Kinan misalnya. Namun, mungkin tidak sekarang. Masih banyak waktu, bukan?

“Buk, saya titip Alya, ya. Sepertinya saya harus pergi sekarang.” Suara Pak Kaivan tiba-tiba muncul di belakang kami.

Aku sudah duduk di depan meja makan. Sementara Bu Rumi yang tengah menyendokkan nasi ke piringku pun menoleh pada pria itu.

“Tapi kamu belum makan, Nak. Ibu sudah masak makanan kesukaan kamu loh, ini ada pepes ikan mas, lengkap daun singkong rebus dan sambal terasi.” Aku bisa melihat dengan jelas raut kecewa di wajah wanita paruh baya itu.

Pak Kaivan menatap meja makan. Aku bisa melihat dengan jelas ia menelan ludah.

Bu Rumi terlihat mengulas senyum lebar saat melihat Pak Kaivan berjalan mendekati meja makan.

“Ya udah deh, sayang kalau nggak dicicip. Dikit saja nggak apa, ya, Buk. Soalnya tadi sudah janji makan di rumah, Kinan sudah masak juga.”

Bu Rumi mengangguk dengan senyum bahagia. Aku mengamati gerakan sedikit terburu-buru Pak Kaivan yang menyendok nasi dan mengambil lauk dan sayur, lengkap dengan sambalnya.

Sementara aku yang sudah mulai menyendok makanan terkesiap dan berhenti saat dia mengambil duduk di sampingku.

“Makan yang banyak, Al. Biar dia tumbuh sehat di dalam sini.” Pak Kaivan berucap dengan pelan.

Sedetik kemudian, entah dengan sadar atau tidak, dia mengelus perutku pelan. Refleks membuatku menahan napas. Tindakannya benar-benar di luar dugaan. Membuat frekuensi detak jantung ini seketikameningkat.

Duh, tolong. Aku takut baper.

Memalukan. Aku tidak dapat mengontrol suhu di pipi yang semakin menghangat.

Namun, ada hal yang lebih mengganggu otakku. Bagaimana jika wanita paruh baya itu mendengar dan tahu ke mana arah kalimat Pak Kaivan? Sungguh, aku belum siap jika dipandang rendah oleh orang yang bahkan belum kukenal. Terlebih orang itu akan tinggal bersamaku. Meski aku tahu, lambat laun ibu asuh suamiku itu akan tahu juga, tetapi sekarang aku belum siap.

“Pak ....” Aku menepis pelan tangan Pak Kaivan.

Selain canggung karena kami baru menikah dan mengingat status pernikahan ini, menurutku seharusnya Pak Kaivan tidak melakukan ini di depan Bu Rumi.

Bagaimana kalau wanita paruh baya itu mendengar dan tahu hubungan kami yang sebenarnya. Aku hanya berharap semoga Bu Rumi di seberang kami itu tidak mengerti maksud kalimat Pak Kaivan barusan.

Pria berambut lurus itu menarik tangannya kembali. Mungkin mengerti apa yang tengah kurasakan sekarang.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Malam Pertama dengan Dosenku   Pertanyaan Lysandra

    Suasana kafe bagian depan mendadak berubah hening—seakan orang-orang di sekitar lupa bernapas. Kalimat itu ....“Karena dia... anak kandung Papa. Sama seperti kamu.”Udara mendadak terasa berat. Mata Aira membelalak, tubuhnya juga terasa kaku. Seolah-olah bagian dari dirinya berhenti bekerja. Napasnya tercekat, tenggorokan pun terasa mengering. Ia menatap Azzam sejenak—tak tahu harus berkata apa. Juga tidak tahu harus merasa seperti apa.Tubuhnya seakan tersedot ke dalam pusaran yang tak kasat mata. Kepalanya penuh. Dadanya sesak. Mirisnya tak ada satu kata pun yang lolos dari bibirnya. Entah itu berupa amarah atau pun sekadar tanya. Rasa di dalam hatinya kini sulit untuk diraba. Terasa begitu ambigu dan membingungkan. Ia ingin menganggap kalimat pria paruh baya itu hanyalah igauan belaka.Aira kemudian membalikkan tubuh dan segera mengais langkah cepat. Bukan berlari, tetapi cukup tegas. Ia lebih seperti seseorang yang butuh melarikan diri sebelum hatinya meledak.Azzam hanya bisa

  • Malam Pertama dengan Dosenku   Pengakuan

    "Siapa sebenernya Pak Azzam ini? Kenapa seolah tahu segalanya tentang ibu saya?"Azzam bergeming lagi. Sikapnya tetap tenang. Setidaknya ia mampu menyembunyikan ketegangan dalam hatinya dengan wajah dan kalimat yang tenang.Aira memutuskan untuk berdiri, lalu memutar tubuh. Berniat meninggalkan Azzam begitu saja. Tak peduli akan bagaimana nasibnya. Ia sama sekali tidak takut dipecat karena bersikap tidak baik pada pimpinan. "Sahara!" Namun, suara itu mampu memutus langkahnya yang hampir saja masuk kembali ke dalam kafe. Perlahan ia menoleh."Sahara adalah nama kecilmu, bukan?" tebak Azzam dengan penuh keyakinan.Aira terdiam. Sekujur tubuhnya terasa dingin. Entah karena senja yang mulai turun, atau karena nama itu—nama yang seharusnya tak ada seorang asing pun tahu.Selain dari Kaivan, Azzam juga menggali informasi melalui orang-orang suruhannya."Siapa sebenarnya Pak Azzam ini? Kenapa seolah tahu segalanya tentang Ibu saya?" suara Aira seolah menggema ulang. Terdengar pecah, seten

  • Malam Pertama dengan Dosenku   Seperti Tahu Segalanya

    Suasana di luar kafe perlahan meredup, disapu cahaya sore yang jatuh miring di trotoar. Aira berdiri beberapa langkah dari pintu, sementara pria itu—Azzam—berdiri diam di hadapannya. Tak ada pelanggan lain, hanya lalu-lalang kendaraan dan desau angin yang membawa suara klakson dari kejauhan."Sebentar saja?" Suara Azzam lemah. Bukan hanya suara, tetapi tatapannya juga. Aira menimbang. Tubuhnya ingin menolak, tetapi rasa penasarannya terlanjur merangkak masuk ke dadanya. Apa yang ingin dibicarakan pria paruh itu?Ia menoleh sebentar ke dalam, memastikan Galang tidak memperhatikannya, lalu mengangguk.“Silakan.”Mereka duduk di bangku kecil di sisi kanan kafe. Meja bundar aluminium bergetar sedikit saat Aira meletakkan ponsel di atasnya. Sebenarnya ia masih menunggu balasan pesan chat yang ia kirim sejak pagi, tetapi belum terbaca—apalagi balasan.Tangan wanita itu menyatu di pangkuan, sedang Azzam hanya menatapnya sebentar lalu menunduk.“Terima kasih. Ini mungkin terdengar aneh atau

  • Malam Pertama dengan Dosenku   Tak Punya Pilihan

    ["Om, apa kita bisa ketemu?"] Kaivan membaca pesan chat di ponselnya. Dia kemudian meletakkan ponsel di meja makan, kemudian melanjutkan makan. ["Plis, Om. Ada hal penting yang mau aku tanyain. 🥺"] Alya yang berada di sebelahnya menoleh pada sang suami. "Kayaknya dia lagi butuh banget sama kamu, Mas." Alya berucap. "Biar saja, tugasku sudah selesai. Bair Azzam yang melanjutkan." "Memangnya Mas Azzam bakal bisa mengatakan semua gitu aja, Mas?" tanya Alya. Kaivan menatap istrinya. "Aku gak mau masuk lebih dalam lagi, Yang," desahnya lirih. Layar ponsel Kaivan menyala lagi. [Maaf, untuk apa yang terjadi beberapa waktu lalu, Om!] Alya menatap Kaivan bingung. "Cck.“ Pria paruh baya itu berdecak. "Baru baca chatnya aja kamu udah lihatin aku penuh kecurigaan lagi. Apalagi kalau aku temuin dia." Kaivan memandangi layar ponselnya. Jempolnya sempat bergerak untuk membalas, tetapi berhenti di tengah jalan. Ia kembali menaruh ponsel ke meja. Kembali ke nasinya yang sudah

  • Malam Pertama dengan Dosenku   Bukan Pelanggan Biasa

    “Jelas aja gak asing, emang siapa yang gak kenal sama dia?”Suara itu muncul tiba-tiba dari arah samping kanan Aira, membuat tubuhnya refleks menoleh cepat.Ternyata itu suara Galang, manajer kafe yang memang dikenal muncul tanpa suara seperti hantu shift sore. Sudah dua minggu ini pria paruh baya itu makin sering berdiri dan terlalu dekat saat berbicara. Bukan mengganggu, tetapi cukup untuk membuat Aira tak nyaman."Maksud Pak Galang?" Aira bertanya dengan nada santai, meski alisnya sedikit terangkat.Galang menunjuk samar ke arah luar jendela, ke tempat seorang pria baru saja berjalan menjauh dari kafe. Sosok yang belakangan merasa Aira kenali, meski tak bisa menyebutkan dari mana.“Masa kamu gak kenal sih sama beliau?”Aira menggeleng, ekspresinya polos, tetapi tetap waspada. “Saya memang gak kenal, Pak.”Galang terkekeh, seperti mendapati sesuatu yang lucu. “Beliau tuh ... salah satu pendiri jaringan bisnis kuliner terbesar di kota ini. Kafe ini juga masih ada di bawah jaringan g

  • Malam Pertama dengan Dosenku   Perbincangan Singkat

    Beberapa kali Azzam datang ke sana lagi. Ia memesan menu berbeda, duduk di meja yang berbeda, dan kadang berpura-pura jadi pelanggan tetap. Tapi tiap kali, reaksinya tetap sama. Aira tak pernah mengenalnya. Ah, memang apa yang ia harapkan? Berharap Aira akan mengenalnya sebagai ayah begitu saja. Azzam bahkan terlalu pengecut untuk menyapanya. Ia pun hanya bisa melihat dari balik meja. Menjadi bayangan yang tak terlihat.a Hingga hari itu. Kafe sepi. Pelanggan hanya dua orang di pojok dan satu yang baru saja pergi. Aira sedang merapikan buku catatan order ketika suara Azzam memanggil. “Hmm Dek.” Aira menoleh. “Iya, Pak?” “Kalau boleh tahu ... kamu asli mana?” Aira tampak bingung sejenak, lalu tersenyum sopan. “Saya dilahirkan di Medan, Pak. Tapi besar di Jakarta.“ “Oh ....” Azzam menunduk sebentar, lalu berkata, “Orang tua kamu masih ada?” Pertanyaan itu membuat ekspresi Aira sedikit berubah. Namun, ia cepat mengendalikannya. “Saya dibesarkan keluarga angkat. Orang tu

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status