Pak Kaivan yang sepertinya sadar dengan penolakanku menyambut tangannya, memundurkan tubuh sedikit. Ia kemudian membiarkanku melangkah lebih dulu.
Aku terkesiap saat ada yang membukakan pintu untuk kami saat aku baru saja sampai di teras. Tepat di depan pintu. “Eh, sudah datang?” ucap wanita paruh baya dengan pakaian sederhana dan tertutup yang membuka pintu. Pak Kaivan yang ada di belakang, melewatiku kemudian segera menyalami wanita paruh baya itu dengan takzim. Aku pun mengikuti gerakannya meski tanda tanya bercokol di kepala tentang siapa wanita ini? Ibunyakah? Hmm ... sepertinya bukan. “Oya, Alya. Ini Bu Rumi. Sudah seperti ibu saya sendiri. Beliau yang akan menemani kamu tinggal di sini.” Pak Kaivan menatapku sepintas. Benar, 'kan? Memang bukan ibunya. Jadi, Bu Rumi yang akan menemaniku di rumah ini? Baiklah, sepertinya tidak buruk. Menurut perkiraanku Bu Rumi masih lebih muda daripada ibuku. Ah, Ibu. Aku jadi teringat, aku sudah berbohong pada Ibu dan Ayah. Pak Kaivan menyengol lenganku, membuatku terkesiap. Aku pun mengangguk hormat, tetapi kikuk pada wanita di depan kami. “Kalian pasti lapar. Makan malam baru saja siap.” Suara Bu Rumi terdengar halus dan ramah. Wajahnya tampak sumringah menatap kami bergantian. Wanita itu mengambil tanganku, kemudian menggiringku ke dalam. Aku pun mengikuti ke mana dia pergi dengan sedikit rasa canggung. Sementara Pak Kaivan sepertinya mengikuti di belakang. Dering ponsel Pak Kaivan menginterupsi langkah kami. Aku melempar pandang padanya sesaat. Dia pun menatapku sepintas sebelum kemudian buru-buru mengangkat, kemudian berbalik arah. Sementara Bu Rumi menuntunku melanjutkan langkah. Aku masih sempat melirik ke arah Pak Kaivan yang serius menerima panggilan entah dari siapa. "Ah, memang siapa lagi yang bisa bikin dia bersemangat angkat telepon kalau bukan istrinya? Ya Allah, aku juga istrinya, kan?” keluhku dalam hati. Duh, Alya, tahu diri ajalah. Aku menarik bibir ke samping saat Bu Rumi menepuk pelan bahuku yang ia rangkul. Apakah beliau bisa membaca kegelisahanku? “Hmmm, Ibu ini ...?” Aku menggantung ucapan, mencoba mencairkan suasana yang beku. “Ibu yang ngasuh Nak Kaivan sejak kecil.” Senyum itu terlihat begitu tulus di mataku. Aku pun mengangguk tanda mengerti. Sebenarnya aku ingin bertanya lebih lanjut tentang semua yang berhubungan dengan suamiku itu. Tanya tentang Bu Kinan misalnya. Namun, mungkin tidak sekarang. Masih banyak waktu, bukan? “Buk, saya titip Alya, ya. Sepertinya saya harus pergi sekarang.” Suara Pak Kaivan tiba-tiba muncul di belakang kami. Aku sudah duduk di depan meja makan. Sementara Bu Rumi yang tengah menyendokkan nasi ke piringku pun menoleh pada pria itu. “Tapi kamu belum makan, Nak. Ibu sudah masak makanan kesukaan kamu loh, ini ada pepes ikan mas, lengkap daun singkong rebus dan sambal terasi.” Aku bisa melihat dengan jelas raut kecewa di wajah wanita paruh baya itu. Pak Kaivan menatap meja makan. Aku bisa melihat dengan jelas ia menelan ludah. Bu Rumi terlihat mengulas senyum lebar saat melihat Pak Kaivan berjalan mendekati meja makan. “Ya udah deh, sayang kalau nggak dicicip. Dikit saja nggak apa, ya, Buk. Soalnya tadi sudah janji makan di rumah, Kinan sudah masak juga.” Bu Rumi mengangguk dengan senyum bahagia. Aku mengamati gerakan sedikit terburu-buru Pak Kaivan yang menyendok nasi dan mengambil lauk dan sayur, lengkap dengan sambalnya. Sementara aku yang sudah mulai menyendok makanan terkesiap dan berhenti saat dia mengambil duduk di sampingku. “Makan yang banyak, Al. Biar dia tumbuh sehat di dalam sini.” Pak Kaivan berucap dengan pelan. Sedetik kemudian, entah dengan sadar atau tidak, dia mengelus perutku pelan. Refleks membuatku menahan napas. Tindakannya benar-benar di luar dugaan. Membuat frekuensi detak jantung ini seketikameningkat. Duh, tolong. Aku takut baper. Memalukan. Aku tidak dapat mengontrol suhu di pipi yang semakin menghangat. Namun, ada hal yang lebih mengganggu otakku. Bagaimana jika wanita paruh baya itu mendengar dan tahu ke mana arah kalimat Pak Kaivan? Sungguh, aku belum siap jika dipandang rendah oleh orang yang bahkan belum kukenal. Terlebih orang itu akan tinggal bersamaku. Meski aku tahu, lambat laun ibu asuh suamiku itu akan tahu juga, tetapi sekarang aku belum siap. “Pak ....” Aku menepis pelan tangan Pak Kaivan. Selain canggung karena kami baru menikah dan mengingat status pernikahan ini, menurutku seharusnya Pak Kaivan tidak melakukan ini di depan Bu Rumi. Bagaimana kalau wanita paruh baya itu mendengar dan tahu hubungan kami yang sebenarnya. Aku hanya berharap semoga Bu Rumi di seberang kami itu tidak mengerti maksud kalimat Pak Kaivan barusan. Pria berambut lurus itu menarik tangannya kembali. Mungkin mengerti apa yang tengah kurasakan sekarang.Pria berambut lurus itu menarik tangannya kembali. Mungkin mengerti apa yang tengah kurasakan sekarang. Pria itu kemudian lanjut makan. Jika aku tidak salah hitung, dia sudah nambah dua kali. Padahal tadi bilang hanya akan mencicip dan makan di rumah. Nyicip, 'kan biasanya sedikit, ini kenapa malah nambah dua kali? Berbeda dengan aku sendiri yang baru makan tiga suap. Itu pun rasanya susah sekali menghabiskan makanan yang sudah masuk ke mulut. Entahlah, rasanya aneh sekali dengan masakan ini sebenarnya. Namun, aku merasa tidak enak hati pada Bu Rumi yang sudah susah payah memasak bila tidak memakannya. Aroma kunyit yang berasal dari bumbu pepes ikan buatan Bu Rumi ini membuat perut terasa bergejolak. Namun, aku benar-benar tidak berani berkata jujur. Selain takut wanita paruh baya itu tersinggung, aku juga takut jika Bu Rumi tahu tentang kehamilanku. Bagaimana ini? Rasanya benar-benar membuatku mual. Beberapa hari ini rasa mual yang aneh itu memang kerap datang tiba-tiba. Namun, te
"Ibu tahu ....?" Pria itu mengangguk. Seketika membuatku menghela napas panjang. “Saya nggak bisa menyimpan sendirian, Al. Ibu yang menjadi tempat saya berbagi semuanya, bahkan melebihi mama saya sendiri.”Suaranya lebih terdengar seperti keluhan. Apa tadi dia baru saja memberitahu hal pribadinya padaku?“Ya udah kamu mau makan ap—" Dering ponsel memotong ucapan pria itu.“Itu pasti Bu Kinan. Pak Kaivan pulang aja, saya udah nggak apa-apa.” Ucapanku tidak sepenuhnya bohong, karena aku memang sudah lebih baik. Aku bahkan merasa tidak nyaman berada dalam situasi ini. Rasa mual pun sudah mulai berkurang. Hanya kepala saja yang kini terasa pusing, juga perut yang kembali terasa lapar. Drama mual-mual hari ini akhirnya berakhir, setelah aku memakan sate madura gerobak yang kata Pak Kaivan mangkal tidak jauh dari rumah. Sebelumnya aku sudah mencoba memakan-makanan yang ada di rumah, tetapi terasa sia-sia setelah aku menelannya. Akhirnya pria itu pergi setelah lewat jam sepuluh malam.
Aku berbalik. "Jangan, Pak. Kasihan Bu Kinan kalau tahu Bapak--" "Alya, bisa nggak sih kamu jangan panggil saya Bapak? Saya suami kamu loh, bukan bapak kamu." Dia mengalihkan pembicaraan. Aku bergeming. Sementara dia mulai melangkah mendekat. "Kalau kamu nggak mau ke dokter nggak apa-apa. Gimana kalau kita jalan-jalan keluar?" Dia memberikan penawaran. Aku menggeleng, Aku benar-benar tidak mood untuk pergi ke mana pun. Lebih baik berdiam diri di kamar sambil menamatkan novel. Aku melengos. Melangkah meninggalkan dia yang masih berdiri di sana. "Alya." Dia meraih pergelangan tanganku. "Tolong maafkan saya." Dia berucap lagi. "Entah kenapa saya merasa kamu sedang marah sama saya." Aku nyaris tertawa. Dosen muda yang dikenal tegas dan selalu perfeksionis untuk sekian kalinya meminta maaf padaku? "Entahlah, saya merasa bersalah karena mengabaikan kamu." Dia masih memegang pergelangan tanganku. Mungkin takut aku pergi lagi. "Pak, tolong jangan gini," ucapku memohon sa
Pov Kaivan"Kapan kamu akan menceraikan Kinan, Kai?" Suara Mama yang menuntut di seberang sana cukup membuatku pusing. Mama selalu begini. Hampir setiap hari dia membahas hal itu, padahal aku tidak pernah berpikir sekali pun untuk mencari Kinan. "Mama apaan sih, pagi-pagi bahas cerai. Sudah kubilang, aku tidak akan menceraikan Kinan, Ma. Apa pun yang terjadi," tugasku. "Mama butuh cucu, Kai," selanya tak mau kalah."Iya, Kai tahu. Tapi ....""Dengar, Kai. Sampai kapan kamu mempertahankan perempuan yang tidak pernah mau memberimu keturunan, Kai?" Mama terdengar kesal. "Ma, Kinan bukan nggak mau, tapi mem–""Kenapa sih kamu nggak pernah mau dengarin Mama. Kamu benar-benar dibutakan cinta oleh Kinan. Sampai-sampai kamu nggak bisa menemukan kejelekannya." Aku tertawa lirih. Mama benar. Aku selalu melihat Kinan yang selalu sempurna. Belum ada cela yang bisa kutemukan. "Ma, beri kami waktu. Kita sedang berusaha?""Waktu? Kalian sudah menikah tujuh tahun, Kai? Mau selama apa lagi? Kamu
Pov Kaivan Aku mengerutkan dahi mendengar jawaban Kayra yang penuh dengan teka-teki. Mama cukup dekat dengan Kayra yang merupakan anak dari sahabat masa kecilnya.Mama sempat menjodohkanku dengan Kayra. Namun, kami sama-sama menolak. Karena hubungan kami murni adalah persahabatan. "Kamu terlalu percaya pada Kinan, Kay. Itu pil kontr asepsi." Setelah berkata begitu Kayra menutup telepon. Namun, kalimat terakhirnya berhasil membuatku syok. Jadi, Mama benar. Kinan bukan belum bisa hamil, tetapi memang tidak mau hamil. Kenapa Kinan harus melakukan itu? Dia tidak pernah mengatakan ingin menunda kehamilan. Dia bahkan selalu bersikap seolah-olah sama inginnya sepertiku yang rindu akan hadirnya buah hati. Lantas, kenapa dia harus mengkonsumsi pil penunda keha milan? Sejak kapan dia mengkonsumsinya? Apakah selama tujuh tahun pernikahan kami? Untuk apa?Ah, memikirkan ini kepalaku terasa ingin pecah. Kinan jelas-jelas membohongiku. Entah apa tujuannya. Tapi kebohongan ini cukup membuatku be
PoV Kaivan "Mas dari mana aja?" Kinan bersedekap menatapku saat aku baru saja membuka pintu. Matanya tak berkedip menatapku, menelusuri tubuh dari ujung kepala hingga ujung kaki. Mungkin heran melihat penampilanku yang kacau. Kemeja berantakan dan kusut, rambut yang sudah mulai gondrong tidak lagi tertata. Belum lagi wajah yang sudah pasti sama kusutnya. "Ini bukan pertama kalinya Mas pulang larut seperti ini!" Aku bergeming. Tanpa menghiraukannya aku bergegas melangkah, melewati dia yang masih dengan posisi semula. Jujur saja aku kesal. Aku lelah, mood berantakan, sampai rumah malah disambut dengan sikap ingin menghakimi darinya. Sejak kepergian Alya aku memang kerap pulang larut. Waktu yang tersisa kugunakan untuk mencarinya ke mana saja. Terkadang aku malah memilih pulang dan berdiam diri di rumah sana. Malam ini jika Bu Rumi tidak mendesakku untuk pulang, mungkin aku tidak pulang lagi. Aku seperti kehabisan akal. Orang-orang yang kukerahkan untuk mencari Alya sam
"Mas Kai mau cari siapa? Mereka? Mereka ... siapa yang Mas Kai maksud?" Kinan mengerutkan dahi. Aku gelagapan. Apa yang harus kulakukan? Aku memang cukup kecewa dengan kebohongan yang dia buat bertahun-tahun. Namun, aku belum siap melihatnya terluka. "Hmm, bukan Apa-apa. Cuma ... cuma mahasiswa." Apa aku terlihat gugup? Mata Kinan menatap seperti menyelidik. "Mahasiswa?" Aku mengangguk tanpa suara, tak ingin salah bicara. Kemudian beranjak meninggalkannya untuk mengganti pakaian salat yang masih kukenakan. "Mas." Ternyata dia membuntutiku.Aku melirik dengan ujung mata. Tetap bergeming dalam mode dingin yang masih belum bisa kuperbaiki saat berhadapan dengan Kinan."Apa begitu sulit untuk memaafkanku? Kita udah cukup lama kayak gini, Mas," protes Kinan, "kita udah kayak orang lain di rumah dan kamar yang sama, Mas." Aku menoleh, berhadapan dengan dirinya. Menatap dia dengan tatapan ... mungkin jenuh. Ya, jenuh."Gimana aku bisa maafin kamu sementara kamu nggak benar-benar ikhla
Rutinitas hari ini kujalani jauh dari kata profesional. Fokusku terbagi ke mana-mana. Aku sama sekali tidak bisa berkonsentrasi. Dari masalah keberadaan Alya dan anakku yang belum kutemukan rimbanya, perdebatan dingin dengan Kinan pagi ini, hingga fakta yang baru saja kutemukan jika Mama mengetahui pernikahan keduaku. Saat menelepon Mama, belum sempat bertanya apa pun aku sudah diserang habis-habisan."Kamu benar-benar, ya, Kai. Keterlaluan banget, segitu bencinyakah kamu ke Mama sampai hal sebesar ini kamu sembunyikan dari Mama." Mama mengomel seperti biasa. Aku hanya meringis seperti biasa. Omelan Mama adalah hal biasa. Namun, ada hal yang lebih mengganggu. "Buat apa kamu tanya KK dan buku nikah? Kamu kan nggak butuh. Jadi, biar Mama yang simpan," ucap Mama saat aku mengkonfirmasi kebenaran ucapan Bu Rumi."Lebih nggak masuk akal lagi kalau Mama yang simpan, 'kan?" protesku tak terima."Udah, deh, kamu urusin aja tuh istri kesayanganmu. Nggak perlu peduli apa yang Mama lakukan."
"Sayang, aku di sini," ucapnya lirih.Aku mengangguk. Namun, tak dapat bersuara. Ya, Allah Kenapa ini harus terjadi lagi? Aku harap ini hanya mimpi."Alya."Air mataku makin deras. Tak mungkin lagi bisa dibendung. Seperti darah yang mengalir deras dari perutnya. Aku tak bisa berbuat apa pun lagi."Mas, kenapa ini terjadi lagi?"Dia masih bisa tersenyum. Aku tidak tahu apa yang bisa kulakukan.Aku teriak minta tolong. Namun, teriakanku seakan tak sampai di ujung lidah pun."Alya, sssstt!" Aku memeluk tubuhnya. Dia menepuk-nepuk punggungku."Alya, Sayang .... Alya!" Dia menyeka air mataku kemudian menepuk-nepuk pipiku pelan. Aku bergeming. Menghela napas dalam. "Alya, bangun, Sayang." Tepukan di pipi makin keras.Aku mengerjap beberapa kali. Memutar pandanganku ke sekeliling. Sekarang aku di kamar, bukan lagi di dapur. Aku kembali menatap Mas Kaivan yang memangku kepalaku. Bukan aku yang memangku kepalanya seperti tadi.Dia mengusap keningku yang berkeringat. "Mas?" bisikku pelan.
Aku menunggu Mas Kaivan dengan gelisah. Dia pergi sejak siang setelah dijemput oleh Pak Arga, tetapi sampai sekarang belum ada tanda-tanda mereka pulang. Terakhir kali pria itu memberi kabar dan memintaku untuk bersiap-siap karena dia akan membawa bayi Bu Kinan pulang. Namun, kenapa sampai selarut ini belum juga sampai. Padahal aku sudah menyiapkan tempat khusus untuk baby Haura. Box bayi dengan kasur mungil lengkap dengan printilannya bernuansa pink yang kupesan via online tadi siang. Sore baru diantar kurir. Aku sengaja menggunakan fitur pengiriman same day agar bisa tiba di hari yang sama.Nomor Mas Kaivan tidak bisa dihubungi. Sementara itu, aku segan untuk menghubungi Pak Arga. Rayyan sudah berhasil kutidurkan sejak jam setengah malam tadi. Dja sempat menangis memanggil saat melihat foto papanya yang terpajang di nakas. Meski dengan mudah bisa ditenangkan, tetap saja aku masih gelisah hingga kini.Setelah beberapa kali menimbang akhirnya aku menelepon nomor Pak Arga. Satu kal
"Pagi, Sayang." Dia mengecup keningku lama begitu aku membuka mata. "Jam berapa, Mas?" tanyaku dengan nada masih mengantuk.Aku kembali merapatkan wajahku ke dadanya yang masih tak berlapis. "Bentar lagi azan subuh." Dia menjawab sambil mengeratkan pelukan."Astaghfirullah, tahajud lewat, dong." Aku terkejut dan menjauhkan kepala dari dadanya.Akan tetapi, dia menarik lagi. Membuat tubuh kami kembali tanpa sekat."Sekali-kali gak apa, Sayang. Kan udah diganti sunah yang lain semalam."Kalimatnya seketika membuatku pipiku terasa menghangat. "Ih, apaan, sih?"Aku kembali membenamkan wajah agar ia tak melihat pipiku yang mungkin semerah tomat.Dia terkekeh, seraya kembali mengeratkan pelukannya. Tak hanya sampai di situ, tangannya kembali bergerak mencari sesuatu yang tersembunyi dari bagian tubuhku."Mas, plis deh. Udah mau subuh nih. Kita harus gegas mandi.""Masih lama, Yang, subuhnya. Masih cukup kalau nambah satu lagi," ucapnya manja sembari mendaratkan beberapa kecupan di leher.
Malam ini rumah sudah terasa lebih sunyi. Terasa dingin dan tenang karena hujan baru saja mengguyur bumi. Rayyan sudah tidur nyenyak di boxnya. Setelah dokter menyatakan aku tidak perlu bedrest lagi, Mas Kaivan mengizinkan Mbak Rani untuk cuti. Kesempatan ini kugunakan untuk bisa lebih dekat lagi dengan Rayyan. Masa bedrest kemarin intensitas waktuku bersamanya sangat jarang sekali. Aku masih duduk di ujung ranjang, punggung menyandar di sandaran kepala tempat tidur. Mas Kaivan baru saja keluar dari kamar mandi, mengenakan kaus abu-abu ketak mencetak dada dada bidangnyabdan celana pendek santai. Rambutnya masih basah, menetes sedikit, tetapi matanya langsung mencari-cari mataku.Aku mengalihkan pandang.Dia diam sebentar, lalu menghampiri meja rias dan mengambil sisir. Dengan gerakan tenang, ia duduk di belakangku di ranjang. “Boleh aku bantu sisirin rambut kamu?”Aku mengangguk pelan, tetap tak berkata apa-apa.Dengan lembut, sisir bergeser melalui rambutku yang panjang. Ia melaku
Mataku terpaku pada layar laptop di hadapanku. Judul dokumen itu menampar kesadaran seperti angin dingin di pagi hari:Hasil Pemeriksaan DNA – Haura Azkia Putri dan Kaivan Satria Aksa.Tanganku gemetar ketika kursor mouse bergerak perlahan membuka file PDF yang dikirimkan via email. Di sebelahku, Mas Kaivan duduk tegak. Wajahnya kaku, nyaris tak menunjukkan emosi apa pun. Namun, aku tahu, dia sama tegangnya denganku.Lembar pertama hanya berisi data teknis. Nama laboratorium, tanggal pengambilan sampel, dan identitas subjek.Lembar kedua—itulah jawabannya.> Hasil: Kecocokan genetik menunjukkan bahwa kemungkinan hubungan biologis antara Haura Azkia Putri dan Kaivan Satria Aksa adalah 99.98%.Aku menutup mulut. Tubuhku limbung, seolah semua udara dalam paru-paru menguap seketika.Mas Kaivan mengusap punggungku pelan. “Sayang … kamu gak apa-apa?”Aku tak bisa langsung menjawab. Rasanya seperti ditampar kenyataan yang ... entah kenapa tetap terasa menyakitkan meski aku sudah mempersiapka
[Untuk Alya,Dari wanita yang suaminya telah kau ambil.]Tidak. Baris kedua itu tidak ada. Hanya khayalanku saja. Aku duduk di pinggir ranjang, membuka perlahan.> Alya ....Aku tahu mungkin menurutmu aku tidak berhak menulis surat ini. Tapi tolong, baca sampai akhir. Aku… sudah kalah. Sudah jatuh. Tapi setiap malam aku dihantui oleh tatapan sedihmu dan darah di baju Kaivan. Aku minta maaf.Aku gak minta dibebaskan. Aku gak pantas minta itu. Tapi aku mohon, kalau nanti terbukti anakku anak Kaivan … tolong jangan jauhi dia. Jangan benci dia. Dia gak minta dilahirkan dari ibu sepertiku.Kamu boleh tetap membenciku. Tapi tolong… jangan teruskan kebencian itu pada bayi ini. Namanya Haura.Aku gak tahu apa yang akan terjadi padaku nanti. Tapi aku tahu, kamu jauh lebih kuat dari yang aku kira.—Kinan.Aku menatap lembaran itu lama sekali. Hatiku campur aduk. Tanganku bergetar saat meletakkan kertas itu di meja samping tempat tidur."Sayang?" Kaivan duduk di sebelahku, matanya menatap waja
"Mas, apa tuntutan kita ke Bu Kinan tidak bisa ditarik?" tanyaku pelan, membuat semua mata tertuju padaku.Mas Kaivan mengernyit menatap padaku sesaat kemudian ganti menoleh pada sahabatnya yang menghela napas panjang."Itu … udah masuk tahap akhir, Alya. Pelaporan dan penyelidikan awal memang kita yang dorong, tapi sekarang kasusnya udah jadi milik negara. Penuntut umum yang pegang kendali."Aku menggigit bibir bawah, menunduk."Ini kasus percobaan pembunuhan berencana, Al. Gak sesederhana laporan biasa yang bisa dicabut kapan aja. Ini bukan sekadar konflik pribadi, tapi kejahatan serius," lanjut Mas Azzam terdengar datar, tetapi jelas dan tegas.Mataku kini berali pada Mas Kaivan. "Tapi … dia baru aja melahirkan, Mas," ucapku lirih. Sebagai seorang Ibu dan seorang wanita, rasanya pasti berat sekali menjadi Bu Kinan.Wajah Mas Kaivan mengeras. Rahangnya mengatup. Seakan menahan sesuatu."Itu tidak bisa menjadi alasan untuk membatalkan hukum, Sayang. Dia berusaha bunuh kamu, Sayang.
"Anak yang dikandung Bu Kinan–" Dia mengeratkan genggaman. "Dengar, Sayang. Usia kehamilannya memang selisih satu bulan lebih lama dengan usia perceraian kami. Tapi, kita akan tunggu anaknya lahir dan aku akan tes DNA untuk membuktikan apakah anak itu benar anakku. Jika dia memang terbukti anakku aku hanya akan bertanggung jawab terhadap anaknya, bukan ibunya." Untuk sesaat keheningan menguasai setelah kalimat itu terucap dari bibirnya. Aku mengangguk perlahan. Aku tahu, Mas Kaivan tidak sedang berbohong. Namun, tentang kemungkinan anak itu adalah darah dagingnya masih menjadi duri kecil di pikiranku. *** Aku menatap dengan wajah cemberut pada Mas Kaivan yang tengah menyuapiku makan. Pria itu benar-benar tak mengizinkanku bergerak sedikit pun, bahkan hanya untuk menyuap makanan. Berlebihan banget, 'kan? "Mas, aku bisa makan sendiri. Jangan berlebihan," ucapku tadi saat dia baru saja membawa makan siangku ke kamar. "Aku tahu, kamu bisa makan sendiri, tapi sekarang aku lagi mau
Nyaris satu pekan berlalu sejak malam yang terasa seperti titik balik segalanya. Mas Kaivan sudah jauh lebih baik. Lukanya memang belum sembuh sempurna, tapi ia sudah bisa berjalan tanpa banyak meringis. Sementara aku, diperbolehkan pulang oleh dokter, dengan syarat harus bedrest total sampai batas waktu tertentu.“Pelan, Sayang. Jangan sok kuat. Biar aku aja yang bawa tasnya.” Ia merebut tas kecil dari tanganku begitu kami sampai di depan rumah.Duh, ini orang udah kayak alarm berjalan yang nyaris tak memberiku ruang bernapas. Protektif bukan main.Aku menghela napas dalam, lalu menggeleng. “Tasnya bahkan lebih ringan dari dompet aku, loh, Mas.”Dia menatap tajam. “Itu tetap terlalu berat untuk orang yang lagi hamil dan baru keluar dari rumah sakit, Sayang." Tuh, kan lebay.Aku tertawa kecil, tetapi tidak membalas. Ini hari pertama aku kembali ke rumah, dan aku tidak ingin merusak suasana hati Mas Kaivan.Begitu masuk ke dalam rumah, aroma wangi melati yang biasa kugunakan sebagai p