“Sial! Bau apa ini!” gumam Deryl seraya membuka mata.
Menyadari ada yang tak beres dengan dirinya, Deryl membelalakan mata. Betapa terkejutnya ketika kedua lengannya mendekap pinggang bagian belakang dari wanita yang tidur seranjang dengannya. Perlahan tapi pasti, tanggannya dilepas dan mundur pelan-pelan. Ia tak mau membangunkan Afsana yang ternyata tidur di tempat yang semestinya. Deryl sendiri yang melewati batasannya.Apa-apaan ini? Kenapa aku memeluknya? Dan lagi, bau yang nggak enak tadi, datang dari arah pantatnya? Afsana kentut? Sialan!Deryl mengibaskan tangannya pelan berusaha mengusir sisa aroma yang mengganggu pernapasan. Namun, saat melihat tubuh bagian atas milik istrinya, kerudung yang dipakai tersingkap dan lepas. Bukan hanya rambut yang mati-matian ditutupi oleh Afsana telah terlihat, tetapi bagian dada pun terlihat bentuknya begitu jelas.Lelaki yang sebenarnya sudah sah menjadi suami dari Afsana itu malah menarik napas seraya membuang pandangannya. Matanya pun tanpa sadar membola. Lantas, ia kembali merebahkan tubuhnya sambil memunggungi istrinya.Apa yang kulihat barusan? Nggak! Nggak boleh mikir yang macam-macam, De! Kamu memang lelaki tulen, tapi selama ini bukankah kamu bisa menjaga diri dengan baik? Sekalipun digoda sama Klara, kamu bisa menahan diri karena kamu nggak mau menyakiti apalagi menodai dia yang bukan istrimu. Kali ini, kamu juga pasti bisa, Deryl! Tapi, Afsana kan, istriku.Kepala digelengkan pelan. Bisikan menggema di dalam dada. Degupan jantung pun mendadak terpacu lebih cepat. Suasana yang hampir pagi, membuat gelora bercinta makin terasa. Deryl menahan sekuat tenaga agar tidak menuruti nalurinya sebagai lelaki.Walau dia istriku, aku nggak boleh menyentuhnya. Tahan, De. Kamu ngomongnya nggak nafsu kan, tadi malam. Kenapa sekarang jantungmu berdebar begini? Kenapa keinginan itu begitu menggebu? Ah! Kenapa dia secantik itu, walau lagi tidur. Rambutnya itu, benar-benar membuatnya semakin terlihat cantik. Dan tubuhnya … nggak! Pokoknya, jangan berpikir seperti orang mesum begini, Deryl! Tapi, dia istriku. Aku berhak menyentuhnya. Ah!Pergulatan batin sedang terjadi. Namun, Deryl sangat berusaha untuk tidak memalingkan tubuhnya. Benar apa kata Afsana tadi malam, lelaki itu bakal menyukainya ketika rambutnya diperlihatkan. Seorang yang biasa memakai hijab, ketika mahkotanya terlihat tanpa disengaja, malah membuat kesan yang sulit dilupakan. Terngiang di benak dan pikiran. Apalagi suasana saat ini sangat mendukung untuk menggetarkan naluri seorang lelaki.Deryl memejamkan mata walau dipaksa. Ia tak mau larut oleh perasaan yang saat ini menguasai hati. Ia berusaha keras untuk memikirkan hal lain agar gejolak yang mengarah ke arah itu bisa segera lenyap.Dia kan, kentutnya bau. Keras lagi. Buat apa aku malah memikirkan bagian tubuh yang lain sampai deg-degan begini. Nggak banget deh. Walau dia kelihatan cantik waktu tidur begitu. Pokoknya, jangan, Deryl! Masih ada Klara yang sudah kamu perjuangkan sejak dulu sampai kamu menahan diri untuk tidak menyentuhnya. Menunggu dinikahi. Kacau kalau sampai kamu goyah gara-gara melihat seperti tadi. Pokoknya, tahan, De! Klara nanti setelah menikah pasti nggak bakal kentut kayak Afsana begini. Nggak sopan. Istri macam apa, bisa-bisanya kentutin suaminya begini!Deryl sengaja menyibukkan diri dan mencari celah keburukan istrinya agar tidak terpengaruh oleh keinginan sebagai seorang lelaki yang mendadak menggebu.Denting jam di dinding menemani kegelisahan Deryl yang nyatanya tak bisa lagi memejamkan mata hanya untuk berpindah ke alam mimpi yang penuh kedamaian. Hanya untuk mengusir hasrat yang datang sebab melihat istrinya yang tampak cantik dengan tubuhnya yang menggoda nalurinya.Deryl benar-benar tak bisa tidur hingga suara azan subuh menggema dari masjid terdekat. Begitu pula dengan ponsel milik istrinya. Lantunan merdu dan menenteramkan itu terdengar.Apa Afsana akan bangun? Bagus kalau begitu. Biar dia cepat pergi dan aku harus melupakan semuanya. Anggap saja nggak pernah terjadi. Hanya sebuah mimpi buruk.Sesuai dugaan Deryl, Afsana menggeliatkan tubuhnya. Telinga yang harusnya tertutup hijab, tetapi kini tak begitu lagi, telah mendengar suara azan yang menggema. Ada alarm yang tersetel sendiri di pikiran dan tubuh wanita itu hingga mudah mendengar panggilan untuk mengerjakan salat tersebut.Afsana perlahan membuka mata. Bibirnya tersenyum karena sudah terbiasa begitu ketika bangun tidur. Ia menghirup udara dalam-dalam, lalu membuangnya pelan.“Alhamdulillah, Ya Allah. Engkau masih mengembalikan nyawaku dan memberikan kesehatan di pagi hari ini. Bismillah, semoga apa yang aku lakukan di hari ini, bisa menjadi amal ibadah di hadapan-Mu. Amin.”Ya, begitulah ritual yang biasa diucapkan setiap pagi oleh Afsana. Ia meyakini dengan mengucapkan kalimat tersebut, bisa membuat harinya bisa lebih berwarna dan penuh rasa bersyukur hingga membuat kebahagiaan datang menemani.Afsana pun belum menyadari dengan tampilannya sekarang ini. Ia lupa kalau di sampingnya ada lelaki yang kini telah menjadi suaminya.Buat apa dia berkata seperti itu? Yang bikin kita bahagia, ya diri sendiri. Nggak perlu berdoa begitu segala. Buang-buang tenaga.Deryl memang bergeming dan masih bersandiwara sedang tertidur pulas. Namun, gumaman yang Afsana lakukan, bisa terdengar jelas di telinga lelaki itu meski suara azan masih menggema. Suasana memang masih sunyi.“Kerudungku sampai terbuka gini. Memang sih, aku jarang pakai kerudung kalau mau tidur. Ini kan, gara-gara … eh! Kok kebuka! Astagfirullah! Kan ada Mas Deryl! Aduh! Kenapa bisa gini?”Afsana mendadak gelisah. Ia membenarkan hijabnya sambil bangkit untuk duduk agar lebih gampang. Sesekali, ia melihat ke arah Deryl yang memang tidur memunggungi. Meski ia terkejut, Afsana tetap berupaya mengeluarkan suara pelan.“Duh! Mas Deryl lihat nggak ya? Atau malah, dia yang membuatku begini?”Pikiran buruk mendatangi. Gadis berusia 23 tahun itu, masih sibuk membenahi hijab dan pakaiannya yang memang berantakan. Ia juga mengingat-ingat apa yang tadi malam terjadi.“Tadi malam, rasanya ada yang menindih pinggangku nggak sih? Rasanya agak berat gitu kayaknya. Tapi, rasanya juga hangat sih. Apa ada yang terjadi ya? Tapi, melihat Mas Deryl masih tidur begitu, nggak mungkin kalau dia macam-macam kepadaku. Katanya kan, tidurnya nggak banyak gerak. Sudahlah, Afsa. Ayo, bangun dan buang prasangka buruk itu.”Pada akhirnya, Afsana bangkit meski masih ada gelisahan yang tersisa. Namun, ia berusaha menepisnya. Ia mengembuskan napas agar bisa sedikit melepas pikiran buruk.“Masih pagi, nggak boleh berpikiran macam-macam. Bikin tenaga jadi terkuras.”Untung aku bangun duluan. Berkat kentut yang keras plus bau itu, aku bisa lepas dari masalahku. Untunglah. Kalau sampai Afsa tahu aku memeluk pinggangnya, dia pasti marah-marah dan mencibirku nggak ada habisnya. Katanya salihah, tapi galak gitu. Dasar Bapak. Sok-sokan banget mengatakan wanita bar-bar itu salihah! Nyatanya, kayak monster.Bola mata bergerak-gerak meski kelopaknya tertutup. Deryl memang pura-pura tidur sejak tadi dan dia mendengar semua kegelisahan istrinya. Tak lupa, ia mengutuk tindakan Haribowo yang merugikannya.Ponsel berwarna hitam yang tergeletak di nakas berbunyi. Nada dering yang familiar membuat Deryl terperanjat. Ya, ponselnya yang telah membuat lelaki itu harus bangkit dari tidurnya yang hanya pura-pura.Bibir tersunging kala membaca siapa yang telah menghubungi. Deryl segera menggulir layar benda pipih itu.“Halo, Sayang. Tumben, pagi-pagi sudah telepon,” ujar Deryl. Ia melirik ke arah seseorang yang sedang bersimpuh di sajadah.Benar-benar buang waktu dan tenaga percuma. Mending buat lihat HP di kasur daripada dingin-dingin harus wudhu terus salat. Sok salihah! Padahal kayak moster. Percuma kalau salat!Deryl justru fokus pada Afsana yang mengenakan mukena dan duduk di sajadah. Ia masih berdoa.“Sayang! Kok diam? Jawab pertanyaanku dong! Kamu habis ngapain sama cewek sialan itu!” bentak seorang wanita dari ujung sambungan yang membuat Deryl tersentak kaget.“Meluk!” jawab Deryl tiba-tiba dengan suara lantang. Otak yang sedang tak fokus sebab memperhatikan Afsana dengan rasa kesal, malah mengatakan sebuah kebenaran yang sengaja ditutup-tutupi.Afsana pun menoleh.“Walau kalian diam, Ibu akan tetap mengurusnya. Tidak ada yang bisa menolak,” tegas Asih meski diakhiri dengan senyuman.“Kalau aku, terserah Afsa saja, Bu,” timpal Deryl.“Nduk, kamu pasti mau, kan?” tanya Asih tatapannya bertemu dengan Afsana di spion.“Kalau kami pergi, Ibu sendirian di rumah,” jawab Afsana sambil nyengir.“Nggak masalah, Nduk. Masih ada mbak-mbak sama pegawai yang lain. Kamu nggak perlu mengkhawatirkannya. Kalian pergi paling lama semingguan. Itu nggak lama, Nduk.”“Tapi, tetap butuh biaya banyak kan, Bu?” Afsana memang merasa tidak enak hati.“Jangan pikirkan itu, Nduk. Setelah kalian pulang bulan madu, Deryl akan bekerja melanjutkan pekerjaan Bapak di tambak. Nantinya akan terkumpul lagi uangnya, Nduk.”Karena tidak ada lagi alasan untuk menolak perintah dari Asih, Afsana mengangguk pelan. Deryl melihatnya. Tentu senyumnya kembali merekah.“Kalau begitu, Afsa mau, Bu.”“Alhamdulillah. Harusnya memang begitu, Nduk. Kamu nggak perlu memusingkan biayanya. Nanti Ibu
Afsana sudah pasti akan mengakhiri pernikahan kami. Dia sudah punya cowok idaman. Dia akan kembali padanya dan menikah. Sedangkan aku, yang mati-matian aku jaga malah berkhianat walau dilakukan demi aku, tapi harusnya bukan begitu caranya.Dalam hati, Deryl berbisik. Tatapannya sendu bergulir tak fokus. Seringnya ke arah bawah, tapi tidak menunduk.Sebelum mulai bicara, Afsana sempat melihat ekspresi yang Deryl gambarkan lewat wajahnya.Apa yang sedang dia pikirkan? “Ayo, Nduk. Bu Asih sama Mas Deryl pasti sudah tidak sabar mendengar keputusanmu,” ujar Aminah membuat Afsana kembali fokus.Afsana kembali mengangguk sambil mengambil napas dalam.“Sebelumnya, terima kasih karena Ibu sama Mas Deryl mau memenuhi kemauanku dan datang ke sini. Untuk waktu yang diberikan kepadaku juga selama tinggal di rumah ini. Aku rasa semua itu cukup untukku berpikir dan harus memberikan keputusan untuk pernikahanku bersama Mas Deryl untuk ke depannya.”Afsana berhenti untuk mengambil napas. Namun, kedua
“Seperti yang kamu lihat sekarang, Af. Alhamdulillah, aku baik walau memang aku jadi sering memikirkanmu,” jawab Deryl yang spontan membuat teman Afsana tidak enak berada di antara mereka.“Af, aku tunggu di motor, ya,” ujarnya berbisik.Afsana ingin mencegah, tetapi tidak mungkin. Hanya bisa melebarkan kedua mata saat temannya perlahan meninggalkannya.“Af, maaf, kamu pasti nggak nyaman bertemu denganku begini.” Perkataan Deryl kembali memfokuskan Afsana.Senyum tersungging untuk sedikit mencairkan suasana.“Takdir yang mempertemukan kita, Mas. Mungkin, agar aku tau kalau kamu sudah benar-benar serius untuk berubah. Kita mungkin perlu bicara, walau nggak lama. Nggak mungkin aku menghindar terus, kan?” ujar Afsana harus menentukan dengan tegas.“Kalau gitu, apa kita bisa cari tempat yang lebih nyaman?”“Boleh, Mas.”Deryl mengitarkan pandangannya. Ia menemukan bangku di taman kecil dan kosong.“Tuh! Di sana, yuk,” ajak Deryl sambil mengacungkan jemarinya.Afsana mengikuti arah telunju
Sudah dua bulan semenjak Deryl mengantarkan Afsana ke rumah orang tuanya, selama itu pula, dua orang itu tidak saling memberi kabar.Jasad Marwan sudah dikembalikan dan dikebumikan dengan benar. Dengan seperti itu pula, Haribowo dan semua yang terlibat sudah jelas dimasukkan ke dalam penjara.“Nduk, sudah dua bulan kamu di sini. Apa kamu belum menentukannya? Kasihan Deryl, pasti sedang menunggu kepastian darimu di sana. Bu Asih kelihatan sayang juga sama kamu kan, Nduk?” tanya Aminah yang duduk di sebelah Afsana.Anak perempuannya itu melihat pergerakan sang ibu. Ia membuang napas perlahan. Tak dimungkiri, Afsana masih bingung mau dibawa ke mana pernikahannya yang baru seumur jagung. Memang benar, ada perjanjian akan bercerai di antara mereka, tetapi Afsana mulai gundah saat mengetahui Deryl bersungguh-sungguh mengubah kepribadiannya.“Tapi memang, sepertinya Deryl tidak pantas dijadikan suami untukmu kan, Nduk? Dia pasti nggak salat atau mengerjakan ibadah yang lain. Walau begitu, ke
“Pak, bagaimana?” tanya Lingga yang bisa ditangkap oleh Deryl.“Mas Lingga, apa kamu juga tahu, hm?” Deryl ingin segera menemukan titik terang sesungguhnya.Mungkin ini waktunya, bagaimanapun perasaan bersalah ini nggak bisa hilang begitu saja. Walau aku sudah coba untuk menebusnya dengan caraku sendiri.Haribowo bergeming. Padahal, Lingga yang ada di sebelahnya tampak gelisah. Pertanyaan yang dilontarkan oleh Deryl terasa menghunjam jantungnya.“Pak, jelaskan kalau memang Bapak tahu,” pinta Asih yang didampingi oleh Afsana. Tenaganya terasa menguap. Butuh orang untuk menjaganya.Embusan kasar dilakukan. Haribowo bersiap mengucapkan kalimat. Ia sudah memutuskan solusi paling tepat. Meski terasa sangat berat.“Aku akan mengakui semuanya,” ujar Haribowo.“Bapak yakin?” tanya Lingga agak kaget.“Iya, Ga. Mungkin inilah saatnya. Bapak merasa bersalah.”Lingga mengangguk pasrah.“Ada apa sebenarnya, Pak?” tanya Asih kini air matanya semakin deras mengalir. Perasaannya tidak karuan. Apakah
“Kamu mau ngapain, sih, De?” tanya Asih sebab setelah Haribowo meninggalkan rumah, anak lelakinya malah sibuk sendiri mempersiapkan keperluan untuk menggali tanah.“Mau gali tanah, Bu.”“Buat apa?” Asih keheranan.“Ada sesuatu yang harus dicaritahu, Bu.” Deryl tidak mengatakan tujuan sesungguhnya karena memang belum jelas hasilnya seperti apa.“Apa memangnya?”Asih makin penasaran, makanya ia ingin segera tahu tujuan itu.“Nanti Ibu akan tahu, Bu. Aku saja penasaran. Sudah tanyanya, Bu. Aku harus segera melakukannya agar rasa penasaran kita menghilang.”Asih menghela napas karena perkataan sang anak belum dipahami. Namun, ia hanya bisa diam dan mengikuti anak lelakinya itu.Sedangkan Afsana, ia juga bingung harus mengatakan kebenarannya atau tidak pada Asih. Dirinya kan tahu semuanya dan yang menjadi alasan Deryl mau menggali tanah itu.Deryl melihat Afsana. Lalu, ia pergi sebentar menemui sang istri.“Kamu pura-pura nggak tahu saja. Biar Ibu lihat sendiri nanti,” bisik Deryl. Lalu, k