Share

Jangan Goyah

Ih! Apaan coba. Pagi-pagi sudah sayang-sayangan begitu sama pacaranya di depan istrinya. Meluk? Ih! Sudah bisa ditebak kalau hubungan mereka sudah selayaknya suami-istri. Ih! Amit-amit! Aku tambah nggak suka sama dia. Pengen cepat-cepat cerai saja. Jangan sampai ada cinta di antara kami dan itu nggak bakal terjadi. Untung saja, tadi malam nggak terjadi apa-apa. Padahal dia mesum begitu sama pacaranya. Alhamdulillah. Sama aku dia tahu diri.

Tatapan penuh rasa jijik dihunjamkan ke arah Deryl. Lantas, Afsana kembali memalingkan wajah lurus ke depan. Ia tak mau berlama-lama melihat sikap suaminya yang tak pantas dikata suami.

Bagaimana dengan Mas Arsakha, ya? Semenjak dia pergi menuntut ilmu lagi, kami putus hubungan. Dan sekarang, aku malah jadi istri orang. Apa Mas Arsakha sudah tahu? Kan Bu Najwa hadir di pernikahanku. Dan lagi, kata beliau, Mas Arsakha sudah dijodohkan. Ah! Kenapa semua jadi seperti ini?

Sambil melepas mukena dan melipatnya, Afsana merenungi kisah hidupnya. Merenungi kekasih hatinya yang tak pernah ada kabar hingga dirinya telah sah menjadi istri orang lain.

Afsana hanya bisa menarik napas dalam-dalam agar ruangan di dalam dada terasa longgar kembali. Lantas, ia membuangnya perlahan.

“Meluk? Kamu memeluknya, De! Janjimu mana! Katanya nggak bakal menyentuhnya? Kenapa malah berani memeluknya?” bentak Klara yang ada di ujung sambungan. Kalau dia marah, hanya nama yang terucap. Bukan panggilan sayang.

“Bu—bukan gitu, Sayang,” sanggah Deryl tergagap.

Duh! Bagaimana ini? Kenapa aku malah mengatakannya? Klara juga, kenapa bikin aku kaget. Kacau! Semua gara-gara Afsana!

Deryl melihat istrinya yang baru saja merapikan mukena yang dipakai. Wanita itu tetap mempertahankan hijabnya padahal tanpa sepengetahuannya, Deryl telah melihat rambut istrinya itu. Tatapan yang dilayangkan oleh Deryl begitu sengit penuh permusuhan. Dua orang yang baru saja meresmikan hubungan pernikahan sama sekali tak terlihat romantis. Hanya ada kekesalan yang tampak pada diri masing-masing.

“Apa lihat-lihat? Awas kalau naksir!” ancam Afsana ketika menoleh malah bertatapan dengan suaminya.

“Cuih!” balas Deryl seraya memalingkan sorot mata ke sudut lain.

Afsana melangkahkan kaki keluar dari kamar. Ia tak mau berlama-lama hanya berdua di dalam kamar. Terasa sesak dan inginnya hanya marah. Parahnya, mengutuk takdir.

Nggak bakal! Walau tadi sempat deg-degan, itu hanya kebetulan dan kesadaranku belum seutuhnya berkumpul. Nggak bakal aku suka sama dia!

“Tuh, kan! Kamu diam! Artinya, kamu sudah jatuh cinta sama istri sialanmu itu kan, De! Kamu bohong! Padahal, aku tulus mencintaimu dan mau menunggumu!”

Deryl yang kembali tak fokus gara-gara saling ejek dengan Afsana, membuat Klara makin naik darah. Ia merajuk dengan suara penuh kekesalan.

“Nggak! Aku nggak bohong! Aku menjaga diri dengan baik. Dia juga nggak suka sama aku kok. Mana mungkin kami saling menyentuh, Sayang. Aku nggak akan mengingkari janjiku kepadamu. Tunggu aku yang akan menikahimu, Sayang.”

“Terus, tadi apa? Meluk? Kamu memeluk dia kan, maksudnya? Jangan bohong kamu, De! Aku tulus mencintaimu! Jangan permainkan aku!”

“Mana ada aku mempermainkanmu. Aku kan, mati-matian menjaga hubungan kita, Sayang. Aku saja menahan diri untuk tidak menyentuhmu. Aku nggak mau menyakitimu sampai merenggut kehormatanmu sebelum menikah. Masa aku menyia-nyiakan semua itu? Saat ini, keadaan yang membuat kita jadi seperti ini. Tapi, percayalah, aku setia kepadamu dan akan memenuhi semua janjiku. Soal kata-kata itu, aku hanya kaget karena memikirkan hal itu kalau nanti aku menikahimu.”

Begitulah yang terucap dari mulut Deryl. Meski tak dimungkiri, ada keraguan yang samar-samar menghinggapi perasaannya. Entah, kenapa keraguan itu perlahan menyusup ke dalam dada. Juga, ada kebohongan yang dirangkai begitu manis.

“Janji, ya! Hanya ada aku di hatimu! Jangan pernah memasukkan wanita lain apalagi istrimu itu! Hanya aku yang berhak kamu cintai!” pinta Klara dengan manja.

“Tentu, Sayang. Hanya kamu yang ada di hatiku sampai kapan pun.”

Iya! Memang harus begitu. Aku nggak boleh goyah walau untuk sekarang dan seterusnya, ada Afsana di rumah ini. Bahkan, dia sekamar denganku. Aku nggak akan meragukan cintaku kepada Klara hanya gara-gara setiap hari melihat Afsana. Istri jorok! Kentut sembarangan!

Deryl menguatkan dirinya sendiri dengan terus mengingat sikap buruk yang Afsana lakukan meski tanpa disadarinya sebagai kunci agar lelaki itu tak tergoyahkan oleh keadaan.

***

“Loh, Nduk. Kenapa ikut ke dapur? Tidur saja di kamar. Kamu nggak perlu ke sini,” ujar Asih—ibu mertua Afsana.

“Nggak masalah, Bu. Kalau sudah kena air karena habis salat subuh, Afsa nggak bisa tidur lagi. Afsa kan, biasanya memang sudah pergi bekerja. Jadi, Afsa senang saja kalau bantu-bantu Ibu di dapur begini. Ibu juga kenapa masih sibuk di dapur? Bukankah ada mbak-mbak yang akan memasak buat kita?” Afsana balik bertanya.

Asih malah menunjukkan raut wajah sendu. Tampaknya ia tak enak hati dengan kalimat yang baru saja didengar olehnya.

“Ibu malah nggak pernah salat subuh. Bangun jam segini karena memang sudah terbiasa untuk memasak. Bapak harus pergi pagi dan selalu meminta sarapan dulu. Ibu malu saat mendengar menantu Ibu malah serajin ini.”

“Belum ada kata terlambat kok, Bu. Ibu mau diajarin salat? Atau masih mengingat gerakan dan bacaannya?” Afsana menawari dengan melebarkan senyuman.

“Ibu malu.”

“Berbuat kebaikan, mana boleh malu. Terserah Ibu kok. Mau sekarang, atau kapan. Afsa hanya menawarkan dengan senang hati.”

Semoga saja, Ibu akan mengerjakan salat secepatnya. Aku juga, nggak mungkin memaksakan kehendakku. Walau baik, tetap nggak boleh memaksa.

“Ibu masih ingat gerakannya, kok. Bacaannya juga, walau tetap ada yang lupa, sebagaian besar, Ibu masih mengingatnya. Hanya karena di rumah ini nggak ada yang salat, Ibu jadi ikut Bapak. Kalau lebaran kan, Ibu harus tetap ke masjid. Jadi, Ibu tetap berusaha mengingat gerakan dan bacaan salat.”

Ada yang nyeri di dalam hati. Miris ketika mendengar pengakuan yang terlontar dari Asih. Afsana hanya memendam perasaan itu. Salat hanya untuk pencitraan di depan orang-orang. Bagi Afsana, begitu salah kaprah.

“Kalau Afsa sih, memang tahu, kalau salat itu kewajiban orang islam. Jadi, tetap harus dikerjakan selama kita masih hidup di dunia, Bu. Ayo, Afsa bantu masak. Ibu mau masak apa hari ini?”

Afsana tidak ingin semakin menggurui. Jadi, ia mengalihkan pembicaraan.

“Apa Ibu boleh salat dulu?”

Senyum tersimpul. Afsana tentu sangat bahagia ketika mertuanya berbicara demikian.

“Boleh banget, Bu.”

“Kamu ikut Ibu. Ajari Ibu dulu sebelum Ibu mengerjakan salat.”

Afsana mengangguk. Lantas, mereka pergi ke kamar mandi untuk mengambil air wudhu.

“Ibu ngapain? Baru bangun? Kenapa membasuh wajah di sini? Ada kamar mandi di kamar Ibu kan?” tanya Deryl ketika melihat wajah orang yang teramat disayanginya itu basah oleh air.

“Ibu mau salat, De.”

“Salat? Sejak kapan Ibu melakukannya?” Deryl melirik pada orang yang berdiri di samping ibunya.

“Sejak Afsana jadi mantu Ibu.”

“Ayo, Bu. Keburu waktunya habis. Subuh kan, waktunya nggak banyak,” ujar Afsana tak peduli dengan lirikan yang Deryl layangkan padanya.

Mereka pergi meninggalkan Deryl.

Aku mau mengintip mereka. Apa benar, Ibu akan salat?

Deryl pun diam-diam mengikuti dua orang itu. Mereka pergi ke kamar yang jarang dipakai. Kemudian, Deryl melihat pemandangan yang begitu menyejukkan mata.

Di kamar itu, Afsana memakaikan mukena kepada Asih sambil mengembangkan senyuman. Begitu pula dengan Asih. Mereka tampak begitu akrab. Kemudian, Afsana mulai mengajari, lebih tepatnya mengoreksi bacaan yang dilantunkan oleh lisan mertuanya sebelum Asih melakukan salat.

Andai Klara bisa sedekat itu sama Ibu. Bukan malah ….

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status