Bismillah, mudah-mudahan daganganku laris.Afsana melajukan motor yang difasilitasi oleh keluarga suaminya. Ia melihat Asih lewat spion. Wajah itu terlihat mencemaskan menantunya.“Ibu sebaik itu, kalau aku nggak sopan sama beliau, jadi ada yang mengganjal di dalam hati. Tapi, aku nggak mau jadi menantunya terus. Aku nggak mau jadi istrinya Mas Deryl yang nggak bisa mendidikku ke agama yang diridai. Melakukan kewajibannya saja nggak pernah. Bagaimana bisa disebut sebagai imam yang baik?”Di perjalanan menuju pasar yang tak memakan banyak waktu, rutukan yang bisa dikatakan sebagai beban hidup kian menumpuk.“Kalau bertobat dan memperbaiki diri, mungkin aku akan mempertimbangkan semuanya. Allah saja Maha Pengampun, selalu memberikan kesempatan untuk bertobat untuk para hamba-Nya, kalau aku malah nggak memberikan kesempatan, siapa aku, coba? Sombong banget. Tapi, Mas Deryl kemungkinan besar nggak bakal bertobat. Dia sangat mencintai Mbak Klara dan nggak mungkin melepasnya begitu saja. Aku
Afsana mendapatkan gambar seseorang yang disinyalir sebagai suaminya. Ia hendak mengejarnya, tetapi langkahnya begitu lebar. Juga, ada banyak orang di jalan yang akan dilaluinya hingga tak bisa mengambil langkah cepat.“Setidaknya, aku punya bukti foto ini. Kalau benar dia Mas Deryl, buat apa dia ada di sini? Bukankah bibirnya masih sakit?”Ponsel kembali disimpan. Ia mengayunkan kaki perlahan menuju ke motor yang ada di parkiran.*** “Nduk, sudah pulang?” tanya Asih ketika tahu menantunya sedang menyimpan motor di garasi.“Alhamdulillah, Bu. Ada yang borong dagangan Afsa. Katanya, buat acara. Afsa jadi pulang cepat begini.”“Oh, syukurlah. Eh, Alhamdulillah maksudnya.”“Ini, motornya Mas Deryl kok, nggak ada, Bu? Bukannya bibirnya masih sakit, ya?” tanya Afsana ketika tidak melihat seonggok motor sport yang harusnya terparkir di garasi.“Ibu nggak tahu, dia mau ke mana. Katanya, mau cari angin. Ibu suruh susul kamu ke pasar malah nggak mau.”Afsana diam. Ia berpikir hingga keningnya
“Oh, kamu, De. Sini, duduk. Gimana? Punya istri, enak kan?” tanya Lingga tanpa memedulikan pertanyaan yang Deryl lontarkan. Senyumnya mengembang begitu lebar. Deryl berdecap. Wajahnya berubah kusut.“Enak itu kalau kayak kamu. Nggak dijodohin. Bapak itu nggak adil,” ketus Deryl.“Sini, duduk,” pinta Lingga lagi.Deryl menuruti meski wajahnya tetap ditekuk.“Aku nggak sembarangan milih calon istri buatmu, De. Sebelum melakukan perjanjian, aku melihat dulu, apakah anaknya pantas bersanding dengamu? Aku pikir, Afsa orangnya alim. Pasti, gampang diatur.”Salah satu ujung bibir diangkat. Deryl mengejek perkataan Haribowo yang salah besar di matanya. Walau tadi, saat di pasar, ia melihat Afsana yang berusaha menjaga diri saat ada lelaki lain yang meminta bersalaman.“Gampang diatur gimana, Pak? Malahan dia yang suka ngatur-ngatur. Buktinya, Ibu mau disuruh salat sama dia.”“Oh, ya? Ibu mau salat?” tanya Lingga cukup terkejut.“Tanya saja sama Bapak.”Haribowo menghela napas.“Iya, aku jadi
Afsana seketika menoleh. Ia melebarkan mata karena kaget. Orang yang tadi agak dipuji ternyata ada di hadapannya. Kalimat yang tadi sudah terlanjur terucap seakan ingin ditarik kembali. Menyesal telah mengatakan hal yang sekarang malah bertolak belakang.Deryl belum seutuhnya masuk. Tangannya pun masih menggenggam hendel pintu. Namun, sorot mata yang terlanjur menagkap keindahan yang tak terduga itu membuat tubuhnya seakan membeku.Desir aneh lagi-lagi menjalar di tubuh. Debaran di dada menghanyutkannya ke dalam lamunan yang tak berujung. Deryl benar-benar terpesona dengan seseorang yang sedang dilihat oleh matanya. Seorang wanita berambut panjang yang sedang mengeringkan rambut dengan handuk. Leher yang putih mulus itu seakan mempunyai kekuatan magis. Lelaki itu jadi ingin menyentuh dan merasakan kelembutannya.“Uwaahh!” teriak Afsana sambil berusaha menutup rapat-rapat rambutnya dengan handuk.Deryl pun tersadar ketika suara itu membuyarkan lamunannya.“Astaga! Aku lupa!” jawab Dery
Senyum yang tadinya terlukis indah, kini luntur seketika. Kepala menoleh ke sumber suara dengan tatapan sinis yang menghunjam tajam. Afsana sangat terganggu karena sikap yang diambil oleh Deryl.“Apa, sih! Ganggu aja! Kalau mau tidur, ya udah, tidur! Orang aku masih punya urusan, kok! Heran, deh! Mau senyum-senyum atau apa, kek. Terserah aku, dong! Pakai ikut campur segala.”Jawaban super sewot dihadiahkan oleh Afsana. Wajah ditekuk dengan alis yang hampir menyatu. Tampak jelas kalau wanita berhijab itu sedang kesal.Deryl yang disemprot seperti itu, tidak terima. Apalagi ketika melihat senyum istrinya selalu mengembang, sedangkan dia malah geram saat berhubungan dengan sang pacar.“Nggak bisa begitu lah! Ini kan, di kamar. Sudah waktunya tidur. HP besok lagi!”“Hih! Apaan, sih! Gara-gara jatuh, malah tambah aneh, ya! Berobat sana! Ke rumah sakit! Sekalian, cek kejiwaan!”Karena menanggapi Deryl, Afsana melupakan seseorang yang sedang menunggu jawaban pasti darinya.“Kamu, ya! nggak s
Bukannya menjawab, Afsana masih sibuk mengatur napasnya yang ngos-ngosan. Mulutnya juga komat-kamit melantunkan kalimat istigfar.“Kamu kenapa, sih? Tadi saja senyum-senyum nggak jelas, kan? Ini kenapa kayak habis lari keliling lapangan? Ngos-ngosan,” ujar Deryl lagi. Keningnya mengernyit. Ia memutuskan bangkit dari kasur dan beranjak mendekati sang istri.Masih sama, Afsana setia dengan ketakutannya. Matanya terpejam sambil mengatur napas. Jantungnya pula masih berdegup sangat cepat. Kedua tangannya juga terasa dingin saking takutnya.Deryl sudah ada di depan Afsana. Ia memperhatikan wanita itu begitu fokus. Banyak tanda tanya berseliweran di kepala. Apa yang sebenarnya terjadi?“Hei! Ada apa?” tanya Deryl lagi sambil pelan-pelan menyentuh lengan atas sang istri. Awalnya ragu, tetapi ada keinginan untuk menenangkan wanita yang tampak begitu ketakutan ini.Meski pelan saat menyentuh, Afsana terkesiap dan menoleh dengan cepat ke arah Deryl. Melihat tanggapan seperti itu, Deryl langsung
Ternyata, Afsa menyentuh dan memegangku. Dia juga nggak mau mengungkapkannya kepada siapa pun. Bukan hanya aku yang telah menyembunyikan rahasia. Kami sama-sama melakukan hal tak terduga waktu tidur. Jadinya, impas, kan? Aku nggak merasa melakukan kecurangan sendirian.Ya, sejak tangan Afsana mendarat di wajah suaminya, Deryl memang sudah terbangun. Namun, ia sengaja bergeming dan tetap memejamkan mata membiarkan Afsana menyentuh bagian wajah, terutama pipi.Tapi, kenapa aku nggak menyingkirkan tangannya? Kenapa aku malah menikmati? Aku juga tersenyum setelahnya.Deryl mengubah posisinya. Ia meraih guling dan memeluknya. Lagi-lagi, Deryl tidak mau memahami apa yang sedang terjadi dalam dirinya. Katanya benci, tetapi ada bunga-bunga bermekaran pula di dalam dada.Oh ya, soal sosok tadi malam, apa benar yang dikatakan Afsa? Walau aku juga mengalami hal yang agak ngeri, sih. Tapi, kenapa baru sekarang hal mistis itu terjadi di rumah ini?Mata telah dibuka. Namun, lelaki itu bergeming mem
“Kamu benar nggak pernah berhubungan sama Afsa, kan?” tanya Najwa lagi karena merasa ada yang janggal.“Sudah kukatakan tadi kan, Mbak? Kenapa bertanya lagi?”“Soalnya aku merasa aneh, kenapa kamu sampai bisa bertanya seperti itu seolah ada yang telah mengungkapkannya kepadamu.”“Aku hanya berpikir sendiri tanpa aduan dari siapa pun. Jujur saja, aku kesal sama kamu, Mbak. Dari jawabamu, sudah jelas kalau kamu memang sudah menceritakan semuanya kepada Afsana tanpa sepengetahuanku. Padahal aku yang punya perasaan kepadanya, tapi kenapa kamu ikut campur segala.”“Aku keluargamu, kakakmu! Pantas kalau aku menginginkan yang terbaik untukmu. Untuk masa depanmu.”“Cukup. Kita berangkat sekarang dan kamu nggak perlu mengatakan apa pun lagi mengenai Afsana, Mbak.”Najwa membuang napas kasar karena hanya itu yang bisa dilakukan.***Ponsel berbunyi. Deryl malah mendesah kasar ketika tahu kalau Klara yang sedang meneleponnya.“Kenapa aku jadi kesal sama Klara begini?” gumamnya seraya menggulir l