"AKU TIDAK BISA TERIMA INI!" Suara Lidia terus terdengar sepanjang malam, mengalahkan deru pendingin ruangan dan bisikan angin di luar jendela apartemen. Matanya menyala, bengkak bukan karena kurang tidur, tapi karena genangan amarah dan rasa dikhianati yang sudah di ujung tanduk. Di depannya, Kevin hanya bisa terdiam, wajahnya memerah menahan kesal, tatapannya menyiratkan campuran kaget, bingung, dan sedikit rasa sakit hati. Menurutnya tuduhan Lidia tidaklah berdasar. Perhatiannya kepada pasien adalah hal yang masih terhitung wajar.
"Lid, dengar dulu," Kevin memulai, suaranya pelan, hati-hati, seolah takut ledakan selanjutnya. "Ini nggak seperti yang kamu bayangkan—" "Nggak seperti yang aku bayangkan?!" Lidia memotongnya, mendengus tajam Kepalanya seolah berasap. "Aku lihat sendiri, Vin! Mata kepalaku sendiri! Kamu pikir aku buta? Setelah semua ini... lagi-lagi kamu membela dia?" Suaranya menukik tajam pada kata "dia," mengandung kekecewaan yang sangat dalam, bukan hanya kemarahan.Kevin menghela napas panjang, frustrasi terlihat jelas di raut wajahnya. "Tapi Dian cuma minta tolong, dan kamu tahu aku nggak bisa bilang—" "Cukup!" Lidia mengibaskan tangannya, seolah kata "Dian" itu kotor dan tak layak disebut. "Aku muak! Muak dengan kamu, muak dengan semua drama ini! Aku nggak bisa lagi." Ia mengangkat tangannya, jari-jarinya gemetaran di depan Kevin. Rasa lelah, rasa putus asa, rasa sakit hati bercampur menjadi satu, menghantam Lidia dari dalam. Dunia yang dia bangun bersama Kevin, mimpi-mimpi kecil tentang rumah tangga yang bahagia, seolah runtuh di depannya seperti menara kartu.Kevin panik. "Lid, tunggu! Kamu mau ke mana? Jangan kekanakan gini, dong!" Langkah Lidia menuju pintu begitu cepat dan tegas, membuat Kevin gelagapan. Dia tahu Lidia saat sedang marah, tapi yang ini... ini bukan marah biasa. Ini sudah seperti titik didih yang meledak."Ke mana pun yang bisa bikin aku nggak lihat muka kamu!" Lidia meraih kunci mobil di meja samping pintu, tanpa menoleh sedikit pun. Tangannya mencengkeram erat kunci itu, buku-buku jarinya memutih. Rasa sesak di dada membuat napasnya terasa pendek. Air mata, yang tadi dia tahan, kini lolos membasahi pipi. Tapi bukan air mata kesedihan, ini air mata kemarahan. Pintu dibantingnya sekeras mungkin, mengakhiri keheningan tegang yang meliputi apartemen itu. Bunyinya seperti guntur yang menandakan akhir dari segalanya.Lidia langsung menuju lift, merasakan adrenalin dan kepedihan merayapi seluruh tubuhnya. Pandangannya kosong, menembus angka-angka lantai yang berkedip. Bodoh, dia membatin. Aku benci kamu, Kevin. Tapi yang lebih buruk, aku benci kalau aku harus benci kamu. Ini semua salahmu. Kau menghancurkan segalanya. Bayangan masa depan yang tadinya begitu jelas, indah, kini kabur, retak seribu. Seperti kaca yang pecah dan tidak mungkin bisa disambungkan kembali. Dia hanya ingin melarikan diri, pergi dari tempat ini, dari pikiran tentang Kevin, dari semua rasa sakit ini. Ke mana? Entahlah.Dengan tangan gemetar, Lidia menyalakan mesin mobilnya. Hujan gerimis mulai membasahi kaca depan, seolah ikut menangisi nasib hubungannya. Dia menginjak gas, melaju kencang di jalanan yang licin. Pikirannya kosong, atau mungkin terlalu penuh sampai terasa sesak. Tujuan? Yang terlintas hanya satu tempat: tempat yang gelap, bising, dan bisa membantunya lupa sejenak.Bar Rembulan tampak lebih remang dari biasanya. Musik menghentak-hentak, beradu dengan aroma alkohol dan keringat yang menyesakkan. Lidia memesan cocktail pertama, lalu yang kedua, dan ketiga. Entah berapa gelas sudah kosong, rasa pahit alkohol itu berangsur-angsur menjadi mati rasa. Dia terus minum, seolah itu adalah satu-satunya obat bius yang dia butuhkan. Rasa sakit itu belum hilang sepenuhnya, tapi paling tidak, sekarang dia merasa pening, agak melayang, dan bayangan wajah Kevin tidak lagi sesak menempel di benaknya. Hanya kilasan samar, seperti bayangan yang sulit disentuh."Lagi, Nona?" tanya bartender dengan wajah letih.Lidia mengangguk pelan, tatapannya kini memudar dan tidak fokus. "Ap... apa aja," gumamnya, suaranya sedikit cadel. Otaknya mulai keruh, pikirannya hanya dipenuhi keinginan untuk melupakan, lupakan segalanya, lupakan hari ini, lupakan Kevin, lupakan betapa hancurnya dia. Di tengah pandangannya yang kabur, ia merasakan ada sepasang mata mengamatinya.Seorang pria, duduk sendirian di ujung bar, di tempat yang paling remang. Siluetnya tinggi, dan entah kenapa, meskipun dia hanya samar melihatnya, ada aura berbahaya yang menguar darinya. Ketika Lidia mendongak sedikit, mata mereka bertemu. Pria itu tersenyum tipis, hampir tak terlihat, tapi cukup untuk mengirimkan sensasi aneh ke perut Lidia. Rasanya seperti api yang dingin, aneh tapi menarik.Pria asing itu perlahan bangkit dari duduknya. Gerakannya tenang dan penuh percaya diri. Dia berjalan ke arah Lidia, berdiri di sampingnya, kemudian membungkuk sedikit, wajahnya kini terlihat lebih jelas di bawah pencahayaan yang minim. Wajah tampan dengan senyum tipis yang sama, menyembunyikan sesuatu."Mau ikut?" tanyanya, suaranya parau dan dalam, seolah meretas keramaian bar seperti bisikan pribadi yang menggoda.Keadaan Lidia sudah terlalu mabuk untuk memikirkan, menyadari adanya bahaya. Kepekaannya meredup, dibalut erat oleh kabut alkohol dan kekosongan hatinya. Rasa sakit hati yang masih ada di dada justru terasa seperti pemicu, mendorongnya untuk membuat keputusan yang drastis. Sebuah pelarian total.Tanpa berkata apa-apa, Lidia mengangguk. Dia mengambil tangan yang disodorkan pria asing itu. Terasa dingin, tapi entah kenapa, juga meyakinkan. Dia membiarkan pria itu menuntunnya keluar dari keramaian bar, menuju malam yang gelap dan tidak diketahui. Lidia tahu ini adalah pilihan terburuk yang pernah dia buat, tapi entah mengapa, di antara kabut alkohol dan rasa sakit hati yang pekat, rasanya seperti satu-satunya pilihan yang masuk akal.Ruang IGD yang semula lengang, mendadak riuh. Jeritan pilu membelah keheningan. Monitor pasien berbunyi nyaring, mengiris suasana yang sebelumnya tenang.“Ada apa itu?” Perawat Dedi sontak menoleh, matanya membesar melihat kekacauan di bilik itu.Seorang wanita paruh baya meraung histeris, disusul suara tangis dan makian. “Anakku! Ya Tuhan, Erlan kenapa? Erlan!”Seketika, ruangan itu dipenuhi kepanikan. Monitor pasien di bilik Erlan menunjukkan garis lurus panjang, alarmnya meraung mengerikan. Beberapa perawat langsung berlari.“Ayo, tolong mundur, Pak, Bu! Mohon kerja samanya! Keluarga pasien harap menunggu di luar, beri kami ruang untuk bekerja!” seru Perawat Rido. “Cepat siapkan alat-alat! Erlan arrest!” teriak seorang perawat lain dari dalam bilik, menggenapi kekalutan yang ada.Dari kejauhan, dua sosok berjas dokter bergegas melesat seperti anak panah yang lepas dari busurnya. Kevin dan Gerald. Wajah mereka nampak panik, tercetak jelas kekhawatiran yang mendalam. Tanpa basa-basi
Udara di kamar itu tiba-tiba terasa tebal, membebani setiap helaan napas Lidia. Matanya terpaku pada Bima yang menatapnya dengan intensitas mematikan, sorotnya bagai magnet yang menarik semua kekuatannya.Napas Bima yang teratur dan hangat di kejauhan terasa seperti bara yang merayap di kulitnya, namun di waktu yang bersamaan, hawa ancaman darinya terasa sedingin pisau belati. Internship yang ia kira akan menjadi akhir dari satu fase kehidupannya, ternyata malah menjadi awal dari ikatan gila yang tak pernah ia bayangkan. Ikatan yang kini terasa membakar sekaligus membelenggu dirinya erat-erat."Kau tidak serius, kan, Mas?" Suara Lidia terdengar seperti pecahan kaca, tipis, nyaris tenggelam dalam desah napasnya sendiri yang tak beraturan. Bima tersenyum—senyum mematikan yang selalu berhasil merobek setiap pertahanan Lidia lapis demi lapis, membuatnya luluh dan tak berdaya. Bima bukan sekadar seorang pria baginya—ia adalah dr. Leo Bima Adnyana, kepala rumah sakit besar ini, figur yang
Udara di apartemen mewah itu terasa sesak, membebani setiap tarikan napas Lidia. Jemari Bima masih menjelajahi punggungnya yang terbuka, sentuhan yang kini terasa seperti rantai, bukan belaian."Kevin telah membaui hubungan kita." Suara Lidia terdengar bergetar, lebih seperti bisikan yang nyaris tak tertangkap, "Mungkin ini waktunya kita saling mengambil jarak." Ia menghela napas dalam, aroma sampo Lidia memenuhi indra Bima.Bima mendengus pelan, senyum tipis tersungging di bibirnya. "Begitukah?" ia balik bertanya, melanjutkan ciuman ringan di antara tulang belikat Lidia. Suaranya rendah, sarat otoritas yang tak terbantahkan. "Keinginanmu, atau kau ingin melindungi kita?"Lidia menegang. Kalimat Bima menusuk tepat pada inti kegelisahannya. Ia membalikkan badan, menghadapi wajah tampan Bima yang kini menatapnya dengan intensitas yang tak bisa ia hindari. Mata Bima gelap, seperti lautan dalam yang menyembunyikan badai."Kau adalah Ketua Dewan Etik, dokter Bima." Lidia berucap, penekanan
Sementara bisikan gosip soal karma Bima masih ramai di kalangan residen dan internship—tentang kasusnya di masa lalu yang entah kenapa kini ramai dibahas lagi—di sebuah ruang kosong tak terpakai di lantai atas rumah sakit, suasana justru terasa tegang. Tiga sosok dokter senior – Dr. Rukmana, Dr. Surya, dan Dr. Raditya – duduk melingkar dengan serius. Obrolan mereka bukan soal karma yang datang sendiri, tapi bagaimana cara menciptakannya."Oke, cukup sudah main santainya," Dr. Surya memulai, nadanya rendah tapi penuh tekad. Ia meletakkan secangkir kopi yang sudah dingin di meja. "Kita harus cari celah untuk si Bima itu.""Betul," sahut Dr. Raditya, sambil mengelap kacamata. "Dia kan bukan Superman. Pasti punya sisi lemah, selain isu lama soal sejarah dan kepemilikan saham rumah sakit ini yang selama ini dia mati-matian tutupi."Dr. Surya menyeruput sisa kopi. "Begini... kudengar, ia sedang mendekati salah satu anak internship."Jantung Dr. Rukmana sontak berdebar. Pikirannya langsung m
Semua kenangan itu berputar seperti film yang diputar ulang di benak Kevin. Dari cerita Kakeknya, ayahnya, hingga desas-desus di balik pintu rumah besar mereka di Paris. “Sumpah deh, kalau Kakek sama ayahku bisa begitu gampangnya ngelepasin orang-orang yang mereka cintai cuma demi karier, harta, atau bahkan ego kosong mereka, aku enggak akan pernah kayak gitu. Aku nggak akan melepaskan Lidia untuk Bima,” gumam Kevin pelan, suaranya tercekat. Resolusinya kali ini kuat sekali, membara di dalam dada, berbeda dari gumpalan dilema yang sering menyelimutinya.Tapi, pikiran lain menyelinap masuk, lebih mengganggu dan membangkitkan kecemasan. “Tunggu… Bima? Kenapa nama ini familiar banget?” Alis Kevin berkerut, tangannya otomatis memijat pelipisnya. “Apakah Bima… ini Bima yang sama yang sering Ibu ceritakan? Atau Bima yang lain?” Pertanyaan-pertanyaan itu menggerogotinya. Otaknya bekerja keras menyambung kepingan informasi yang tersebar, seperti detektif yang menemukan petunjuk krusial di TKP
Tangan-tangan takdir kadang terlalu kejam merenggut kedamaian, bahkan untuk sekadar kebahagiaan sepasang ayah dan anak. Hari itu, angin kemarau di Jakarta terasa menyesakkan, tidak hanya di luar, tetapi juga di dalam ruang kerja dr. Asri yang steril. Sebuah atmosfer tegang menyelimuti mereka—mantan suami istri dan putri mereka—seolah udara di ruangan itu dipenuhi bubuk mesiu, siap meledak oleh percikan terkecil.Dr. Rafael Irwanto berdiri kokoh di hadapan dr. Asri, matanya memancarkan kesedihan mendalam sekaligus tekad membaja. Posturnya masih tegap, mencerminkan keturunan bangsawan yang menjunjung tinggi harga diri. Sementara itu, di dekat pintu, Riana yang berusia delapan belas tahun berdiri, meremas tas tangan di genggamannya, napasnya tertahan. Kata-kata kasar Asri masih mengiang, menusuk luka hatinya yang baru saja merasakan kegagalan pahit ujian masuk fakultas kedokteran."Aku akan membawa Rian