Share

Malam Terlarang Bersama Dokter Pembimbingku
Malam Terlarang Bersama Dokter Pembimbingku
Author: Alexa Ayang

Bab 1 Detik-detik Kehancuran

Author: Alexa Ayang
last update Last Updated: 2025-09-19 13:13:56

"AKU TIDAK BISA TERIMA  INI!" Suara Lidia terus terdengar sepanjang malam, mengalahkan deru pendingin ruangan dan bisikan angin di luar jendela apartemen. Matanya menyala, bengkak bukan karena kurang tidur, tapi karena genangan amarah dan rasa dikhianati yang sudah di ujung tanduk. Di depannya, Kevin hanya bisa terdiam, wajahnya memerah menahan kesal, tatapannya menyiratkan campuran kaget, bingung, dan sedikit rasa sakit hati. Menurutnya tuduhan Lidia tidaklah berdasar. Perhatiannya kepada pasien adalah hal yang masih terhitung wajar.

"Lid, dengar dulu," Kevin memulai, suaranya pelan, hati-hati, seolah takut ledakan selanjutnya. "Ini nggak seperti yang kamu bayangkan—"

"Nggak seperti yang aku bayangkan?!"
Lidia memotongnya, mendengus tajam Kepalanya seolah berasap. "Aku lihat sendiri, Vin! Mata kepalaku sendiri! Kamu pikir aku buta? Setelah semua ini... lagi-lagi kamu membela dia?" Suaranya menukik tajam pada kata "dia," mengandung kekecewaan yang sangat dalam, bukan hanya kemarahan.

Kevin menghela napas panjang, frustrasi terlihat jelas di raut wajahnya. "Tapi Dian cuma minta tolong, dan kamu tahu aku nggak bisa bilang—"

"Cukup!"
Lidia mengibaskan tangannya, seolah kata "Dian" itu kotor dan tak layak disebut. "Aku muak! Muak dengan kamu, muak dengan semua drama ini! Aku nggak bisa lagi." Ia mengangkat tangannya, jari-jarinya gemetaran di depan Kevin. Rasa lelah, rasa putus asa, rasa sakit hati bercampur menjadi satu, menghantam Lidia dari dalam. Dunia yang dia bangun bersama Kevin, mimpi-mimpi kecil tentang rumah tangga yang bahagia, seolah runtuh di depannya seperti menara kartu.

Kevin panik. "Lid, tunggu! Kamu mau ke mana? Jangan kekanakan gini, dong!" Langkah Lidia menuju pintu begitu cepat dan tegas, membuat Kevin gelagapan. Dia tahu Lidia saat sedang marah, tapi yang ini... ini bukan marah biasa. Ini sudah seperti titik didih yang meledak.

"Ke mana pun yang bisa bikin aku nggak lihat muka kamu!" Lidia meraih kunci mobil di meja samping pintu, tanpa menoleh sedikit pun. Tangannya mencengkeram erat kunci itu, buku-buku jarinya memutih. Rasa sesak di dada membuat napasnya terasa pendek. Air mata, yang tadi dia tahan, kini lolos membasahi pipi. Tapi bukan air mata kesedihan, ini air mata kemarahan. Pintu dibantingnya sekeras mungkin, mengakhiri keheningan tegang yang meliputi apartemen itu. Bunyinya seperti guntur yang menandakan akhir dari segalanya.

Lidia langsung menuju lift, merasakan adrenalin dan kepedihan merayapi seluruh tubuhnya. Pandangannya kosong, menembus angka-angka lantai yang berkedip. Bodoh, dia membatin. Aku benci kamu, Kevin. Tapi yang lebih buruk, aku benci kalau aku harus benci kamu. Ini semua salahmu. Kau menghancurkan segalanya. Bayangan masa depan yang tadinya begitu jelas, indah, kini kabur, retak seribu. Seperti kaca yang pecah dan tidak mungkin bisa disambungkan kembali. Dia hanya ingin melarikan diri, pergi dari tempat ini, dari pikiran tentang Kevin, dari semua rasa sakit ini. Ke mana? Entahlah.

Dengan tangan gemetar, Lidia menyalakan mesin mobilnya. Hujan gerimis mulai membasahi kaca depan, seolah ikut menangisi nasib hubungannya. Dia menginjak gas, melaju kencang di jalanan yang licin. Pikirannya kosong, atau mungkin terlalu penuh sampai terasa sesak. Tujuan? Yang terlintas hanya satu tempat: tempat yang gelap, bising, dan bisa membantunya lupa sejenak.

Bar Rembulan tampak lebih remang dari biasanya. Musik menghentak-hentak, beradu dengan aroma alkohol dan keringat yang menyesakkan. Lidia memesan cocktail pertama, lalu yang kedua, dan ketiga. Entah berapa gelas sudah kosong, rasa pahit alkohol itu berangsur-angsur menjadi mati rasa. Dia terus minum, seolah itu adalah satu-satunya obat bius yang dia butuhkan. Rasa sakit itu belum hilang sepenuhnya, tapi paling tidak, sekarang dia merasa pening, agak melayang, dan bayangan wajah Kevin tidak lagi sesak menempel di benaknya. Hanya kilasan samar, seperti bayangan yang sulit disentuh.

"Lagi, Nona?" tanya bartender dengan wajah letih.

Lidia mengangguk pelan, tatapannya kini memudar dan tidak fokus. "Ap... apa aja," gumamnya, suaranya sedikit cadel. Otaknya mulai keruh, pikirannya hanya dipenuhi keinginan untuk melupakan, lupakan segalanya, lupakan hari ini, lupakan Kevin, lupakan betapa hancurnya dia. Di tengah pandangannya yang kabur, ia merasakan ada sepasang mata mengamatinya.

Seorang pria, duduk sendirian di ujung bar, di tempat yang paling remang. Siluetnya tinggi, dan entah kenapa, meskipun dia hanya samar melihatnya, ada aura berbahaya yang menguar darinya. Ketika Lidia mendongak sedikit, mata mereka bertemu. Pria itu tersenyum tipis, hampir tak terlihat, tapi cukup untuk mengirimkan sensasi aneh ke perut Lidia. Rasanya seperti api yang dingin, aneh tapi menarik.

Pria asing itu perlahan bangkit dari duduknya. Gerakannya tenang dan penuh percaya diri. Dia berjalan ke arah Lidia, berdiri di sampingnya, kemudian membungkuk sedikit, wajahnya kini terlihat lebih jelas di bawah pencahayaan yang minim. Wajah tampan dengan senyum tipis yang sama, menyembunyikan sesuatu.

"Mau ikut?" tanyanya, suaranya parau dan dalam, seolah meretas keramaian bar seperti bisikan pribadi yang menggoda.

Keadaan Lidia sudah terlalu mabuk untuk memikirkan, menyadari adanya bahaya. Kepekaannya meredup, dibalut erat oleh kabut alkohol dan kekosongan hatinya. Rasa sakit hati yang masih ada di dada justru terasa seperti pemicu, mendorongnya untuk membuat keputusan yang drastis. Sebuah pelarian total.

Tanpa berkata apa-apa, Lidia mengangguk. Dia mengambil tangan yang disodorkan pria asing itu. Terasa dingin, tapi entah kenapa, juga meyakinkan. Dia membiarkan pria itu menuntunnya keluar dari keramaian bar, menuju malam yang gelap dan tidak diketahui. Lidia tahu ini adalah pilihan terburuk yang pernah dia buat, tapi entah mengapa, di antara kabut alkohol dan rasa sakit hati yang pekat, rasanya seperti satu-satunya pilihan yang masuk akal.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Malam Terlarang Bersama Dokter Pembimbingku   Bab 135: Kritik, Hak Pasien, dan Kotak Saran

    Di tengah keriuhan lantai bawah rumah sakit, tempat para pasien dan keluarga berdesakan menunggu kabar, dan di lantai atas, tempat Direktur Bima kemungkinan besar sedang memilah stok scrub hasil borongannya dari e-commerce alih-alih berkutat dengan laporan keuangan, Ruang Residensi justru menyuguhkan pemandangan yang kontras.Ruangan itu, yang biasanya dipenuhi tumpukan jurnal medis yang bisa roboh kapan saja atau aroma kopi basi yang sudah bermigrasi menjadi entitas spiritual, kini disulap menjadi medan perang intelektual yang lumayan serius. Sekelompok dokter muda, para residen yang setiap harinya bergulat antara nyawa dan tuntutan koas yang mendadak hilang saat dibutuhkan, berkumpul untuk rapat internal yang substansial. Topiknya, bukan masalah berapa banyak jam lembur yang harus dibebankan pada kolega yang tak bersalah, melainkan sesuatu yang jauh lebih fundamental: hak-hak pasien.Dokter Indra, seorang residen senior dengan aura idealisme yang terkadang terasa seperti Oase di gur

  • Malam Terlarang Bersama Dokter Pembimbingku   Bab 134: Rapat dan Serangan Etika

    Ruang Rapat Manajemen di lantai eksekutif Cendekia Medika terasa dingin, kontras dengan tensi panas yang menggantung berat di antara para partisipan. Duduk mengelilingi meja oval berlapis kayu mahoni gelap adalah Dr. Bima, Direktur Utama, dengan tatapan yang tenang namun awas. Di sampingnya, Dr. Alvin, Wakil Direktur, menunjukkan ekspresi perhitungan.Berseberangan dengannya duduk Dr. Surya, Kepala Departemen Penyakit Dalam, aura ambisinya nyaris terasa fisik. Di sisinya, Dr. Raditya, rekannya dari Penyakit Dalam, menampakkan kegelisahan yang tertahan. Sementara itu, Dr. Rukmana, Kepala Departemen Kandungan, tampak gelisah, sesekali merapikan berkas di depannya, dan Dr. Arya dari Bedah Plastik, mencoba untuk bersikap netral namun sorot matanya tetap mengawasi dinamika di antara kolega-koleganya.Rapat tersebut, secara formal, dijadwalkan untuk membahas peningkatan kualitas pelayanan rumah sakit dan evaluasi kinerja triwulan. Namun, semua pihak yang hadir sangat menyadari bahwa agenda

  • Malam Terlarang Bersama Dokter Pembimbingku   Bab 133 Semua Salah Kevin

    Kantor konsultan gizi Cendekia Medika—atau, lebih tepatnya, kantinnya yang kini telah kosong melompong—tiba-tiba terasa seperti arena koloseum kuno tempat para gladiator baru saja menuntaskan santapan terakhir mereka sebelum masuk gelanggang. Piring-piring bersih mengkilap berjejer rapi, sendok dan garpu diam membisu, kontras dengan gelombang pasang absurditas dan ketegangan yang menguasai enam individu di sekeliling meja melamin. Rahasia pernikahan Bima dan Lidya kini telah menjelma menjadi berhala beton yang mereka pikul bersama, siap menindih kapan saja."Kalian semua bicara soal ancaman Bima, bicara soal takdir sialan ini," celetuk Virzha, intern paling lugas yang pernah menginjakkan kaki di dunia medis Cendekia Medika, "Tapi Kevin memang banyak masalah, sih. Dia bikin blunder buat dirinya sendiri, dan buat kita semua juga."Mata Virzha yang setajam elang, meskipun sedikit cengengesan khas anak magang, kini menyorot lurus ke arah Gerald dan Vito. "Kalian kenapa mesti pergi ke kara

  • Malam Terlarang Bersama Dokter Pembimbingku   Bab 132: Pembagian Loyalitas di Kantin

    Vito, Gerald, Wulan, dan Riris berkumpul di salah satu meja yang lebih terpencil di kantin utama rumah sakit, berupaya menemukan keheningan yang relatif di tengah keramaian jam makan siang. Atmosfer kantin yang bising, ditambah aroma aneka hidangan, tidak mampu mengurangi ketegangan yang menyelimuti meja mereka. Kopi dan camilan yang mereka pesan terasa hambar, sekadar pengisi formalitas di tengah beban topik pembicaraan yang kian memberat. Sebuah bayangan kekhawatiran terpantul jelas di mata mereka masing-masing, seolah merefleksikan permasalahan yang tak kunjung menemukan jalan keluar."Kevin itu gila," ujar Gerald, memecah keheningan dengan suara penuh ketidakpercayaan, sembari menggelengkan kepalanya pelan. "Mengapa dia memutuskan untuk serumah dengan individu yang telah ia anggap sebagai musuh bebuyutan? Tindakan demikian serupa dengan mencari bahaya. Kevin, dalam pandangan saya, telah mengundang permasalahan yang substansial dan kompleks."Wulan, yang sejak tadi tampak asyik men

  • Malam Terlarang Bersama Dokter Pembimbingku   Bab 131: Bukti Pemalsuan dan Harapan Kedua

    Riana melesat menembus keramaian Rue de Varenne, denyutan jantung Paris yang tak pernah tidur, namun kali ini terasa terlalu lambat baginya. Tujuannya satu: Klinik Wisesa. Bukan sekadar klinik biasa, melainkan tempat Gabriel, mantan suaminya, menghabiskan hari-harinya setelah mereka berpisah bertahun-tahun lalu. Udara di dalam ruangan kerja Gabriel, yang didominasi warna krem lembut dan sentuhan furnitur kayu gelap, memang terasa formal, khas ruang profesional seorang dokter terkemuka. Namun, bagi Riana, selalu ada lapisan keakraban tipis yang menyelimuti atmosfer di antara mereka, jejak masa lalu yang tak pernah benar-benar pudar. Dia bahkan masih hafal bau eau de cologne Gabriel yang samar."Gabriel," sapa Riana, suaranya tercekat oleh urgensi yang sudah ia tahan sejak pesawat mendarat. Matanya langsung menemukan sosok Gabriel yang sedang meneliti layar komputer, berkas-berkas pasien berserakan rapi di mejanya.Gabriel yang sedang memeriksa scan MRI seorang pasien, t

  • Malam Terlarang Bersama Dokter Pembimbingku   Bab 130: Kebohongan di Balik Hibah

    Riana Irwanto Wisesa menarik koper kecilnya keluar dari stasiun Gard du Nord, aroma roti baguette dan kopi memenuhi udara musim gugur Paris. Rasa lelah membalutnya, bukan cuma jet lag, tapi lelah jiwa. Meninggalkan Kevin dengan hati remuk dan Lidya yang terombang-ambing di tengah intrik Bima, Riana tahu dia tidak bisa diam. Rasanya seperti semua orang terseret ke dalam lubang gelap yang digali Bima. Dan dia? Dia harus jadi penariknya keluar. Satu-satunya cara untuk menghentikan permainan kotor Bima adalah dengan menyerang fondasi kekuasaannya: kepemilikan 55% saham Cendekia Medika. Ini bukan lagi soal sakit hati atau rivalitas biasa, ini perang.Setengah jam kemudian, ia tiba di apartemen ayahnya yang bergaya Haussmann di Marais. Lampu-lampu kuning hangat menerangi jalanan. Apartemen dengan langit-langit tinggi, detail ukiran klasik, dan jendela setinggi langit-langit itu terasa seperti oase. Dokter Rafael Irwanto, seorang dokter kandungan terkemuka di Paris, membuka pintu. R

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status