Rahasia yang Terbongkar
Nadia duduk di kantornya, menatap kosong ke layar laptop yang seharusnya ia gunakan untuk bekerja. Tapi pikirannya sama sekali tidak ada di sana. Sejak pertemuannya dengan Faris, kepalanya dipenuhi dengan pertanyaan yang semakin sulit ia jawab. Siapa yang sebenarnya ia inginkan? Faris adalah cinta pertamanya, seseorang yang dulu ia percaya akan selalu ada untuknya. Tapi ia juga orang yang meninggalkannya ketika ia tidak siap untuk memberikan kepastian. Sedangkan Reza… Reza adalah seseorang yang datang tanpa rencana, namun perlahan masuk ke dalam hidupnya, membuatnya merasa diinginkan tanpa tuntutan yang berlebihan. Tapi apakah itu cukup? Sebuah pesan masuk ke ponselnya, membuatnya tersadar. Reza: Makan malam nanti? Aku ingin bicara. Nadia menggigit bibirnya. Nada pesan itu terasa berbeda dari biasanya. Nadia: Oke. Dimana? Reza: Di tempat biasa. Jam 7. Nadia merasa ada sesuatu yang tidak beres. Dan ia benar. Konfrontasi Tak Terduga Saat Nadia tiba di restoran yang biasa mereka kunjungi, ia melihat Reza sudah duduk di salah satu meja dekat jendela. Wajahnya tampak lebih serius dari biasanya. Ketika Nadia duduk, Reza langsung menatapnya dengan ekspresi yang sulit dibaca. "Kita perlu bicara," katanya tanpa basa-basi. Nadia menelan ludah. "Ada apa?" Reza menyandarkan tubuhnya, menatapnya dalam-dalam. "Siapa Faris?" Jantung Nadia seakan berhenti berdetak. Ia berusaha menjaga ekspresinya tetap tenang, meski di dalam kepalanya ada kepanikan yang mulai muncul. "Kenapa kau menanyakan itu?" Nadia mencoba mengulur waktu. Reza menghela napas, lalu meletakkan ponselnya di atas meja, memperlihatkan sebuah foto di layar. Itu adalah foto Nadia dan Faris di kafe kemarin. "Seseorang mengirimkan ini padaku," kata Reza. "Dan aku ingin mendengar penjelasan darimu langsung." Nadia terdiam, otaknya berputar mencari jawaban yang tepat. Tapi apa pun yang ia katakan, itu tidak akan bisa menghapus kenyataan bahwa ia memang bertemu dengan Faris. "Dia… mantan kekasihku," akhirnya ia mengaku. Reza menatapnya tanpa ekspresi. "Dan kenapa kau bertemu dengannya?" Nadia menggigit bibirnya. "Dia ingin bicara denganku. Katanya… dia masih mencintaiku." Reza menghela napas panjang. "Dan kau?" Pertanyaan itu membuat Nadia terdiam. "Aku tidak tahu," jawabnya jujur. Reza menatapnya lama, lalu mengangguk pelan. "Jadi selama ini, kita bersama, tapi kau masih ragu apakah kau ingin bersamaku atau kembali padanya?" "Aku tidak bermaksud seperti itu… Aku hanya butuh waktu untuk memahami perasaanku." Reza tertawa kecil, tapi tidak ada humor dalam suaranya. "Nadia, kau tahu apa bedanya aku dengan dia? Aku ada di sini, bersamamu, saat ini. Aku tidak pergi dan baru kembali saat merasa kehilanganmu." Perkataannya menusuk Nadia. Reza menghembuskan napas, lalu bangkit dari kursinya. "Aku tidak akan memaksa. Tapi aku tidak akan menunggu selamanya. Kalau kau masih terjebak di masa lalu, aku tidak bisa tetap berada di sini." Ia berjalan pergi, meninggalkan Nadia dengan hati yang semakin kacau. Pilihan yang Harus Dibuat Malam itu, Nadia duduk di sofa apartemennya, menatap kosong ke arah jendela. Pikirannya kembali ke Reza dan Faris. Dua pria, dua hubungan yang berbeda, dan dua masa depan yang tidak mungkin berjalan berdampingan. Pikirannya terganggu oleh suara ketukan di pintu. Ketika ia membukanya, Faris berdiri di sana. "Boleh aku masuk?" tanyanya. Nadia ragu sejenak, tapi akhirnya ia mengangguk. Faris masuk dan berdiri di ruang tamunya, menatapnya dengan ekspresi penuh harapan. "Aku tahu kau bingung," katanya. "Tapi aku serius, Nadia. Aku ingin kita mencoba lagi. Aku tidak akan membuat kesalahan yang sama." Nadia menatapnya, hatinya masih penuh kebingungan. "Faris, aku…" Sebelum ia bisa menyelesaikan kalimatnya, ponselnya bergetar. Reza: Aku ingin bertemu untuk terakhir kalinya. Jika kau ingin bersamaku, katakan sekarang. Jika tidak, aku akan pergi selamanya. Nadia menatap layar ponselnya, lalu menatap Faris yang masih berdiri di depannya. Ini adalah momen yang akan menentukan segalanya. Dan ia harus memilih. Dua Pilihan, Satu Hati Nadia menatap layar ponselnya, jantungnya berdetak kencang. Reza: Aku ingin bertemu untuk terakhir kalinya. Jika kau ingin bersamaku, katakan sekarang. Jika tidak, aku akan pergi selamanya. Tenggorokannya terasa kering. Matanya kemudian beralih pada Faris, yang masih berdiri di ruang tamunya, menatapnya penuh harap. "Siapa itu?" tanya Faris, suaranya tenang tapi penuh kecurigaan. Nadia menggenggam ponselnya erat-erat, seolah takut jika ia melepaskannya, semuanya akan runtuh. "Reza," jawabnya lirih. Faris menegang. "Dia tahu aku di sini?" Nadia menggeleng. "Tidak. Dia hanya ingin tahu apakah aku masih ingin bersamanya atau tidak." Faris melangkah mendekat, tangannya meraih kedua bahu Nadia dengan lembut. "Nadia, aku tahu ini sulit untukmu. Tapi aku tidak ingin kau memilihku hanya karena masa lalu kita. Aku ingin kau memilihku karena kau masih mencintaiku." Nadia menatap dalam matanya, mencari jawaban di dalam dirinya. "Aku… aku tidak tahu, Faris," bisiknya. Faris tersenyum kecil, meski jelas ada kesedihan di balik senyumnya. "Aku akan menunggu jawabanmu. Tapi jangan terlalu lama, Nadia. Aku sudah kehilanganmu sekali, dan aku tidak ingin kehilanganmu lagi." Dengan itu, Faris melangkah keluar dari apartemen, meninggalkan Nadia sendirian dalam pusaran emosinya. Ia melihat kembali ponselnya. Tangannya gemetar saat ia mengetik balasan untuk Reza. Nadia: Aku akan datang. Pertemuan Terakhir Restoran tempat mereka biasa bertemu terasa lebih sunyi malam itu. Atau mungkin hanya perasaan Nadia saja. Saat ia masuk, ia melihat Reza sudah duduk di sudut ruangan, menatap kosong ke arah meja. Ketika ia mendekat, Reza menoleh, dan Nadia bisa melihat ada sesuatu yang berbeda di matanya. Seperti seseorang yang sudah bersiap untuk menerima jawaban, apa pun itu. "Kau datang," kata Reza pelan. Nadia mengangguk, duduk di depannya. "Ya. Aku datang." Reza menarik napas dalam. "Jadi? Aku tidak akan memaksamu, Nadia. Tapi aku butuh kejelasan." Nadia menatapnya, mencoba menemukan kata-kata yang tepat. Tapi bagaimana mungkin ia bisa menjelaskan sesuatu yang bahkan ia sendiri masih bingung? "Aku… aku tidak ingin menyakitimu, Reza. Kau tahu itu," katanya akhirnya. Reza tersenyum tipis. "Tapi kau juga tidak ingin kehilangan Faris, bukan?" Nadia terdiam. Reza menyesap anggur merahnya, lalu meletakkan gelasnya dengan tenang. "Aku tahu sejak awal, Nadia. Aku tahu ada sesuatu dalam dirimu yang belum selesai dengan masa lalumu. Tapi aku tetap memilih untuk bersamamu, karena aku berharap aku bisa menjadi seseorang yang baru untukmu." Nadia merasakan dadanya sesak. "Aku tidak pernah ingin mempermainkanmu, Reza." "Aku tahu," kata Reza, mengangguk pelan. "Tapi kadang, tanpa kita sadari, kita tetap menyakiti orang lain dengan kebingungan kita sendiri." Nadia menggigit bibirnya. "Aku tidak tahu harus bagaimana… Aku takut membuat keputusan yang salah." Reza tertawa kecil, tapi tidak ada kebahagiaan di dalamnya. "Nadia, satu-satunya keputusan yang salah adalah tidak membuat keputusan sama sekali." Keduanya terdiam, membiarkan kata-kata itu menggantung di udara. Lalu, Reza menghela napas panjang dan menatapnya dengan mata yang lebih lembut. "Aku mencintaimu, Nadia. Tapi aku tidak bisa menunggu seseorang yang hatinya masih terbagi dua." Air mata menggenang di mata Nadia. "Jadi ini…?" Reza mengangguk. "Ini perpisahan, kalau kau masih ragu." Nadia merasa dunia seakan runtuh. Tapi jauh di dalam hatinya, ia tahu Reza benar. Dan kali ini, ia tidak bisa lagi menghindari kenyataan. Jawaban yang Sakit Nadia pulang dengan hati yang kosong. Ia duduk di sofanya, memeluk lutut, mencoba menenangkan diri. Tapi tidak ada yang bisa menghilangkan perasaan kehilangan yang begitu besar. Ia telah kehilangan Reza. Dan kini, ia hanya tinggal dengan satu pilihan yang tersisa: Faris. Tapi apakah ia benar-benar menginginkannya? Atau ia hanya kembali karena tidak ingin sendirian? Pikirannya terus berputar hingga akhirnya ponselnya berbunyi. Faris: Aku ingin bertemu. Aku harap kau sudah membuat keputusanmu. Nadia menutup matanya. Ia tahu tidak bisa lari lagi. Masa Lalu atau Masa Depan? Kali ini, mereka bertemu di taman tempat mereka dulu sering menghabiskan waktu bersama. Angin malam berhembus lembut, membawa serta aroma nostalgia yang menyakitkan. Faris berdiri di dekat bangku kayu, menatapnya dengan harapan di matanya. "Kau datang," katanya, seperti yang dikatakan Reza sebelumnya. Nadia mengangguk, berjalan mendekat. Faris menatapnya dengan intens. "Jadi? Kau sudah memutuskan?" Nadia menarik napas dalam, mencoba menguatkan dirinya. "Faris, aku… aku mencintaimu. Aku tidak bisa menghapus semua yang pernah kita jalani bersama. Kau adalah bagian dari hidupku yang tak tergantikan." Mata Faris berbinar, tapi ia tetap menunggu kelanjutan kata-kata Nadia. "Tapi aku juga sadar bahwa perasaan itu… mungkin lebih banyak berasal dari kenangan dibandingkan kenyataan," lanjutnya dengan suara pelan. Ekspresi Faris berubah. "Apa maksudmu?" Nadia menelan ludah. "Aku tidak bisa kembali ke masa lalu, Faris. Aku telah kehilangan Reza karena kebimbanganku. Dan aku sadar bahwa jika aku memilihmu sekarang, itu bukan karena aku benar-benar ingin bersamamu… tapi karena aku takut sendirian." Faris menatapnya dengan mata terluka. "Jadi… kau tidak memilihku?" Nadia menggeleng pelan, air mata mengalir di pipinya. "Aku tidak bisa memilih siapa pun saat ini. Aku harus menemukan diriku sendiri sebelum aku bisa mencintai orang lain lagi." Faris membuang napas panjang, lalu mengangguk pelan. "Aku mengerti, Nadia." Ia melangkah mendekat, menatapnya untuk terakhir kalinya sebelum berkata, "Aku berharap kau menemukan apa yang kau cari. Dan jika suatu saat kau siap, aku harap kita bisa bertemu lagi—bukan sebagai bayangan masa lalu, tapi sebagai dua orang yang benar-benar saling memilih." Lalu, ia pergi. Dan kali ini, Nadia tidak mengejarnya. Kesendirian yang Membebaskan Malam itu, Nadia berdiri di balkon apartemennya, menatap langit malam yang luas. Untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, ia benar-benar sendirian. Tapi kali ini, ia tidak merasa takut. Karena ia tahu, sebelum ia bisa memilih siapa pun, ia harus memilih dirinya sendiri terlebih dahulu. Dan itu adalah keputusan yang paling sulit—tapi juga yang paling benar.Pagi itu, hujan turun pelan-pelan. Bukan hujan deras yang menakutkan, tapi rintik lembut yang menenangkan. Nadia menyeduh teh hangat di dapur, sementara Reza mengganti popok Aluna yang sedang tertawa-tawa di ranjang kecilnya."Dia makin pintar," ujar Reza sambil menoleh ke Nadia yang berdiri di ambang pintu, membawa secangkir teh untuknya."Dan makin cerewet. Tapi lucunya nggak hilang-hilang," balas Nadia.Setelah sarapan, mereka duduk di ruang tamu, memandangi jendela yang dihiasi embun. Di pelukan mereka, Aluna tertidur setelah kenyang bermain."Aku selalu suka suasana pagi kayak gini," kata Reza."Karena damai?""Karena kamu ada di sini. Karena kita ada di sini. Nggak peduli hujan, badai, atau apa pun, asalkan kita bertiga di tempat yang sama, semua terasa aman."Nadia tersenyum, menatap wajah Reza dengan rasa cinta yang masih sama seperti dulu, tapi kini lebih dalam. Cinta yang telah diuji waktu, jarak, konflik, bahkan tangis bayi di tengah malam.Hari-hari mereka dipenuhi tawa ke
Aluna tumbuh cepat. Seperti waktu yang tak pernah menunggu. Baru kemarin mereka belajar mengganti popok, kini Aluna sudah bisa berjalan tertatih-tatih sambil tertawa, mengejar bayangannya sendiri di teras rumah."Jangan terlalu cepat besar, sayang," bisik Nadia suatu pagi sambil menyuapi bubur ke mulut kecil itu.Reza datang dari belakang, mengecup bahu Nadia, lalu mengelus kepala Aluna. "Tapi setiap langkah kecilnya, Nad, adalah bukti bahwa kita berhasil sejauh ini."Hari-hari berlalu, tapi tak semuanya mudah. Tantangan datang dalam bentuk yang berbeda. Reza mulai sibuk lagi dengan proyek seni, persiapannya untuk pameran di luar negeri membuatnya sering pulang malam. Nadia mulai merasa ada jarak yang perlahan tumbuh—bukan karena cinta berkurang, tapi karena fokus mereka terbagi.Malam itu, saat Aluna tertidur, Nadia duduk sendirian di ruang keluarga. Reza baru pulang, membawa laptop dan setumpuk berkas."Kamu belum makan?" tanya Reza sambil duduk di sampingnya.Nadia hanya menggeleng
Musim hujan datang. Hujan deras turun hampir setiap sore, membawa aroma tanah basah dan nostalgia masa-masa awal Reza dan Nadia saling mengenal. Di dalam rumah mereka yang hangat, suasana dipenuhi suara-suara kecil Aluna yang mulai berceloteh. Ia belum bisa berkata-kata jelas, tapi gumamannya seperti musik bagi telinga Reza dan Nadia.Pagi itu, Nadia duduk di ruang kerja Reza sambil menggendong Aluna. Di hadapannya, terbuka sebuah buku kosong."Aku mau nulis surat buat Aluna. Untuk dibaca dia nanti saat usianya tujuh belas," kata Nadia.Reza yang sedang menyusun koleksi foto untuk pameran baru menghentikan pekerjaannya. "Itu ide bagus. Aku juga mau nulis. Kita bikin satu kotak waktu. Kita isi surat, foto, potongan baju bayi, semuanya. Buka bareng nanti."Nadia tersenyum. Ia mulai menulis.Untuk Aluna, saat kamu beranjak menjadi perempuan dewasa,Kamu mungkin sedang jatuh cinta, atau baru saja patah hati. Mungkin kamu sedang berjuang mencari tahu siapa dirimu. Apapun kondisimu, satu ha
Hari-hari berlalu dengan ritme baru. Tangisan bayi, aroma susu, suara alat sterilisasi, dan malam-malam panjang tanpa tidur menjadi bagian dari keseharian Reza dan Nadia. Tapi di balik semua kelelahan, mereka menemukan jenis kebahagiaan yang belum pernah mereka kenal sebelumnya—kebahagiaan yang datang dari memberi, merawat, dan mencintai tanpa syarat.Pagi hari dimulai lebih awal dari biasanya. Nadia bangun sekitar pukul lima, lalu menyusui Aluna yang mulai merengek. Reza biasanya menyusul beberapa menit kemudian dengan secangkir teh hangat dan handuk kecil di tangan."Kita kayak kru sirkus," kata Nadia suatu pagi sambil tertawa kecil. Rambutnya berantakan, mata sembab, tapi senyumnya tak pernah hilang."Iya. Tapi kita sirkus yang cuma punya satu pemain bintang: Aluna," jawab Reza sambil menggendong putri mereka, lalu mengayunkannya pelan.Aluna mulai menanggapi suara dan wajah orang tuanya. Setiap kali Nadia menyanyi, ia menoleh. Setiap kali Reza
Pagi itu mendung menggantung di atas Jakarta. Reza baru saja menyeduh teh hangat ketika mendengar panggilan dari kamar. "Reza... kayaknya air ketubanku pecah." Jantung Reza nyaris berhenti berdetak. Ia berlari menuju kamar, menemukan Nadia berdiri sambil memegangi perutnya. Ada tetesan bening di lantai. "Kita harus ke rumah sakit sekarang," katanya cepat sambil meraih jaket dan kunci mobil. Semuanya terasa begitu nyata. Perjalanan ke rumah sakit terasa seperti mimpi. Nadia menggenggam tangan Reza erat di sepanjang jalan, berusaha tenang di tengah kontraksi yang mulai terasa. "Kita udah sampai di hari ini," bisik Nadia, napasnya terengah. "Iya. Hari di mana cinta kita lahir dalam wujud yang baru." Di ruang bersalin, waktu berjalan lambat dan cepat sekaligus. Para perawat dan dokter datang silih berganti. Kontraksi makin kuat. Reza tak pernah meninggalkan sisi Nadia, menggenggam ta
Memasuki trimester ketiga, Nadia mulai merasakan perubahan besar pada tubuhnya. Ia lebih cepat lelah, emosi mudah bergelombang, dan malam-malamnya sering kali diwarnai gelisah. Namun, dalam setiap peluh dan keletihan itu, ada Reza yang tak pernah beranjak jauh.Suatu malam, ketika angin berdesir lebih dingin dari biasanya, Reza memeluk Nadia dari belakang di tempat tidur. Ia bisa merasakan tubuh Nadia bergetar."Kamu mimpi buruk lagi?" bisiknya.Nadia mengangguk pelan. "Aku mimpi... kamu pergi. Aku panggil-panggil, tapi kamu nggak dengar. Rasanya sesak banget."Reza mengelus pelan perutnya, lalu menarik selimut lebih rapat. "Aku di sini. Dan aku nggak ke mana-mana. Kamu nggak harus kuat sendirian. Aku ada buat kamu."Nadia membalas pelukannya, air mata mengalir tanpa suara. Di balik rasa lelah dan nyeri, hatinya tetap berdebar karena cinta yang tak berubah.Hari-hari berikutnya mereka habiskan dengan lebih pelan. Reza mengambil c