Share

Part 2 Pernikahan dengan Syarat

“Kan Tante juga tahu, aku menjalin hubungan sama Randi bukan baru-baru ini aja, melainkan sedari jaman kuliah. Aku juga sudah berusaha untuk memberi pengertian kepadanya tentang status sosial kami, namun nyatanya ia terus memberiku kekuatan dan keyakinan agar kami bisa menerjang restu orang tuanya.” Terangku dengan mata yang mulai terbayang kaca-kaca.

“Aku paham sayang. Randi juga anak yang baik untuk kamu dan keluarga ini. Tapi, dengan gap sosial yang begitu jauh pasti akan susah kalian bersama, Cle. Aku juga sama sekali gak melarang kamu untuk menjalin kasih dengannya, namun cinta yang kamu punya untuknya hanya membuatmu sakit aja, sayang.” Tante yang tadi duduk berhadapan denganku, kini berpindah berada di sebelahku dan mengusap bahuku seolah menenangkan.

“Aku sudah gak tau harus melakukan apa, Te......” Air mataku yang tak tertahan airnya tumpah sembari mengingat bagaimana perlakuan kedua orang tua Randi yang begitu kasar terhadapku.

“Tadi Randi mengajakku bertemu kedua orang tuanya di ruangan kantornya. Meski sudah pertemuan yang kelima kali, nyatanya mereka masih enggan membukakan hati dan memberiku kesempatan..” Isak tangisku tak terbendung.

Tante terus mengusap bahuku, membiarkanku cerita mengalir tanpa jeda. Sebab ia sudah tahu aku hanya butuh didengar tanpa diberi tanggapan.

“Randi terus berusaha meyakini kedua orang tuanya, hingga di titik emosinya ia memilih pergi bersamaku. Mendengar hal tersebut, ayahnya kena serangan jantung dan sekarang masih berada di ruangan ICU....” Aku menyeka air mata yang terus bercucuran di pelipis pipiku.

“Aku cuma berharap dan berandai jika saja papa dan mamaku masih hidup mungkin kini tidak mungkin aku dipandang rendah oleh siapapun, mungkin aku akan setara dengan Randi dan keluarganya sehingga tidak perlu ada pengorbanan apapun dalam perjalanan cinta kami. Kenapa nasibku begitu menyakitkan, Te? Kenapa?” Emosiku yang sudah tidak terkendali kala mengingat betapa keji perlakuan kedua orang tuanya kepadaku selama ini, namun aku tak jua menyerah demi mengedepankan cintaku bersama anaknya.

Dari ekor mataku terlihat Alexa ikut juga menangis sembari terus mengusap bahuku yang saat ini sangat sangat patah. Tidak hanya diriku yang berkorban jatuh pada perjuangan cinta ini, tapi yang buatku amat kesal adalah cintaku ini juga membawa petaka untuk ayah Randi yang sedang kritis di rumah sakit.

“Jika cinta tidak bisa ku miliki seutuhnya, lantas mengapa aku dibiarkan jatuh cinta sedalam ini?” Batinku.

***

Pagi ini aku memulai rutinitas seperti biasa, terlebih tanggung jawabku sebagai sekretaris di kantor Randi jujur saat ini merasa tidak nyaman ku lakukan karena pertikaian kemarin tentu saja seantero kantor akan menyindirku. Bahkan mulai dari pintu masuk kantor sudah banyak karyawan yang bertanya tentang kejadian kemarin, dan semakin memojokkanku seolah menjadi wanita tidak tahu malu berpacaran dengan ceo perusahaan besar negeri ini. 

“Clee, sadar diri kali ya. Jangan terlalu dipaksa buat nikah sama Pak Randi. Lo gak sadar beda levelnya?” Sindir Catherine bersama teman satu gengnya yang sengaja menghampiriku di depan meja sekretaris ini.

Aku mematung dan hanya menatap mereka. 

“Kenapa lo diam aja? Udah sadar kan kalau lo sama Pak Randi itu gak akan bisa bersatu. Ya lagian nih Cle, kami sebagai teman yang baik mau ingatin aja, keluarga kaya Pak Roger pasti mau menikahkan putra tunggalnya dengan putri pewaris tahta juga. Jadi, gak mungkin memberikan restu pada budak-budak seperti kita. Lebih sadar kenyataan yuk, Cle..” Tawa Arabela.

Enntah perasaanku pilu mendengar hinaan ini, tapi di satu sisi aku tidak bisa menentang apapun, sebab apa yang mereka katakan ada benarnya. Gak mungkin Roger dan Airin memihakku sampai kapanpun.

Trap.. trap.. trap…

Langkah cepat dengan hentakan yang cukup terdengar dari sepatu pantofel berkulit ratusan juta kian menghampiriku ditengah perudungan ini. Aku menoleh ke arahnya, dan benar saja Randi datang dengan postur idealnya dari kejauhan pula ia sudah tersenyum ke arahku.

“Pagi. Ngapain kalian pagi-pagi di depan Claire?” Randi memancarkan senyumnya kepada karyawan di kantor ini ya bisa dibilang sudah menjadi kebiasaannya.

“E..enggak Pak. Kami permisi dulu…” Ucap Catherine yang langsung pamitan.

“Cle, bisa ke ruanganku dulu?” Ia menoleh cepat ke arahku.

“Iya Pak, sekalian saya bawa dokumen yang perlu approval dari Anda.” Balasku. Meskipun status kami adalah kekasih namun hal ini hanya berlaku selama di luar kantor, sementara di dalam kantor aku tetaplah sebagai sekretaris, dan ia adalah CEO.

Di dalam ruangan yang langsung berhadapan dengan gedung pencakar langit ibukota, ia menyodorkan lembaran dokumen yang dibalut oleh amplop coklat dan telah ia buka.

“Kamu baca dulu, lalu tandatangan ya.” Perintahnya.

Gak banyak bertanya, langsung saja ku ambil lembaran kertas tersebut. Dari judulnya saja sudah membuatku terkaget-kaget.

“Maksudnya apa ini?” Sedikit ku tinggikan nada bicaraku.

“Clee, cuma ini satu-satunya jalan cinta kita. Jika kamu sudah menandatanganinya, kita bisa langsung menikah. Percaya sama aku Cle, semua akan baik-baik saja.” Ia mendekati dirinya kepadaku, menyentuh bahuku dengan tatapan yang amat tajam seolah sangat meyakiniku untuk membubuhi tandatangan pada halaman akhir dokumen perjanjian pra-nikah konglomerat ini. 

***

Seminggu setelah kejadian penandatanganan surat perjanjian di kantor...

“Saya terima nikah dan kawinnya Adinda Claire Rafita binti Almarhum Kaisar dengan mas kawin uang seribu dollar dibayar tunai.” 

“Bagaimana saksi-saksi?” Tanya seorang penghulu yang membantu dalam proses pernikahanku dan Randi.

“Sah...” Sorak Kayla dan Tante Alexa yang tersenyum sumringah kala mendengar kalimat ikrar pernikahanku dengan Randi berjalan dengan lancar.

“Selamat Mba Claire dan Mas Randi kini sudah sah menjadi pasangan suami istri...” Senyum penghulu yang telah selesai dan berhasil menikahkan kami.

Kini agenda pernikahan berlanjut pada sungkeman dengan kedua orang tua masing-masing. Berhubung kedua orang tuaku sudah tiada sehingga proses restu pun digantikan dengan Tante Alexa sebagai wali tunggalku saat ini.

Randi berdiri dan menjuntaikan tangannya kepadaku, lalu ku sambut tangan kanannya tersebut untuk selanjutnya berjalan menuju kedua orang tua Randi. Dari arah mataku terlihat mama dan papanya yang sudah anteng duduk di atas bangku dengan modifikasi bunga-bunga khas pernikahan. 

“Kenapa berhenti, sayang?” Tanyanya menoleh ke arahku, sebab aku menghentikan langkahku.

Aku menggelengkan kepala sembari melirik ke arah mamanya yang sangat jelas sinis kepadaku. 

Randi seolah tahu apa maksudku lalu melangkahkan kakinya mendekati pelipis pipiku.

“Tenang aja Sayang, semua akan baik-baik aja.” Bisiknya.

Setelah mendengar kata-katanya yang menguatkanku, aku kembali ditarik oleh Randi menuju kedua orang tuanya. Randi mulai berpangku dan mencium tangan mamanya, sementara sang mama memeluknya dengan kuat dan tampak ia menumpahkan pula air matanya. Lalu, Randi menuju papanya yang baru saja sembuh dan kini harus menghadiri pernikahan anaknya dengan menggunakan kursi roda. 

“Penuhi apa yang sudah kita sepakati ya Nak.” Terdengar suara papanya sampai ditelingaku.

“Ma, mohon restuin aku sama Randi.” Aku meraih tangan ibu mertuaku ini yang sama sekali ia pun tidak menoleh ke arahku, bahkan tangannya pun kaku enggan berjabat denganku. Bagi orang asing, sudah jelas keluarga aku dan Randi sudah terlihat kacau sedari awal. Parahnya dalam surat perjanjian yang diberikan oleh papanya, salah satu poin yang harus ku penuhi adalah tinggal di dalam rumah mewah tersebut bersama mereka. 

Setelah Randi selesai bersungkeman dengan kedua orang tuanya, kini giliranku yang berjabat tangan dan meminta restu dari ayahnya.

“Penuhi janjimu, jangan kau langgar satupun jika masih ingin aman hidupmu!” Bisik pelan papanya yang benar saja sangat membuatku takut berada ditengah-tengah mereka.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status