Share

Sebuah Penginapan

Katya Pov

Aku bertemu dengannya di stasiun kereta api, bukan mungkin di dekat tempat pembelian tiketnya, bukan mungkin di peronnya, ah-sama saja, apalah itu sekarang tidak begitu berarti. Bagian terpentingnya adalah aku kehilangan tiket perjalanan ke Leningrad dan benar-benar kalut karena hal itu. Masalahnya kereta yang ke jurusan itu adalah kereta terakhir hari ini. Aku tidak mengerti bagaimana tiket itu bisa hilang? Aku tertidur dan lupa segalanya.

Aku sungguh terkejut ketika seorang lelaki datang padaku dan mengatakan, "Maaf, ini tiketmu."

Aku membeku sepersekian detik, tak tahu harus bagaimana. Sore itu udara di Rusia sangat dingin dan salju turun seperti gugusan kapas. Aku berterima kasih padanya.

"Tidak perlu berterima kasih, sebenarnya aku tadi mencuri tiketmu," katanya.

Aku seperti tersengat listrik seribu volt dan lelaki itu hanya tersenyum kecut.

"Beraninya kau mencuri tiketku!!! Berani sekali!! Dasar Baj*ng*n!!! Kamerad!!! Tidak tahukah kau berapa harga yang harus aku bayar demi selembar kertas ini?? Tahu tidak?? Perbuatanmu sungguh tidak bisa dimaafkan, aku akan panggil pihak keamanan sekarang juga dan melaporkan perbuatanmu!! Orang sepertimu pantas mendapatkan hukuman!!!!’’

Yah, itu adalah kalimat yang terlontar dari hatiku, tapi aku tidak mengatakan padanya demikian. Tadinya aku ingin berucap begitu. Namun, ketika aku baru saja membuka mulut, segaris angin dingin menerpaku, membuatku menggigil sampai memeluk diriku sendiri. Musim dingin ini, kebekuan ini, membuatku menjadi lebih mudah iba kepada orang lain, termasuk lelaki itu. Aku memerhatikannya dan menyimpulkan bahwa ia hanyalah lelaki miskin. Dengan matanya yang lembut, ia tampak sebagai lelaki suci yang tidak akan melakukan tindakan pencurian kecuali terpaksa, itu pun hanya sekali.

Maka, aku berkata, "Baiklah, terima kasih."

Aku pun berbalik dan berlalu. Ketika aku sampai di ujung pintu kereta, aku melihat ia berdiri memandangku. Kami bertatapan. Sial! Pikirku, hatiku berdentum kencang dan aku tidak tahu mengapa. Aku merasa tatapannya begitu dekat untukku dan sedikit menyenggol perasaan paling sensitif dariku.

Aku pun memutuskan untuk mendekatinya sekali lagi dan bertanya basa basi, "Anda hendak kemana? Mengapa Anda mengambil tiket saya? Apakah Anda sedang dalam urusan terdesak? dan bla..bla..bla..blaa...."

Kurang dari lima menit kemudian, aku sudah membelikannya tiket dan kami masuk ke dalam kereta bersama-sama. Ah, Apakah aku ini bodoh atau semacam jiwa yang terkejut atas kehadiran seorang pria?

Ia bilang namanya "Jack". Aku bilang namaku ''Katya''. Katya Safelova.

"Katya," panggilnya. Aku merasa sangat perempuan tiap kali orang memanggilku demikian.

Aku bisa membayangkan bagaimana jalan pemuda ini dalam  bersosialisasi dengan masyarakat. Dari namanya, aku menebak dia adalah orang yang supel, ramah, hangat, dan mungkin ia adalah pahlawan kesatria seperti di film-film. Karena dibalik kacamata gagang emas yang membuatnya tampak seperti pria berusia empat puluh tahun, wajahnya ganteng, ditambah krisis laki-laki yang melanda negeri ini membuat aku duga keras bahwa banyak gadis-gadis jatuh hati padanya, mereka menggelinjang di kakinya, memohon-mohon dengan nada mendesah, "Aku milikmu! Ambilah!"

Kami duduk sebangku di kereta, tetapi sepanjang perjalanan kami banyak terdiam. Nyatanya Jack bersikap dingin, sedingin udara disini. Ia tidak bercerita apa-apa. Tidak tentang hidupnya, tidak tentang keluarganya, tidak tentang saudaranya, temannya, saudara sesuku-nya pun tidak. Satu-satunya hal yang terlontar dari bibir pemuda ini hanya,

"Aku butuh penginapan." Jack merapatkan mantel dan mengencangkan topi bulu rusianya. "Aku tidak punya uang satu rubel pun," lanjutnya.

Aku tahu maksudnya.

"Aku kerampokan," Ia beralasan.

Aku tahu maksudnya.

"Baiklah, aku punya sebuah motel di Leningrad. Aku bisa membantumu.’’

Ia tersenyum. Tubuhku hampir saja terangkat dari bumi melihat senyumnya. Kereta berjalan terus. Kami tidak berbicara lagi. Aku menyenderkan kepala ke jendela, melihat pemandangan diluar yang ditumbuhi salju sampai berkerak di dinding. Segaris angin berhembus diluar, tetapi dinginnnya menggertakan kaca dan membuatku menggigil. Aku merapatkan mantel berat berwarna abu-abu. Bongkahan uap napas bulat-bulat keluar dari mulutku, melayang seperti ruh. Aku memejamkan mata. Untuk kedua kalinya dalam setengah jam, aku tertidur.

***

Aku tak bisa mengatakan motel milikku sebagai penginapan yang mewah. Motel ini sangat sederhana, fasilitasnya juga kurang lengkap. Tetapi aku sungguh ingin mengembangkan bisnis ini. Aku mencari dana sponsor dimana-mana, mencari kerjaan lain kemana-mana, hanya untuk menambah modal motelku. Aku ingin membeli televisi, aku ingin di setiap kamar ada televisi sehingga tamu bisa menemukan hiburan baru di motelku. Agar mereka tidak jenuh. Selama ini hanya ada radio. Berita BBC dan CNN kebanyakan memercik dari radio, menghujani para tamu dengan letupan politik. Aku tidak terlalu menyukai berita lokal karena selama ini selalu penuh dengan sensor dan antek-antek KGB. Aku membayangkan seandaianya penginapan ini bisa berubah jadi hotel bintang lima.

Jack menginap di motelku, di salah satu kamar. Kamarku ada di seberangnya, kamar ibuku ada di bagian tenggaranya. Aku bilang bahwa aku hanya memiliki ibuku. Aku tidak pernah melihat ayahku dan tidak mau tahu tentang itu. Jack tertawa, "Sering kali lelaki itu adalah makhluk paling brengsek, Katya."

Pipiku merah padam. Ia sangat manis. Ia menyebut namaku dengan nada selembut susu, ''Katya...''

"Kau bisa tinggal disini sampai kau merasa lebih baik dan mendapatkan pekerjaan," kataku. Ia hanya tersenyum. Kemudian, kami berpisah ke kamar masing-masing.

*****

Aku sedang mendengarkan lantunan si-mata-hitam-Rusia di radio,di dekat perapian sambil membaca karya Nabokov waktu suatu suara injakan salju mengganggu pendengaranku. Aku menyibak tirai jendela, melihat Jack sedang berjalan-jalan sendirian di halaman. Dingin-dingin begini, aku tak habis pikir apa yang membuatnya berani keluar. Apakah ia benar-benar bodoh? Jack duduk di salah satu bangku bulat yang terbuat dari kayu setelah menyapu gundukan salju diatasnya. Ia diam disitu, seperti sedang berjuang dengan sesuatu di pikirannya. Saat ia menangkap basah diriku, Jack tersenyum letih.

Aku memutuskan keluar kamar dan bertanya padanya, "Apa yang dilakukannya di tengah kebekuan ini?’’. Jack merentangkan kedua tangannya sambil menaikkan bahunya. Barangkali maksudnya, Tidak ada apa-apa. Aku hanya tersenyum.

Aku duduk di samping Jack, berusaha mengumpulkan kekuatan untuk berbicara. Namun tak ada satupun yang keluar dari mulutku selain uap dingin. Ah, mengapa aku mendadak menjadi gugup seperti ini?

"Terima kasih atas semuanya," seru Jack. Aku tertegun. Jack menggenggam tanganku dan menatap mataku, "Terima Kasih.."

Aku masih tertegun sambil pelan-pelan melepaskan tanganku dari genggaman Jack. Aku merasa salah tingkah dalam keadaan seperti ini. Aku tidak tahu apa yang harus aku katakan padanya. Aku mengangguk, "Iya, sama-sama, itu tidak masalah bagiku."

Jack ikut mengangguk dan tersenyum padaku. Senyumannya membuatku terpukau. Aku hampir ingin melayang. Namun aku berusaha mengendalikan diriku. Aku pun bangkit dan pamit undur diri. Aku kembali masuk ke dalam kamarku. Setiap langkahku yang tercetak di gundukan salju, aku merasa Jack terus memandangiku, sama seperti yang terjadi di stasiun sehingga aku akan tergoda untuk menoleh padanya, dan kami bertatapan.

Waktu awal kami bertemu di stasiun, aku rasa aku tertarik padanya. Entah karena apa, entah bagaimana harus menjelaskan. Aku ingin mengenalnya lebih dalam. Tetapi kami bahkan sangat jarang berkomunikasi. Atau begini cara dia menjalin komunikasi dengan sekitar. Perkenalan ini terjadi begitu sunyi. Aku mengharapkan beberapa patah pujian atau kejujuran cerita atas duka cita. Tetapi Jack tidak mengatakan apapun selain "Terima Kasih." Ia terlalu dingin untuk ukuran musim dingin. Jack mungkin sudah terkontaminasi pendidikan Sparta yang keras sehingga ia tumbuh menjadi manusia kaku. Atau barangkali politik di Rusia yang tengah memanas pasca runtuhnya rezim komunis yang membuatnya begitu.

Aku mengintip Jack dari jendela kamarku lagi. Jack kembali ke kamarnya. Jalannya lamban. Kesunyian membuat gerak geriknya jadi berat oleh rahasia-rahasia yang dibawanya. Ia seperti pria empat puluh tahun yang kuno. Mantel lusuh, kacamata bulat lusuh, topi lusuh, semua hal yang melekat di badannya lusuh kecuali badan itu sendiri. Aku bisa jamin ia sangat bagus apabila ia memakai pakaian yang lebih baik atau tidak memakai pakaian sama sekali. Ya Ampun, apa yang aku pikirkan?!

Bohlam gundul di kamarnya menyala, terdengar seringaian derak suatu benda bergerak, mungkin meja atau kursi yang ditariknya. Berita BBC mengalun lemah di radio mendendangkan politik, kejahatan, perang, dan ambisi.

Jack menyibak tirai jendelanya, melihat ke arahku. Keterkejutan yang tiba-tiba membuat aku spontan menutup tirai jendela kamar. Aku meringkuk ke selimut, menyembunyikan mukaku dari ketajaman matanya yang seolah-olah telah berhasil menangkap seorang penjahat. Namun beberapa menit kemudian, aku bangkit. Mematikan suara radio, menyibak tirai jendela lagi. Jack masih disitu, tersenyum dan melambaikan tangan padaku. Aku rasa ia sengaja melakukannya untuk menggodaku. Rasanya ia sadar betul pada apa yang tengah dialami di tanah ini; krisis pria dan hasrat besar para gadis. Ia cukup ahli memainkan perannya disini.

Namun kemudian aku meringkuk di balik selimut lagi dan merasa malu. Lalu aku melihat ke arah jendela lagi. Jack masih disitu. Lalu aku meringkuk lagi, memejamkan mata,  melupakan semuanya. Beberapa menit kemudian, aku tertidur. Tapi aku berharap Jack terus disitu sampai pagi.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status